Jump to ratings and reviews
Rate this book

Layar Terkembang

Rate this book
Selagi Maria dan Yusuf menjalin percintaan yang mans, Tuti bergelut dengan dirinya sendiri; apakah akan menikah dengan orang yang tidak dicintainya hanya karena alasan usianya yang semakin bertambah, atau tetap memegang prinsip: lebih baik tidak menikah daripada mendapatkan suami yang tidak sepandangan dan tidak sepaham.

Hubungan Maria dan Yusuf makin mendalam, ketika tiba-tiba Maria diketahui mengidap penyakit serius. Bagaimanakah perasaan Yusuf mengetahui keadaan tunangannya? Bagaimana Tuti menghadapi peristiwa-peristiwa tak terduga dalam hidupnya? Dan bagaimana akhirnya hubungan ketiganya?

ISBN: 979-407-065-3

139 pages, Paperback

First published January 1, 1936

109 people are currently reading
1709 people want to read

About the author

Sutan Takdir Alisjahbana

33 books73 followers
Sutan Takdir Alisjahbana (STA) menamatkan HKS di Bandung (1928), meraih Mr. dari Sekolah Tinggi di Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari UI (1979) dan Universiti Sains, Penang, Malaysia (1987). Diberi nama Takdir karena jari tangannya hanya ada 4.

Pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933), kemudian mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-1948), guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), dan guru besar & Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
443 (25%)
4 stars
579 (33%)
3 stars
591 (33%)
2 stars
123 (7%)
1 star
18 (1%)
Displaying 1 - 30 of 151 reviews
Profile Image for Missy J.
629 reviews107 followers
November 12, 2023
After my disappointment with Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade, I wanted to read something from the old days. I was happy to find a copy of Layar Terkembang by Sutan Takdir Alisjahbana, which was published in 1936 and is considered part of the Pujangga Baru literary generation, whose aim was to spread conscious messages through literature. This book has been on my To-be-read shelf since 2014.

When I first started reading Layar Terkembang ("In Full Sail"), I was struck at how beautiful the language was and the characters seemed very compelling. We meet Tuti and Maria. They are sisters growing up in Jakarta in the 30s, that means when Indonesia was still a Dutch colony. Tuti, the older sister is a 27-year-old teacher, who is very active in a women's movement group. She is serious, deep and wants women to be equal to men. On the other hand, her sister Maria is a 22-year-old final year student, about to become a teacher at a Muhammadiyah school, is very open, warm and cheerful. She isn't that interested in Tuti's activism, instead she finds joy in flowers and in the people she loves. The sisters live together with their father, who is about to retire, the mother died a few years earlier. I have to make a small comment that Tuti and Maria are from a different time in Indonesia. Even though I'm pretty sure they are Muslim (there was one conversation about Islam), they don't walk around in head scarves nor are they pressured to behave in a certain "correct" religious way. Also, the fact that Maria's name is Maria shows how open Islam was back then.

Anyway, in the beginning of the novel, Tuti and Maria make the acquaintance of a young man named Yusuf. He is in his final year of study too, planning to become a doctor. He takes a serious interest in the sisters and ends up becoming the boyfriend of Maria. A certain tension grows between Tuti and Maria. Tuti feels sad that Maria places all of her hope in this man, easily becoming depressed when Yusuf isn't around. Tuti believes that a woman shouldn't be so dependent on a man. However, Maria feels that Tuti is too calculative and doesn't understand the true meaning of love. Maria is not afraid of her love for Yusuf and she doesn't harbor the slightest suspicion that the relationship might not work out. Maria also thinks that Tuti's failed engagement to another man, is the main reason why her sister is acting bitter towards her. People around the sisters and society rejoice in Maria's engagement to Yusuf. It's the proper thing to do for a young woman. They side-eye Tuti for being 27 years old and without a prospective husband! Many believe the tension building between the sisters is jealousy and sibling rivalry.

As mentioned above, when I started reading this novel, I was impressed by the language. It is elegant and proper Indonesian that you hardly hear nowadays, especially in Jakarta where slang is dominant. Sutan Takdir Alisjahbana skillfully conveys the feelings of each character, presents us with their innermost thoughts and breathes into life the atmosphere of a time that doesn't exist anymore. After a while unfortunately, the language started to sound repetitive and I'm not going to spoil the story like the book summary did, but the ending was really annoying. Now in retrospect I can understand why the author chose that ending, given that he wants to raise the consciousness of the general population, however I am still annoyed by it because it felt like the "easy way out." I first set out to give this book 4 stars, but the ending made me remove one star.

Some other thoughts that I have on this book: I'm quite surprised that for a book published in 1936 and a story about two young women in Jakarta, there was not a single mention throughout the entire book of Dutch colonialism. The sisters are educated and Maria runs into some Dutch schoolmates and chats with them. But other than that, nothing. The word "Indonesia" wasn't around during that time, and when the characters talked about the indigenous people they kept saying "bangsa kita," which today means "our nation" but probably referred to their "people," excluding the Dutch. I thought that was interesting, why did the author decide to omit colonialism? Maybe the book would not have been published if he did? One thing I didn't quite get was the debate on religion that the sisters had with Yusuf. They talk about religion only once and after that it was never mentioned again. The sisters are quite Westernized for Indonesian standards today. One weird thing I noticed was when Tuti went to visit her educated friends who chose a life of farming, she was marveling at their bookshelf and mentioned how it was filled with so many books, including a book on women's movement in Nazi Germany. Weird. In 1936, the Nazis were gaining power, what did the author as a man from Sumatra really think about them? Finally, there was a huge shock that I got at the end of the book.

"Kalau ia menjadi istrinya, maka perbuatannya itu bukanlah oleh karena cintanya kepada Supomo, tetapi untuk melarikan dirinya dari perasaan kehampaan dan kesepian."

This is my favorite quote by Tuti. It roughly translates likes this: "If she became his wife, she would do so not out of love towards Supomo, but to run away from this feeling of emptiness and loneliness." Tuti felt pressured to get married because she was 27 years old, but deep inside she knew that she didn't love the men who dated her. So, she refused each one of them, shocking her family and everybody else in society. However, in Indonesia until this day women still feel this immense pressure to get married. You are seen as less if you don't commit to a man. I was glad that Tuti came to realize that accepting a proposal was just to give in to society's expectations and pressure. She was not being true to herself if she accepted Supomo. I'm impressed that a man in 1930s Indonesia wrote in the voice of a female character and was able to put himself in her shoes and write down her thoughts so well.
Profile Image for Nyta.
7 reviews2 followers
August 29, 2012
Tuti adalah putri sulung Raden Wiriatmadja. Dia dikenal sebagai seorang gadis yang pendiam teguh dan aktif dalam berbagai kegiatan organisasi wanita. Watak Tuti yang selalu serius dan cenderung pendiam sangat berbeda dengan adiknya Maria. Ia seorang gadis yang lincah dan periang.

Suatu hari, keduanya pergi ke pasar ikan. Ketika sedang asyik melihat-lihat akuarium, mereka bertemu dengan seorang pemuda. Pertemuan itu berlanjut dengan perkenalan. Pemuda itu bernama Yusuf, seorang Mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta. Ayahnya adalah Demang Munaf, tinggap di Martapura, Sumatra Selatan.

Perkenalan yang tiba-tiba itu menjadi semakin akrab dengan diantarnya Tuti dan Maria pulang. Bagi yusuf, perteman itu ternyata berkesan cukup mendalam. Ia selal teringat kepada kedua gadis itu, dan terutama Maria. Kepada gadis lincah inilah perhatian Yusuf lebih banyak tertumpah. Menurutnya wajah Maria yang cerah dan berseri-seri serta bibirnya yang selalu tersenyum itu, memancarkan semangat hidup yang dinamis.

Esok harinya, ketika Yusuf pergi ke sekolah, tanpa disangka-sangka ia bertemu lagi dengan Tuti dan Maria di depan Hotel Des Indes. Yusuf pun kemudian dengan senang hati menemani keduanya berjalan-jalan. Cukup hangat mereka bercakap-cakap mengenai berbagai hal.

Sejak itu, pertemuan antara Yusuf dan Maria berlangsung lebih kerap. Sementara itu Tuti dan ayahnya melihat hubungan kedua remaja itu tampak sudah bukan lagi hubungan persahabatan biasa.

Tuti sendiri terus disibuki oleh berbagai kegiatannya. Dalam kongres Putri Sedar yang berlangsung di Jakarta, ia sempat berpidato yang isinya membicarakan emansipasi wanita. Suatu petunjuk yang memperlihatkan cita-cita Tuti untuk memajukan kaumnya.

Pada masa liburan, Yusuf pulang ke rumah orang tuanya di Martapura. Sesungguhnya ia bermaksud menghabiskan masa liburannya bersama keindahan tanah leluhurnya, namun ternyata ia tak dapat menghilangkan rasa rindunya kepada Maria. Dalam keadaan demikian, datang pula kartu pos dari Maria yang justru membuatnya makin diserbu rindu. Berikutnya, surat Maria datang lagi. Kali ini mengabarkan perihal perjalannya bersama Rukamah, saudara sepupunya yang tinggal di Bandung. Setelah membaca surat itu, Yusuf memutuskan untuk kembali ke Jakarta, kemudian menyusul sang kekasih ke Bandung. Setelah mendapat restu ibunya, pemuda itu pun segera meninggalkan Martapura.

Kedatangan Yusuf tentu saja disambut hangat oleh Maria dan Tuti. Kedua sejoli itu pun melepas rindu masing-masing dengan berjalan-jalan di sekitar air terjun di Dago. Dalam kesempatan itulah, Yusuf menyatakan cintanya kepada Maria.

Sementara hari-hari Maria penuh dengan kehangatan bersama Yusuf, Tuti sendiri lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca buku. Sesungguhpun demikian pikiran Tuti tidak urung diganggu oleh keinginannya untuk merasakan kemesraan cinta. Ingat pula ia pada teman sejawatnya, Supomo. Lelaki itu pernah mengirimkan surat cintanya kepada Tuti.

Ketika Maria mendadak terkena demam malaria, Tuti menjaganya dengan sabar. Saat itulah tiba adik Supomo yang ternyata disuruh Supomo untuk meminta jawaban Tuti perihal keinginandsnya untuk menjalin cinta dengannya. Sesungguhpun gadis itu sebenarnya sedang merindukan cinta kasih seorang, Supomo dipandangnya sebagai bukan lelaki idamannya. Maka segera ia menulis surat penolakannya.

