Ada surat-surat yang takkan pernah dikirim. Ada surat-surat yang telah dikirim dan mungkin tak pernah dibaca penerimanya.
Hidup mengajari Sylvia tentang obsesi. Persahabatan mengajarinya tentang masalah. Dan Sylvia yakin semua orang bisa diselamatkan dari masalah hidup mereka.
Hingga ia bertemu dengan Anggara, yang mengajarinya tentang cinta yang melepaskan ikatan. Dan untuk pertama kalinya Sylvia menyadari bahwa ia tidak bisa menjadi penyelamat semua orang.
Terkadang peraturan keselamatan tidak lagi berlaku ketika berkaitan dengan obsesi dan cinta.
Seorang pecinta kucing yang suka penasaran. Senang menghabiskan waktu dengan mengamati segala hal sambil mendengarkan musik country nonstop. Cita-cita terbesarnya adalah membangun animal shelter dan pergi ke Mars.
Pertama kali saya selesai baca soft copy novel ini, saya ingat, adalah akhir Januari 2013, ketika saya lagi liburan.
Saya masih ingat perasaan saya waktu selesai baca. Terdiam, terpaku, spaneng seperti yang orang normal lakukan usai melihat/membaca/menonton sesuatu yang tragis. Perasaan serupa juga saya rasakan ketika selesai membaca novel ini--kali ini dalam bentuk buku terbitan--satu setengah jam lalu, di commuter line Jabodetabek. Padahal ceritanya tidak berbeda, tetap saja efeknya sama.
Semakin menua saya semakin sering cepat lupa sama cerita yang saya baca, tapi Sylvia's Letters adalah salah satu novel yang ceritanya saya ingat secara detail.
Dan cerita apa yang lebih hebat daripada yang meninggalkan kesan mendalam bagi pembacanya?
***
Sylvia's Letters bercerita tentang Sylvia, seorang gadis enam belas tahun yang lebih dewasa daripada gadis-gadis seusianya dari segi pola pikir. Dia selalu berusaha menjadi penyelamat teman-temannya, ikut kepikiran masalah-masalah mereka. Tapi pada akhirnya dia tetaplah remaja biasa yang jatuh cinta dan tidak bisa menolak untuk menjadi egois dengan tenggelam dalam masalahnya sendiri.
***
Saya begitu tersanjung saat Zen-san Miranda meminta saya menjadi salah satu pembaca pertama untuk novel ini. Pada halaman-halaman awal, dahi saya agak mengernyit. Saya kenal tulisan-tulisan Miranda dan saya tidak menyangka cerita remaja adalah pilihannya dalam menulis novel. Tapi di sisi lain, novel ini terasa Miranda banget. Terutama dari segi kedalaman pikirannya, kontemplasinya, cara Sylvia memandang kehidupan.
Ini novel remaja yang sangat langka ditemukan di Indonesia karena sentuhan baratnya kerasa banget, mulai dari cara penulisan sampai bahasa bakunya. Makanya saya senang banget GPU menerbitkannya. Penerbit lain belum tentu, karena tema ini agak "ekstrem" dan gaya bahasanya yang filosofis-kontemplatif memang cuma cocok sama GPU. XD
Waktu saya buka lagi komentar saya untuk draft awal novel ini, saya merasa agak malu karena komentar itu terkesan sangat kejam dan judging dan childish. Zen-san, maafkan sayaaaa! Jadi, kini saya akan memberikan komentar untuk versi final ini, dengan anggapan saya baru pertama kali membaca.
1. Miranda berhasil menulis seluruh novel dalam bentuk surat. Tadinya saya sempat meragukan, tapi ternyata dia berhasil. Plotnya tetap jalan dan perkembangan karakternya sangat terasa. Jenis suratnya pun bermacam-macam sehingga tidak membosankan.
2. Alurnya tidak lambat, melainkan bergerak dengan kecepatan konstan yang temponya tidak cepat tapi tetap enak dinikmati. Tidak menyentak-nyentak naik turun. Cocok bagi penyuka kestabilan yang rapi. Flowing-nya asyik, mengalir.
3. Karakterisasinya. Saya sukaaa banget. Sylvia dkk sangat "remaja", dari segi permasalahan hidup dll. Tapi mereka bukan seperti kebanyakan remaja. Mereka semua memorable. Saya sulit membayangkan remaja Indonesia berdiskusi mendalam tentang kehidupan, alam semesta dan pengenalan diri, tapi Miranda membuat itu menjadi masuk akal di tangan Sylvia dkk.
4. Dan hal tersebut didukung oleh gaya penulisannya. Saya selalu merasa kebanyakan novel Indonesia masih berorientasi adegan (saya sendiri kalau menulis juga begitu zzz), bukan kontemplasi dalam narasi (hal ini pernah saya sebut di review saya untuk novel lain). Miranda meluluhkan pemikiran itu lewat novelnya ini. Gaya bahasanya kontemplatif tapi menyenangkan dibaca. Bagi mereka yang nggak suka ribet mungkin bakal bosan, tapi secara umum bisa dibilang gaya ini sangat fresh di khazanah fiksi remaja Indonesia.
5. Apalagi dialog-dialognya semua ber-"aku kamu" dengan bahasa yang relatif baku tapi tidak asing untuk dilafalkan. Novel remaja bukan cuma lo-gue doang, kaliii. Stereotype "aku-kamu" cuma untuk pacaran itu bagi saya nggak banget, jadi saya suka sekali penggunaan kata ganti itu di sini.
6. Ceritanya. Ah... saya nggak tahu bagaimana mengungkapkannya. Anda tentu paham maksud dari "ide boleh pasaran, yang penting cara eksekusinya"? Nah, novel ini TIDAK demikian. Ide tentang remaja anoreksia itu belum pernah saya temukan di novel remaja Indonesia manapun. Dan cara eksekusi ide itu luar biasa. Jadi novel ini dobel-jekpot lah, istilahnya. Ide unik, eksekusi unik.
***
Sebagai penggemar berat novel-novel Jostein Gaarder, saya senang sekali ada novel semacam itu di Indonesia--dengan setting lokal dan tokoh-tokoh lokal, tapi kaya makna dan pelajaran. Singkatnya, membuat kita merenungkan kehidupan. Ada sesuatu yang bisa diambil, direnungi, dipikirkan usai membaca ini.
Dan novel seperti itulah yang dibutuhkan remaja Indonesia sekarang.
Terima kasih karena membuat saya bertekad untuk menjaga kesehatan dan makan teratur. XD Menunggu novel-novelmu selanjutnya, Miranda. :)
Miranda Malonka Sylvia's Letters Gramedia Pustaka Utama 194 halaman 7.8
Dengan adanya kemajuan teknologi, novel epistolari sekarang enggak melulu ditulis dari surat. Dari surel, IM, catatan belanja, atau jurnal perjalanan, seperti yang Meg Cabot lakukan di serial Boys--yang sangat menginspirasi saya sampai saya pernah bikin epistolari serupa di sini--atau mungkin, yang sebetulnya enggan saya sebutkan, dari linimasa Twitter. Yang pasti adalah saya selalu suka dengan cerita epistolari karena saya bisa mengintip isi surat/surel/jurnal/catatan belanja/IM/linimasa Twitter dari karakter di cerita tersebut, membuat ceritanya akan terasa lebih intim dan personal.
Sylvia's Letters mungkin adalah buku yang paling lain dari lini young adult yang sudah terbit. Bukan hanya karena ditulis dalam bentuk epistolari, tetapi juga punya konflik yang paling kena dengan konflik young adult yang digadang-gadang punya konflik cerita yang lebih berat dan menggugah pemikiran pembacanya. Nggak ding, yang ini saya ngarang-ngarang aja wkwk. Tapi, setelah beberapa waktu yang lalu saya pernah ngomel-ngomel di sini soal konflik young adult yang bisa dibilang cimpi kaya Chiki (kalo kata temen-temen gaul saya), Sylvia's Letters yang bahkan karakternya masih SMA--hence, bikin batas young adult dan teenlit jadi kabur--bisa memberi konflik yang bahkan lebih berat daripada konflik yang dihadapi oleh sebagian orang-orang dewasa metropop.
