“Kau percaya masa depan masih memiliki kita?” “Akan selalu ada kita. Aku percaya.”
NANTI tidak bisa begitu saja menoleh dan pergi dari masa lalu meskipun ia sudah berkali-kali melakukannya. Terakhir, ia mengucapkan selamat tinggal dan menikah dengan lelaki yang kini berbaring di makamnya itu.
Aku tidak pernah ingin mengucapkan selamat tinggal. Aku tidak pernah mau beranjak dari masa lalu.
Masa lalu, bagiku, hanyalah masa depan yang pergi sementara.
Namun, ada saatnya ingatan akan kelelahan dan meletakkan masa lalu di tepi jalan. Angin akan datang menerbangkannya ke penjuru tiada. Menepikannya ke liang lupa. Dengan menuliskannya, ke dalam buku, misalnya, masa lalu mungkin akan berbaring abadi di halaman-halamannya.
Sebagai seorang yang puitis, Aan Mansyur membanjiri novel ini dengan kata-kata yang indah di setiap baris. Bagus? Bagi penggemarnya mungkin iya. Tetapi bagi saya, yang berusaha seobjektif mungkin (karena ketika membaca novel ini dibayang-bayangi kata "selebtwit", alih-alih "penyair"), terasa begitu membosankan. Tidak ada letupan-letupan atau kekaguman yang saya rasakan terhadap kata-katanya, pun ceritanya yang klise. Alurnya yang dibuat maju mundur menjadikan akhir cerita mudah ditebak bahkan di paruh awal.
Entahlah, seperti halnya 5 cm, novel ini mungkin bukan cangkir teh saya. Tadinya saya ingin membaca Kukila karena banyak orang yang menilainya bagus, tetapi sepertinya urung karena takut mengalami kekecewaan yang sama.
Akhinya saya hanya bisa mendengus menutup novel ini setelah menyelesaikan dengan susah payah, rasanya seperti terbebas dari dunia slow motion.
Tidak mudah untuk membahas buku ini tanpa membeberkan sedikit ceritanya. Jadi, maafkan saya sebelumnya kalau di ulasan ini saya secara tidak sengaja menyebutkan hal yang bersifat spoiler. Tapi sebenarnya tidak ada juga hal yang cukup mengejutkan di buku ini karena bagian blurb-nya yang nggak nyambung itu (atau bisa dibilang saya yang nggak nangkep maksud blurb-nya) sudah mengungkapkan inti cerita buku ini.
Ketika awal membaca, saya cukup terkejut setelah mengetahui kalau buku ini adalah sebuah novel, bukan kumcer seperti yang saya kira -____-. Salahkan kecerobohan saya yang saking senangnya ketemu buku ini di toko buku dan tak sabar membawanya pulang sampe nggak baca label "novel" di cover-nya. Plus ketidak-jeli-an saya ketika promosi buku ini berseliweran di timeline twitter.
Saya merupakan penikmat cerpen-cerpen Mas Aan Mansyur yang saya baca dari buku-buku kumcer maupun di blog pribadi beliau. Dan buku ini merupakan pertama kalinya saya membaca tulisan beliau berupa novel.
Tetapi, hidup selalu punya tetapi... Jujur saya kecewa. Saya menemukan tidak ada yang spesial dari buku ini kecuali bahasanya yang puitis dan indah. Di bagian awal ketika menceritakan masa kecil Jiwa, saya cukup suka sih. Tapi semakin Jiwa bertubuh dewasa, dan dia bertemu beberapa perempuan sebelum kemudian bertemu Nanti, saya tidak bisa tak mengacuhkan rasa bosan yang menghampiri saya.
Ada dua poin yang paling mengganggu saya. Pertama, judulnya. Saya sama sekali tidak mengerti maksud dari "Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi." (walaupun saya amat sangat suka dengan judulnya) Apakah si 'lelaki' ini Jiwa? Tapi kenapa bisa dia menjadi lelaki terakhir yang menangis di bumi? Saya pikir setelah Jiwa akan masih banyak lagi lelaki yang menangis di bumi karena kesedihan mendalam. Tapi mari abaikan bagian ini, mungkin salah saya yang terlalu menganggap serius judulnya padahal sama sekali tidak mengerti apa pun x))
Lanjut ke poin kedua, (sekali lagi) jujur, saya tidak suka dan malah terganggu dengan footnote yang merupakan tambahan-tambahan (nggak penting) dari Nanti. Membuat saya jadi sedikit tidak bersimpati pada Jiwa, sekaligus membuat saya merasa karakter Nanti annoying sekali.