Sementara itu, keadaan Maria makin bertambah parah. Kemudian diputuskan untuk merawatnya di rumah sakit. Ternyata menurut keterangan dokter, Maria mengidap penyakit TBC. Dokter yang merawatnya menyarankan agar Maria dibawa ke rumah sakit TBC di Pacet, Sindanglaya Jawa Barat.
Perawatan terhadap Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun keadaannya tidak juga mengalami perubahan. Lebih daripada itu, Maria mulai merasakan kondisi kesehatan yang makin lemah. Tampaknya ia sudah pasrah menerima kenyataan.

Pada suatu kesempatan, disaat Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna dan Saleh di Sindanglaya, disitulah mata Tuti mulai terbuka dalam memandang kehidupan di pedesaan. Kehidupan suami istri yang melewati hari-harinya dengan bercocok tanam itu, ternyata juga mampu membimbing masyarakat sekitarnya menjadi sadar akan pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut benar-benar telah menggugah alam pikiran Tuti. Ia menyadari bahwa kehidupan mulia, mengabdi kepada masyarakat tidak hanya dapat dilakukan di kota atau dalam kegiatan-kegiatan organisasi, sebagaimana yang selama ini ia lakukan, tetapi juga di desa atau di masyarakat mana pun, pengabdian itu dapat dilakukan.

Sejalan dengan keadaan hubungan Yusuf dan Tuti yang belakangan ini tampak makin akrab, kondisi kesehatan Maria sendiri justru kian mengkhawatirkan. Dokter yang merawatnya pun rupanya sudah tak dapat berbuat lebih banyak lagi. Kemudian setelah Maria sempat berpesan kepada Tuti dan Yusuf agar keduanya tetap bersatu dan menjalin hubungan rumah tangga, Maria mengjhembuskan napasnya yang terakhir. “Alangkah bahagianya saya di akhirat nanti, kalau saya tahu, bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini. Inilah permintaan saya yang penghabisan dan saya, saya tidak rela selama-lamanya kalau kakandaku masing-masing mencari peruntungan pada orang lain”. Demikianlah pesan terakhir almarhum Maria. Lalu sesuai dengan pesan tersebut Yusuf dan Tuti akhirnya tidak dapat berbuat lain, kecuali melangsungkan perkawinan karena cinta keduanya memang sudah tumbuh bersemi.
Profile Image for Nuke.
18 reviews
January 26, 2008
Meski, aku gak punya koleksi buku ini, karena dahulu itu minjem di perpus SMU, tapi buku ini bener2 berkesan. Setidaknya, aku ingat sewaktu aku membaca buku ini, aku merasa dilempar jauh ke masa Indonesia tempo doeloe, dan rasanya sejuk! (sambil ngeliat foto2 jaman nenek-kakek masih muda).

Tokoh Tuti (bener gak sih :(( ) adalah sosok feminis yang aku suka. Ketika pada akhirnya, pengarang "superstar" kita ini -ST TAKDIR ALISJAHBANA- menyandingkannya dengan calon suami adiknya (yang meninggal), puas sekali rasanya diriku!

Gara-gara buku ini, aku jadi ingin betul2 melahap dan mengkoleksi cerita2 klasik indonesia lainnya. Sayang, belum terealisasi (kelupaan!:p huehehehe). Yang jelas, aku menunggu buku ini dibuat versi filmnya. Ingin melihat visualisasi dari Indonesia tempo doeloe dengan perempuan2 berambut dikepang, laki2 dengan rambut klimis berminyak rambut.. ya ya ya sptnya semacam itu...

Dan yang jelas, ingin melihat kisah cinta seorang perempuan yang semasa hidupnya sangat mengelukan emansipasi ini.

Tunggu tanggal mainnya, saat aku sudah siap menjadi executive produsernya! :D (let my cousin be the director!)

:p
Profile Image for Lilia Zuhara.
60 reviews5 followers
October 21, 2013
Layar terkembang merupakan buku yang muncul pada era sebelum perang dunia kedua. Dalam buku ini dikisahkan dua kakak beradik, Maria dan Tuti. Maria, sang adik, bertemu dengan pria yang akhirnya menjadi tunangannya, yaitu Yusuf. Namun akhirnya Maria sakit dan menyebabkan munculnya kisah yang mungkin akan sulit untuk dipahami di masa sekarang.

Kekuatan buku ini terletak pada penggambaran karakter yang melambangkan dua karakter perempuan yang sama-sama kuat. Maria digambarkan sebagai wanita lemah lembut yang tipikal dengan wanita Indonesia di masa dulu. Sementara Tuti digambarkan sebagai wanita independen yan berpikirn bahwa pernikahan tidak boleh menjadi tuntutan dan penjara. Pernikahan adalah membebaskan.

Pada akhirnya, S.T. Alisjahbana mengajarkan kepada kita difusi antara perjuangan wanita dan penerimaan naluri wanita yang tidak akan sanggup dibohongi sampai kapanpun. Penggunaan bahasa yang kemelayu-melayuan juga memberikan nuansa keunikan untuk buku ini, dibandingkan dengan buku masa kini.
Profile Image for Noni.
3 reviews3 followers
Read
December 12, 2008
Yusuf, Maria, dan Tuti. Tiga tokoh inilah sentral cerita novel ini. Saya baca zaman dahulu kala, jauuuuh sebelum kenal GR hehe... Jadi sepintas kesan yang saya ingat dan terngiang-ngiang pada novel ini adalah sebuah review yang saya baca (zaman dahulu kala juga) yaitu sebuah pertanyaan (kritik?), kenapa Yusuf dengan begitu gampang memindahkan cintanya pada Tuti setelah Maria meninggal? Padahal sifat Maria dan Tuti jauh berbeda meskipun mereka berdua bersaudara.
Tapi novel ini penting pada zamannya, karena cita-cita kebangsaan dan feminisme digagas disini.
Profile Image for Septi.
13 reviews20 followers
June 16, 2017
Sepertinya mulai harus menambahi koleksi karya sastra klasik Indonesia. Walaupun ceritanya sebenarnya sederhana,banyak juga yang masih relevan dengan masa sekarang. Belum lagi bahasanya yang indah membuat kita belajar lagi bagaimana betutur kata dengan baik
Profile Image for Nonna.
137 reviews2 followers
May 3, 2018
Romantisme klasik ala Maria dab Yusuf serta modernitas pemikiran seorang perempuan bernama Tuti dipadukan secara apik oleh STA. Asyik juga membaca bahasa yang mendayu-dayu ciri khas era Pujangga Baru ini.
Profile Image for Widodo Aji.
21 reviews2 followers
December 4, 2019
SINOPSIS
Di Jakarta, hiduplah dua perempuan kakak-beradik yaitu Tuti dan Maria, anak dari mantan Wedana Banten, Wiriaatmaja. Sementara ibunya telah meninggal. Walaupun keduanya ialah kakak beradik yang berbeda usia 5 tahun akan tetapi, mereka memiliki watak yang sangat berbeda. Sang kakak, Tuti seorang perempuan pendiam, teguh, dan kukuh pendirian serta ia merupakan seorang aktivis dalam organisasi wanita. Sementara Maria adiknya, bersifat ceria, dan kekanak-kanakan. Di suatu hari di aquarium saat akan pulang, mereka bertemu dengan seorang pemuda bernama Yusuf, pemuda asal Sumatera Selatan, anak dari Demang Munaf di Martapura, disini ia bersekolah dokter di HBS.
Semenjak pertemuan itu, Yusuf selalu terbayang akan mereka. Dalam hatinya, Yusuf menyimpan rasa kepada Maria sejak pertama pertemuannya. Setelah itu, Yusuf menjadi sering berkunjung ke rumah Maria untuk sekedar menyapa kedua saudara tersebut, dan bercakap-cakap dengan ayahnya. Suatu hari, saat Yusuf berkunjung, datanglah paman Tuti, yaitu Partadiharja. Kedatangan Parta adalah untuk menyambung silaturahmi dan menceritakan anaknya, Saleh. Yang kini tiada sejalan lagi dengan ayahnya. Tuti yang mendengar hal itu pun menyangkal pernyataan dari pamannya, sehingga terjadi perang pendapat antara pikiran lama dan pikiran baru.
Tuti yang kini disibukkan dengan kegiatan Putri Sedar sangatlah bertanggung jawab atas apa yang akan ia sampaikan mengenai emansipasi wanita. Karena, Tuti telah dikenal sebagai pendekar wanita di kalangannya. Disisi lain, adiknya harus ujian dan Yusuf pun akan ujian dokter yang pertama. Setelah selesai Yusuf pun pulang ke Martapura. Suatu ketika Maria mengirimkan surat kepada Yusuf. Memberitahukan bahwa, ia sekarang berada di Bandung bersama bibinya. Yusuf yang sudah tiada bisa menahan rindunya segera kembali ke Jawa, setelah beberapa hari di Sumatera. Kedatangan Yusuf pun disambut baik oleh Tuti. Yusuf ditemui oleh Tuti sambil menunggu Maria pun merasa kagum dengan ketegasan Tuti sebagai seorang wanita. Berbeda dengan Maria, yang ia nilai seperti perempuan pada umumnya.
Setelah itu pergilah Yusuf dengan Maria, Yusuf menyatakan cintanya kepada Maria, yang disambut jua dengan rasa cinta dan jadi kekasihlah mereka. Maria makin hari makin berbeda, ia hanya memiliki pikiran tentang Yusuf. Melihat hal tersebut, Tuti yang tiada suka melihat perubahan Maria menasihatinya agar ia janganlah buta karena cinta. Akan tetapi, Maria kini telah berani membantah, yang membuatnya sakit hati Tuti. Serta mengungkit masa lalu Tuti dalam hal kegagalannya bercinta.
Tahun-tahun berlalu, percintaan Maria dan Yusuf makin dalam. Sementara Tuti mulai berfikir akan umurnya yang menua, dan tiada berkawan dengan laki-laki. Lambat laun, Tuti berubah pemikirannya. Kini, ia lebih dapat menerima pendapat orang lain dan mau memuji, yang membuat Maria dan Yusuf merasa heran. Suatu ketika Maria mengidap penyakit malaria akan tetapi setelah diobati dirumah, kondisi Maria makin parah, dan ternyata Maria mengidap penyakit TBC, yang telah membunuh ibunya dulu. Tuti merawat Maria dengan sabar, namun disisi lain pun ia kini tengah berada dalam dilema, yaitu antara menerima pernyataan cinta dari Supomo atau menolaknya. Pada akhirnya, dari hati terdalam, ia menolak cinta dari supomo tersebut. Adiknya yang makin parah, dianjurkan dibawa ke Pacet, Sidanglaya untuk dirawat. Berminggu-minggu perawatan Maria berjalan, akan tetapi yang ada malah melemah kondisinya.
Suatu ketika di hari libur sekolah, Tuti dan Yusuf berangkat pergi ke Pacet untuk menjenguk Maria. Akan tetapi, sebelum itu mampirlah mereka ke rumah Saleh dan Istrinya. Disana Tuti terbukalah pikirannya mengenai kehidupan seorang perempuan bahwa, pengabdian bukan hanya dalam organisasi tapi bisa dalam masyarakat. Semakin hari Yusuf dan Tuti semakin akrab, sementara Maria semakin buruk kondisinya. Di penghujung hari libur yang penghabisan, berpamitlah mereka berdua kepada Maria. Akan tetapi, disambut haru oleh Maria, dan Maria berpesan agar sepeninggalnya kelak, Yusuf dan Tuti harus bersama. Beberapa lama kemudian setelah sepeninggal Maria, sesuai dengan pesan adiknya, menikahlah kedua kakak yang dicintai Maria tersebut.