Tapi sebelum saya memuji Sylvia's Letters--karena sisa review ke belakang kebanyakan isinya pujian--ada beberapa hal yang kurang saya suka dari Sylvia's Letters. Saya suka dengan teenlit "bule" karena banyak banget yang ngangkat tema yang "gelap", yang penting, tapi terkadang kebanyakan orang Indonesia lebih memilih tutup mata dan pura-pura menganggap kalau masalah remaja--seperti seks praremaja, narkoba, alkohol, bullying, bunuh diri, anoreksia dan bulimia, gangguan mental, sibling rivalry, berantem ama orang tua, ataupun remaja yang tiba-tiba dateng ke sekolah bawa senapan dan nembak teman-temannya--itu enggak ada. Sylvia's Letters tentu saja jadi buku yang penting karena tema yang diangkat sesuai dengan masalah remaja yang gelap seperti yang saya sebutin sebelumnya kalau saja semuanya enggak ditumplek plek jadi satu, kecuali masalah penembakan di sekolah--kecuali kalau adegan "penembakan" nyatakan cinta itu diitung. Oh God, sorry seharusnya saya enggak jadiin bahan bercandaan. Either way, semua masalah remaja yang ada di atas sana dijejerin satu-satu kayak saya disuapin terlalu banyak makanan di pesta mantenan prasmanan; saya mau nyoba bakso, sama pelayannya enggak cuman dikasih bakso, tapi dikasih cendol, sate kambing, es buah, steak wagyu, ama coca cola. Hasilnya adalah masalah-masalah remaja berat itu tadi jadi kerasa kayak oversimplifikasi dan kerasa kayak plot device aja. Seperti masalah: (yang ini beneran spoiler) . I know memang fokusnya lebih ke Sylvia dan masalah anoreksianya, tapi masalah yang dikurung spoiler itu tadi jatuhnya jadi plot device yang mengantarkan ke konflik . Enggak cuman jadi plot device aja, masalah yang bertubi-tubi tadi jadinya enggak selesai, seperti .
Tapi meski demikian, Sylvia's Letters masih jadi buku yang bagus. Surat-surat yang ditulis oleh Sylvia terasa intim dan penuh jiwa, meskipun saya kadang enggak suka kalau Sylvia udah mulai berkontemplasi dan pretensius. Sylvia karakter yang sangat quirky dan Malonka dengan bagus menuangkannya ke dalam surat-surat Sylvia. Konflik utamanya soal anoreksia juga sangat penting, karena memang betul remaja adalah masa-masa insecure (saya juga, sih, masih insecure sampai sekarang) yang bener-bener peduli banget apa kata orang, yang bener-bener enggak percaya diri sama dirinya sendiri, tapi juga terkadang remaja juga terlalu percaya diri sampai dia jatuh ke dalam masalah. Tapi dengan gaya epistolari ini, Malonka seakan-akan menuliskan pengalamannya secara intim mengenai jatuh cinta pertama kali, mengenai ketidakpercayadirian, mengenai anoreksia yang sangat dekat dengan dunia remaja, dan Sylvia mungkin jatuh ke dalam lubang, tetapi itu terjadi biar para pembacanya enggak mengalami apa yang Sylvia alami. Jalinan plotnya tersusun dengan rapi, dengan ending yang sangat memuaskan dan epilog yang bikin saya sedih dan termenung.
Sylvia's Letters jelas-jelas buku dari lini young adult terbaik yang pernah saya baca sejauh ini, by far. Buat saya, cerita epistolari by default, dapat empat bintang, dan meskipun saya enggak terlalu suka dengan konflik/masalah yang bertubi-tubi yang ada, saya tetap memberi buku ini empat bintang.
Waktu buka bungkus plastik buku ini dan berniat membaca ulang setelah pernah baca di perpustakaan daring, aku pikir akan menemukan cerita yang sama seperti yang terakhir kubaca. Ternyata aku salah. Aku memang mendapati prolog yang sama, jalinan cerita yang sama, konflik yang sama, tapi rasa yang diberikan buku cetak dengan ebook itu berbeza.
Dulu pas baca ebooknya, rasanya kayak first time kiss gitu. Emosi yang ditimbulkannya berantakan, meledak-ledak kayak kembang api, dan memori yang terukir setelah itu nggak bisa aku tata menjadi jalan cerita yang padu. Ketika melihat ulasanku terhadap buku ini di Goodreads, aku merasa malu, karena memang sekacau itu perasaanku setelah membaca buku ini (kayaknya aku memang kacau dari sananya).
Tapi sekarang, ketika aku membuka halaman demi halaman dengan niat menghirup aroma sedapnya (lho, kok gak dibaca, Git?) aku diajak melambat dan cari kursi empuk untuk menikmati aliran katanya. Kayaknya sudah tipikal tulisan Miranda Malonka selalu ngajak duduk yang ajek. Ikuti perjalanan hidup Sylvia yang tiba-tiba jatuh cinta sama cowok yang dia tonton dramanya di sekolah, obsesinya pada diet, dan masalah-masalah remaja lain di sekeliling dia. Dari mulai senioritas dan perebutan pacar yang konyol ke masalah kesehatan umum ke seks pranikah dan kehamilan remaja ke kesehatan mental dan percobaan bunuh diri. Ya ampun, suram banget novel ini, tapi cara berceritanya yang tenang itu menghanyutkan.
Sylvia ini tokoh yang dewasa dan kesadaran dirinya sangat tinggi buat anak seusia dia, tapi itu tetap nggak mencegah dia menjadi remaja yang salah jalur. Obsesi kurusnya mengingatkanku pada diriku sendiri waktu mulai puber. Aku ingat aku benci dadaku yang mulai mengembang dan pantatku membesar, nggak proporsional sama panjang kakiku. Aku merasa jadi bebek entok yang kakinya pendek tapi badannya gemuk. Tambah lagi keluargaku waktu itu suka mencela orang bertubuh gemuk dan adikku bahkan mengataiku kuda nil. Aku benci mukaku yang penuh jerawat dan pipiku yang sering dicubit teman karena "chubby". Aku benci pahaku yang besar dan penuh daging seperti paha babi. Aku benci harus pergi ke toko dekat rumah untuk beli pembalut, karena bakal dicap tante-tante dan bukan anak-anak lagi. Setiap melihat timbangan dan mendapati jarumnya bergeser ke kanan, aku melakukan segala cara supaya jarumnya geser ke kiri lagi, termasuk dengan cara berpuasa setiap hari (tanpa berbuka). Dan aku benar-benar suka menimbang berat badan waktu remaja itu, untuk tujuan yang salah. Aku jadi sering jatuh sakit dan nggak fokus sekolah. Untung aku masih dikasih kesempatan buat hidup, nggak kayak Sylvia (oke ini major spoiler).
Ketika membaca ulang novel ini dalam bentuk cetaknya, aku nggak lagi merasa menjadi penonton pertandingan sepak bola yang sok paling tahu, tapi menjadi pemain yang sama kesulitannya dengan tokoh utama. Aku mengamati detail-detail lain yang sebelum ini luput karena membacanya lewat layar ponsel. Aku jadi memahami bahwa terlepas dari yang digaung-gaungkan media, usia remaja tidak mudah dijalani, dengan dorongan hormon yang mengalir deras dan tuntutan sosial sebagai hewan primata yang tiada habisnya.
------- Warna yang muncul di mataku setelah membaca ini adalah putih, karena bacanya lagi gelep-gelep dan cuma layar HP-ku yang menyala, dan warna latarnya putih.
Maaf sinis, tapi kalau saja kumembaca versi fisik buku ini, sudah jelas bindingnya akan hancur dan halaman-halamannya koyak-moyak. Why? No, I don't answer 'why' questions. Untunglah aku membacanya lewat perangkat yang kusayang-sayang karena nggak kuat beli HP baru, jadinya akal sehatku menahan Hulk dalam diriku untuk tidak membanting HP.
Oke, cukup ngocehnya. Sekarang ke bukunya. Ini buku kedua karangan Miranda Malonka yang kubaca. Urutannya kebalik, karena aku baca Orbit Tiga Mimpi (2017) duluan baru Sylvia's Letters (2015) ini. Tapi dari perspektif Scarlet, ini malah jadi jawaban teka-teki kehidupan masa lalu Scarlet yang di Orbit Tiga Mimpi jadi temennya Kara.
