Jump to ratings and reviews
Rate this book

Ayah

Rate this book
Betapa Sabari menyayangi Zorro. Ingin dia memeluknya sepanjang waktu. Dia terpesona melihat makhluk kecil yang sangat indah dan seluruh kebaikan yang terpancar
darinya. Diciuminya anak itu dari kepala sampai ke jari-jemari kakinya yang mungil. Kalau malam Sabari susah susah tidur lantaran membayangkan bermacam rencana
yang akan dia lalui dengan anaknya jika besar nanti. Dia ingin mengajaknya melihat pawai 17 Agustus, mengunjungi pasar malam, membelikannya mainan,
menggandengnya ke masjid, mengajarinya berpuasa dan mengaji, dan memboncengnya naik sepeda saban sore ke taman kota.

412 pages, Paperback

First published May 1, 2015

407 people are currently reading
4401 people want to read

About the author

Andrea Hirata

22 books2,434 followers
Under a bright sunny sky, the three-day Byron Bay Writers’ Festival welcomed Andrea Hirata who charmed audiences with his modesty and gracious behavior during two sessions.

Andrea also attended a special event where he and Tim Baker, an Australian surfing writer, spoke to a gathering of several hundred school children. During one session, Andrea was on a panel with Pulitzer Prize winning journalist from Washington, DC, Katharine Boo, which he said was a great honor.

The August event for the school children was very meaningful to Andrea, the barefooted boy from Belitung, as he made mental comparisons with the educational opportunities of these children, compared to what he experienced.

And now his own life story is about to become even more amazing, as his book Laskar Pelangi (The Rainbow Troops) is being published around the world in no less than twenty-four countries and in 12 languages. It has caught the eye of some of the world’s top publishing houses, such as Penguin, Random House, Farrar, Straus and Giroux, (New York, US) and many others. Translations are already on sale in Brazil, Taiwan, South Korea and Malaysia.

All this has come about because of the feeling of appreciation that the young Andrea felt for his teacher, Muslimah. He promised her that he’d write a book for her someday. This was because for him and his school friends, a book was the most valuable thing they could think of.

Andrea told a story that illustrated this fact. When royalties flowed in for him he decided to give his community a library. He spent a lot of money on books. He left the village headman in charge of administering the library. However, when he came back several months later, all the books were gone. People loved the books, but they had no concept of how a lending library functioned.

“Some of them could not even read, but they just loved to have a book, an object of great value and importance, in their homes. We will restock the library with books and this time it will be run by our own administration,” he laughed.

Andrea told this story as we sat in the coffee shop adjoining a Gold Coast City Library, one of 12 scattered around the city. One of the librarians, Jenneth Duque, showed him around the library, including the new state-of-the-art book sorting machine, for processing returns located in the staff area. As he saw the books being returned through pigeonholes by the borrowers and the computerized conveyor belt sorting them into the correct bin for reshelving, the sight made him laugh and prompted the telling of that story.

Andrea wrote the book for his teacher while in the employ of Telkom, but the completed manuscript was taken from his room, which was located in a Bandung student accommodation community. Whoever took the manuscript knew enough to send it to a publisher and that’s how Andrea, an unhappy postal service worker who had studied economics in Europe and the UK, became the accidental author of the biggest selling novel in Indonesia’s history.

He has since written seven more books.

Fast forward to 2011 and Andrea was in Iowa, the US, where he did a reading of his short story, The Dry Season. He was approached by an independent literary agent, Kathleen Anderson. They talked, but for six months there was no news until an email arrived telling him that one of the best publishers in the US, Farrar, Straus and Giroux, had accepted his book.

Then every week, more publishers said “yes” and now he has 24 contracts from the world’s leading publishers.

Andrea worked with Angie Kilbane of the US on the English translations of Laskar Pelangi and its sequel Sang Pemimpi (The Dreamer). Translators from several other countries have visited his home village in Belitung to do research.

“For a long time I wondered what was the key to the enormous success of my book,” Andrea said.

“I think there’s no single right answer. Perhaps people are fed up with writing focused on urban issues or esca

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
3,026 (53%)
4 stars
1,883 (33%)
3 stars
573 (10%)
2 stars
93 (1%)
1 star
41 (<1%)
Displaying 1 - 30 of 865 reviews
Profile Image for Arief Bakhtiar D..
134 reviews82 followers
February 10, 2017
MENGGERAKKAN

“How many roads must a man walk down, before you call him ‘a man’?”
—Bob Dylan


SETIAP kali kita selesai membaca sebuah buku, setiap kali halaman terakhir ditutup dan kita terkesan, ada pertanyaan penting yang mengganggu kesadaran: apakah kita masih orang yang sama seperti sebelum membaca buku itu?

Apakah setelahnya kita berupaya untuk menjadi manusia yang lebih baik?

Bagaimana kalau yang kita baca adalah cerita semacam ini: seorang laki-laki bernama Sabari mencintai seorang perempuan bernama Marlena, namun Marlena tak mencintai Sabari, tak peduli seberapa besar pengorbanan Sabari untuk membuktikan cintanya? Apa yang bisa kita dapat dari cerita cinta semacam itu?

Tentu, kisah cinta Sabari dan Marlena hanya salah satu cerita cinta dari beberapa hubungan cinta yang dituliskan Andrea Hirata dalam Ayah. Yang menarik adalah keterangan dari Andrea yang menyebutkan bahwa kisah tersebut “inspired by true story” (bukan “based on true story”). Sabari itu ada, Marlena itu ada, kata Andrea. Perempuan yang main catur dengan suaminya, yang pernah muncul dalam novel Padang Bulan, juga benar-benar ada di kampungnya, kata Andrea lagi.

Dalam Ayah, Andrea Hirata masih melanjutkan tradisinya untuk setia pada gaya penceritaan story telling. Pada sebuah seminar di Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada, Andrea mengatakan bahwa, dengan gaya tersebut, ia memang ingin pembaca memihak opininya terhadap hidup dan apa itu cinta. Andrea ingin pembaca bisa lekat dengan konteks tempat, yang dalam hal ini, latar budaya Melayu Belitong.

Memang kerap kali ada jebakan perihal yang terakhir. Pada tahun 1957, dalam esai Beberapa Soal Daerah dalam Sastra Indonesia, Ajip Rosidi dengan gelisah melihat “gedjala memasukkan kata-kata, perbandingan-perbandingan, ungkapan-ungkapan daerah di mana sisastrawan (antara tanda-kutippun djadi) berasal jang dilakukan setjara semena-mena, bahkan setjara liar”. Dalam novel Ayah, Andrea cenderung bisa lepas dari jebakan itu. Budaya Melayu yang menjadi jiwa seluruh isi novel, bahasanya, guyonnya, karakter tokohnya, memperlihatkan teknik kematangan penulisan novel ini untuk tidak “setjara semena-mena” meletakkan apa yang Melayu dalam kalimat-kalimatnya. Tak heran, Andrea menyebutkan rasa terima kasih yang besar pada peran editor—suatu posisi yang di dunia sastra Indonesia belum cukup dihormati.

●●●
Friedrich Nietzche menulis perbedaan cinta laki-laki dan perempuan pada umumnya dengan kesimpulan berikut: cinta perempuan adalah cinta tanpa syarat, sementara cinta lelaki adalah cinta yang mengharapkan balasan. Cinta lelaki adalah cinta yang harus memiliki. Cinta bagi perempuan mendekati status sebagai agama; dengan laki-laki sebagai sesosok dewa.

Sejalan dengan itu, Simone de Beauvoir mengatakan bahwa lelaki tidak pernah mau menyerahkan diri pada perempuan. Dalam The Second Sex (yang diterjemahkan dari bahasa Prancis oleh H. M. Parshley, dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Nosa Normanda dan Dewi Anggraeni dalam buku terbitan Yayasan Obor Indonesia), pemikir Prancis yang sering dipengaruhi pemikiran Nietzche itu berkata lebih keras: “[l]aki-laki ingin menyatukan perempuan dengan kehidupan mereka, tapi tidak ingin menghabiskan seluruh waktu mereka untuk perempuan yang mereka cintai”.

Apa yang dituliskan Andrea Hirata dalam novelnya agak lain dari gambaran laki-laki-perempuan Nietzche/ de Beauvoir.