KARAKTERISTIK DAN PENOKOHAN
1. Tuti
Tuti adalah seorang gadis yang berusia 25 tahun dan merupakan anak dari Raden Wiriatmadja. Ia menjadi guru pada sekolah H.I.S Arjuna di Petojo. Perawakannya tegap, agak bulat sedikit mukanya,rambutnya bersanggul model sala. Sifatnya bukan seorang yang mudah kagum, yang mudah keheranan melihat sesuatu, pandai dan banyak cakap, serta keras kepala.
Ia juga memiliki sifat yang teguh akan pendiriannya dan berjuang untuk cita-cita yang menurut pikirannya mulia dan luhur. Rupanya pendiam dan tertutup. Tetapi segala ucapannya teliti.
- Bukti : Dan seraya melompat-lompat kecil ditariknya tangan kakaknya, “Lihat Ti, yang kecil itu, alangkah bagus mulutnya! Apa ditelannya itu? Nah, nah, dia bersembunyi di celah karang.” Sekalian perkataan itu melancar dari mulutnya sebagai air memancar dari celah gunung. Tuti mendekat dan melihat menurut arah telunjuk Maria, ia berkata, “Ya, bagus.” Tetapi suaranya amat berlainan dari adiknya, tertahan, berat.

2. Maria
Maria adalah seorang gadis berusia 20 tahun yang merupakan putri dari Raden Wiriaatmadja. Ia bersekolah di H.B.S. Carpentier Alting Stichting kelas penghabisan. Ia adalah adik dari Tuti. Gadis ini memiliki wajah halus kekuning-kuningan dan agak kepanjang-panjangan karena badannya ramping,manis rupanya,berrambut lebat dan amat terjaga,rambutnya teranyam berbelit belit dan disanggul. Wajahnya juga tak jauh beda dengan kakaknya itu jika dilihat dari garis mulut, hidung, dan mata.
Sifatnya mudah kagum, mudah memuji dan memuja, sebelum selesai berpikir ucapannya keluar menyatakan perasaannya yang bergelora. Berbeda dengan Tuti, Maria adalah seorang gadis yang periang.
- Bukti : Meskipun telah beberapa kali ia mengunjungi gedung akuarium itu selama di Jakarta, tiada jemu-jemunya ia melihat ikan-ikan yang permai itu sehingga keluarlah sekonyong-konyong dari mulutnya suara yang gembira, “Aduh, indah benar.” Dan seraya melompat-lompat kecil ditariknya tangan kakaknya, “Lihat Ti, yang kecil itu, alangkah bagus mulutnya! Apa ditelannya itu? Nah, nah, dia bersembunyi di celah karang.”
3. Yusuf
Yusuf adalah seorang putra Demang Munaf yang berasal dari Martapura, Sumatera Selatan dan merupakan murid dari sekolah Tabib Tinggi di Jakarta. Perawakannya tinggi, dan bersih kulitnya. Ia memiliki sifat yang baik, sopan kepada orang lain dan pintar. Yusuf adalah pria yang setia pada pasangannya.
- Bukti : “Maria, pikiran yang bukan-bukan tiada boleh engkau timbulkan dalam hatimu. Bagi saya hanya engkau seorang di dunia yang lebar ini. Tetapi, … engkau mesti memperkenankan saya menghormati siapa yang patut dihormati…”

Disini saya tertarik untuk menilai dan menganalisa orientasi daripada kebudayaan tokoh-tokoh yang ada dalam novel Layar Terkembang tersebut.
1. Tuti adalah seorang wanita yang berpikiran modernis, yang memegah teguh dan tinggi akan harkat dan martabat seorang wanita. Seluruh hidupnya hanya diabdikan dalam sebuah organisasi kewanitaan saja. Sedangkan dalam realitanya dia bukannya tak mau mendengarkan pendapat orang lain akan tetapi dia hanya berpegang teguh pada pendiriannya dan terpaku akan semua hal yang diketahuinya.
- Bukti: “Sama sekali tentu tidak” Sambut Tuti dengan tetap…
2. Maria adalah seorang gadis yang ceria dan kekanak-kanakan. Dalam hidupnya, tiada berpikir modern dan tiada juga berpikir jangka panjang. Dia hanya berfikir jangka pendek dan kehidupannya seperti halnya bermain-main saja.
- Bukti: Dengan suara yang gemetar oleh amarah yang ditahan-tahan, berkatalah ia kepada Rukama, “Engkau jahat benar, Rukamah menipu saya.”
3. Yusuf seorang pria berpendidikan tinggi dengan pemikiran modern. Namun berbanding terbalik dengan pikiran modern Tuti. Karena Yusuf lebih dapat menerima pendapat orang lain dan lebih berpikiran terbuka.
- Bukti: Ketika Tuti berhenti sebentar, berkatalah ia, “Kalau itu maksudmu, saya setuju, tetapi tentulah contoh bangun tinggi hari itu terlampau tidak berhenti…”
4. Wiriaatmadja merupakan mantan wedana di Banten yang termasuk orang lama, namun dapat menerima perubahan di era modern ini.
- Bukti: Sebagai seorang yang besar dalam didikan cara lama, tetapi tiada menutup matanya kepada perubahan yang berlangsung setiap hari dalm pergaulan, kabur-kabur terasa kepadanya bahwa telah demikianlah kehendak jaman.
5. Partadihardja termasuk orang lama pula yang masih berpegang teguh pada adatnya. Berbeda pula dengan Wiriaatmadja, pria ini tak mampu menerima pendapat orang lain.
- Bukti: “Saya tidak mengerti sekali-kali bagaimana pikiran Saleh, maka ia minta berhenti dengan tiada berbicara lagi dengan famili. Anak-anak muda sekarang sangat memudahkan segala sesuatu…”
Dengan melihat berbagai pandangan dan orientasi budaya dalam tokoh-tokohnya, seorang penulis novel Layar Terkembang yaitu Sutan Takdir Alisyahbana, ini sangatlah pandai dalam menyatukan berbagai sudut pandang menjadi satu kesatuan cerita secara utuh. Penulis juga pandai dalam mempermainkan permasalahan dan konflik yang timbul akibat perbedaan pandangan dan orientasi budaya dalam novel tersebut.
12 reviews
November 18, 2019
Tuti dan Maria adalah kakak beradik, anak dari Raden Wiriaatmaja mantan Wedana daerah Banten. Sementara itu ibu mereka telah meninggal. Meskipun mereka adik-kakak, mereka memiliki watak yang sangat berbeda. Tuti si sulung adalah seorang gadis yang pendiam, tegap, kukuh pendiriannya, jarang sekali memuji, dan aktif dalam organisasi-organisasi wanita. Sementara Maria adalah gadis yang periang, lincah, dan mudah kagum. Diceritakan pada hari Minggu Tuti dan Maria pergi ke akuarium di pasar ikan. Di tempat itu mereka bertemu dengan seorang pemuda yang tinggi badannya dan berkulit bersih, berpakaian putih berdasi kupu-kupu, dan memakai kopiah beledu hitam. Mereka bertemu ketika hendak mengambil sepeda dan meninggalkan pasar, pada saat itu pula mereka berbincang-bincang dan berkenalan. Nama pemuda itu adalah Yusuf, dia adalah seorang mahasiswa sekolah tinggi kedokteran. Sementara Maria adalah murid H.B.S Corpentier Alting Stichting dan Tuti adalah seorang guru di sekolah H.I.S Arjuna di Petojo. Mereka berbincang samapai di depan rumah Tuti dan Maria.
Yusuf adalah putra dari Demang Munaf di Matapura, Sumatra Selatan. Semenjak pertemuan itu Yusuf selalu terbayang-bayang kedua gadis yang ia temui di akuarium., terutama Maria. Yusuf telah jatuh cinta kepada Maria sejak pertama kali bertemu, bahkan dia berharap untuk bisa bertemu lagi dengannya. Tidak disangka oleh Yusuf, keesokan harinya dia bertemu lagi di depan hotel Des Indes. Semenjak pertemuan keduanya itu, Yusuf mulai sering menjemput Maria untuk berangkat sekolah serta dia juga sudah mulai berani berkunjung ke rumah Maria. Sementara itu Tuti dan ayahnya melihat hubungan kedua remaja itu tampak bukan lagi hubungan persahabatan biasa. Sesudah ujian doctoral pertama dan kedua berturut-turut selesai, Yusuf pulang ke rumah orang tuanya di Martapura, Sumatra Selatan. Selama berlibur Yusuf dan Maria saling mengirim surat, dalam surat tersebut Maria mengatakan kalau dia dan Tuti telah pindah ke Bandung. Kegiatan surat menyurat tersebut membuat Yusuf semakin merindukan Maria. Sehingga pada akhirnya Yusuf memutuskan untuk segera kembali ke Jakarta dan ke Bandung untuk mengunjungi Maria. Kedatangan Yusuf disambut hangat oleh Maria dan Tuti. Setelah itu Yusuf mengajak Maria berjalan-jalan ke air terjun Dago, tetapi Tuti tidak dapat meninggalkan kesibukannya. Di tempat itu Yusuf menyatakan perasaan cintanya kepada Maria. Setelah kejadian itu, kelakuan Maria berubah. Percakapannya selalu tentang Yusuf saja, ingatannya sering tidak menentu, dan sering melamun. Sehingga Rukamah sering mengganggunya. Sementara hari-hari Maria penuh kehangatan bersama Yusuf, Tuti sendiri lebih banyak membaca buku. Sebenarnya pikiran Tuti terganggu oleh keinginannya untuk merasakan kemesraan cinta. Melihat kemesraan Maria dan Yusuf, Tuti pun ingin mengalaminya. Tetapi Tuti juga memiliki ke khawatiran terhadap hubungan Maria dan Yusuf. Kemudian Tuti menasehati Maria agar jangan sampai diperbudak oleh cinta. Nasihat tulus Tuti justru memicu pertengkaran diantara mereka dan memberikan pukulan keras terhadap Tuti.
Ketika Maria mendadak terkena penyakit malaria dan TBC, Tuti pun kembali memperhatikan Maria, Tuti menjaganya dengan sabar. Pada saat itu juga adik Supomo datang atas perintah Supomo untuk meminta jawaban pernyataan cintanya kepada Tuti. Sebenarnya Tuti sudah ingin memiliki seorang kekasih, tetapi Supomo dipandangnya bukan pria idaman yang diinginkan Tuti. Maka dengan segera Tuti menulis surat penolakan. Sementara itu, keadaan Maria semakin hari makin bertambah parah. Kemudian ayahnya, Tuti, dan Yusuf memutuskan untuk merawatnya di rumah sakit. Dokter yang merawatnya menyarankanagar Maria dibawa ke rumah sakit khusus penderita penyakit TBC wanita di Pacet, Sindanglaya Jawa Barat. Perawatan Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun keadaannya tidak juga mengalami perubahan, yang terjadi adalah kondisi Maria semakin lemah.
Pada suatu kesempatan, Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna dan Saleh di Sindanglaya, disitulah Tuti mulai terbuka dalam memandang kehidupan di pedesaan. Kehidupan suami istri yang melewati hari-harinya dengan bercocok tanam, ternyata juga mampu membimbing masyarakat sekitarnya menjadi sadar akan pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut benar-benar telah menggugah alam pikiran Tuti. Ia menyadari bahwa kehidupan mulia, mengabdi kepada masyarakat tidak hanya dapat dilakukan di kota atau dalam kegiatan-kegiatan organisasi, sebagaimana yang selama ini ia lakukan. Tetapi juga di desa atau di masyarakat mana pun, pengabdian itu dapat dilakukan. Semakin hari hubungan Yusuf dan tuti semakin akrab, sementara itu kondisi kesehatan Maria justru semakin mengkhawatirkan. Dokter yang merawatnya pun sudah tidak dapat berbuat lebih banyak lagi. Setelah beberapa lama kemudian, sesuai dengan pesan terakhir Maria, Yusuf dan Tuti menikah dan bahagia selamanya