Baca SL ini lebih jumpalitan dari OTM karena (rasanya kepingin numpahin serapah di sini) menyangkut mental illness. Semua tokohnya sinting, dengan derajat kesintingan yang berbeda-beda. Aku sempet ngira Andy sebenernya suka sama Sylvia, tapi karena nggak kesampaian makanya melampiaskan rasa sukanya ke Via (tapi ditikung junior, LOL). Isu persaingan saudara yang melanda Andy ini juga memberi inspirasi perbaikan untuk novel padpad norakku supaya sedikit berkurang noraknya.
Aku awalnya ngira Sylvia ini mengalami bulimia, tapi rupanya AN ya. Amit-amit. Aku udah picky banget sama makanan, semoga nggak jadi edan juga kayak Sylvia. Sampai cerita berakhir, tetap jadi misteri apa yang bikin Sylvia begitu terobsesi dengan gambaran yang ditampilkan cermin (yang tak disangka ternyata prolognya adalah core cerita ini, bangcad 😭). Mungkin dia cuma jatuh cinta and lost her mind, like Scarlet's sister lost her mind and did something stoopid. Tapi barangkali juga bibit obsesi itu sudah tumbuh sejak sebelum ia menonton drama kelasnya Gara, dan setelah itu baru tumbuh subur bagai diberi nutrisi AB mix (Git, jangan bawa-bawa kebunnya Sella please 😑).
Yang kusuka banget, surat yang ditulis Sylvia dan Gara buat pihak sirkus. Aku juga suka pemikiran bebasnya Gara, meskipun aku lebih related ke Layla sih.
Yang nggak kusuka, ini kematian-tokoh-utama kedua yang kudapatkan dari karya Mbak Miranda. Dan penyakitnya langsung akut di tengah-tengah cerita, walaupun dari awal tahu Sylvia terobsesi nurunin berat badan aku sudah punya firasat kalau ini bakal jadi masalah besar nanti. Aku tuh nggak suka kalau ada yang mati 😭😭😭
Penafsiran warna-warna Sylvia memang beda jauh dari penafsiranku, tapi aku jadi menebak-nebak apakah dia ini punya sinestesia dan apakah Aster di OTM juga punya jenis sinestesia yang sama, karena di awal juga sering membahas warna berdasarkan mood yang dirasakannya.
Astaga, ini review atau rant karena mood berantakan sehabis baca sih?
Aku gak suka sama gaya bercerita di novel ini. Aku kira gaya bercerita ala ala menulis surat itu cuma bakal memakan beberapa halaman awal. Sampai halaman 50-an aku masih berpikiran positif: mungkin sebentar lagi gaya berceritanya gak bakal seperti ini. Tapi, setelah mencapai halaman 100-an, aku nyerah dengan pikiran positif itu. Dan terbukti, sampai akhir cerita, gayanya emang seperti itu.
Gaya bercerita ala-ala menulis surat seperti ini, yang minim dialog, bukan cangkir tehku. Eh, tunggu, itu tergantung. Kalau di cerpen, aku suka gaya bercerita ala ala menulis surat. Kalau di novel, seperti yang ini, jatuhnya malah kayak curhat yang berkepanjangan (tebalnya 194 halaman, omong-omong). Dan gaya bercerita kayak gini menjadikan tempo ceritanya lambaaat bangeeet. Aku cukup menikmati 50 halaman pertama. Tapi, lama-kelamaan jadi bosan. Kayak dipaksa duduk untuk dengerin celotehan Sylvia tentang kehidupan remaja dewasanya yang pelik. Itu poin minus pertamanya, omong-omong.
Poin minus kedua: aku gak ngerasain chemistry antara Sylvia dan Gara (tiap baca nama Gara, aku langsung membayangkan cowok berambut merah dan ber-eye shadow tebal. Penikmat manga pasti tahu apa maksudku :D). Oke, aku emang suka adegan saat mereka ngabisin waktu bersama setelah sama-sama terlambat ke sekolah. Tapi, itu aja. Gak ada adegan istimewa lainnya setelah itu. Jadi, aku gak bisa empati pada Sylvia tentang perasaannya ke Gara. So sorry...
Poin minus ketiga: aku juga gak bisa empati pada Sylvia tentang penyakit anoreksia yang dideritanya. Aku gak bisa nangkep alasan dia diet mengerikan itu kenapa? Kalau di Perfection (novel tentang body image dan anoreksia yang aku baca tidak lama ini), aku bisa nangkep alasan tokoh utama melakukan diet mengerikan: karena dia diejek oleh teman-teman dan bahkan keluarganya sendiri. Tapi, Sylvia ini kenapa? Gak ada teman yang mengejeknya, malahan temannya bilang dia itu gak gendut. Orangtuanya juga biasa aja (bahkan cenderung "gak peduli". Akan kubahas ini nanti). Oke, Sylvia emang merasa dirinya gendut. Tapi, alasan itu gak cukup kuat buat aku. Atau, apakah penderita anoreksia emang bisa diet mengerikan kayak gitu meski tidak punya alasan yang kuat?
Poin minus keempat: orangtua Sylvia manaaaaaa? Ke mana mereka waktu Sylvia melakukan diet mengerikan yang menjadikan penampilannya juga mengerikan? Wong Scarlet, teman Sylvia, aja nyadar kalau Sylvia itu tampak mengerikan setelah diet. Masa orangtuanya gak nyadar? Masa orangtuanya gak bertanya-tanya? Masa orangtuanya gak peduli?
Oke, sekarang mari beranjak ke poin plusnya. Aku suka dengan beberapa pemikiran Sylvia di buku ini, tentang orang lain yang 'nyetir' kehidupan orang lain, tentang kita yang kadang terlalu peduli dengan kata orang lain, tentang hewan yang diperbudak, dsb.
Dua bintang, karena aku (1) gak bisa berempati terhadap cerita Sylvia dan (2) gak suka gaya bercerita buku ini. Lebih ke selera, sih. Mungkin kalian bakal menyukai buku ini. Who knows?
P.S (yang ditambahkan beberapa saat setelah review ini diunggah): dan setelah baca review-review di bawah, aku ngerasa beda sendiri. *perlahan-lahan melipir ke sudut tak terlihat*
Sylvia's Letter adalah buku yang rasanya sulit untuk ditutup. Cara pikir tokoh utamanya bener-bener bikin gue flashback ke masa lalu (cieee, gaya banget, padahal baru lulus SMA belum ada setahun, hahaha). Pemikiran Sylvia tentang keadaannya, tentang masalah orang-orang, bikin gue ngerasa kayak ngaca dan akhirnya sering ngomong dalam hati, "Dulu gue juga mikirnya gini." #eh
Baru kali ini sih baca buku yang si tokohnya bercerita lewat surat. Awalnya sempet sangsi, tapi lama-lama jadi ketagihan sendiri. Untuk buku setebal 200 halaman saja, rasanya udah cukup sih buat bikin gue mojok di kasur. Huhuhu.
Paling nyess bagian epilognya. Astaga. Astaga. Astaga.
*guling-guling di kasur*
Untuk Kak Miranda Malonka, ditunggu lagi karya-karyanya! :*
Sylvia, seorang gadis kelas 2 SMA, bisa dibilang terlalu dewasa untuk anak seusianya. Pemikirannya begitu kritis saat menghadapi permasalahan yang terjadi di sekelilingnya. Ia tampil untuk membantu teman-temannya memecahkan permasalahan kehidupan yang mendera mereka.
Sementara itu Sylvia sendiri, jatuh cinta dengan seseorang bernama Gara yang mencuri perhatiannya saat sedang melakukan pementasan drama kelasnya. Sejak saat itulah Sylvia sering mengamati anak lelaki itu diam-diam. Bahkan, ia mencurahkan perasaannya dengan menuliskan surat kepada Gara yang berisi tentang curahan hatinya tentang apa saja: baik itu tentang perasaannya yang menggebu-gebu, atau permasalahan yang dialami orang-orang di sekeliling Sylvia. Surat itu tidak akan pernah sampai, begitu kata Sylvia, sehingga ia bebas menuliskan apa saja yang sebenarnya ingin dibagikannya pada Gara.
Surat itu berisi pemikiran Sylvia, tentang permasalahan teman-temannya berkaitan dengan orangtua mereka, atau eksistensi mereka yang tidak dianggap. Sylvia juga menceritakan tentang bagaimana pada akhirnya ia bisa mengobrol dengan Gara dan memulai cerita baru tentang hubungan keduanya.