Sabari bin Insyafi, seorang pemuda biasa, tidak tampan, mencintai Marlena tanpa mengharapkan balasan. Bahkan ketika ia bersedia bertanggung jawab atas diri Marlena yang hamil entah dengan siapa, dan tak ada sekali pun rasa terima kasih dari Marlena, Sabari tak mengapa. Marlena tak pernah mau bersentuhan dengan Sabari, dan Sabari tak mengapa. Marlena tak pernah mau tinggal dengan Sabari setelah pernikahan, dan Sabari tak mengapa. Sabari menyerahkan dirinya pada Marlena dengan memegang teguh filosofi “mencintai seseorang merupakan hal yang fantastis, meskipun orang yang dicintai itu merasa muak".

Yang saya kira perlu kita bicarakan, tanpa melihatnya sebagai kelebihan atau kekurangan, Andrea tidak menghakimi Marlena. Ia tak pernah mengutuk tindakan Marlena yang meninggalkan Sabari dan merenggut Zorro. Ia menyamarkan apa-apa yang dilakukan Marlena yang pulang ke rumah dengan laki-laki yang berbeda tiap malam, sampai akhirnya hamil di luar nikah. Andrea tidak memberikan opini tentang Marlena yang kawin-cerai hingga tiga kali dengan tiga lelaki berbeda.

Kesan yang saya dapatkan, Andrea bukan pengarang yang cepat-cepat menghakimi suatu persoalan individu. Andrea amat sopan dalam hal ini. Dalam perkembangan selanjutnya, ia bahkan seperti memuja: Marlena digambarkan sebagai tokoh perempuan dengan karakter petualang, mandiri, dan punya daya hidup tinggi. Marlena terlihat sebagai “yang berbeda” dari standar kehidupan normal, tanpa melihat “berbeda” itu dengan penilaian baik atau buruk.

Saya kira semenjak novel Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, atau Edensor, Andrea bukan pengarang yang menempatkan peran antagonis sebagai bagian yang perlu dan utama dalam cerita. Para tokoh utamanya hampir tak pernah punya musuh yang gawat, kecuali dibuat repot oleh suatu sifat yang ada di tiap-tiap manusia biasa. Ada militansi menghadapi penderitaan, tetapi bukan kekerasan terhadap orang lain. Arai dan Ikal dalam Sang Pemimpi, misalnya, tidak memiliki musuh atau peran antagonis untuk memperlihatkan adanya konflik sampai klimaks. Dunia di sekeliling mereka adalah dunia yang dipenuhi orang-orang baik: Pak Balia, ayah Ikal, Jimbron, Nurmi. Tokoh utama seperti Arai terlibat dalam arus konflik dari pengalamannya sendiri: ditolak cinta, tanpa memberikan opini bahwa Zakiah Nurmala adalah seorang perempuan yang kejam dan tanpa hati.

Dalam Edensor, siapa tokoh antagonisnya?

●●●
Sejak kemunculannya yang pertama pula, karya-karya Andrea memiliki tarikan garis lurus yang sama: pendidikan sebagai suatu usaha menghasilkan karakter, dan bukan hanya otak yang encer, untuk sukses. Dalam novel Ayah, Andrea menghubungkan percetakan batako dengan kepentingan membangun sekolah demi “mencerdaskan kehidupan bangsa”; menyertakan humor/ sindiran tentang pendidikan (tentang Presiden Filipina atau hitung-hitungan persen); menciptakan tokoh Zorro/ Amiru yang selalu memiliki semangat untuk sekolah meski sering berpindah-pindah tempat tinggal. Hal-hal filosofis seperti itu menutup apa yang saya kira kurang menghentak: sosok “ayah” dalam novel ini tak semengharukan sosok “ayah” dalam novel Sang Pemimpi, misalnya kalau kita baca lagi Mozaik 8 Baju Safari Ayahku dan Mozaik 12 Sungai Lenggang.

Itu sebabnya, saya memilih merayakan apa yang selalu ada dalam novel-novel Andrea: pada mulianya pendidikan yang memungkinkan seseorang untuk percaya pada kekuatan mimpi. Saya ingat Andrea mengatakan untuk “jangan lelah belajar, karena belajar itu kesenangan”. Saya kira Andrea Hirata dan Nelson Mandela memiliki irisan optimisme yang sama: pendidikan adalah cara terbaik untuk mengubah dunia.

Agaknya inilah yang dicita-citakan Andrea: bahwa pekerjaan mengarang bukan hanya semata-mata pekerjaan menulis, melainkan untuk menghadirkan perasaan cinta di mana-mana, menjadi penguat mimpi setiap orang yang mungkin tengah celaka/ tak berdaya oleh keadaan. Andrea ingin novel Ayah dibaca lebih dari sekedar cerita menghibur, cerita cinta yang klise, atau cerita yang membuat orang bisa gampang ketawa. Andrea ingin tulisannya membuat orang-orang bergerak melakukan suatu perbuatan yang riil, bukan hanya menjadi semacam berita.

Artinya, citra kisah yang hendak dibangun adalah kisah yang menggerakkan pembaca agar, seperti pertanyaan di awal catatan ini, menjadi orang yang tidak sama seperti sebelum membaca buku ini, untuk menjadi orang yang lebih baik. Saya katakan "hendak dibangun" sebab sebenarnya bisa saja Andrea menulis tenggelamnya matahari dalam sembilan halaman di awal bab, misalnya.

Melalui novel Ayah, Andrea lebih menghendaki gaya yang memungkinkannya membangkitkan impuls bagi para ayah untuk menunjukkan cinta kepada anaknya di tengah gempuran berita para orang tua yang kasar terhadap anak; bahkan kalau pun anak itu tidak memiliki hubungan darah seperti hubungan antara Sabari dan Zorro. Ia berusaha meneguhkan para pembaca bahwa hormat dan kasih sayang anak kepada ayah adalah salah satu perilaku manusia yang paling membahagiakan di muka bumi, di tengah kebiasaan para anak yang sering durhaka terhadap orang tua.

Gaya penulisan story telling yang dipilih Andrea memudahkan tujuan itu: gaya untuk menampilkan cerita yang lebih punya tenaga untuk menggerakkan orang.

●●●
H.B. Jassin, sebagaimana pernah ditulis Budi Darma, pernah merasa ragu bahwa kritik sastra yang dilakukannya selama ini adalah kerja ilmiah yang “mempergunakan otak”. Padahal karya sastra adalah suara hati, dan perlu ditanggapi dengan hati pula—dengan hati itu pula sastra bisa menggerakkan dan mengubah dunia.

Catatan ini tak pernah punya pretensi untuk mereviu novel Ayah dari sisi “otak” atau “kritik sastra”—terutama karena yang menulis catatan ini tidak menempuh pendidikan sastra.

Dan lewat Sabari, saya senang Andrea masih sama seperti dulu, seperti Ikal yang berkata: “Orang seperti kita tak punya apa-apa kecuali semangat dan mimpi-mimpi… Tanpa mimpi, orang seperti kita akan mati…”
Profile Image for Pringadi Abdi.
Author 21 books78 followers
June 4, 2015
http://catatanpringadi.com/ayahandrea...

Barangkali aku tak salah jika berpikir karya puncak Andrea Hirata ada pada Edensor. Setelah itu, Andrea mengalami masalah yang cukup serius. Napas menulis Andrea menjadi sangat pendek. Itu juga berakibat pada kecenderungannya untuk bertindak hanya sebagai penutur.

Menulis adalah seni yang soliter. Seorang penulis bertindak sendirian. Ia sebagai komposer sekaligus pemain musiknya. Ia sebagai penata panggung dan performernya. Ia sebagai penulis cerita dan penutur ceritanya. Artinya ada hal penting lain selain bercerita, yang dibutuhkan di dalam cerita. Banyak yang menyebutnya sebagai sebuah “show”. Show di dalam fiksi berarti menciptakan adegan. Adegan adalah suatu aksi yang berhubungan dan berkelanjutan bersama-sama dengan deskripsi dan latar belakang cerita.