Karakteristik
1. Tuti
Berpakaian cara Barat, memakai jurk, tobralko putih bersahaja bermotif bunga biru kecil, rambutnya disanggul model Sala, ketua organisasi Putri Sedar. Tegap perawakannya, agak bulat sedikit serta dua puluh lima tahun usianya

2. Maria
Memakai rok pual sutra warna coklat, blus sutra kekuning-kuningan, tangan blus panjang terbuat dari georgette yang halus berkerut, rambutnya lebat teranyam berbelit-belit bergulung membentuk sanggul yang permai

3. Yusuf
Mahasiswa Sekolah Tabib Tinggi, pemuda yang tinggi badannya dan berkulit bersih, berpakaian putih berdasi kupu-kupu, dan memakai kopiah beledu hitam.

Perwatakan
1. Tuti
Jarang Memuji
“Ya, bagus.”Tetapi suaranya amat berlainan dari adiknya, tertahan berat.
Teguh Pendirian
“… apabila perkawinan menjadi ikatan baginya, bagi cita-cita dan pekerjaan hidupnya, biarlah seumur hidupnya ia tidak kawin. Hanya satu pendirian itu saja yang sesuai dengan akal sehat”
Rajin
“Dengan kemauannya yang tetap dan keras, dapat Tuti mengatur rumah, jauh lebih rapi dari ketika mendiang istrinya masih hidup.”

2. Maria
Mudah Kagum
“…tiada jemu-jemunya ia melihat ikan-ikan yang permai itu sehingga keluarlah sekonyong-konyong dari mulutnya suara yang gembira, “Aduh, indah benar.””
Suka Bicara
“Yang seorang lagi suka bicara, lekas tertawa gelisah, penggerak.”

3. Yusuf
Baik
“Mendengar itu Yusuf berpikir sebentar dan segera berkatalah ia, “Bolehkah saya menemani Zuz berdua sampai kerumah?”
Patuh
“Melihat bundanya bersungguh-sungguh dan mencoba menahannya, lemah hati Yusuf sehingga diturutkannya kehendak bundanya menunda berangkat
beberapa hari.”
Tidak sombong meskipun ia seorang mahasiswa kedokteran
Petang-petang hari biasanya ia berjalan-jalan dengan Dahlan, kandidat ambtenaar pembantu ayahnya, masuk dusun keluar dusun. Adakalanya mereka bertandang pada gadis-gadis. Yusuf telah biasa akan yang demikian. Meskipun telah lebih dari lima belas tahun, ia tiada tinggal pada orang tuanya, selain dari pada waktu libur, tetapi sekalian adat istiadat bangsanya diketahuinya oleh karena ia suka bertanya dan mempelajari.
10 reviews
Want to read
December 5, 2019
Pengarang menulis novel ini karena membahas tentang perjuangan dan segala permasalahan yang dihadapi oleh wanita pada masa itu untuk mencapai cita-citanya. Novel ini layak untuk di baca para wanita muda masa kini agar tahu bagaimana keadaan kaum wanita masa lalu.Selain itu secara tidak langsung dapat meningkatkan minat para generasi muda terhadap kesusastraan lama Indonesia yang menjadi perintis sastra modern Indonesia sekarang.

Novel ini menceritakan tentang dua orang kakak beradik yang memiliki karakter sangat berbeda. Tuti, sang kakak, adalah seorang wanita yang sangat idealis. Ia juga anggota organisasi pergerakan wanita, Putri Sedar namanya. Tuti sering berorasi meneriakkan hak-hak wanita yang pada saat itu masih jauh dari unsur emansipasi. Apapun yang dilakukan olehnya harus berdasarkan pemikiran yang matang dan lugas, Tuti adalah seseorang yang sangat serius dan tegas.
Berbeda dengan Tuti, Maria, sang adik, adalah seorang wanita yang manis, ceria dan sangat keibuan. Ia juga sering mengambil keputusan berdasarkan perasaannya saja. Yang menurut Tuti, adalah tindakan ceroboh. Maria lebih perasa, lebih menyukai hal-hal feminim, seperti bunga dan novel-novel bertemakan cinta.

Kelebihan Buku

- Alur yang ditulis sudah runtut mulai dari pengenalan,klimaks,antiklimaks,hingga penyelesaian.
- Cerita uang disuguhkan kepada pembaca sangat menarik.
- Isi dari bahasanya tersirat kata-kata yang penuh makna.
- Banyak berisi nilai estetika atau moral yang sangat mendidik.

Kekurangan Buku

- Bahasa yang digunakan susah dimengerti karena banyak menggunakan bahasa Melayu.
- Pemilihan kata-kata yang ada di dalam naskah kurang efektif.
- Tatanan kalimatnya tidak efektif.

Setelah membaca buku ini kita mendapatkan banyak pengetahuan baru. Buku ini memberikan banyak inspirasi dan membuka mata kita tentang kegigihan dalam berjuang yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan.
Profile Image for nana.
68 reviews9 followers
May 9, 2023
Buku ini adalah salah satu buku yang muncul sejak jaman pergerakan (ketika Indonesia masih di bawah bayang-bayang penjajahan Belanda). Novel ini masuk ke dalam angkatan sastra pujangga baru, di mana bahasanya agak melayu dan mendayu-dayu−tetapi tidak sukar untuk dimengerti.

Cerita ini bermula dengan dua tokoh kakak-beradik yang berbeda karakter; Tuti (sang kakak) digambarkan sebagai tokoh perempuan modern pada zaman itu, di mana memiliki semangat nasionalis yang tinggi, independen, dan cerdas. Sedangkan Maria (adiknya) adalah perempuan yang feminim dan lemah lembut (tipikal wanita perempuan Indonesia pada zaman itu).

Cerita kemudian semakin kompleks ketika kedua kakak beradik itu bertemu dengan sosok Yusuf−seorang pemuda pembaharuan yang cerdas dan memiliki semangat juang nasionalis yang tinggi. Cerita kemudian menampilkan krisis identitas, penerimaaan diri, sampai bagaimana emansipasi dimaknai dengan sebenar-benarnya.

Ada satu kutipan yang saya suka dari buku ini, "Daripada didikan dan pergaulan dengan Barat itu diambilnya saja yang enaknya. Bangun tinggi hari, sore tidur lagi, senja-senja minum teh di hadapan rumah dan melancong-lancok mengambil udara. Mereka yang demikian menyebutkan dirinya modern. Tetapi semangat modern, yang sebenarnya, semangat yang menyebabkan orang barat dapat menjadi mulia, tiada diketahui mereka sedikit jua pun. Sifat teliti, kekerasan hati, ketajaman otak, kegembiraan bekerja yang sangat mengagumkan kita pada orang Barat, sekaliannya itu tiada sedikit juapun diambilnya." (hlm 66)