Selain menghadapi obsesinya pada Gara, Sylvia juga memiliki permasalahan kepercayaan diri yang begitu payah. Dia merasa bahwa dirinya gemuk, meskipun anggapan orang terhadapnya tidak demikian. Sylvia berupaya mati-matian untuk menurunkan berat badannya.
Bagaimana kelanjutan hubungan Sylvia dengan Gara? Apakah Sylvia bisa membantu menyelesaikan permasalahan teman-temannya dan menuntaskan misinya untuk menurunkan berat badan?
***
Harus saya akui bahwa untuk anak seumuran Sylvia, gadis ini terlalu dewasa. Namun, bukan berarti itu tidak mungkin. Becermin pada diri saya sendiri, saya pun merasakan bahwa saat diri saya seusia Sylvia, saya pun sudah mulai memikirkan hal-hal yang tidak dipikirkan oleh anak- anak seumuran saya. Bergabung dengan organisasi yang bergerak dalam bidang pengkaderan dan keumatan membuat masa remaja saya diisi dengan mengurusi permasalahan yang terjadi di sekeliling saya, bukan lagi sekadar mengurusi permasalahan pribadi yang biasa dialami saat beranjak dewasa. Bukan berarti saya kehilangan masa di mana diam-diam naksir orang, trus patah hati, naksir orang lagi, ditaksir orang yang "salah" hahaha. Makanya di usia dewasa, saya musti bayar utang perkembangan sepertinya makanya akhir-akhir ini jadi sering ngebocah, hahaha. Malah jadi curhat.
Tapi di sini yang mau saya sampaikan adalah, bahwa apa yang ada dalam isi kepala Sylvia, segelintir remaja ada yang memikirkannya. Tentang bagaimana Sylvia berpikir tentang kehidupan binatang-binatang yang dalam tanda kutip dieksploitasi manusia, tentang permasalahan remaja saat ini yang kita tidak boleh menutup mata untuk menyadarinya. Tentang hamil di luar nikah, anoreksia, percobaan bunuh diri, kurang perhatian dari orangtua, ah semoga ini bukan termasuk spoiler ya. Untuk berhasil menyelipkan banyak isu-isu ini (sehingga bisa menjadi gambaran dan pelajaran berharga untuk remaja yang barangkali mengalaminya), saya angkat topi untuk penulis.
Tentang gaya penulisan yang lain dari biasanya, saya tidak mempermasalahkannya, bahkan justru ini menjadi poin plus untuk buku ini. Novel pertama yang saya punya dulu (zaman SMP kalau nggak salah) malah bercerita dengan menggunakan diary. Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken bagian pertama bercerita dengan buku surat. Kalau yang seperti ini saya pernah membacanya juga di Surat Panjang Tentang Jarak (apalah itu saya lupa judulnya).
Jadi, buku ini sudah punya dua nilai plus di mata saya, meskipun terkadang masih ada hal-hal yang menurut saya kurang logis seperti misalnya tentang mengapa tidak ada yang menyadari apa yang dilakukan oleh Sylvia dengan obsesinya untuk menurunkan berat badannya. Selebihnya, saya suka, meskipun saya merasa ada kecanggungan di sini tentang apakah gaya menulis di novel ini harus menggunakan bahasa baku (yang kaku atau barangkali supaya menegaskan tentang pemikiran Sylvia yang kelewat dewasa) atau degan menggunakan bahasa sehari-hari yang fleksibel seperti jiwa muda anak SMA.
Jadi ingin baca novel lain karya penulis, apakah dengan cara penyampaian yang seperti kebanyakan (tidak lagi dengan surat) karyanya akan sama memikatnya dengan sekarang.
“Selalu menyakitkan melihatmu dari kejauhan tanpa bisa menggapai, tapi obsesiku terhadapmu terasa menyenangkan. Memberiku napas. Memberiku sepercik semangat hidup.” – halaman 36-37
Citarani Sylvia menulis surat-surat untuk mengungkapkan rasa sukanya kepada Anggara, seorang laki-laki yang dia lihat dalam sebuah pementasan drama sekolah. Dalam surat-suratnya, yang tidak pernah akan dikirimkan, Sylvi tidak hanya menulis tentang perasaan jatuh cintanya, tapi juga tentang teman-teman dekatnya dan masalah yang mereka hadapi. Ada Andy yang gila senioritas, lalu Lyla yang berusaha mandiri walaupun keluarganya sangat berada dan Scarlet yang mengkhawatirkan adiknya, Anye. Sylvi juga punya masalah pribadi yang dia simpan rapat-rapat. Dia ingin kurus dan rela tidak makan untuk berhari-hari.
---
Aku benar-benar menyesal telah memandang Sylvia's Letters dengan sebelah mata! Pikiranku sudah terkuras dan lumayan capek dengan cerita novel yang kuselesaikan sebelumnya. Tadinya aku berpikir untuk mengembalikan tanpa membacanya sama sekali. Tapi karena aku penasaran, aku baca satu halaman, berlanjut jadi bab dan akhirnya beres dalam beberapa jam saja. Rasa capek pun hilang, digantikan oleh kekaguman dan kepuasan. Jumlah halamannya memang cukup singkat tapi format surat dan email yang unik membuatnya lebih menarik dan gampang diikuti. Kategori yang dipakai, terkirim, tidak terkirim, dan terkirim tapi tidak dibaca penerima, menghasilkan makna tersendiri. Didukung dengan sudut pandang pertama, surat-surat itu jadi terasa lebih intim dan intens sehingga pesan yang disampaikan sangat kuat. Sangat cocok untuk para remaja yang bisa saja menghadapi masalah seperti Sylvi dan teman-temannya. Aku, yang hampir keluar zona young adult dan menuju new adult, ikut merasakan ‘tonjokan’ halus itu. Aku jadi memikirkan obsesi dan hobiku yang bisa merugikan di masa depan, misalnya kegilaanku pada makanan super pedas. Nafsu itu langsung anjlok! Setiap keinginan itu muncul kembali, aku menahan diri dengan mengingat apa yang menimpa para tokoh di akhir cerita dan itu berhasil. Aku jadi heran sendiri, kenapa selama ini aku menutup mata dengan semua penderitaan yang kurasakan akibat hobi itu? Lalu kenapa cerita itu lebih ampuh ‘mengobati’-ku dibandingkan ucapan orang-orang terdekatku? Itu bukti bahwa ceritanya benar-benar menyentuhku.
Benar saja. Topik-topik dalam buku ini terlalu campur-aduk dan membuat inti ceritanya bagai sayap-sayap laron yang menghambur tidak keruan. Dan latar waktu yang begitu membuat ceritanya seperti mengada-ada. Begitu lekas.
Namun akhir cerita yang melodramatis, membuat buku kategori remaja menuju dewasa ini sedikit lebih baik; sedikit bisa dikenang atau semacam itulah. Dan gaya penceritaan dengan surat, menambah poin tambahan buku ini. Bisalah dijadikan referensi mempelajari gaya penulisan.
Niatnya mau baca cerita yang ringan, tapi ternyata topik di buku ini cukup triggering Format penceritaannya unik, lewat surat gitu dan dalam satu surat kadang ngebahas hal yang concerning. Lumayan lah walaupun ending-nya ketebak.
Saya kirain Sylvia's Letters bakal semanis To All the Boys I've Loved Before nya Jenny Han. Gak taunya sih ini super dark ya...
Sylvia's Letters merupakan gambaran bagi banyak permasalahan real yang memang sungguh-sungguh dialami oleh banyak kaum dewasa muda diluar sana (saya juga masih muda kok, btw. hoho) yang sering kali terabaikan dan tak mendapat perhatian serius dari orang dewasa disekeliling kita.
Selama proses membaca novel ini, Sylvia seolah telah menjelma menjadi sosok sahabat baru bagi saya. Surat-surat yang ia tuliskan untuk Gara, sudah layaknya seperti sebuah diary milik teman sendiri yang isinya tak sengaja saya intip baca. Pada mulanya saya begitu terhanyut, dan mengira semuanya akan berjalan baik-baik saja sampai akhir, sama seperti Sylvia. Apalagi gaya bercerita kak Miranda dalam surat-surat yang ditulis untuk Gara terasa sangat mengena dan begitu intim. Membuat saya memahami betul bagaimana dalamnya perasaan Sylvia untuk Gara dan ikut jatuh cinta kepadanya.