Saya pikir tidak ada yang salah dengan buku ini. Mungkin hanya bukan cangkir teh saya.
3 bintang saya berikan untuk cover-nya dan 20 halaman yang sudah saya lipat di bagian ujungnya karena berisi quotes yang saya suka.
Dalam alur yang cukup lambat, penulis membawa pembaca ke dalam perjalanan kenangan. Secara pribadi, kurasa, M Aan Mansyur lebih cocok menuangkan aksaranya dalam bentuk puisi saja. Sebab, novel ini—bagiku—hanya menegaskan perihal “lelaki yang berpuisi” adalah seorang pembual agung yang menuang banyak harap pada hati para perempuan.
Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi. Namun, aku banyak tertawa selama membacanya sebab kenyataan yang begitu dekat dengan wacana terlampir. Lucu sekali.
Buku ini sangat kentara ditulis oleh seorang pemuisi andal. Diksi-diksi cantik dengan tumpahan metafor dalam narasi maupun percakapannya sangat bisa untuk dijadikan quote of the day di media sosial. Sayangnya, tidak ada fluktuasi emosi yang signifikan. Jadi, yaaa, datar saja. Tanpa klimaks, tanpa penyelesaian yang mantap. Menyerah pada kenangan.
Sebetulnya, bentuk penulisan yang disodorkan cukup unik dan menarik. Namun, kurasa, eksekusinya masih kurang baik.
Kalau kamu mati, kamu akan meninggalkan apa? Atau, apa yang sudah kamu persiapkan seandainya kamu mati nanti?
Jiwa Matajang (mak, nama tokohnya keren!) meninggalkan manuskrip yang bisa saya sebut semi-biografi Jiwa yg ia tulis sendiri. Di dalam cerita, Jiwa memang seorang penulis. Isi naskah novelnya? Tentang (sebagian kecil atau besar?) perjalanan hidupnya. Dari masa kecil, hingga saat-saat sebelum kematian menjemputnya. Tapi intinya, ia bercerita tentang rasa cintanya kepada Nanti, kekasihnya yg menikah dengan laki-laki lain.
Ah, sekali lagi, I'm a sucker for kasih-tak-sampai story. ❤️
Pengin kasih lima bintang seandainya ada sesuatu yang baru yang saya dapat terkait isi ceritanya. Tapi nggak ada. Makanya empat bintang ini untuk cara bertutur Aan Mansyur yang puisi (dan kalimat-kalimat layak kutipnya). :))
Kayaknya pas kalau baca buku ini sambil tidur-tiduran di pinggir pantai. Alunan kalimatnya indah.
Buku kedua dari M Aan Mansyur yang saya baca. Buku ini mungkin bisa dibilang sangat filosofis dan idealis. Yang mana tokoh Jiwa adalah seorang idealis bajingan. Saat membaca novel ini, saya terus berpikir. Berpikir tentang sudut pandang kehidupan, masa depan, dsb.
Hal yg sangat disayangkan dari buku ini adalah bahwa Jiwa tidak menikah dgn Nanti. Sunggu tragis, sangat tragis malah. Keputusan Jiwa untuk jadi "bujangan tua"-- walaupun ia bukan bujangan lagi--adalah keputusan terbodoh. Dan menurut saya, hidup Jiwa itu sangat tragis, namun indah. Aneh.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Nanti dan Jiwa semoga hidup dalam kehidupan yang lebih baik di ruang kehidupan yang jauh lebih baik, dari kehidupan yang telah ada atau yang ditiadakan.
Saya ingin berterima kasih pada Aan Mansyur yang telah menuliskan novel yang; saya ingin mengatakan novel ini indah. Tetapi, hidup selalu punya tetapi. #eh
What is love or desire? I don't believe it. But, In the end, Mansyur has an unique style to make fiction, story, and poem alive together in the piece of sentences.
live always has coma or something...
and don't forget to love yourself and other before death comes.
Ini kali pertama saya membaca tulisan Aan dan saya akui bahawa saya sudah mulai jatuh hati terhadap bahasanya yang indah dan mudah difahami. Saya dibawa jauh ke dasar hidup Jiwa dengan merenangi rentetan hidup Jiwa dari kecil. Buku ini benar-benar memberi erti sepi. Kedua-dua POV menjadikan cerita ini seperti sebuah cerita nyata, walaupun Aan ada menyatakan ini adalah rekaan semata-maya dan boleh jadi ianya cerita yang benar.