Menilik Ayah, pada 5 halaman pertama aku langsung jatuh tertidur panjang. Kira-kira dua jam. Lalu bangun, makan, dan melanjutkan pembacaan sampai halaman 300. Keesokan harinya aku kembali membaca sampai selesai. Dan Andrea Hirata tetaplah Andrea Hirata. Ia seorang penulis yang tetap harus dibaca dan dinantikan perkembangannya.

Aku menyebut Andrea Hirata sebagai penulis hiperbolis, ketimbang metaforis. Ia banyak menggunakan majas hiperbola sebagai bagian dari olok-oloknya pada kehidupan. Ia juga banyak menggunakan satir-satir yang menohok dan ekspresi lain mengenai keluguan, kebodohan yang menyimpan kearifan dari para tokohnya.

Dalam Ayah, salah satu hal yang disinggungnya adalah soal pendidikan dan pemberian nilai di sekolah. Tokoh ceritanya mendapat nilai 2, 3, 4, 5. Angka merah bertaburan di rapor mereka. Itu nyata. Dulu, sekolah-sekolah selalu jujur memberikan nilai rapor kepada muridnya. Aku pun pernah mendapatkan nilai 4 di rapor beberapa kali.

Kemudian terjadilah nilai ujian nasional untuk syarat kelulusan. Kata pemerintah waktu itu, sebuah bangsa yang berpendidikan tercermin dari nilai-nilai mata pelajarannya yang tinggi. Akibatnya, bukan pendidikan yang dibenahi, melainkan kunci-kunci jawaban bertebaran, dan bahkan dicurigai diotaki oleh sekolah itu sendiri.

Di sisi lain, aku baru baca tulisan Prof. Rhenald Kasali, di luar negeri, nilai-nilai itu mudah diberikan karena pendidikan di sana bersifar encouragement. Anaknya yang baru pindah ke luar negeri, disuruh bikin tulisan, diberi nilai A padahal bahasa Inggrisnya buruk. Sang guru mengatakan pemakluman dan sebuah nilai tidak diberikan saklek untuk menghambat kemajuan si anak. Sebuah nilai ada untuk menyemengati si anak untuk bisa.

Andrea menempatkan posisi guru dan murid yang serba lugu dan bodoh dalam sistem pendidikan itu dengan begitu cerdas. Cobalah tengok ketika sang guru bertanya, “100 itu berapa persen dari 400?” Teman Sabari diam tak berkutik. Sabari ingin memberi tahu jawabannya adalah 45%. Tapi keburu sang guru berkata yang benar itu 15%. Kesemua jawaban itu salah.

Pola-pola adegan seperti itu banyak dilakukan Andrea Hirata sebagai bentuk sindiriannya pada kenyataan.

Selain itu, tak ada yang baru kecuali dua hal mungkin. Andrea kini mengenal Gabriel Garcia Marquez setelah sebelumnya mengaku tak pernah membaca karya sastra selain dua buku saja. Dan coba-cobanya menggunakan teknik foreshadow pada tokoh Amiru yang tak lain tak bukan ialah Zorro.

Selebihnya, napas pendek Andrea Hirata yang disiasati dengan bab berfragmen belum dapat membuatku menyebut novel ini istimewa. Edensor masih jauh lebih baik. Aku bilang karakter-karakter yang dituturkan itu tak begitu hidup seperti halnya kenanganku pada Arai dan Lintang.

Pengulangan-pengulangan deskripsi seperti blue moment, batu besar dari zaman Jura juga menjadi titik lemah novel ini. Pun kehiperbolisannya yang terlalu hiperbola (apa pula itu).

Akhirnya, aku bertanya-tanya, apakah sebuah karya dengan nilai tradisionalitas/lokalitas selalu dinilai tinggi oleh para penggiat sastra? Apakah Andrea Hirata dan Benny Arnas itu bersaudara? Sebab sepanjang membaca novel ini, entah kenapa, aku jadi teringat pengarang dari Lubuk Linggau itu.
Profile Image for Syaihan Syafiq.
Author 14 books137 followers
September 28, 2015
Ini nukilan pertama Andrea Hirata yang aku habis baca. Yang terdahulu, Laskar Pelangi tak sempat nak dihabiskan kerana buru-buru perlu pulangkan naskah itu kembali ke perpustakaan.

Apa yang boleh aku katakan adalah sekarang baru aku sedar/faham kenapa Andrea Hirata sangat dikagumi. Pertama; aku kira beliau seirang pemerhati yang bagus. Kedua; beliau punya deria penceritaan yang cemerlang. Setiap baris ayatnya walau minimalis, amat tersusun dan penuh keindahan.

Tidak dinafikan, sepertiga awal naskah ini agak meleret, dengan penceritaan yang semacam tak tahu hujung puncanya, namun semua itu sebenarnya suatu deduksi untuk menzahirkan momentum pengkisahan cerita yang amat tertangkap. Mujur, Bahasa Indonesia yang terkandung di dalam naskah ini tidak sesukar tulisan-tulisan penulis Indonesia lain, menjadikan pembacaan amat mudah dan santai. Cuma, aku terkadang harus juga berhenti dan semak kamus kerana kurang faham beberapa frasa/perkataan yang terkandung di dalamnya.

Aku suka penceritaan watak Sabari, cocok benar dengan namanya, dia sabar menempuh segala macam masalah dan entah apa-apa yang melanda dirinya sehingga ada beberapa momen-momen tertentu hampir mampu membikin aku sebak.

Mungkinkah aku akan mencari naskah Andrea Hirata yang lain? Semestinya!

AYAH sesuai benar dibaca oleh pria yang bergelar ayah, yang bakal bergelar ayah, yang masih atau yang sudah tiada ayah.
Profile Image for hans.
1,158 reviews152 followers
July 12, 2015
Beberapa chapter pertama amat berat untuk saya habiskan. Agak membosankan dan buat saya mengantuk-- barangkali kerana ia berkisar tentang hal-hal perkenalan watak, kisah-kisah harian mereka, tiada hubungkait terperinci dan saya jadi sedikit lost. Namun saya sedikit terkesan dengan penerangan di helaian awal yang ditulis Andrea; "seperti dikisahkan Amiru kepadaku" jadi nilai pembacaan yang sedikit menjunam itu saya gagahkan juga.

Andrea sebagai penutur dibuku ini berkisah tentang kehidupan Sabari-- si pencinta gila yang nyaris menghidap penyakit gila nombor 22 yang juga seorang ayah yang punya rasa kasih setinggi langit terhadap Zorro.

Jalan cerita Ayah sedikit-sedikit makin menarik, lebih menghibur, lucu juga terselit satu dua pengajaran hidup berguna (seperti kebanyakkan tulisan Andrea). Dan satu hal tentang Andrea yang saya amat suka-- jika menulis hal berkait persahabatan tidak pernah gagal buat saya terkagum-kagum sendiri.

Saya jatuh suka dengan watak Ukun dan Tamat yang sanggup 'mengembara' mencari Lena dan Zorro kerana Sabari. Paling suka part Ukun, Tamat dan Zuraida mencari Sabari (yang hampir 'kurang siuman') di lorong pasar sebelum mereka pamit. Kata Ukun; "karena itu, boi... tolong jangan gila dulu. Biarlah kami mencari Lena dan Zorro dulu. Kalau kami gagal, silakan nanti kalau kau mau menjadi gila, tak ada keberatan dariku dan Tamat sebagai kawan-kawanmu. Untuk sementara ini, tahan dulu." Saya yang membaca pula jadi terharu.

Pengorbanan dan kasih Sabari sebagai ayah amat besar dan istimewa. Jika ini kisah benar, memang wajar Amiru bercerita kepada penulis untuk ia dibukukan. Pengakhirannya sedikit menyedihkan (bagi saya) terutama pesanan Marlena kepada Amiru tentang hal pemakamannya.