Saya kagum pada pemikiran Sylvia yang begitu kritis dan peduli pada lingkungan sekitar serta berbagai problema yang tengah dihadapi oleh teman-temannya. Ya, Sylvia percaya semua orang bisa diselamatkan dari masalah hidup mereka. Namun, yang tak dirinya sendiri sadari adalah bahwa dia juga ternyata perlu untuk diselamatkan dari konflik pelik yang pelan-pelan menyeretnya jatuh pada jurang neraka bernama Anorexia Nervosa.
Pemicunya mungkin dimulai dari rasa sukanya pada Gara, Sylvia sangat insecure dengan bobot tubuhnya dan mulai terobsesi untuk berdiet, segalanya bertambah parah ketika Gara meninggalkannya ke luar negeri; yang akhirnya berujung pada penilaian-penilaian negatif akan dirinya sendiri yang semakin lama semakin menggerogotinya. Atau mungkin memang begitulah gangguan mental bekerja. Seseorang yang tadinya begitu ceria, yang begitu terlihat tidak punya permasalahan pun ternyata diam-diam menyimpan sekelumit pikiran gelap yang hanya bisa dimengerti olehnya. Tak membaginya bukan karena tak mau tapi barangkali hanya takut dihakimi. Kalau saja ada seseorang yang sedikit lebih memerhatikan, membuat Sylvia yakin untuk terbuka mengenai masalahnya, mungkin belum terlambat bagi dirinya mendapat pertolongan. Belum terlambat untuk 'kita' mendapat pertolongan. Saya lumayan terpukul dan sedih, malah sempet menitikan air mata segala saat membaca lembar-lembar terakhir dari Sylvia's Letters. Gak nyangka endingnya bakal begitu.
Huh, novel ini mendadak bikin saya jadi sentimental parah deh. Kisah Sylvia rasanya jadi amat personal sekali buat saya. Walaupun diam-diam saya senang juga akhirnya kesampaian baca cerita YA bertema berat yang memberikan banyak bahan renungan serta pemikiran mendalam untuk saya yang sejujurnya masih sering labil dan diam-diam selalu merasa insecure ini.
Saya merekomendasikan novel ini dibaca bukan hanya untuk para dewasa muda yang sedang mencari jati dirinya saja, tapi juga bagi para orang tua agar bisa lebih 'aware' akan masalah dan kondisi psikologis anak-anak mereka. Sungguh, masa remaja adalah masa yang sangat rentan. Bukan hanya karena pada masa itu terjadi perubahan emosi dari kanak-anak menuju kedewasaan semata. Lebih dari itu, pada tahap ini segalanya mungkin bisa menjadi buruk atau menjadi lebih baik. Berubah suram ataupun sebening kristal.
Oke, ini sebuah pengakuan: saya senang menulis surat untuk diri saya sendiri. Setiap saya berulang tahun, saya akan membaca surat yang saya tulis tahun lalu.
Bagaimana, Aul? Sudah selesai menulis tentang novel yang kamu ingin tulis sejak SMA itu? Apa kamu sudah memberitahu orang tentang ide kamu? Apa kamu sudah membiarkan orang-orang membaca tulisan kamu?
Apa kamu masih mengeluh tentang kuliah?
Dan ini yang paling penting, Aul, apa kamu sudah bisa memaafkannya?
/JEGER
/Jadi curhat
Yah intinya saya gak nyesel kok beli buku ini. Surat-surat Sylvia terasa dalam dan personal bagi saya, mengingatkan saya akan Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya. Review lengkap... kapan-kapan. *ngambil sapu buat bebersih blog* *BTW hari di saat saya menulis ini adalah ultah BBI, dan saya menulis surat untuk bebi karena kurang-lebih terinspirasi novel ini*
Pernah menonton film dan sepanjang menonton itu kamu tak henti meng-capture adegan yang quotable? Pernah mendengarkan lagu baru sekali tapi langsung merasa kalau penyanyinya menyuarakan isi hati kamu?
Sylvia's Letters ibarat film atau lagu itu bagi saya. Semua pendapat Sylvia--atau lebih mungkin pengarangnya--saya amini. Di atas kertas, kami adalah jodoh yang tepat karena saling memahami. Saya langsung bisa masuk dalam pandangan Sylvia akan cinta, sayang, mimpi, jati diri, masa depan, kebahagiaan, dan norma. Bagian-bagian pertama berlalu dengan lancar. Dan ketika waktunya saya berpikir, 'Kalau begini terus, bakal membosankan.' ternyata malah diberi kejutan lain sehingga lanjut baca. Oh, saya sangat suka formatnya. Saya sangat terbuka dengan format bercerita. Surat, surel, resep dokter, apa pun itu. Isinya begitu kaya dan menggambarkan.
Celakanya, saya jadi menginginkan lebih. Tidak mungkin ini hanya diceritakan segitu saja. Seperti ada yang hilang di tengah kisah. Saya ingin merasakan obsesi Sylvia, deg-degannya ketika bertemu Gara, jalinan persahabatannya dengan Scarlet dan saat mereka melalui masa sulit dengan lebih kuat. Padahal utarakan saja semua, toh suratnya berbentuk diari dan amat personal.
Sebetulnya Sylvia sangat berpotensi dijadikan unreliable narrator. Mengecoh kami yang membaca, terutama tentang penampilan dirinya, dan bum, yang sebenarnya pun terungkap menjelang akhir. Yang saya kurang nikmati adalah absennya peran keluarga Sylvia sendiri padahal masalahnya parah. Omong-omong soal masalah, terlalu banyak dan beragamnya masalah di sini--Andy, Layla, Scarlet, Anye (sepertinya Gara adem ayem saja ya, atau Sylvia belum dapat info soal keluarganya?)--membuat seolah penyelesainnya belum tuntas, dan tampak tinggal diserahkan pada psikiater atau dokter.
Intinya sih, ceritanya kurang panjang sedikit.
Untuk alasan mengapa Sylvia melakukan 'itu'--saya pikir tidak usah dijelaskan justru tidak apa-apa, karena ini mengambil sudut pandang Sylvia yang terbutakan obsesinya sendiri. Dan dari suratnya yang mampu membedah penyebab sikap senioritas Andy sampai selengkap itu, mungkin ini yang mau disampaikan penulisnya: bahwa kita bisa menilai kejelekan orang lain dan latar belakangnya sementara kita ke diri sendiri tidak, karena kita menolak dibilang jelek. Mungkin.
Diksinya yang sedikit nyeni dan berbau ilmiah, juga menggunakan kata serapan, menunjukkan ciri khas tulisan di fanfiction dot net. Sepertinya jika dipisah per bab, cerita ini memang cocok diposting di situs itu. Saya curiga penulisnya memang punya akun di sana. (WAIT... I reread this again and in the acknowledgement she did mention her friends in FFN. I'm sure I read this part but maybe I wasn't aware that IT LITERALLY STANDS FOR FANFICTION NET??? How come LOL @ me 🫣
I need to know her fandom though, maybe she ships the same OTP as I do 💀)
Yang terakhir, desain sampul. Menurut saya tulisan 'by' sebelum nama penulis tidak usah, cukup Miranda Malonka saja. Lalu rasanya akan lebih ngena dengan cerita jika warna sampulnya ungu. Menurut Sylvia, merah itu warna ketakutannya, jadi rasanya kurang pas.
Tetap saja, saya suka sekali buku ini. Jarang-jarang ada karya yang bersepakat dengan ideologi kita, bukan?
Dark. Gloomy. Depressing. As a book containing body image as its main issue, I guess it's the darkest, gloomiest, the most depressing of all I've read before.
Was enchanted by its cover, intrigued to know that it's all about letters, finally deciding to read after few impressive reviews. Stuck in the beginning, the story became interesting since page 50.
It's about Sylvia and thoughts in her own head that she wrote into letters for the one and only Anggara--a guy whom she fell in love with. A story quite relatable to anyone of us, even though it took place in high school.
I adore the authors choices of word--formal yet speakable. I frowned a bit here and there at mispellings but forgiven since they're all letters. Intentional, perhaps, to make 'em all seem real? Malonka, answer me.