Pergaulan perasaan cinta dan kesepian menambahkan lagi emosi kepada saya yang membacanya.
Kalau punya 20 bintang di sini, akan saya berikan kesemuanya untuk cerita ini.
Saya menyesal tidak mengetuk pintu saat book launch, meski saat itu saya hanya perlu menggamit gagang pintu Museum La Galigo. Banyak sekali tanya yang hendak saya sampaikan. Termasuk untuk buku ini, saya heran sendiri, mungkinkah Jiwa dalam buku ini adalah "jiwa" Aan Mansyur sendiri. Penasaran saya terjawab di "Lampiran atau Beberapa Perihal Kecil yang Ditulis oleh M Aan Mansyur Khusus untuk Anda". Buku ini, novel puitis. Hampir di tiap halaman, seperti sedang membaca sepilihan sajak romantis nan melankolis.
Saya tak membeli buku ini sebab judulnya. Tidak, saya justru sampai termangu tak paham mengetahui judul ini. Lagi-lagi, penasaran saja, siapa yang harus menjadi lelaki terakhir yang menangis di bumi ini? Sepilu atau seharu itukah hidupnya (melampaui saya)?
Kisah masa kecil Jiwa dengan segala keanehannya tak terlalu banyak berpengaruh. Sikap Jiwa terlalu plin-plan dengan mudah sekali berganti-ganti pembawaan. Perempuan-perempuan Jiwa terlalu banyak dan tak tentu, meski di atas segala, Nanti adalah satu-satunya. Apapun itu, Jiwa dan Nanti, barangkali sedang menyindir saya pula. Terlalu banyak kesamaan. Atau saya saja yang terlalu berperasa.
Tetapi, hidup selalu punya tetapi.
***
"Semua orang pernah disakiti, dan salah satu kebahagiaan langka dalam hidup ini adalah melihat orang yang menyakiti kita menyadari kesalahannya."
"Ingatan adalah perihal yang sungguh-sungguh aneh. Lengannya bisa menjangkau ke masa lampau, tetapi kadang tidak mampu menyentuh hal-hal yang baru saja berlalu."
"Ibuku pernah berkata,'Seringkali ada kesedihan yang terlampau besar sehingga cuma rahasia yang mampu menampungnya."
"Menulis adalah cara lain untuk bermain dan membunuh kebosanan. Menulis adalah perang melawan sepi."
"Selain pintar menulis puisi untuk dibaca perempuan, kau harus menjadi puisi yang bisa membuat perempuan jatuh cinta,' kata Ibu."
"Aku suka memperhatikanmu diam-diam Beranikah kau mencoba jadi pacarku?" (Saya tergelak membaca bagian ini, Jiwa pertama kali menembak perempuan-dan bahasanya- "beranikah kau mencoba")
"Mencemburui masa lalu seseorang adalah salah satu hal paling menyedihkan dan lucu di dunia ini."
"Mungkin karena obsesi masa kecilku ingin menikahi Hujan, aku sangat lambat merasakan jatuh cinta kepada perempuan. Ketika SMP, nyaris semua teman lelakiku punya gadis yang mereka cintai. Beberapa di antara mereka sudah jatuh cinta waktu mereka masih SD. Aku tidak. Aku tidak pernah jatuh cinta kepada gadis mana pun di sekolah. Aku sering disebut banci karenanya. Aku kali pertama pacaran saat kelas tiga sma. Pacar pertamaku adalah Riana." (this is so me, made me laugh desperately)
"Jangan pernah menyakiti hati perempuan, terutamanya ibumu."
"Nenekku pernah berkata, 'Belajarlah menyembunyikan rasa sakit dari perempuan.'"
"Perempuan seperti anak kecil, senang mengatakan tidak. Laki-laki seperti seorang anak kecil yang bodoh, menanggapi penolakan perempuan dengan sangat serius."
"Kau tidak betul-betul mencintai seseorang sampai kau tidak mampu lagi mengatakannya."
"Aku ingin dinikahi dengan mahar puisi. Aku ingin pesta pernikahannya dirayakan di perpustakaan. Dan para tamu hanya boleh datang membawa buku, agar setelah menikah kita bisa punya perpustakaan. Kita akan menghabiskan malam pertama bercinta di atas tumpukan buku itu."