Satu kisah cinta gila yang ajaib.
Profile Image for Shaharuddin.
462 reviews9 followers
July 23, 2016
Saya menasihatkan supaya baca sebanyak dua kali. Kali pertama kita akan rasa bosan dan rasa macam banyak watak-watak yang tak penting, tetapi selepas kali kedua baru dapat raya Ayah karya yang hebat. Bukan main Boi!
Profile Image for fayza R.
227 reviews56 followers
February 6, 2017
*selesai sesenggukan* *mari review beneran* *mikir lama banget, saking deep nya*

Buku ini tergolong 'page turner' buat Faizah, tapi dengan cara yang berbeda. Biasanya buku2 page turner punya konflik yang harus diselesaikan antara tokoh utama dan tokoh antagonis, tapi buku ini jelas jauuh dari itu semua. Konflik yang dimunculkan lebih ke konflik batin tokoh utama, tanpa tokoh antagonis, meskipun tokoh antagonis itu ada (?). Iya, jadi Andrea Hirata sepertinya pengen fokus pada bentuk cinta seorang Ayah (Sabari) terhadap anaknya (Zorro) tanpa menambahkan tokoh antagonis, yang sebenarnya kalau Andrea Hirata mau, Lena bisa banget jadi tokoh antagonis dan pasti sukses bikin pembaca jadi benci sama dia, but he didnt do it.

Seperti karya Andrea Hirata yang lain, buku ini punya kekhasan yang sama, latar di Belitong, tokoh utama bukan tokoh pintar cemerlang jenius tapi seorang yang pekerja keras, berasal dari keluarga biasa-biasa saja (cenderung kebawah), unsur pendidikan yang kuat, dan .... jago bahasa Indonesia. Oh iya, juga mencintai perempuan dengan cara yang tidak biasa, bahkan bisa dibilang gila.

Deskripsi yang dijelaskan sepanjang buku sebenarnya tergolong bertele-tele, mau menjelaskan satu benda aja bisa sampai setengah halaman lebih. Tapiiiii di buku ini, Andrea Hirata kayak lagi nggak nulis novel, baca narasinya kayak lagi nggak baca novel seperti biasanya, tapi berasa lagi didongengin. Iya, gaya menulis yang dipakai Andrea Hirata di buku ini jadi poin plus yang bikin buku ini page turner meskipun tanpa konflik yang wah, dan tanpa antagonis.

Di awal dibawa ketawa-ketawa dengan deskripsi tokoh-tokoh dalam novel ini, penggambaran fisik dari kepala sampai kaki, asal-usul nama, kebiasaan sehari-hari, kecengan-kecengannya, sampai peringkat rangking di sekolah, lengkap dengan jokes Melayu ala Andrea Hirata yang pasti bikin ngakak.

Sampai akhirnya pas di tengah buku, rasanya gloomy, sedihhhhh banget. Kayak ngerasain banget perasaan Sabari yang sebegitu merananya. Pokonya perasaannya kayak dibawa naik roller coaster, naik turun. Pas lagi sedih tetep aja bisa ketawa, tapi merana pisan jadi gimana gitu mau ketawa juga wkwk.

Dipikir-pikir Sabari teh gila ya, gila banget, sebegitu gilanya ngejar Lena. Yah tapi kalo enggak gila mah bukan cinta. Ini katanya inspired by true story. Yah kata Sabari juga kenyataan lebih gila dari fiksi.

Penutupnya cantik, nyentuh, bikin berkontemplasi , alasan kenapa Amari milih pulang ke Belitong meskipun bisa mengejar karir di ibukota.

Dari Amiru aku belajar bahwa tak semua orang mendapat berkah untuk mengabdi kepada orangtua. Karena Amiru, ke mana pun aku merantau, setiap ada kesempatan, sesingkat apa pun, aku pulang untuk melihat ayah dan ibuku.

Pokonya buku ini took my heart away banget lah. Selain menghibur juga bikin mikir. Deep. Suka.
Profile Image for Kamalia Kamalia.
Author 17 books77 followers
October 13, 2015
3.5 bintang.

Permulaan cerita yang menghiburkan dan buat aku tersengih sorang-sorang. Namun, di pertengahan cerita, aku sudah mula rasa sedikit bosan tapi masih mampu mengikuti jalan ceritanya. Mungkin kerana Andrea Hirata terlalu banyak bermain dengan hiperbola dan metafora, jadi nampak terlebih-lebih. Watak-wataknya sering melakukan sesuatu yang luar biasa yang akhirnya 'keluarbiasaannya' itu mampu membuat pembaca terharu, termasuk aku. Pengakhiran jalan cerita yang manis, hampir-hampir saja aku mahu letak 4 bintang. Secara keseluruhan, novel ini mahu memberitahu pembaca, cinta sejati mampu menjadikan manusia melakukan sesuatu di luar norma sebagaimana cinta Sabari pada Marlena, atau cinta Sabari pada anaknya, Zorro atau cinta Tamat dan Ukun pada sahabat mereka, Sabari. Atau paling tidak pun cinta si kucing Abu Meong pada kucing betinanya, Marleni.

Pendek kata, novel Ayah ini tak lari daripada trademark Andrea yang suka bercerita tentang cinta gila dan manusia yang 'gila' kerana cinta.

Nota: Kemungkinan besar novel ini berdasarkan kisah benar seperti apa yang tertulis di awal buku.
Profile Image for Ginan Aulia Rahman.
221 reviews23 followers
June 1, 2015

Novel ini berkisah tentang seorang lelaki pengenggam pensil, ia bernama Sabari. Dia sangat mencintai Marlena, pujaan hatinya semenjak SMP. Dia yang matanya jernih seperti bulan purnama dua belas. Senyum dengan lesung pipit yang manis. Cinta Sabari pada Marlena adalah cinta yang sunyi dan sepi, karena Sabari bertepuk sebelah tangan. Bertahun-tahun.

Sabari dibesarkan oleh puisi-puisi ayahnya. Ketika senja tiba, ia mendorng kursi roda ayahnya ke dermaga, melihat matahari tenggelam bersama sambil bertukar puisi

“Hidup ini selalu terbagi dalam tiga babak, boi. Pertama membenci, kedua mencintai, ketiga mati. Pertama sedih, kedua tertawa, ketiga mati. Pertama muda, kedua tua, ketiga mati. Pertama pagi, kedua senja, ketiga mati”
Lalu mereka berdua melihat langit penuh awan. Awan yang mendung. Mereka merayu awan agar tidak hujan.

So sweet yah?

Ah saya tidak mau banyak menulis soal alur cerita. Kasihan yang belum membaca novel ini.

Saya mengira, Andrea punya taman metafora di halaman belakang rumahnya. Dia tinggal memetik metafor-metafor sesuka hatinya. Membaca novel baru Andrea berjudul Ayah, saya serasa mandi metafor. Nyaris di setiap paragraf.

Ah, saya bukan pengamat karya sastra, saya tidak ahli mengomentari novel. Da saya mah apa atuh. Bahkan saya tidak tahu beda antara karya sastra dan bukan. Tapi saya menikmati tulisan Andrea. Menurut saya yang dia tulis bukan sekedar kalimat, tapi... ah entahlah. Pokoknya lebih.

Jangan hakimi saya kalau pendapat saya seperti pendapat orang bodoh. Maklumlah, saya belum banyak membaca novel seperti kawan-kawan yang membaca tulisan ini.

Siap-siap saja mendapatkan cerita kocak dari gerombolan Sabari, Ukun, Tamat, dan Toharun. Kisah mengharukan Marlena binti Markoni, Zorro, Amiru, dan lainnya.

Saya mewek parah baca endingnya :'(
Profile Image for Wan Faizuddin.
30 reviews4 followers
July 8, 2016
I've been mesmerised by reading Andrea's Laskar Pelangi 8 years ago. Since then, never missed to read any of his books.

I may now declare that Andrea is my favourite fiction author, and this book of his, Ayah did not fail to deliver his literary magic with words.

Andrea is the few author to make any common life of a town folk in a deserted island to be heroic in the most entertaining way possible.
Profile Image for Teguh.
Author 10 books335 followers
June 5, 2015
Saya bukan penggemar Andrea Hirata, namun saat booming novel Ayah mewabah di dunia maya, penasaran saya jelas terungkit. Saya sudah kadung kecewa dengan dwiloginya yang tidak semanis judulnya dulu. Maka kehadiran novel AYAH yang begitu bombastis (bahkan konon naik cetakan kedua 9 jam usai diluncurkan) patut diwishlist-kan dan dibaca.
Novel ini lucu, beda dengan sebelum-sebelumnya, kata seorang kawan yang bekerja di penerbitan yang kebetulan menerbitkan buku ini. Buku ini sangat menarik untuk diresensi kata temenku yang kebetulan juga seorang resensiator.