At the end, it's such a reminder that adolescents' problems ain't no lesser than adults'. And that--most of the times--what happens in our head, happens only in our head. Therefore, communicate.
Can't say that I like it but it's indeed a good one that you'd probably regret to miss. Once-in-a-while kinda book that I need to read to sharpen my tastebud after tons of sweet-lit I consume daily. Light yet rich. Four stars.
Terus terang dua buku Young Adult Gramedia yang aku baca dua hari terakhir (atau tiga) sungguh-sungguh membuatku minder. Nggak apa-apa kan kalau aku sedikit promosi di review ini? Juni nanti, novel ke-duaku akan diterbitkan Gramedia dengan label serupa Sylvia's Letters dan Pay it Forward. Membaca buku-buku ini awalnya semacam referensi untuk tahu YA yang kayak gimana aja sih yang sekarang Gramedia labelkan ini? Berhubung seingatku dulu Gramedia cuma mengkhususkan teenlit saja (yang berlabel khusus, maksudku. Atau aku tahunya cuma teenlit? Entahlah), jadi wajar dong akunya kepo dengan label-label baru Gramedia. Tapi ternyata misi kepoin YA-nya Gramedia justru berujung pada munculnya rasa minder di diriku sendiri.
Oke, lupakan, sekarang kita fokus pada Sylvia's Letters. Novel pertamaku juga mengusung model surat menyurat, hanya saja dengan konsep yang sedikit berbeda dan bahasa yang lebih remaja. Penasaran? Silakan baca Confession, hahaha malah promo lagi.
Hebatnya, meski kalimat-kalimat yang digunakan baku, sepanjang proses membaca, aku sama sekali nggak menangkap kesan uh-bahasanya-berat-banget-sih dalam buku ini, atau lebih tepatnya surat-surat Sylvia. Kalau novelku tahun lalu masih menggambarkan adegan secara umum meski dituturkan dari sudut pandang orang pertama, Sylvia's Letters benar-benar membuat pembaca seolah masuk ke dalam kepala gadis itu dan melihat sendiri seperti apa Sylvi berpikir, dan kita mau nggak mau 'dipaksa' memahami obsesi gadis itu entah terhadap Gara atau terhadap kehidupannya sendiri.
Terus terang aku nggak tahu harus memberikan review apa untuk Sylvia's Letters selain dengan jujur mengakui bahwa aku termangu setelah menutup bukunya dan merasa hatiku kosong selama beberapa saat. Kita nggak pernah benar-benar bisa memahami isi kepala orang lain, dan nggak bijak bagi kita untuk sok tahu seolah-olah pernah menjalani kehidupan orang tersebut. Mungkin itu yang bisa aku sampaikan setelah menyelami pikiran seorang Citarani Sylvia lewat surat-suratnya...
Membaca novel ini membuat saya teringat dengan Life on The Refrigerator Door atau Twivortiare. Ketiganya menyajikan kisah yang disampaikan dengan cara yang unik. Alice Kuipers menggunakan media notes di pintu kulkas, Ika Natassa menggunakan twitter, dan Miranda Malonka menggunakan surat dan email untuk menyampaikan kisahnya. Saya memberikan satu bintang khusus untuk keunikan itu.
Mengenai isinya, novel ini kaya dan penuh muatan. Anoreksia nervosa, kehamilan dini, depresi, brother rivalry, Teman Saling Suka, kekecewaan, pencarian jati diri, semua ada di dalam buku ini. Saya sempat bingung mau ngasih satu bintang khusus-kah untuk kompleksitas ini? Atau justru penuhnya muatan membuat saya bingung mencerna ceritanya? Dan rasanya tak satupun kasus di atas yang selesai dengan baik-baik di dalam novel ini. Segitu beratnya-kah hidup remaja saat ini?
Saya sempat berpikir kalau Sylvia adalah anak tunggal dengan orang tua yang sibuk dan tidak perhatian pada anaknya. Tapi ternyata Sylvia punya kakak (meski jarak usia mereka cukup jauh). Sylvia bisa menyalurkan bakatnya dengan baik (saya yakin orang tuanya turut campur tangan memasukkan anaknya ke sekolah khusus seni lukis). Dari surat-suratnya Sylvia adalah orang yang cerdas dan punya pemikiran yang dalam. Sayangnya itu tidak berlaku di urusan berat badan. Tapi mengingat usaha penulis menciptakan karakter-karakter di dalam novel ini dengan segala persoalan hidup mereka, saya berikan satu bintang.
Akhirnya saya memutuskan memberikan satu bintang lagi untuk satu quote dari halaman 95. "Aku nggak percaya hal-hal seperti itu. Maksudku, semua manusia akan bertemu jodohnya, yang akan hidup bersama mereka seumur hidup. Tapi memiliki cinta sejati berupa hobi itu berbeda. Hal-hal seperti itu membuatmu merasa hidup sepenuh-penuhnya. Kamu jadi pnya harapan dan pegangan yang tak bisa mematahkan hatimu atau berselingkuh darimu."
Ini pertama kalinya aku baca novel lokal yang membahas isu body image. Dan aku sangat suka dengan cara Malonka membentuk karakter Sylvia. Di sepanjang surat yang ditulis, kita jadi tahu pemikiran kritis gadis itu pada hal-hal yang terjadi di sekitarnya dan apa yang dia lihat dari tubuhnya. Aku yakin banyak remaja di luar sana yang bisa relate dengan masalah yang dihadapi gadis itu.
Format surat dalam novel ini mengingatkan aku dengan The Perks of Being A Wallflower. Namun, berbeda dengan surat-surat yang ditulis Charlie, Sylvia’s Letters memiliki kategori: terkirim, tidak terkirim, dan terkirim tapi tidak dibaca penerima. Kategori-kategori itu memberikan makna tersendiri pada setiap surat yang ada. Aku paling suka membaca surat di kategori terakhir. Menyentuh banget.
Mengingatkan saya sama Syarat Jatuh Cinta-nya Marin Josi & Purba Sitorus, walaupun beda bgt. Buku ini jelas adalah versi gelap dan tragisnya.
Melalui hanya 200-an halaman saya betul-betul bisa ngerasain betapa sebentarnya kebersamaan Sylvia dan Anggara. Betapa perasaan mereka terbentuk sedemikian besarnya dalam waktu sesingkat itu, dan semua itu tanpa terkesan mengada-ngada.
Saya suka bgt sama mereka berdua sampai2 saya bener2 pengen ada ribuan hari esok lagi buat mereka. Buku ini tipis, tapi penulisnya berhasil menggambarkan dgn sgt jelas betapa dunia ini adalah tempat yg jahat dan kerap tdk berpihak pada penghuninya.
Ini salah satu kasus yg saya namain "gue gapeduli buku ini banyak kekurangannya yg penting ceritanya keren jd gue harus ngerate tinggi". Jadi yaa begitulah.
Recommended buat yg suka genre "kasih tak sampai".
Sylvia memiliki pola pikir kritis untuk seorang remaja, bagaimana cara dia memandang sirkus binatang, tentang senior-junior, dan tentang kehidupan itu sendiri. Sayangnya, anoreksia tidak masuk dalam olah pikir kritisnya, Sylvia masih terjajah dengan mata yang lapar saat melihat bentuk tubuh yang 'ideal'. 'Kaki-kaki kecil-langsing' selalu menghantuinya dan semakin memperparah kecanduannya berhenti makan berhari-hari.
Pertama, kepincut banget sama cover dan label 'young adult'-nya. Beli deh.
Coba baca beberapa lembar lalu keterusan. Rasanya kayak lagi nyolong-nyolong baca diary temen. Bahasanya baku, tapi asik diikutin, kayak novel terjemahan gitu deh.
Gampang banget buat relate sama kehidupan Sylvia ini. Khas remaja banget soalnya. Dengan tidak meninggalkan kesan 'young adult'-nya. Jadi walau remaja, ceritanya gak kayak cerita teenlit.
Wow! Speechless. Bingung antara harus ngerasa kesal karena si Sylvi ini bodohnya ga ketulungan ato prihatin karena ngerasa ceritanya tragis. Sebelumnya saya sudah baca buku yg mengangkat topic yg sama yaitu anorexia nervosa, tapi rasanya buku ini lebih kompleks. Masih ga ngerti sih kenapa si Sylvi bisa smp kyk gt.