STA berhasil memberikan penggambaran dan pemaknaan yang jelas tentang seberapa besar perjuangan perempuan Indonesia pada masa itu untuk menyetarakan hak-haknya pada segala tempat dan ruang lingkup di tengah orientasi budaya yang terbentang luas.
Profile Image for Ridhorahman.
24 reviews1 follower
August 30, 2021
Kegelisan tentang nasib bangsanya menjadi tema khas yang mengantarkan kita pada spirit zaman karya-karya fiksi awal 1900-an. Selalu menarik membayang-bayangkan antara penggambaran objektif dan fantasi para penulis. Ibarat cerita sinetron yang sering menyebut bahwa "kesamaan tokoh hanya lah fiktif belaka". Dipikir-pikir sendiri, terkesan sendiri.
Struktur kalimat, penggunaan istilah dan ejaan tentunya menjadi tantangan dalam membaca karya klasik. Membacanya dengan telaten (tanpa skip) jadi pencapaian tersendiri. Menantang sekaligus mengasyikan. Belum lagi istilah-istilah bahasa Belanda dan Melayu jadul yang sulit ditemukan arti dan konteksnya jika mencoba googling di saat-saat membacanya.
Profile Image for Eko Ramadhan.
20 reviews1 follower
November 27, 2019
Novel ini menceritakan tentang dua orang kakak beradik yang memiliki karakter sangat berbeda. Tuti, sang kakak, adalah seorang wanita yang sangat idealis. Ia juga anggota organisasi pergerakan wanita, Putri Sedar namanya. Tuti sering berorasi meneriakkan hak-hak wanita yang pada saat itu masih jauh dari unsur emansipasi. Apapun yang dilakukan olehnya harus berdasarkan pemikiran yang matang dan lugas, Tuti adalah seseorang yang sangat serius dan tegas.
Berbeda dengan Tuti, Maria, sang adik, adalah seorang wanita yang manis, ceria dan sangat keibuan. Ia juga sering mengambil keputusan berdasarkan perasaannya saja. Yang menurut Tuti, adalah tindakan ceroboh. Maria lebih perasa, lebih menyukai hal-hal feminim, seperti bunga dan novel-novel bertemakan cinta.
Saat sedang berekreasi untuk mengisi liburan di hari Minggu, mereka bertemu dengan Yusuf, seorang pemuda intelektual yang sedang menempuh pendidikannya sebagai dokter. Pertemuan di hari Minggu itu berlanjut hingga pada suatu pagi Yusuf yang sedang mengayuh sepeda menuju Sekolah Tabib Tinggi, tempatnya menempuh pendidikan dokter, bertemu dengan Maria yang juga sedang mengayuh sepeda menuju H.B.S. Carpentier, tempatnya menuntut ilmu. Sejak saat itu, mereka sering membuat janji untuk bertemu. Yusuf pun sering mengunjungi kediaman Maria dan Tuti untuk bertemu dengan Maria. Sampai akhirnya, Yusuf dan Maria saling jatuh cinta, hubungan mereka akhirnya semakin serius, hingga menjadi sepasang kekasih.
Hubungan Yusuf dan Maria juga mendapat lampu hijau dari R. Wiriaatmaja, ayah Maria. Hingga mereka memutuskan untuk bertunangan, hubungan mereka sangat harmonis. Melihat kemesraan antara Yusuf dan Maria, Tuti sebenarnya iri. Apalagi, mengingat pertunangannya dengan Hambali yang putus ditengah jalan. Namun tetap saja, ia tak mau memiliki kekasih apalagi suami jika tak sesuai dengan kriteria dan pilihan hatinya.
Suatu hari, Maria tiba-tiba terserang Malaria, suhu tubuhnya tak stabil. Ia juga sering memuntahkan darah. Keadaannya membuat Ayah dan Kakaknya khawatir, selain khawatir akan keadaannya, mereka juga khawatir jika Maria akan bernasib sama dengan Ibunya yang meninggal karena penyakit semacam itu.
Ditengah keadaan adiknya yang sedang memburuk itu, Tuti juga dibingungkan dengan perilaku Supomo, temannya yang mengajar di sekolah yang sama dengannya. Supomo menyatakan cintanya kepada Tuti, dan berniat untuk mempersuntingnya. Walaupun Tuti kagum kepadanya, namun ia tidak yakin untuk menerima permintaan Supomo. Akhirnya, Tuti memutuskan untuk menolak permintaan Supomo karena tidak ingin mengingkari prinsipnya. Ia juga tak ingin mengecewakan Supomo karena jika ia menerimanya, ia hanya menikah karena malu akan usianya yang sudah dua puluh tujuh tahun tetapi belum bersuami, bukan karena ia juga mencintai Supomo. Ia menjelaskan semuanya lewat surat, seperti Supomo yang juga menulis surat untuk meyakinkan Tuti akan pengakuan cintanya.
Keadaan Maria yang semakin memburuk mengharuskannya untuk menjalani rawat inap di Central Burgerlijk Ziekenhius di Pacet, Sindanglaya, Jawa Barat. Ayah, kakak, dan kekasihnya, bergantian untuk menjenguknya karena mereka semua masih sibuk dan tak mungkin meninggalkan aktifitasnya di Jakarta untuk menemaninya disana dalam waktu yang tidak bisa ditentukan.
Hingga tiba saatnya liburan bulan Desember, Tuti dan Yusuf berjanji untuk menjenguk Maria setiap hari dengan menginap di rumah saudaranya di Sindanglaya. Maria tentu sangat senang, walau malarianya belum hilang ditambah dengan tbc yang memperparah keadaannya.
Keadaannya yang semakin memburuk membuatnya selalu teringat akan kematian, ia merasa hidupnya sudah tak lama lagi. Hingga akhirnya, ia berpesan kepada Tuti dan Yusuf untuk hidup bersama dan saling mencintai. "Alangkah berbahagia saya rasanya di akhirat nanti, kalau saya tahu, bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini..." begitulah pesan terakhir dari Maria yang tertulis di halaman 150 buku ini.Firasat Maria benar-benar terjadi, ia meninggal dunia. Untuk menghormati Maria, Tuti dan Yusuf pun akhirnya memutuskan untuk menikah.
.
hubungan antara judul dan isi adalah dirasa kurang pas. karena bagi orang awam pengertian dari layang terkembang susah dijelaskan. apa lagi dari layar terkembang itu memiliki makna yang terpendam.
.
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan psikologi. karena, Novel yang berjudul layar terkembang karya St.Takdir Alisjhabana mengangkat kisah kehidupan dua orang gadis yang penuh lika-liku menjalani hidup. Di dalam cerita novel tersebut banyak mengangkat unsur psikologis tokoh-tokohnya atau konflik batin pada setiap tokohnya.
Yang melatar belakangi saya mengkaji novel sastra ini adalah selain ceritanya menarik untuk di baca, di dalamnya juga banyak di angkat mengenai proses bagaimana menjalani kehidupan serta konflik yang terjadi sepanjang cerita. Tokoh utama yang terdapat dalam cerita ini adalah seorang gadis bernama Tuti,ia mempunyai adik bernama Maria dan Ayahnya yang bernama R. Wiriatmaja,namun ibundanya telah tiada,karena terkena penyakit dan meninggal dunia dua yang lalu. Mereka asli orang Banten,namun sejak kecil mereka di boyong ayahnya untuk tinggal di Jakarta, mereka tinggal di jalan cidengweg, di ujung gang.
.
jika dimasa sekarang, sepasang adik kakak yang benar-benar saling dukung sangat susah untuk ditemukan. walaupun cara mengajak bermainnya agak berbeda dengan yang lain, namun didalamnya tersimpan melindungi mati-matian adiknya.
25 reviews1 follower
December 4, 2019
Layar Terkembang
Novel ini mengisahkan tentang kakak beradik dari keluarga Raden Wiriatmadja. Tuti dan Maria namanya. Keduanya memiliki sifat dan perilaku yang amat jauh berbeda. Tuti, kakaknya Maria adalah perempuan yang sangat aktif dalam organisasi pergerakan dan perkembangan perempuan di dalam negerinya. Ia memiliki pandangan yang berbeda dari kebanyakan perempuan waktu itu, pendiriannya kukuh serta sifatnya yang tegas namun tak banyak bicara apabila tidak mempunyai keperluan. Berbeda dengan Maria yang mempunyai sifat yang masih seperti kekanak-kanakan, periang dan penuh warna. Maria senang dengan bunga-bunga sehingga pekarangan rumahnya diisi berbagai jenis tanaman bunga sedangkan Tuti senang dengan segala kerapihan.
Pada suatu hari, Tuti dan Maria melihat-lihat akuarium di Pasar Ikan. Di sana mereka bertemu dengan laki-laki muda. Dia adalah Yusuf putra dari Demang Munaf di Matapura, Sumatra Selatan. Dia adalah seorang mahasiswa sekolah tinggi kedokteran. Sementara Maria adalah murid H.B.S Corpentier Alting Stichting dan Tuti adalah seorang guru di sekolah H.I.S Arjuna di Petojo. Pertemuan dan percakapannya dengan kedua gadis itu membuat Yusuf merasakan ada yang berbeda dari perasaannya, yang diyakininya dia telah jatuh cinta kepada Maria sejak pertama kalinya pertemuan itu.
Sejak Yusuf mengantar kedua gadis itu pulang sampai depan rumahnya, Yusuf sering berkunjung dan bertemu Maria. Tetapi Yusuf pulang ke rumah orang tuanya di Sumatera Selatan setelah ujian doctoral pertama dan kedua berturut-turut selesai. Karena berbalas surat dengan Maria menurutnya tidak cukup mengobati rindunya itu, dia menusul menuju Maria dan Tuti yang sudah pindah ke Bandung. Hingga pada suatu saat dimana Maria dan Yusuf berjalan-jalan di air terjun Dago, pada saat itu Yusuf mengungkapkan apa yang ada di kalbunya itu.
Perhatian Tuti kepada Maria semakin bertambah disebabkan Maria yang tiba-tiba terkena Malaria dan TBC. Tuti selalu menemani Maria sehabis pulang dan merawatnya. Pada waktu itu juga, hatinya bimbang di karenakan Supomo menyatakan cinta. Satu sisi dia ingin segera menikah agar tak ada gunjingan lagi yag dibicarakan orang lain terhadap dirinya yang sudah berumur, tapi satu sisi lagi menurut perasaan dan organisasi yang dia jalankan dan perjuangkan, dia tidak ingin menikah jika bukan dari hati dan cinta. Keputusan Tuti akhirnya dengan menolak kesempatan itu.
Dokter menganjurkan Maria untuk segera dibawa ke rumah sakit khusus penderita penyakit TBC wanita di Pacet, Sidanglaya Jawa Barat. Dibawanyalah Maria karena sakitnya yang tiada sembuh-sembuh.
Saat liburan tiba, Tuti dan Yusuf menginap di rumah Saleh dan Ratna yang tak jauh dari rumah sakit Maria. Tuti dan Yusuf menjadi sering mengunjungi Maria. Pandangan Tuti mulai terbuka dengan alam pedesaan dan menghargai kerja keras Ratna dan Saleh yang mampu melewati hari-harinya dengan bercocok tanam.
Sementara itu, Maria sudah tidak berdaya lagi, suaranya sudah terbatah-batah hingga suatu ketika saat Yusuf dan Tuti hendak pulang, Maria memegang tangan mereka dan memberi permintaan terakhir kepada mereka yang isinya adalah Yusuf, kekasihnya itu menikah dengan kakaknya. Dalam kepiluan itu Maria menghembuskan nafas terakhirnya. Akhirnya Tuti dan Yusuf menikah sesuai permintaan Maria.
Tanggapan
Novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana yang diterbitkan pada tahun 1937 ini sungguh menarik untuk dibaca. Novel ini dianggap unik karena dianggap salah satu cerita yang baru mengangkat setting diluar kota Melayu, melainkan di Batavia. Cerita yang diangkat merupakan masalah seorang kakak adik yang memiliki latar belakang belakang berbeda memandang suatu kehidupan. Tokoh Maria  (adik) dengan sifat periang dan mudah mengagumi, sedangkan tokoh Tuti (kakak) dengan sifat yang tegas dalam memandang suatu hal dan memiliki kriteria yang tinggi untuk menilai sesuatu merupakan dua kolaborasi sifat yang unik dalam penokohan yang diciptakan oleh pengarang.
Dalam novel ini banyak mengangkat sifat perempuan dalam jalan ceritanya. Oleh karena itu, pendidikan karakter yang terkandung pada tokoh wanita yang terdapat dalam novel tersebut sudah mencapai paham feminisme.
Novel ini mengisahkan perjuangan wanita Indonesia dalam mencapai cita-citanya. Roman ini termasuk novel modern disaat sebagian besar masyarakat Indonesia masih dalam pemikiran lama. Novel ini banyak memperkenalkan masalah wanita Indonesia dengan benturan-benturan budaya baru, menuju pemikiran modern. Hak-hak wanita, yang banyak disusung oleh budaya modern dengan kesadaran gender, banyak diungkapkan dalam novel ini dan menjadi sisi perjuangannya seperti berwawasan luas dan mandiri. Didalamnya juga banyak memperkenalkan masalah-masalah baru tentang benturan kebudayaan antara barat dan timur serta masalah agama.
Tata bahasanya klasik. Meskipun membuat pembaca lumayan lama membacanya karena tata bahasa yang masih menggunakan bahasa lama, tapi justru bahasa yang klasik itulah yang membuat kita menikmatinya. Pesan moral yang dibawakan ialah tentang prinsip hidup. “Sebagai seorang manusia, kita harus berpegang teguh pada prinsip hidup apapun keadaannya.” Itu prinsip dari seorang Tuti.
Penggambaran latar tahun dengan deskripsi beberapa tokoh di dalamnya. Tahun 1900an dan para tokoh sekolah di sekolah Belanda, tapi kenapa tidak ada tokoh Belanda? Tuti kan orang yg dididik di sekolah Belanda, tentunya ada alasan kenapa ia jd se-modern itu pemikirannya. Proses kematian Maria tidak dijelaskan seperti apa. Proses kematiannya tragis. Tidak ada keluarga disisinya ketika ia mati.
Profile Image for Zacky Putra.
11 reviews
Want to read
December 5, 2019
Novel ini menceritakan tentang dua orang kakak beradik yang memiliki karakter sangat berbeda. Tuti, sang kakak, adalah seorang wanita yang sangat idealis. Ia juga anggota organisasi pergerakan wanita, Putri Sedar namanya. Tuti sering berorasi meneriakkan hak-hak wanita yang pada saat itu masih jauh dari unsur emansipasi. Apapun yang dilakukan olehnya harus berdasarkan pemikiran yang matang dan lugas, Tuti adalah seseorang yang sangat serius dan tegas.
Berbeda dengan Tuti, Maria, sang adik, adalah seorang wanita yang manis, ceria dan sangat keibuan. Ia juga sering mengambil keputusan berdasarkan perasaannya saja. Yang menurut Tuti, adalah tindakan ceroboh. Maria lebih perasa, lebih menyukai hal-hal feminim, seperti bunga dan novel-novel bertemakan cinta.
Saat sedang berekreasi untuk mengisi liburan di hari Minggu, mereka bertemu dengan Yusuf, seorang pemuda intelektual yang sedang menempuh pendidikannya sebagai dokter. Pertemuan di hari Minggu itu berlanjut hingga pada suatu pagi Yusuf yang sedang mengayuh sepeda menuju Sekolah Tabib Tinggi, tempatnya menempuh pendidikan dokter, bertemu dengan Maria yang juga sedang mengayuh sepeda menuju H.B.S. Carpentier, tempatnya menuntut ilmu. Sejak saat itu, mereka sering membuat janji untuk bertemu. Yusuf pun sering mengunjungi kediaman Maria dan Tuti untuk bertemu dengan Maria. Sampai akhirnya, Yusuf dan Maria saling jatuh cinta, hubungan mereka akhirnya semakin serius, hingga menjadi sepasang kekasih.
Hubungan Yusuf dan Maria juga mendapat lampu hijau dari R. Wiriaatmaja, ayah Maria. Hingga mereka memutuskan untuk bertunangan, hubungan mereka sangat harmonis. Melihat kemesraan antara Yusuf dan Maria, Tuti sebenarnya iri. Apalagi, mengingat pertunangannya dengan Hambali yang putus ditengah jalan. Namun tetap saja, ia tak mau memiliki kekasih apalagi suami jika tak sesuai dengan kriteria dan pilihan hatinya.
Suatu hari, Maria tiba-tiba terserang Malaria, suhu tubuhnya tak stabil. Ia juga sering memuntahkan darah. Keadaannya membuat Ayah dan Kakaknya khawatir, selain khawatir akan keadaannya, mereka juga khawatir jika Maria akan bernasib sama dengan Ibunya yang meninggal karena penyakit semacam itu.
Ditengah keadaan adiknya yang sedang memburuk itu, Tuti juga dibingungkan dengan perilaku Supomo, temannya yang mengajar di sekolah yang sama dengannya. Supomo menyatakan cintanya kepada Tuti, dan berniat untuk mempersuntingnya. Walaupun Tuti kagum kepadanya, namun ia tidak yakin untuk menerima permintaan Supomo. Akhirnya, Tuti memutuskan untuk menolak permintaan Supomo karena tidak ingin mengingkari prinsipnya. Ia juga tak ingin mengecewakan Supomo karena jika ia menerimanya, ia hanya menikah karena malu akan usianya yang sudah dua puluh tujuh tahun tetapi belum bersuami, bukan karena ia juga mencintai Supomo. Ia menjelaskan semuanya lewat surat, seperti Supomo yang juga menulis surat untuk meyakinkan Tuti akan pengakuan cintanya.
Keadaan Maria yang semakin memburuk mengharuskannya untuk menjalani rawat inap di Central Burgerlijk Ziekenhius di Pacet, Sindanglaya, Jawa Barat. Ayah, kakak, dan kekasihnya, bergantian untuk menjenguknya karena mereka semua masih sibuk dan tak mungkin meninggalkan aktifitasnya di Jakarta untuk menemaninya disana dalam waktu yang tidak bisa ditentukan.
Hingga tiba saatnya liburan bulan Desember, Tuti dan Yusuf berjanji untuk menjenguk Maria setiap hari dengan menginap di rumah saudaranya di Sindanglaya. Maria tentu sangat senang, walau malarianya belum hilang ditambah dengan tbc yang memperparah keadaannya.
Keadaannya yang semakin memburuk membuatnya selalu teringat akan kematian, ia merasa hidupnya sudah tak lama lagi. Hingga akhirnya, ia berpesan kepada Tuti dan Yusuf untuk hidup bersama dan saling mencintai. "Alangkah berbahagia saya rasanya di akhirat nanti, kalau saya tahu, bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini..." begitulah pesan terakhir dari Maria yang tertulis di halaman 150 buku ini.Firasat Maria benar-benar terjadi, ia meninggal dunia. Untuk menghormati Maria, Tuti dan Yusuf pun akhirnya memutuskan untuk menikah.
.
hubungan antara judul dan isi adalah dirasa kurang pas. karena bagi orang awam pengertian dari layang terkembang susah dijelaskan. apa lagi dari layar terkembang itu memiliki makna yang terpendam.
.
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan psikologi. karena, Novel yang berjudul layar terkembang karya St.Takdir Alisjhabana mengangkat kisah kehidupan dua orang gadis yang penuh lika-liku menjalani hidup. Di dalam cerita novel tersebut banyak mengangkat unsur psikologis tokoh-tokohnya atau konflik batin pada setiap tokohnya.
Yang melatar belakangi saya mengkaji novel sastra ini adalah selain ceritanya menarik untuk di baca, di dalamnya juga banyak di angkat mengenai proses bagaimana menjalani kehidupan serta konflik yang terjadi sepanjang cerita. Tokoh utama yang terdapat dalam cerita ini adalah seorang gadis bernama Tuti,ia mempunyai adik bernama Maria dan Ayahnya yang bernama R. Wiriatmaja,namun ibundanya telah tiada,karena terkena penyakit dan meninggal dunia dua yang lalu. Mereka asli orang Banten,namun sejak kecil mereka di boyong ayahnya untuk tinggal di Jakarta, mereka tinggal di jalan cidengweg, di ujung gang.
.
jika dimasa sekarang, sepasang adik kakak yang benar-benar saling dukung sangat susah untuk ditemukan. walaupun cara mengajak bermainnya agak berbeda dengan yang lain, namun didalamnya tersimpan melindungi mati-matian adiknya. (less)
Profile Image for Bening Tirta Muhammad.
100 reviews26 followers
December 22, 2019
Bahasa lama, syahdu benar. Terutama buat budak (yang paham) Melayu semacam saya.