Saya membacanya cukup cepat, entah karena begitu ringan atau saya dengan mudah men-skip beberapa adegan. Novel ini berkisah tentang Sabari (namanya dimaksudkan agar tetap sabar, namun kisah hidupnya membuat pilu dan harus melapangkan kesabaran), Marlena gadis yang dicintai Sabarai saat ujian masuk SMA gara-gara mermapas kertas jawaban Sabari dinamai Purnama Kedua Belas, lalu Zorro atau Amiru (pada awal saya agak teka-teki dengan tokoh Amiru dengan ayahnya Amirza, namun dijawab di bagian akhir) dan aneka persoalan hidup di Belitong dan budayanya.

Sabari memiliki kerja keras, meski memiliki wajah rusa dan gigi tupai yang tidak disukai Marlena yang memesona. Hingga lulus SMA Sabari terus berusaha mendekat Marlena namun gagal. Berlagak menjadi lelaki idaman yang disukai Marlena. Namun justru jodoh muncul saat Sabari bekerja di pabrik batako milik ayah Marlena dan dua kali menjadi karyawan teladan. Mereka menikah dan mendapatkan anak Zorro. Namun Marlena menuntut cerai dan merampas Zorro, yang ini membuat Sabari harus linglung dan menjadi gila. Kawannya Tamat dan Ukun, berinisiatif mencari Zorro dan Marlena. Dan mereka bertemu....

Gaya bahasa Andrea memang cair dan enak dibaca. Kesan humoris bahkan humor litotes sindiran pun bisa ditemukan di beberapa tempat. Misal begini saat Markoni (ayar Marlena) meratapi nasib karena berulang kali gagal dalam usaha, tiba-tiba mendapatkan ilham usaha baru yang mencerahkan saat melihat ana-anak sekolah berangkat. Usaha percetakan akan booming. Dia ingin terlibat dalam usaha pemerintah mencerdaskan kehidupan bangsa. Keesokan harinya dia menjual semua alat musik. Hasil penjualan itu langsung dipakainya untuk memulai usaha baru: percetakan batako (hal.21) Dari mana hubungan usaha percetakan dengan batako? Apakah pikiran orang Melayu sedemikian rumit? Hingga harus bridging terlampau jauh. Ternyata di halaman selanjutnya dijelaskan bahwa dengan batako Markoni ingin membantu menegakkan bangunan sekolah.

Atau guyonan macam begini: Apa susahnya untuk tahu Lee Kuan Yew adalah Presiden Filipina? (hal.50)
Atau Bu Norma guru SMA Sabari dengan logika aneh mengatakan bahwa 100 adalah 30% dari 400. Lelucon macam begini sering dijumpai dalam buku. Mungkin orang Melayu suka dengan guyonan-guyonan begini.

Orang Melayu juga gemar cakap: suka berbunga-bunga dalam kalimat, berisik, dan komentator ulung. dari cara Andrea menulis narator, juga sikap Sabari yang terlampau puitis, Zorro yang bahkan kelas 2 SD sudah bisa berpuisi, dll

Lantas oran Melayu itu berprinsip: bila layar perahu sudah terkembang, pantang putar haluan. Sampai mati harus dikejar tujuan. Meski dalam novel ini tidak seheroik kisah Laskar Pelangi, namun kisah Tamat dan Ukun mencari Lena sudah cukup membenarkan premis ini.

Namun seperti Andrea terlampau 'fiksi' bahkan terlampau mirip dongeng saat sabari menulis surat dalam lempeng tembaga dan sampai daerah Darwin Australia. (ini agak lebai dan terlampau sinetron Indosiar banget). Bagaimana elat tembaga sampai Australia bila dilepas di lautan Belitong? Pakai Penyu, kata Sabari dalam novel. Lalu bagaimana Penyu bisa berenang melampaui lautan dan samudera hingga Asutralia? Belum lagi bagaimana si Penyu menjaga pelat tembaga memang agak musykil sekali. Yaaaa bagian ini yang terasa kurang sreg.

Tapi tetap novel yang enak dibaca.

Profile Image for Jusmalia Oktaviani.
Author 4 books4 followers
May 31, 2015
Akhirnya selesai sudah membaca buku Andrea Hirata ini. Buku yang saya tunggu cukup lama setelah Tetralogi Laskar Pelangi dan Dwilogi Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas. Seperti biasa, sebagai pembaca, apalagi untuk karya yang ditunggu-tunggu, kita punya ekspektasi atau harapan tersendiri.
Salah satu harapan saya adalah, buku ini menceritakan tentang Ayah sang tokoh 'Ikal', tapi ternyata tidak ada kaitan antara tokoh Laskar Pelangi sebelumnya dengan novel ini. Novel ini menggunakan tokoh-tokoh yang sama sekali baru, meskipun setting tempat masih di Pulau Belitong juga.

Cerita dalam novel ini di awal mungkin akan terasa membingungkan, karena melibatkan banyak nama. Apalagi setting waktu yang digunakan maju mundur. Namun perlahan-lahan, Andrea akan mengungkapkan benang merah antara satu tokoh dengan tokoh lainnya. Karena itu kita harus cukup teliti dalam membaca novel ini, karena setelah membaca, kita akan diajak untuk mereview kembali potongan-potongan cerita tadi sehingga menjadi satu gambaran utuh.

Seperti biasa, Andrea Hirata menulis dengan lelucon ala Melayu-nya. Kadang ada yang garing, tapi ada juga yang membuat terpingkal-pingkal. Nama-nama tokoh yang digunakan juga 'ajaib'. Ada Sabari bin Insyafi, Tamat, Zorro, si juara marathon Dinamut, serta sekeluarga Amirza, Amiru, Amirta, Amirna, dan sederet nama lain yang tak kalah ganjil.

Hanya saja, menurut saya meskipun judulnya 'Ayah', saya justru merasa bahwa kisah ini didominasi oleh kisah cinta. Pasalnya dalam cerita ini, sang tokoh utama kehilangan anaknya semata wayang, sehingga kisah yang menonjol adalah kehilangan dan perpisahan antara ayah dan anak, bukan bagaimana kisah hubungan kasih sayang ayah terhadap anaknya. Saya justru merasa kisah mengenai hubungan antara ayah dan anak lekat pada novel sebelumnya yakni Sebelas Patriot.