Ini tidak hanya tentang cinta, tapi juga tentang persahabatan, dan tentang penerimaan diri. Sungguh senang bisa memberikan lima bintang penuh pada buku karya penulis lokal. (^^,) Review lengkap akan segera hadir di blog saya. Hehe...
[ULASAN] ❝Siapa yang memberimu standar, hidup yang benar itu begini, yang salah itu begini? Masyarakat. Kata siapa pendapat publik selalu benar?❞ ―Sylvia's Letters, Miranda Malonka
Bercerita tentang Sylvia yang mengalami masalah dengan berat badannya. Dia selalu insecure sama tubuhnya sendiri sampai akhirnya memutuskan untuk diet. Namun, program dietnya ini malah jadi penyakit. Dia didiagnosa terkena anoreksia nervosa.
Sylvia's Letters punya format yang cukup unik: jalan ceritanya dalam bentuk surat. Yah, persis judulnya lah ya. Ada bagian "surat-surat yang dikirim", ada juga bagian "surat-surat yang tak pernah dikirim".
Jujur aja, novel ini punya nuansa yang lumayan angsty, depressed, dan kelam. Yah, walaupun feel angsty-nya nggak begitu sampai sih ke saya. Faktor halaman juga kali, ya? Cuma 200-an.
TAPI OH TAPIII, saya terkejut sama plot twist menjelang ending. Sumpah sih, itu plot twist banget. Saya kaget lho bacanya. 🤯
Gaya penulisannya agak-agak menyerupai novel terjemahan. Dan satu yang jadi kendala saya adalah... kebanyakan narasi. Maklum sih, soalnya ini kan ceritanya 'surat' ya. Sebenarnya lewat narasi yang banyak ini, emosi Sylvia yang merasa tertekan/depresi jadi bisa tergambar dengan baik. Penulis menjabarkannya dengan detail.
Tapi nggak tau kenapa, karena terlalu detail itu rasanya jadi agak... flat, mungkin? Oh, atau mungkin bukan flat. Tapi tanpa sadar saya jadi ikutan merasa suram baca kisahnya Sylvia. Ah, entahlah. 😂
Meski demikian, saya suka pemikiran Sylvia yang cenderung kritis dan sarkastik (pun interaksinya dengan Gara). Ini kedua kalinya saya baca buku Miranda Malonka (yang pertama kali saya baca itu Orbit Tiga Mimpi), dan saya selalu jatuh cinta sama pemikiran tokoh-tokohnya yang kritis menghadapi keadaan sekitar.
Secara keseluruhan, Sylvia's Letters merupakan novel mental illness yang cukup ringan dibaca. Banyak pelajaran yang bisa diambil di buku ini. :)
TW // body issue, undiagnosed eating disorder, teenage pregnancy, suicide attempt, depression, and child comparison
Sylvia's Letters ini menceritakan tentang seorang remaja kelas 2 SMA bernama Sylvia yg suka ngelukis abstrak dan nulis. Sylvi punya 2 temen; Andy dan Layla, dan 1 crush namanya Gara. Sebenernya dari deskripsi singkat di atas sedikit kebaca ya bakal nyeritain apa, tpi tidak semudah itu isi novelnya.
Format bukunya unik, isinya kumpulan surat gt—surat elektronik, surat tulis tangan yg sengaja ga dikirim, dan surat lainnya.
Di awal2 buku w ngerasa ga "dihantam" apa2, karna isinya cuma kehidupan remaja SMA yg lurus2 aja dgn kekagumannya akan crush-nya. It feels like bukunya ada plotnya, tapi a bit off setelah klimaks kedua side plotnya keluar. Iya betul, IMO ada side plot yakni dari Layla sama Andy pake pov Sylvi.
Tapi lama2 mulai keliatan topik apa aja yg diangkat di novel ini (as mentioned on TWs section above) dan w mulai gregetan sendiri sama Sylvi. Ada 4 poin besar yg bikin w greget bgt: 1. Denial nya dia akan penyakit mentalnya 2.The idea of TSS (temen saling suka) 3.Kekagumannya akan Gara yg lama2 jd terlalu menyita perhatiannya, dan 4. Keinginannya buat punya closure tapi malah menutup akses Yg mana kalo dipikir2 make sense sih mengingat Sylvinya masih young adult—typical young adult problems di bagian cinta-cintaannya.
Also, Sylvia's Letters juga menyinggung bbrp topik melalui side plotsnya yg ga kalah relevan juga. Tapi sayang, the plot became slightly off setelah klimaksnya keliatan... kayak gada penutupannya gt gimana kelanjutannya.
Aku nggak tau lagi mau bilang apa selain buku ini bagus banget. Sederhana, ngena, dalam, bernyawa, nggak ditaburi bumbu aneh yang bikin terlalu drama atau bikin para tokohnya perlu amat dikasihani karena pengalamannya dipandang tragis, tapi kesan sedihnya sampai melalui pemahaman keadaan si tokoh yang disampaikan penulis dengan amat baik. Meskipun tokohnya remaja, tapi pesan-pesan di novel ini bakal tetap relate biarpun yang baca bukan lagi remaja. Banyak kutipan tentang kehidupan yang bagus, tapi satu yang paling berbekas di aku: "Makasih. Aku cinta kamu."
"Mungkin, orang paling masokistik di dunia adalah orang yang masih berani mencintai walaupun hatinya tergores-gores dalam."
Wow, aku suka banget YA lokal ini. Rasanya ini salah satu novel YA Lokal terbaik dari lini penerbit ini yang aku benar-benar dibuat larut dengan kisahnya. 200an halaman hanya cukup beberapa jam saja sudah selesai kubaca.
Ini tentang kisah Sylvia, gadis remaja yang suka menulis surat-surat untuk seseorang, tepatnya untuk seorang cowok bernama Anggara, yang biasa dipanggilnya Gara. Surat-surat yang tak pernah berani dikirimnya. Dalam surat-suratnya itulah Sylvia mencurahkan semua perasaannya, semua hal tentang kehidupannya, semua mimpi dan juga tentang orang-orang terdekatnya.
Sylvia mulai menulis surat-surat itu sejak dia jatuh cinta pada pandangan pertama pada Gara saat pementasan kelas. Entah kenapa sosok Gara dengan aktingnya begitu sangat melekat dihatinya, membuat Sylvia menjadi terobsesi terhadap Gara. Sylvia pun menjadi seorang stalker, selalu mengamati semua aktivitas Gara. Hanya melalui surat-suratnya lah Sylvia mampu bercerita.
Sylvia pun sangat menyukai melukis, namun lukisannya lebih ke abstrak. Tiap dia merasakan sesuatu Sylvia akan melukis dengan warna-warna yang dia tentukan sendiri untuk menggambarkan perasaannya. Warna yang tentunya berbeda dengan arti warna pada umumnya.
Melalui surat-surat Sylvia, kita diajak menyelami kehidupan Sylvia sebagai seorang remaja yang berbeda dengan remaja seusianya. Sylvia seakan berusaha lebih keras untuk memikirkan nasib teman-temannya, sayangnya hal ini tidak berlaku bagi diri Sylvia sendiri. Sylvia yang selalu bisa diandalkan teman-temannya harus takluk dengan obsesi terpendamnya untuk menjadi "kurus". Sesuatu yang perlahan-lahan malah berubah menjadi menakutkan bahkan membahayakan dirinya sendiri.
Tetapi apakah Sylvia berhenti? TIDAK, Sylvia bisa menahan lapar bahkan tidak makan berhari-hari hanya untuk melihat timbangan yang sesuai dengan yang dia harapkan. Namun, keinginan ini sempat pupus saat Sylvia bisa mulai dekat dengan Gara, tidak hanya sekedar pemuja rahasia melalui surat-surat saja. Kebersamaan bersama Gara yang disebutnya "Teman Tapi Saling Suka" membuatnya mau kembali makan. Tapi ini tidak bertahan lama, kebahagiaannya terenggut kembali. Gara tiba-tiba pindah ke luar negeri dan membuat Sylvia patah hati.
Sylvia pun mulai kembali menyiksa dirinya untuk diet ketat bahkan memutuskan untuk tidak makan berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Ketika semuanya terasa benar bagi Sylvia, hal yang selama ini dia takutkan pun kembali datang menyergap? Bagaimana akhir kisah Sylvia???