Buku ini bercerita tentang gambaran layaknya jodoh bertemu. Pergolakan hati yang mengembang, memekat, dan diselesaikan dengan seinsaf-insafnya.

Buku ini juga bercerita tentang hakikat wanita, kesimbangan hidup yang serius dan yang permai meneduhkan.

Singgahilah buku ini! :)
Profile Image for Chicha.
29 reviews39 followers
December 29, 2007
Aduh mak...
dimana lagi cari koleksinya? sudah diterbitkan lagi apa belum ya..
waktu gue SMP nich gue bacanya waktu itu jadi wajib baca saat pelajaran bhs indonesia. sekarang gue pengin punya bisa dibeli dimana ye...
chicha
Profile Image for Kristian Adi nugroho.
9 reviews
December 4, 2016
Salah satu karya legendaris angkatan Pujangga Baru, karya sastra bacaan wajib waktu sekolah.
Meskipun dari sisi alur dan tata bahasa sangatlah oldschool, tapi pesannya masih relevan sampai saat ini mengenai pilihan hidup.
Profile Image for Afdhaliya.
5 reviews10 followers
November 7, 2007
Baca buku ini waktu jaman SMP, minjam dari nyokap yang juga minjam dari perpusda :D

ceritanya..?!?! wah, udah rada2 ga ingat :D
Profile Image for Wina S. Albert.
164 reviews2 followers
October 15, 2024
Layar Terkembang menggambarkan sistem patriarki yang mendominasi kehidupan perempuan di Indonesia pada awal abad ke-20. Novel ini mencerminkan bagaimana norma dan nilai-nilai patriarkal membentuk harapan dan perilaku perempuan, di mana laki-laki diharapkan menjadi pemimpin dan perempuan diharapkan untuk tunduk.