Meski demikian, saya termasuk fans Andrea Hirata dengan segala kekurangan dan kelebihan dalam tulisannya. Setidaknya novel ini kembali mampu menertawakan kesedihan, kemiskinan, dan kebodohan yang terjadi bukan hanya di Belitong, tapi juga di daerah-daerah pelosok di Indonesia.
Profile Image for Ditta.
63 reviews35 followers
November 17, 2017
Baru ngecek goodreads lagi dan dapet notif postingan ijul soal coming soon novel Ayah 4 tahun lalu. HAHAHA
Akhirnya penantian 4 tahun akan menjadi nyata dalam waktu 15 hari lagi.
Sejujurnya novel Ayah ini adalah versi keempat dari draft novel Ayah 4 tahun lalu itu. Yah mungkin ada pertimbangan sendiri kenapa Andrea maju mundur menyelesaikan novel ini walaupun sebenarnya saya lebih suka versi draft pertama yang ditulis andrea ketika baru saja selesai mengikuti International Writers Program di Iowa University. Saat baca waktu itu saya berpikir, ah benar ternyata IWP lumayan bikin tulisan Andrea jadi lebih asik.
Anyway...versi draft pertama akhirnya memang tidak jadi diterbitkan karena selain kurang tebal sepertinya Andrea ingin lebih mendeskripsikan banyak sosok Ayah di novel ini, dibanding di draft sebelumnya yang memang hanya berfokus pada hubungan Sabari dan Zorro.
Untuk yang memang rindu dengan tulisan Andrea, novel ini cukup bisa memuaskan kerinduan itu. Humor-humor khas melayu yang (kadang garing sih) disisipkan cukuplah membuat kita tersenyum. Ditambah seperti kebiasaan andrea yang suka menuliskan analogi dalam novelnya juga bisa dibilang oke. Agak ganggu dikit dengan banyaknya tokoh dalam novel ini jadi beberapa kali saya harus balik lagi ke halaman-halaman awal sambil mengingat, *eh bentar, si anu itu yang mana yah?* tapi overall menurut saya dari segi cerita jadinya lebih kaya dan tidak lagi bercerita tentang Ikal, Lintang, Arai ataupun geng Laskar Pelangi lainnya walaupun setting masih melayu, masih di Belitung.
Buat yang mungkin berharap ini cerita Ikal tentang Ayahnya, maaf harapan kalian ngga terkabulkan. Tapi paling tidak setelah baca ini kita semua diingatkan akan sosok Ayah yang tidak kalah pentingnya dengan sosok seorang ibu *tiba-tiba pengen pulang* *kangen papa-mama*
Profile Image for Haniva Zahra.
425 reviews43 followers
June 3, 2015
Buku terbaru dari Andrea Hirata. Tema utama dari buku ini adalah hubungan ayah dan anak. Sabari, seorang laki-laki yang hanya mencintai dan sangat mencintai satu perempuan, Marlena. Bahkan bersedia menjadi ayah dari anak yang jelas bukan kandung. Menyayangi Zorro sepenuh hati, membesarkannya dengan cerita dan puisi, mengajarkan kebaikan hati dan ketulusan. Sayang, Lena diceritakan sebagai perempuan yang hanya menolak dan sangat membenci Sabari. Mungkin karena rupa Sabari yang tidak enak dipandang, sedang Lena adalah perempuan dengan senyum menawan. Jadilah pada buku ini tidak diceritakan tentang keluarga Sabari-Lena-Zorro yang harmonis. Lena kawin-cerai dengan beberapa lelaki. Zorro ia bawa pergi, Sabari sangat merasa kehilangan. Zorro tumbuh menjadi anak yang baik dan pintar. Tidak lagi banyak bertanya tentang seseorang yang ia panggil 'aya' karena prihatin dengan kehidupan ibunya yang jauh dari kata nyaman. Kemeja Sabari yang ada di tas Zorro saat Lena mengambilnya dari Sabari adalah satu-satunya kenangan Zorro dengan sosok yang selalu bercerita dan banyak berpuisi.

Di dalam buku ini saya terharu dengan tulusnya hubungan ayah dan anak. Insyafi dan Sabari juga Sabari dan Zorro. Seorang ayah bisa juga begitu kehilangan seorang anak. Biasanya dalam kasus-kasus perceraian, ayah menyerahkan hak asuh anak pada ibunya karena biasanya ayah lebih memilih untuk mencari nafkah. Tapi Sabari berbeda, ia justru keluar dari pekerjaan yang lama dan mencari sumber penghasilan baru agar bisa tetap dekat dengan Zorro. Membaca buku ini, tidak membuat saya segera ingin menjadi ayah (tentu), tapi jadi ingin segera menemukan calon ayah yang seperti Sabari :p

Andrea Hirata menulis dengan lebih baik bila dibandingkan dengan buku-bukunya sebelumnya. Alur cerita lebih kompleks, diksi yang digunakan semakin puitis, humor yang terselip semakin membuat senyum lebar atau tertawa terkikik, cerita sedih yang mengiris hati, miris, namun terkadang masih bisa kita tertawakan. Mungkin benar, semakin malang hidup yang kita jalani, semakin perlu kita untuk mudah tertawa, misalnya mentertawakan hidup ini.
Profile Image for Lelita P..
628 reviews60 followers
September 25, 2017
Saya terakhir membaca karya Andrea Hirata saat SMA: Edensor. Saya tidak menamatkan Maryamah Karpov, entah bagaimana tidak bisa menyukai ceritanya. Dan ketika buku-buku Andrea yang lain terbit--Dwilogi Padang Bulan, Sebelas Patriot, lalu Ayah ini--saya tetap tidak tertarik. Kemudian terbitlah Sirkus Pohon, teman saya membelinya, barulah tali antara saya dan karya Andrea Hirata tersambung kembali. Di Indonesia International Book Fair kemarin saya membeli Ayah dan Sirkus Pohon.

Begitu mencecap halaman pertama Ayah... saya tersadar betapa Andrea Hirata memang memiliki sihir itu. Sihir magis seorang penulis. Laiknya novel tere-liye, meski bukan fanatik dan tidak selalu membacanya, tapi selalu masih tersisa tempat di hati.

Novel ini lucu. Beneran. Humornya khas Andrea Hirata.
Tetapi juga menyentuh. Beneran. Khas Andrea Hirata.
Dan bahasanya indah dengan citarasa sastrawi tapi tidak sulit dimengerti. Juga khas Andrea Hirata.

Awalnya cerita dikisahkan dari sudut pandang tiga tokoh: Sabari, Markoni, dan Amiru. Tak lama setelah itu hubungan antara karakter Sabari dan Markoni segera terungkap. Namun, tokoh Amiru tetap berdiri sendiri hingga akhirnya menghilang dari lembaran-lembaran buku. Muncullah sudut pandang tokoh baru, Manikam dan Jon, yang segera juga berkelindan dengan linimasa utama. Amiru tetap menghilang, membuat saya bertanya-tanya meskipun terhanyut dengan kisah Sabari dll.

Sampai tibalah pada twist yang benar-benar tak terduga ketika Amiru dimunculkan kembali.

Detik itulah saya bertekuk lutut pada keajaiban novel ini, bagaimana Andrea bisa mengemas kisahnya sedemikian rupa dengan berbagai sudut pandang, kelucuan tokoh-tokohnya yang absurd, bagian-bagian mengharukan, dan segalanya segalanya yang membuat Andrea Hirata memang layak menyandang predikat sebagai novelis powerful negeri ini.

Bagaimana dia bisa menulis kisah yang sederhana menjadi terasa begitu luar biasa dengan cara bercerita hiperboliknya yang menyenangkan.

Bagaimana dia bisa menyentuh hati banyak orang dengan menceritakan kisah cinta dan kasih sayang yang berbeda dari biasanya.
Profile Image for Shah Abdullah.
44 reviews8 followers
July 19, 2015
Sememangnya Andrea Hirata seorang penulis yang fenomenal. Seperti biasa, terasa kepuasan yang sungguh bermakna apabila sampai ke halaman terakhir.

"Segala hal dalam hidup ini terjadi tiga kali, Boi. Pertama lahir, kedua hidup. ketiga mati. Pertama, lapar. Kedua, kenyang. Ketiga mati. Pertama jahat, kedua baik, ketiga mati. Pertama benci, kedua cinta, ketiga mati. Jangan lupa mati, Boi"
Profile Image for Siqahiqa.
594 reviews106 followers
July 30, 2019
Pertama kali aku membaca buku fiksyen dari negara jiran, 🇮🇩. Kawan aku yang berminat untuk baca buku ini dan aku tumpang pinjamlah. Hihi.

Buku ini membawa kita menyelusuri kisah cinta Sabari buat Lena dan kisah orang-orang di sekeliling mereka berdua. Sabari seorang yang sangat suka akan bahasa Indonesia dan pandai berpuisi seperti ayahnya. Sabari juga sangat mencintai Lena. Cinta pandang pertama walaupun cintanya tidak pernah berbalas. Namun begitu, kehidupan Sabari ditemani oleh kawan-kawan yang baik dan sengal seperti Ukun, Tamat dan Toharun.

Cerita mereka bermula daripada zaman sekolah sehingga akhir hayat Sabari dan Lena. Di awal cerita, aku bergelak tawa dengan kata-kata Sabari dan kawan-kawannya, Ukun, Tamat dan Toharun. Gelak sampai mengalir air mata! Mujurlah aku tak baca di tempat umum. Panas tidak hingga ke petang. Apabila meningkat usia, pelbagai konflik muncul dan ketika inilah kesabaran sangat diuji pada insan bernama Sabari.

Buku ini banyak mengajar nilai kehidupan. Bagaimana untuk kita sentiasa bersyukur dengan apa yang kita ada dalam kehidupan? Bagaimana hasrat kita untuk kekal tetap hanya untuk sesuatu? Bagaimana kita boleh mengubah kehidupan dengan menjadikan seseorang sumber inspirasi dan berusaha menjadi yang terbaik? Bagaimana ada insan yang sangat tulus hatinya? Sabari merupakan satu watak yang sangat bagus budi pekertinya. Alangkah amannya dunia jika semua orang seperti Sabari. Kita tidak perlu minta lebih. Cukup seadanya. Only take really good care for important things in our lives and ignore the rest.

