What do you think?
Rate this book


380 pages, Paperback
First published January 30, 2014
Aku menemukan buku ini ketika sedang kepo Instagram pak Gita Wirjawan, sebuah postingan bertahun-tahun yang lalu.
Ada stereotip bahwa aktivis perlindungan hewan, apalagi yang berkaitan dengan hewan ternak akan selalu berujung pada ajakan untuk menjadi vegetarian. Buku tidak mengajak kita untuk menjadi vegetarian.
Penulis buku ini adalah CEO dari Compassion in World Farming (CIWF), sebuah yayasan yang fokus pada perlindungan hewan ternak dari metode-metode yang menyiksa binatang ternak. Yayasan ini tidak anti industri, namun lebih banyak mengadvokasi cara-cara beternak yang sustainable dan Dilihat dari profilnya sih ketertarikan kepada alam sudah ada sejak penulis remaja, meskipun seluruh karir profesionalnya dihabiskan bersama CIWF dari 1990-Sekarang. Isabel Oakeshott, adalah jurnalis politik yang menjadi co-author buku ini. Ada kemungkinan kualitas tulisan yang baik dan data yang memadai berasal dari pengalamannya sebagai jurnalis.
Buku ini memberikan gambaran yang cukup baik tentang bagaimana Factory Farming bekerja dan efeknya bagi lingkungan dan masyarakat. Tentu saja karena judulnya "Farmageddon" ada banyak efek negatif yang ditimbulkan terutama dari sisi Ekologi, kerugian dari sisi ekonomi sendiri sulit untuk dihitung karena selalu berakhir sebagai eksternalitas. Pertanian monokultur seperti kedelai dan jagung adalah industri yang paling banyak disubsidi dengan anggapan bahwa barang konsumsi ini adalah kebutuhan pokok manusia, kenyataannya setegah dari produksi jagung dan kedelai diserap oleh factory farming. Harga daging yang rendah disebabkan tingginya subsidi dari sisi pakan. Buku ini memberikan gambaran kompleksnya jaringan rantai pasok factory farming dengan baik, sehingga keberadaan factory farming di inggris memiliki andil dengan kemeranaan warga di argentina dan peru.
Isu utama yang diangkat adalah Animal Welfare, ternak diperlakukan dengan kejam untuk memenuhi kebutuhan manusia. GMO dan pembiakan selektif juga mendorong varietas yang tahan banting sebenarnya adalah varietas yang tahan didera derita sepanjang hidupnya untuk berakhir dikonsumen. Isu lain adalah hilangnya keanekaragaman hayati dengan adanya pembukaan lahan untuk monokultur serta penggunaan bahan-bahan kimia untuk menjaga suplai pakan tetap produktif menyebabkan hilangnya habitat yang berefek pada limbungnya keseimbangan ekosistem. Terakhir adalah produtifitas tinggi tidak selalu berakhir dengan penyerapan tinggi, rantai pasok yang panjang juga menghasilkan produk-produk yang terbuang sia-sia.
Di Indonesia model Factory Farming masih sangat jarang, industri ternak memang fokus pada intensifikasi namun belum mencapai skala Factory Farming yang digambarkan di buku ini. Meskipun begitu maraknya all you can eat, variasi ayam geprek yang tak ada habisnya, dan jajanan dengan bahan dasar hasil ternak yang juga disertai dengan kenaikan jumlah kelas menengah, kedatangan Factory Farming hanya tinggal menunggu waktu. Berdasarkan pengamatanku hampir semua peternakan ayam di Indonesia sudah mengadopsi model factory farming. Kesadaran terhadap isu ini penting agar kita lebih aware dan mindful terhadap makanan yang kita konsumsi.