Melalui karakter Tuti, penulis menyoroti absurditas dari norma-norma ini. Tuti, yang berpendidikan dan berambisi, sering kali terjebak dalam harapan untuk menjadi sosok yang ideal sebagai perempuan: mengurus rumah tangga, menjaga kehormatan keluarga, dan tetap patuh. Penulis menunjukkan betapa beratnya beban yang harus dipikul oleh perempuan, seolah mereka tidak boleh memiliki ambisi di luar peran tradisional.

Penulis menggunakan ironi untuk menggambarkan bagaimana masyarakat memandang perempuan. Meskipun Tuti berusaha keras untuk membuktikan kemampuannya, dia tetap dihadapkan pada penilaian masyarakat yang lebih mengutamakan penampilan dan sifat feminin. Maria, yang lebih lugu dan ceria, menjadi simbol bagaimana masyarakat mengagumi perempuan yang tidak terlalu berpikir kritis.

Melalui dialog dan interaksi antara karakter, penulis menciptakan situasi yang menunjukkan absurditas pandangan patriarkal. Misalnya, saat Tuti berusaha menjelaskan pentingnya pendidikan bagi perempuan, sering kali dia diabaikan atau dianggap tidak relevan. Hal ini menggambarkan betapa masyarakat lebih menghargai perempuan yang "mengetahui tempatnya" daripada mereka yang berani berjuang untuk hak-hak mereka.

Dalam novel ini, penulis menggambarkan konflik antara cita-cita individu perempuan dan harapan tradisional yang dikehendaki oleh masyarakat. Tuti berjuang untuk menjadi suara perubahan, tetapi harus menghadapi ejekan dan skeptisisme dari lingkungan sekitarnya. Penulis menunjukkan betapa sulitnya untuk melawan norma yang telah mengakar kuat, seakan setiap usaha untuk mengubah status quo selalu dihadapkan pada tembok ketidakpahaman dan penolakan.

Ketika Tuti berusaha untuk mengekspresikan pendapatnya di hadapan ayahnya, yang memiliki pandangan konservatif, penulis menyajikan momen-momen yang penuh ironi. Dialog yang tampaknya serius sering kali berakhir dengan kejenakaan, menunjukkan betapa absurdnya ekspektasi yang dibebankan kepada perempuan.

Karakter laki-laki, seperti Yusuf, meskipun lebih progresif, tetap terjebak dalam pandangan tradisional yang mengharapkan perempuan untuk bersikap lembut dan patuh. Dialog antara Tuti dan Yusuf mencerminkan ketidakpahaman yang mendalam mengenai perasaan dan ambisi perempuan, seolah mereka hanya ada untuk mengisi peran tertentu dalam narasi laki-laki.

Layar Terkembang menggambarkan realitas patriarki yang mengekang perempuan dan mengolok norma-norma sosial yang kaku. Sutan Sjahrir berhasil menunjukkan absurditas dan ironi dari sistem ini, sambil tetap memberikan suara kepada karakter perempuan yang berjuang untuk kebebasan dan hak-hak mereka. Novel ini bukan hanya kritik terhadap patriarki, tetapi juga sebuah undangan untuk merenungkan dan menantang struktur sosial yang masih ada hingga kini.
Profile Image for Nurila.
27 reviews35 followers
October 30, 2017
Ada rasa sesal kenapa baru membaca novel ini. Novel yang pernah jadi bacaan sastra wajib kala SMP dan SMA dahulu kan?
.
Aku memahami kenapa jadi bacaan wajib. Ya memang kalian juga harus dan wajib baca buku klasik satu ini.
.
Kisah dimulai Ketika Tuti dan Maria kedua saudara itu, berjalan-jalan di gedung akuarium pasar ikan di Jakarta. Latar dari cerita ini tahun 1900-an dengan kedua tokoh bersekolah di sekolah Belanda. Perjalanan mereka mengantarkan mereka bertemu kepada seorang laki-laki mahasiswa kedokteran juga yang aktif dalam organisasi kepemudaan. Ialah Yusuf. yang karena pertemuan itu mengantarkan pula kepada takdir mereka bertiga.
.
Mereka semakin akrab. Apalagi Maria dengan Yusuf yang menjadikannya sepasang kekasih. Tapi banyak hal yang terlewati saat keduanya menjalin hubungan. Membuat Yusuf harus menerima Tuti setelahnya. Kenapa? kok bisa? bagaimana dengan Maria? baca sendiri :p wkwk JK guys.
.
Aku terlampau cukup lama membaca buku ini karena bahasa yang digunakan adalah bahasa klasik. Lama untuk memahami dan menangkap apa yang dimaksudkan. Meski demikian, buku tipis yang biasa kubabat sehari ini berbeda. Ia klasik tapi pesannya modern.
.
Apalagi seorang Tuti yang juga aktivis yang memperjuangkan hak kaum perempuan. Bagaimana ia membela perempuan dan menyemarakkan hak perempuan. Ini juga berkisah tentang bagaimana seorang perempuan yang memiliki tekad kuat serta berjuang untuk meraih cita-cita dan haknya. Seorang Maria yang berpikir modern juga menambaah kesan meski tidak ada alasan bagaimana ia bisa berpikir modern di jaman itu.
.
over all, kalian bisa menemukan banyak hal di sini. persaudaraan, kekasih, perjuangan dan impian. serta bagaimana perempuan berprinsip dalam hidup untuk kehidupannya yang kuat.
.
"Sekalian pujaan itu data nafsu belaka dan hanya mungkin terjadi pada mereka yang tidada bertujuan hidup"
Profile Image for juwitaju.
37 reviews5 followers
April 28, 2020
Sampe bingung gais mau nulis apa hehehe *speecless*

Menantang diri sendiri membaca karya yang ejaannya bener-bener masi lamaa bgt. Tapi menjenangkan dan djadi media beladjar :>

Layar Terkembang. Kalau dari patternnya, pas awal baca bisa ketebak. Tapi begitu masuk jalan cerita, nggak begitu kentara endingnya bakal gimana. Full of surprises dan ada aja hal-hal yang keluar masuk yang jadi konflik-konflik kecil, meskipun konfliknya ga bisa dipertanggung jawabkan selama sepanjang cerita.

Kisahnya seputar tiga orang; Tuti si kakak, Maria si adeknya dan Jusuf. Sejauh halaman pertama sampai terakhir, tentu saja isinya merupakan dinamika ketiganya yang rapih sekali. Kayak ikutan hidup di daerah rumah mereka gitu. Karena emang roman sih. Konflik di dalamnya juga ga yang gede sampe bikin gigit jari gitu. Tapi enak sekali rasanya jadi ‘penyusup’ di jalan cerita mereka. Melihat mereka berantem, jatuh cinta, saling ragu, berjuang, dan lainnya.

Kalau dari suatu karya lain Syahbana yang cenderung ‘memingit’ tokoh perempuannya, ini beda banget. Yang menarik sekali dari cerita ini adalah tokoh Tuti; powernya luar biasa. Penggambaran yang diciptakan oleh Syahbana di tokoh Tuti yang kuat dan powerfull banget terutama dalam segi martabat perempuan.... bener-bener mantap. Padahal di era itu perempuan cenderung ‘terkungkung’ pada kebiasaan dan adat yang berlaku. Tuti secara eksplisit memang digambarkan menentang itu semua sih. Kalo udah bahas dia berasa bgt feel women-powernya. Walaupun kadang ga jarang di beberapa bagian jatohnya jadi kayak ‘nyebelin banget si u’. Kok nyebelin? Coba deh, rasain sebelnya sama sensasi kekeraskepalaannya Tuti.
Profile Image for Umiiild.
12 reviews1 follower
August 25, 2023
LAYAR TERKEMBANG
_________________________
Oleh: Sutan Takdir Alisjahbana
🏷️ : Balai Pustaka
📃 : 208 Halaman
🔎 : Ipusnas


_________________________

" Sampai sekarang, sampai saat ini dalam anggapan bangsa kita perempuan itu bukanlah manusia yang mempunyai hidup sendiri. Hidupnya adalah sebagian daripada hidup laki-laki" hal. 45

Membaca buku menaikkan rasa emosionalku setinggi tingginya. Dimulai dari 3 karakter utama yang sudah kutebak akan menjadi peran terpenting dalam cerita ini.
Aku sangat menyukai karakter Maria yang membuatku beberapa kali tersenyum didalam cerita ini.
Karakter Tuti disini sangat kuat, berpendirian, serta keras kepala. Namun menurutku pribadi, buku ini seperti pencaharian jati diri bagi Tuti.
Tuti memiliki pergerakan kuat yang membuat dia terjerembab didalam pikirannya sendiri yang lalu membawa kita ke seluruh isi cerita.
Latar belakang cerita ini diambil sekitar tahun 30an, dengan nuansa alamayah yang permai, bahasa nan lembut serta pekerti yang khas.
Diambil dari sisi menengah atas, membuat cerita ini semakin menarik karna kita menjadi tahu bagaimana perjuangan mereka dalam bergerak untuk kemandirian bangsa terutama perempuan.
Bahasa yang digunakan pun bahasa Melayu yang dimana membuat isi cerita ini semakin syahdu terbaca olehku.
Aku terhipnotis sehingga kurang lebih butuh 3 hari untuk dapat menghabiskan buku yang tidak terlalu tebal ini.

__________________________
Untuk buku ini, aku beri rating 4/5

Novel ini, direkomendasikan
Profile Image for Syndi Siahaan.
128 reviews4 followers
September 2, 2018
Layar Terkembang tells a story about two siblings with different character. Tuti is a bold woman who held tightly to her thoughts and principles. Maria is a cheerful and romantic woman. They mey Yusuf one day and Yusuf and Maria fell in love with each other. They were soon engaged. However, Maria had malaria and TBC, and she fell very ill. Due to constant visiting, Yusuf and Tuti became closer and appreciate each other. Before her death, Maria left a message for her fiance and her sister to get married to each other.