Aku suka dengan cara susunan cerita dalam setiap bab. Plot cerita diterangkan dengan baik dan setiap watak ada fungsi tersendiri. Setiap bab juga tidak terlalu panjang dan ini juga memudahkan pembacaan dalam memahami cerita dalam buku ini. Selain itu, aku kagum dengan semangat Ukun untuk mempelajari bahasa Indonesia yang lebih baik dan membawa kamus umum Indonesia ketika mengembara dalam negara Indonesia. Betapa mereka sangat mementingkan bahasa kerana bahasa yang baik akan membuatkan orang senang dengan kita, maka lebih senang hati untuk orang itu menghulurkan pertolongan.

Seperkara lagi, semua puisi dalam buku ini sangat cantik susunan bahasanya. Aku paling suka akan Kisah Keluarga Langit dan Nyanyian Puisi Untuk Awan. Indah sekali 😍

Sesungguhnya, aku rekomen buku ini untuk mereka yang suka akan cerita dalam buku yang lebih kepada realiti kehidupan dan merangkumi kisah percintaan, persahabatan dan kekeluargaan. Sebuah cerita yang jarang dijumpai pada buku-buku lain. Bahasa Indonesia yang digunakan boleh difahami. Kalau tak faham, google translate saja 😁

Rating 4.5/5 ✨


Profile Image for An Nasaie.
31 reviews27 followers
June 24, 2015
Bagaimana harus aku memulakan kupasan pandanganku ini? Sebelum memulakan bacaan aku sudah mengagak Andrea Hirata pasti membawa aku menyelusuri aksara-aksaranya yang rumit, terperinci tapi indah. Nyata itu yang aku lalui setelah membaca karyanya sejak lasykar pelangi hinggalah kini, Ayah (kecuali endorser). Teknikal penulisan AH tidak banyak berubah cuma plot penceritaan yang secara personalku segar yang membawa kepada pengahiran yang tidak disangka-sangka ( walau aku sedikit dapat menebak).


Dari segi latar tempat, AH nyata juara, menghuraikan terperinci dari suasana dan konteks kampung pemain-pemain, pekerjaan, sosial tempat, serta mitos setempat seperti langit biru di bulan Februari. Oh nyata itu yang ingin aku tahu dari penulisan seseorang penulis novel iaitu tentang hal-hal yang dianggap remeh tapi bagus sebagai pengetahuaan am. AH tiada masalah untuk huraikan ini semua. Paling manis pastinya puisi-puisi didalam ini yang begitu mempersonakan.


aku kira ini adalah himpunan kisah Kehidupan lelaki yang bergelar ayah. Dari Amirza dan anaknya, Amizu, Sabari dan Anaknya Zorro, Jon Pijareli, Manikam dan Neil dan Larrisa. AH mengadun didalam satu rencah kehidupan yang diuli bersama kusah cinta agung Sabari yang mencintai Marlena. Kisah cinta yang pada aku sangat realistik dan nyata!. Sabari yang dikurniakan dengan wajah yang kurang enak mencintai Marlena yang punya mata indah tapi tidak pernah menbalas cinta itu. Nasib cinta Sabari begitu tragis bagiku, tapu Sabari bukanya wira yang pesimis dan mengaku kalah! gila sekali Sabari ini.

Seperti biasa, Hirata jika melucu, aku mampu ketawa berguling dari bilik sampai ke pintu tamu, dan jika melankolik babaknya, aku ikut serta sedih sambil sesak dadaku.

Ah, drama sungguh review aku ini. Bacalah sajalah kau!
Profile Image for Nanik Nur'aini.
515 reviews10 followers
October 23, 2016
Terlalu banyak tokoh terlalu banyak kisah, yang pada akhirnya saling berkaitan dan saling bertautan. Semuanya bermuara pada kisah Sabari, Marlena dan Zorro.

Pada awal cerita, saya berpikir ada 2 cerita paralel yang disuguhkan, yang membuat saya agak bingung juga karena harus bolak-balik memahami antara cerita bapak anak Amiru-Amirza dengan kisah cinta bertepuk sebelah tangannya Sabari-Marlena. Karena judulnya saja Ayah, saya berpikir bahwa ceritanya akan lebih ke arah Amiru-Amirza, karena bagaimanapun juga hubungan anak-ayah ini unik. Amiru yang bahkan rela bekerja banting tulang hanya demi menebus radio Philips yang digadaikan Amirza. Sejenak, Amirza sendiri mengingatkan saya pada Bapak. Bapak saya yang pada jaman modern dimana sudah eranya Smart TV, masih rajin nongkrong di depan radio untuk mendengarkan ceramah agama.

Bagaimanapun kisah Sabari dan Amiru ini membuat saya terharu apalagi saat akhirnya mereka bertemu lagi setelah terpisah 8 tahun. Dan moment puncaknya adalah ketika surat Larissa sampai ke Sabari dan Amiru membalasnya. Dalam hati saya lega karena bagaimanapun adalah keadaan langka dimana seorang asing yang hanya menerima catatan di seekor penyu mampu untuk mencari kemanapun dia mampu walaupun ditentang keluarga, dan dibilang gila oleh semua orang. Brother Niel, youre awesome.

There are so many holes in this story, seperti siapa ayah kandung Amiru, kenapa Amiru bisa langsung tahu Sabari adalah ayahnya, kelanjutan kisah Izmi dan lainnya. Tapi ya sudahlah, mungkin memang saya harus membaca buku ini tanpa berpikir jauh-jauh, walaupun memang bikin penasaran juga. :)

Dan mungkin, ini adalah saatnya saya menelepon Bapak. Karena bagaimanapun juga buku ini mengajarkan saya, seorang ayah dapat melakukan apapun juga demi membuat anaknya senang.
Profile Image for Nawfal Ahmad.
37 reviews2 followers
October 26, 2015
1. Jangan bandingkan buku ini dengar buku hirata yang sebelum. Nanti anda kecewa. Mulakan dengan yang baru nanti kurang kecewanya.

2. Sebenarnya buku ini sangat menarik, ia ada jalan cerita yang mampu memberikan inspirasi yang kuat. Kisah cinta sabri dengan lena dan konflik ayah-anak dengan zorro adalah sebuah cerita yang menarik dan diserikan dengan tema persahabatan ukun dan tamat.

3. Namun banyak perkara lemah yang ada dalam karya ini. Pada lawak tak jadi, pada banyak benda yang tak perlu, pada tiba-tiba yang banyak(marlan pulang mengapa?), pada yang tak dimasak habis(kisah penyu dan larissa yang serupa sinetron). Akan menghasilkan ketidakpuasan pada pembaca. Kita seolah menunggu bilakah yang istimewa akan muncul. Namun semuanya seperti berulang dan dipaksa untuk membaca hingga ke akhir.

4. Aku suka bila semuanya dimasak dan diadun rapi. Bukan masin di sini tawar di sana. Kerap hirata 'tell' bukan 'show'. Kerap juga dibiar sendiri beberapa adegan atau plot tanpa diikat. Hiperbola yang terlalu pada karakter juga membosankan. Semuanya keterlaluan, sabari yang terlalu frust, ukun dan tamam yang bodoh teruk.

5. Dari segi karakter, yang aku suka marlena. Pertama dia round tidak flat. Maksudnya dia berubah menjadi baik. Ada Hiperbola pada siri perkahwinanya yang aku rasa tidak perlu.

6. Harus dipuji endingnya. Akhir kisah cinta yang menang, marlena akhirnya ada hati juga pada sabari. Amiru menjadi anak yang baik.
Profile Image for Roslee Saad.
36 reviews9 followers
May 10, 2016
"Ingat, Boi, dalam hidup ini semuanya terjadi tiga kali. Pertama aku mencintai ibumu, kedua aku mencintai ibumu, ketiga aku mencintai ibumu."