Membaca novel ini sungguh menarik, format bercerita yang tidak biasa, menggunakan surat-surat dan email, membuatku larut dengan perasaan Sylvia. Kita diajak menyelami kehidupannya juga teman-teman terdekat Sylvia. Aku dibuat gregetan dengan sosok Gara yang selama ini hanya kukenal melalui surat-surat Sylvia. Hingga akhir cerita, aku tak mampu berkata-kata lagi, hanya bisa prihatin...
Kalau kamu butuh cerita remaja yang tidak ringan dan ada "isi"nya, terutama buat kamu yang terobsesi dengan kata "kurus", kamu wajib baca buku ini^^
Judul : Sylvia's Letters Penulis : Miranda Malonka Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Jumlah hlm. : 200 Tahun terbit : 2015
Judulnya mengingatkanku pada buku yang 2017 lalu kubaca, Unsent Letters. Kupikir bakal mirip-mirip gitu, ternyata.. hahahahah. BIG NO. Samanya cuma di bagian surat-suratnya yang ditujukan buat satu cowok yang disukainya aja. Selain itu beda jauh. Buku ini kelam, penuh kesakitan di dalamnya. Nggak, bukan soal cinta-cintaannya. Kamu bakal tahu sendiri kalo udah baca.
Sylvia, seperti gadis seusianya. Penampilannya biasa aja, anaknya nggak pinter-pinter banget, tapi jelas bukan cewek bodoh. Sylvia suka melukis dan menulis. Baginya nggak ada yang lebih menyenangkan daripada kedua hal itu. Sylvia suka melukis abstrak, yang bagi sebagian orang mungkin dianggap aneh, lukisan nggak jelas. Sylvia punya pandangan sendiri terhadap warna-warna dalam lukisannya. Nggak seperti kebanyakan orang, warna-warna itu punya makna tersendiri buat Sylvia. Ia akan menumpahkan cat warna ungu pada kanvasnya ketika dia merasa bahagia, atau pink ketika dia bersedih, atau biru ketika dia sedang bersemangat, atau kuning ketika ia ingin menumpahkan segala emosi yang meluap-luap. Warna-warna yang umumnya orang lain nggak menganggapnya begitu. Unik banget kan?
Dan pada pementasan drama di sekolah, dia mulai fokus kepada satu titik (terus fokus, satu titik, titik itu #nggakgituwoy). Dia fokus pada cowok yang memerankan tokoh dalam cerita Dickens, dan Sylvia mulai menulis surat untuk cowok itu. Di surat-surat yang ditujukan kepada Gara (iya, cowok itu bernama Gara, Anggara) Sylvia menulis semua yang dia rasakan, tentang perasaannya kepada cowok itu, tentang kesehariannya, tentang sahabat-sahabatnya, tentang lukisannya. Dan surat-surat itu menjelma bagai diary bagi Sylvia.
Melalui surat-surat itu aku jadi mengenal sosok Sylvia, gadis 16 tahun yang unik, punya pemikiran dewasa melebihi anak-anak seumurannya (tapi umur segitu aku kayaknya juga pemikirannya melebihi temen-temenku sih #lahmalahcurcol). Dia kritis banget, aku suka cara dia memandang sesuatu, seperti soal senioritas, sirkus hewan, dan lain-lainnya (baca sendiri aja). Dia peduli pada sekitar, peduli pada lingkungannya, peduli kepada orang lain melebihi kepeduliannya pada diri sendiri. Tapi ada 1 hal yang buat aku geregetan sama Sylvia, pengen ngata-ngatain bego (maafkan bahasakuuuu), tapi yah.. emang ceritanya harus begitu. Kak Miranda sukses buatku gemes sampe akhir kak Tapi ada 1 hal yang buat aku geregetan sama Sylvia, pengen ngata-ngatain bego (maafkan bahasakuuuu), tapi yah.. emang ceritanya harus begitu. Kak Miranda sukses buatku gemes sampe akhir kak *cry*
Endingnya.. inhale.. exhale.. Aku udah nebak sih bakal begitu, tapi tetep aja rada shock. Bagi kamu pecinta YA yang bosen sama cinta-cintaan mulu, nih aku rekomen buku yang bisa buat kamu stress (bukan ngilangin stress), HAHAHAHAHA
P.S : Jangan baca ini kalau kamu lagi banyak masalah, lagi stress, atau apapun yang sejenis itu, cukup aku aja kemarin-kemarin yang kelewat cerdas :')
Rating 3,5 Apa yang menjadi persoalan bagi para remaja saat ini? Krisis percaya diri? Orangtua yang dominan? Jam sekolah yang terlalu padat? Stress karena terlalu banyak belajar dan terlalu banyak kursus sesuai keinginan orangtua? Atau mungkin terlalu percaya diri yang kebablasan, hingga segala kehidupan pribadinya terekspos habis-habisan demi menjadi semacam goals bagia orang lain? Seperti yang sedang viral sekarang ini, remaja baru lulus SMA yang heboh menjadi idola abegeh sekaligus menjadi gunjingan para orangtua, atau para mantan remaja. You know what mean. (Ga mau membuat dirinya makin terkenal dengan menyebutkan namanya disini :)) Sylvia, remaja SMA 16 tahun, seperti banyak karakter yang ada di novel novel remaja yang saya baca, adalah gadis biasa yang lebih memilih tidak terkenal, suka melukis abstrak yang disesuaikan dengan mood- nya saat itu, jatuh cinta jungkir balik dengan Anggara, dan memilih menulis surat-surat nan panjang dengan tangan, alih-alih mengungkapkan perasaannya pada cowok itu. Meski Sylvia ini seperti gadis biasa umumnya, tapi ternyata ia memiliki penyakit tentang tubuh ideal. Dia terobsesi dengan tubuhnya sendiri yang berasa gendut, terobsesi menghitung segala kalori yang masuk dan berapa kalori yang harus dibuang demi mendapatkan tubuh kurus idamannya. Tidak disebutkan, Sylvia ini mengidolakan siapa hingga ia memiliki obsesi macam ini. Ia hanya khawatir ia tidak cukup kurus untuk berada disamping Anggara. Yup, benar, Sylvia ini ternyata mengidap bulimia nervosa, penyakit yang kurang umum diidap remaja di Indonesia.
"Apa sampai akhirpun isinya hanya surat?" adalah hal yang terlintas dibenaku saat membaca setengah buku. Baiklah. Aku jelaskan, aku sempat mikir mungkin hanya sampai beberapa surat, setelahnya menggambarkan kejadian yang terjadi, maksudku tidak dengan embel-embel 'melalui' surat, tapi sampai akhir, nyatanya memang hanya surat. Surat-surat ini ditujukan untuk satu nama, Gara. Dimana Sylvi menjadikan surat-surat yang tak pernah dikirim itu sebagai diary. Dia menceritakan segalanya mulai dari love at first sight pada Gara sampai akhirnya bisa begitu dekat dengan Gara yang dikaguminya, mengenai sahabat-sahabatnya, penyakitnya, obsesi 'kurus'nya, banyak. Yang gak abis pikir, saat mengenai rapot Andy--teman Sylvi, bagaimana dia selalu dibandingkan dengan kakaknya, Ronald, saat itukan Sylvi sudah sering jalan dengan Gara, kenapa menceritakan perihal Andy itu masih melalui surat yang dituju untuk seseorang (baca: Gara) yang saat itu bisa saja kamu ceritain secara langsung, gak perlu lewat surat, Sylviiii. Hhhh... Beda dengan cerita Scarlet, di saat itu kamu memang udah gak tatap muka lagi dengan Gara, karena kepergiannya keluar negeri, jadi okelah melalui surat-surat yang tak pernah dikirim-mu itu. Lucu sekali, sekarang aku seperti menulis surat untuk Sylvi.
Ah, lagipun menurutku Gara juga kalau udah perhatiin Sylvi, dan mungkin suka Sylvi dari MOS, kenapa tidak pernah coba menegurnya lebih awal, supaya lebih dekat, cowok kok begitu, kan dasarnya juga cowok yang sepatutnya memulai. Sekarang akhirannya seperti itu, siapa yang menyesal? Oke, mungkin ini masalah waktu dan mental.
It's a really nice novel, with a dark atmosphere and deep messages. I know someone who is close to me who is also anorexic. And reading this just makes me scared and wondering, Overall, again, a wonderful novel.