This story was made in the revolutionary era in Indonesia. Tuti was described as a woman who fight for equalization in women at that time. She has a very strong opinion on how women should be treated. However, after seeing some real examples she realized that what she fought for was only words. Some women, whom she originally thought to be "weak" because they "gave" their dreams up to be with the men they love, have proven that equalization for women can be done in other ways than joining a political group.

It has been almost 20 years since I have read this story for the first time. The writing is very beautiful and clearly depict the situation at that time.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Alvi Tita Wijaya.
35 reviews
December 3, 2019
Terdapat dua saudara kakak beradik bernama Tuti dan Maria. Tuti adalah kakak dan Maria adalah adiknya. Pada hari Minggu mereka pergi melihat-lihat akuarium di Pasar Ikan. Tanpa diduga datanglah seorang lelaki bernama Yusuf. Lambat laun Yusuf mengambil hati Maria dan mereka berpacaran. Melihat adiknya yang berbahagia, terbesit rasa iri dalam hati Tuti kepada adiknya hingga menimbulkan pergolakan batin pada dirinya. Setelah merasa putus ada datanglah Supomo yang juga menyatakan cinta kepada Tuti. Namun ditolaklah oleh Tuti karena ia berfikir jika menerima Supomo karena rasa putus asanya bukan karena cinta.
Maria jatuh sakit. Ia mengidap malaria dan batuk berdarah. Lalu ia dibawa ke rumah sakit di Pacet. Disana penyakitnya tak kunjung membaik hingga sebelum ia meninggal ia berwasiat kepada kakak dan tunangannya untuk menikah. Awalnya Tuti dan Yusuf tidak terima dan menyemangati Maria agar tetap bersemangat untuk sembuh. Namun takdir berkata lain. Maria pun wafat. Setelahnya, Tuti dan Yusuf pun melaksanakan amanah dari Maria. Lima hari sebelum mereka menikah, mereka menyempatkan diri untuk menyambangi makam Maria.
Profile Image for Willy Akhdes.
Author 1 book17 followers
June 3, 2016

Membaca karya-karya klasik angkatan Balai Pustaka dan salah satunya karya-karya St. Takdir Alisyahbana selalu membawa pikiran melayang jauh ke masa setting cerita pada zaman sebelum Indonesia merdeka dahulu. Disajikan dengan tata bahasa Indonesia-melayu lama yang selalu menggugah dan indah membuat saya terbuai dan tak mau berhenti membacanya.

SINOPSIS

Cerita mengenai 2 orang dara bersaudara Tuti dan Maria. Tuti adalah putri sulung Raden Wiriatmadja. Dia dikenal sebagai seorang gadis yang pendiam teguh dan aktif dalam berbagai kegiatan organisasi wanita. Watak Tuti yang selalu serius dan cenderung pendiam sangat berbeda dengan adiknya Maria. Ia seorang gadis yang lincah dan periang.
Suatu hari, keduanya pergi ke pasar ikan. Ketika sedang asyik melihat-lihat akuarium, mereka bertemu dengan seorang pemuda. Pertemuan itu berlanjut dengan perkenalan. Pemuda itu bernama Yusuf, seorang Mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta. Ayahnya adalah Demang Munaf, tinggal di Martapura, Sumatra Selatan.
Perkenalan yang tiba-tiba itu menjadi semakin akrab dengan diantarnya Tuti dan Maria pulang. Bagi yusuf, perteman itu ternyata berkesan cukup mendalam. Ia selalu teringat kepada kedua gadis itu, dan terutama Maria. Kepada gadis lincah inilah perhatian Yusuf lebih banyak tertumpah. Menurutnya wajah Maria yang cerah dan berseri-seri serta bibirnya yang selalu tersenyum itu, memancarkan semangat hidup yang dinamis.
Esok harinya, ketika Yusuf pergi ke sekolah, tanpa disangka-sangka ia bertemu lagi dengan Tuti dan Maria di depan Hotel Des Indes. Yusuf pun kemudian dengan senang hati menemani keduanya berjalan-jalan. Cukup hangat mereka bercakap-cakap mengenai berbagai hal.
Sejak itu, pertemuan antara Yusuf dan Maria berlangsung lebih kerap. Sementara itu Tuti dan ayahnya melihat hubungan kedua remaja itu tampak sudah bukan lagi hubungan persahabatan biasa.
Tuti sendiri terus disibuki oleh berbagai kegiatannya. Dalam kongres Putri Sedar yang berlangsung di Jakarta, ia sempat berpidato yang isinya membicarakan emansipasi wanita. Suatu petunjuk yang memperlihatkan cita-cita Tuti untuk memajukan kaumnya.
Pada masa liburan, Yusuf pulang ke rumah orang tuanya di Martapura. Sesungguhnya ia bermaksud menghabiskan masa liburannya bersama keindahan tanah leluhurnya, namun ternyata ia tak dapat menghilangkan rasa rindunya kepada Maria. Dalam keadaan demikian, datang pula kartu pos dari Maria yang justru membuatnya makin diserbu rindu. Berikutnya, surat Maria datang lagi. Kali ini mengabarkan perihal perjalannya bersama Rukamah, saudara sepupunya yang tinggal di Bandung. Setelah membaca surat itu, Yusuf memutuskan untuk kembali ke Jakarta, kemudian menyusul sang kekasih ke Bandung. Setelah mendapat restu ibunya, pemuda itu pun segera meninggalkan Martapura.
Kedatangan Yusuf tentu saja disambut hangat oleh Maria dan Tuti. Kedua sejoli itu pun melepas rindu masing-masing dengan berjalan-jalan di sekitar air terjun di Dago. Dalam kesempatan itulah, Yusuf menyatakan cintanya kepada Maria.
Sementara hari-hari Maria penuh dengan kehangatan bersama Yusuf, Tuti sendiri lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca buku. Sesungguhpun demikian pikiran Tuti tidak urung diganggu oleh keinginannya untuk merasakan kemesraan cinta. Ingat pula ia pada teman sejawatnya, Supomo. Lelaki itu pernah mengirimkan surat cintanya kepada Tuti.
Ketika Maria mendadak terkena demam malaria, Tuti menjaganya dengan sabar. Saat itulah tiba adik Supomo yang ternyata disuruh Supomo untuk meminta jawaban Tuti perihal keinginannya untuk menjalin cinta dengannya. Sesungguhpun gadis itu sebenarnya sedang merindukan cinta kasih seorang, Supomo dipandangnya sebagai bukan lelaki idamannya. Maka segera ia menulis surat penolakannya.
Sementara itu, keadaan Maria makin bertambah parah. Kemudian diputuskan untuk merawatnya di rumah sakit. Ternyata menurut keterangan dokter, Maria mengidap penyakit TBC. Dokter yang merawatnya menyarankan agar Maria dibawa ke rumah sakit TBC di Pacet, Sindanglaya Jawa Barat. Perawatan terhadap Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun keadaannya tidak juga mengalami perubahan. Lebih daripada itu, Maria mulai merasakan kondisi kesehatan yang makin lemah. Tampaknya ia sudah pasrah menerima kenyataan.
Pada suatu kesempatan, disaat Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna dan Saleh di Sindanglaya, disitulah mata Tuti mulai terbuka dalam memandang kehidupan di pedesaan. Kehidupan suami istri yang melewati hari-harinya dengan bercocok tanam itu, ternyata juga mampu membimbing masyarakat sekitarnya menjadi sadar akan pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut benar-benar telah menggugah alam pikiran Tuti. Ia menyadari bahwa kehidupan mulia, mengabdi kepada masyarakat tidak hanya dapat dilakukan di kota atau dalam kegiatan-kegiatan organisasi, sebagaimana yang selama ini ia lakukan, tetapi juga di desa atau di masyarakat mana pun, pengabdian itu dapat dilakukan.
Sejalan dengan keadaan hubungan Yusuf dan Tuti yang belakangan ini tampak makin akrab, kondisi kesehatan Maria sendiri justru kian mengkhawatirkan. Dokter yang merawatnya pun rupanya sudah tak dapat berbuat lebih banyak lagi. Kemudian setelah Maria sempat berpesan kepada Tuti dan Yusuf agar keduanya tetap bersatu dan menjalin hubungan rumah tangga, Maria menghembuskan napasnya yang terakhir. “Alangkah bahagianya saya di akhirat nanti, kalau saya tahu, bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini. Inilah permintaan saya, saya tidak rela selama-lamanya kalau kakandaku masing-masing mencari peruntungan pada orang lain”. Demikianlah pesan terakhir almarhum Maria. Lalu sesuai dengan pesan tersebut Yusuf dan Tuti akhirnya tidak dapat berbuat lain, kecuali melangsungkan perkawinan karena cinta keduanya memang sudah tumbuh bersemi.
This entire review has been hidden because of spoilers.
35 reviews1 follower
December 4, 2019
Alur yang ditulis sudah runtut mulai dari pengenalan,klimaks,antiklimaks,hingga penyelesaian. Cerita uang disuguhkan kepada pembaca sangat menarik. Isi dari bahasanya tersirat kata-kata yang penuh makna. Selain itu, banyak berisi nilai estetika atau moral yang sangat mendidik. Namun, bahasa yang digunakan susah dimengerti karena banyak menggunakan bahasa Melayu. Pemilihan kata-kata yang ada di dalam naskah kurang efektif. Tatanan kalimatnya tidak efektif.

Setelah membaca buku ini kita mendapatkan banyak pengetahuan baru. Buku ini memberikan banyak inspirasi dan membuka mata kita tentang kegigihan dalam berjuang yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Buku ini harus direvisi ulang tatanan bahasanya sesuai EYD terbaru saat ini. Sehingga menarik minat para pembaca khususnya para remaja dengan isi novel Layar Terkembang.
Profile Image for Karim Nas.
Author 2 books29 followers
August 25, 2022
Imagine a novel that brings forward the notions of gender equality, female empowerment, & equal partnership between spouses. It would be very easy to imagine such book in the modern liberal era.

Now imagine that this book was written by a native author in a land occupied by foreign European power, by a traditionally muslim male in the 1930's, nearly a hundred years ago.

I don't think it is an exaggeration if I say this book was way ahead of its time. A progressive & modernist masterpiece that contributed to the development of young nation. Sutan Takdir Alisyahbana was truly a literary giant and a national treasure. This book must be taught at schools, it must become a mandatory reading for all school students, it must be part of our national identity,... if we want this nation to be great.

An iconic work.
Displaying 1 - 30 of 151 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.