Kisah Sabari yang puitis mengejar cinta Marlena dari bangku sekolah hingga akhir hayat. Berkahwin secara percuma dengan Marlena dan ditinggalkan. Terpaksalah Sabari menyara dan membesarkan anak tirinya. Marlena yang kerap mencari cinta baru kembali merebut anaknya. Tinggallah Sabari setengah gila rindukan anaknya.

Marlena yang tegas dan berpendirian, berkelana mencari cinta. Berkahwin, berkahwin dan berkahwin lagi. Membawa anaknya yang mewarisi bakat berpuisi dari Sabari.

Sahabat Sabari, Tamar dan Ukun yang simpati dengan Sabari merantau mencari Marlena dan anaknya seluruh Sumatra. Mereka cuba menjejaki Marlena dari bandar ke bandar. Akhirnya ketemu juga lalu dibawa anak Sabari pulang ke pangkuannya.

Sehingga akhir hayatnya Sabari mencintai Marlena. Cintanya tidak pernah berbalas. Hanya ketika ajal Marlena menghampirinya, dia meminta dikuburkan berhampiran dengan Sabari.

Pengakhiran cerita ini amat manis. Sabari yang puitis kini berbalas puisi dengan anaknya.

Seperti selalu dalam novel-novel Andrea, sarat dengan budaya Melayu, cinta dan persahabatan. Andrea pakar bermain wayang dengan kata-kata.
Profile Image for Siti Ruqaiyah.
8 reviews60 followers
September 16, 2015
Buku yang diakhiri dengan pengakhiran bahagia. Saya kagum akan sikap watak utama, Sabari yang begitu setia pada cintanya, Marlena walaupun Marlena sedikitpun tidak sudi membuka hati buatnya. Sejak dari sekolah rendah hingga ke akhir hayatnya, Sabari setia pada Marlena. Bayangkanlah berapa puluhan tahunkah itu? Saya terfikir, wujudkah orang yang mencintai insan lain sedalam ini dalam dunia realiti?

Keindahan cinta Sabari lagi, adalah kepada anaknya, Zorro. Betapa sengsaranya hidup Sabari hingga seperti orang gila bilamana Zorro dibawa pergi oleh Marlena. Sering kita dengar kekuatan kasih ibu, tapi jarang jarang sekali kita dengar hebatnya kasih ayah. Dan memang 'rare' pun, saya kira, untuk wujud lelaki seperti itu.

Jika dihayati, novel ini boleh menumpahkan air mata atas pengorbanan wataknya dan juga mencuit hati dengan gaya penulisan penulisnya.
Profile Image for Sharulnizam Yusof.
Author 1 book95 followers
September 7, 2015
Kisah cinta Sabari.

Cinta mabuk kepayang kepada Marlena. Cinta paling agung seorang ayah untuk si Zorro.

Yang paling mengkagumkan, si lugu yang bijak berpuisi ini bersungguh-sungguh dalam setiap apa yang diusahakannya. Untuk kepuasan diri. Untuk membukti cinta.

Dan untungnya Sabari, ada watak-watak lugu lainnya mengiringi perjalanan hidup. Ukun, Tamat dan Toharun. Sahabat lugu yang tak dapat dijangka. Demi sahabat, mereka sanggup berkorban.

Cuma, watak Izmi menimbulkan tanda tanya. Apa "peranannya", selain terinspirasi dengan Sabari secara senyap?
Profile Image for Khairul Muhammad.
Author 15 books68 followers
February 19, 2016
Saya memiliki naskah ini sudah agak lama. BSetiap kali memegang naskah Andrea Hirata, saya perlu kepuasan maksimum. Mesti membaca dalam redup suasana sunyi sepi. Serius mahu nikmati.

Boleh saya katakan Andrea punya kuasa luar biasa dalam setiap kata. Seronoknya Ya Tuhan. Koleksi ini menambah lagi satu seleksi dunia keluarga, cinta dalam perhubungan halal yang sentiasa dibina oleh setiap manusia yang ada jiwa.

Profile Image for Siti.
Author 3 books18 followers
May 3, 2017
Akhirnya selesai naskhah ini. Lama dan mencabar masa yang diambil, kerana cerita latar pada awal dan pertengahannya agak panjang. Ditambah pula bahasa Indonesia. Ada juga perkataan/ayat yang sukar difahami.

Apapun, terus membaca. Usaha nyata tidak sia-sia. Rasa mahu menangis seusai mata menyentuh perkataan terakhir. Mahu menitik air mata di tengah-tengah restoran, selepas makan malam dengan buku. Heh.

Sedih. Sedih yang gembira. Logik atau tidak paradoks ini?
Profile Image for Haris Firmansyah.
Author 12 books35 followers
July 20, 2015
Di saat Raditya Dika mulai serius dengan Koala Kumal, Andrea Hirata mengajak bercanda di novel Ayah ini.

Beberapa kali saya dibikin tertawa berderai-derai. Apalagi bagian repetisi juru antar dengan motor tuanya yang mesti diengkol berkali-kali. Lucu.

Oh ya, Andrea Hirata pakai teknik foreshadow. Apa itu foreshadow? Saya juga taunya dari review di Goodreads ini.
Profile Image for Ardy Damar.
141 reviews18 followers
July 10, 2017
Bagus bgt, dan emang selalu suka karya2 andrea hirata..
Karakter2nya walau tingkah lakunya absurd abis n keknya sakit jiwa (gara2 cinta) Bener2 bikin ngakak dan saat tertentu bikin hati teriris-iris..
Buku yg bagus..
Suka puisi2nya, dongeng awannya jg bagus..

Ga salah gw beliin buku ini buat hadiah nikahan temen..
Profile Image for Mardhiah.
85 reviews6 followers
September 4, 2015
Habis. Buku yang terhasil dalam bahasa melayu indonesia yang sedikit berbeza dengan bahasa seharian saya. Namun masih boleh difahami sebelum diterjemah untuk dibaca.Senyum. Teringin jumpa Andrea Hirata!
Profile Image for Nor.
Author 9 books105 followers
July 13, 2016
Kisah tentang kesabaran seorang ayah bernama Sabari. Menjadi 'pak sanggup' kepada anak majikannya yang memang dicintainya sepenuh hati sampai ke mati. Menyayangi anak yang bukan zuriatnya sepenuh jiwa hingga dirinya terseksa bila anaknya dibawa lari tanpa kata.
Profile Image for Idham Aishamuddin.
33 reviews4 followers
June 21, 2021
“Sabari gemetar karena melihat bayi itu dia menemukan seseorang yang selama ini bersembunyi di dalam dirinya. Orang itu adalah ayah.”
(p. 201)

“Konon, hari paling penting dalam hidup manusia adalah hari saat manusia itu tahu untuk apa dia dilahirkan. Sekarang Sabari tahu bahwa dia dilahirkan untuk menjadi seorang ayah. Seorang ayah bagi Zorro. Anaknya telah mengurai semua misteri tentangnya. Bahwa wajahnya tidak tampan agar dia tidak menjadi orang seperti Bogel Leboi. Karena dia seorang Sabari maka Tuhan memberinya Zorro. Bahwa tangannya yang kasar dan kuat seperti besi adalah agar dia tak gampang lelah menggendong Zorro, Bahwa dia gemar berpuisi dan berkisah adalah agar dapat membesarkan anaknya dengan puisi. Sabari memeluk anaknya yang telah jatuh tertidur, serasa memeluk awan.”
(p. 247)

Penceritaan sangat progresif, menghiburkan, menyentuh hati terutama para lelaki. Rasa mahu ke Pulau Belitung!
Profile Image for Harumichi Mizuki.
2,430 reviews72 followers
December 24, 2019
Kisah dengan plot yang megah. Membacanya tak bikin lelah. Sayang buatku ada semacam missing link di bagian petualangan Ukun dan Tamat dalam mencari Marlena dan Zorro. Ketemunya gimana gitu, loh??? Bagian yang mengantarkan mereka sampai ke Amirza, juga gimana Marlena bisa ketemu Amirza nggak ada

:(

That's why, meski novel ini sudah sangat menghiburku seharian ini, bintangnya empat aja.

Ini adalah kisah orang-orang yang kehilangan dan karena itulah mereka terus mencari dengan setia.
Displaying 1 - 30 of 865 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.