"Mantan kekasih persis seperti utang, kita tidak pernah betul-betul melupakannya. Kita hanya selalu pura-pura melupakannya."
"Kecantikan bintang, katanya, terletak pada jaraknya. Karena berjarak dari kita, dari mata kita. Jika menginginkan satu hubungan tetap indah, katanya harus berjarak seperti bintang."
"Lihat, bahkan ketika jatuh, bintang tetap terlihat indah. Kadang-kadang, dalam hidup ini, kita harus jadi seperti bintang itu, jatuh demi membuat seseorang tersenyum dan berdoa."
"Kebahagiaan, pada satu titik, bisa menjadi amat mengerikan. Ada saat ketika kau tidak mampu berbahagia, kecuali dengan cara menyakiti orang lain."
"Jika saja orang-orang mau lebih keras membuat diri mereka nyaman dengan kesendirian, jika orang-orang mau berdamai dengan kesepian mereka, aku percaya dunia ini akan menjadi lebih baik."
"Kehilangan adalah perasaan yang baik untuk selalu dimiliki. Tidak ada yang sempurna dalam hidup kita. Kehilangan adalah satu-satunya yang hampir sempurna dan bisa dengan mudah menjadi milik kita."
"Kenangan adalah bukti terbaik untuk mengatakan tidak ada yang utuh di bumi ini, bahkan kehilangan. Kenangan juga adalah cara waktu mengatakan ada sejumlah hari yang tidak pernah melihat matahari tenggelam. Ada bulan dan tahun yang tidak pernah berakhir."
Jujur, saya bingung harus memberi tanggapan apa. Namun, saya tergelitik untuk menjadi bagian yang membuat bintang yang tidak terlalu banyak bagi buku ini. Saya selalu menyukai karya- karya puisi Aan Mansyur dengan karakter emosi yang tersampaikan melalui diksi- diksi yang indah; dan "nature" Aan itulah yang banyak menyelamatkan buku ini. Walaupun, saya terkadang agak risih dengan bahasanya yang puitis dan "berlebih-lebih" seperti kutipan- kutipan cinta di media sosial. Apalagi, catatan kaki di sepanjang buku yang kebanyakan membuat perhatian saya terganggu dan mengurangi keotentikan cerita tokoh utama di buku ini (walaupun, mungkin maksud pengarang berbeda).
Kesan pertama yang saya dapatkan dari buku ini adalah sebuah kumpulan puisi sedih yang menyiratkan sebuah kesetiaan cinta yang ujungnya berakhir pada kata mati. Tokoh Jiwa ini seolah- olah digambarkan sebagai laki- laki cengeng sekaligus "setia" (?) yang terus menghamba pada perempuan (saya mengampuni ini). Namun, di sepanjang cerita, Jiwa hanya menggambarkan bagaimana ia bertemu perempuan, bagaimana ia jatuh cinta, bagaimana menaklukkan perempuan, dan seterusnya. Dan seterusnya. Hingga akhirnya aku menyiratkan laki- laki ini "gagal move-on" karena terjebak pada cintanya kepada mantan kekasihnya, Nanti. Saya pun bisa meraba kesudahannya: bertemu sejenak dan mati. Seolah- olah cerita dirayakan untuk kesedihan.
Sebenarnya beberapa pesan kesetiaan cinta dan ketulusan perempuan dapat ditemukan pada buku ini. Namun, perempuan pun digambarkan sebagai sosok yang kuat dan setia pada situasi yang menurut saya masih melanggengkan hegemoni patriarkis (ditinggal suami, suami bajingan, dll). Ada hal- hal yang tidak saya sepakati terkadang; mengapa perempuan selalu indah di mata lelaki dengan sebuah konsep kesetiaan yang mengorbankan kebahagiaan mereka sendiri. Saya sebenarnya sangat antusias dengan pesan- pesan tentang perempuan, tetapi tidak dengan cerita yang "itu-itu" saja.
Intinya, mungkin novel genre seperti ini bukan menjadi kebiasaan saya menyimpannya ke dalam rak buku pribadi. Namun, saya mengapresiasi Aan Mansyur dengan imaji dan penulisan lirisnya. Semoga bisa menginspirasi banyak orang.
Sepertinya sebuah kesalahan besar bagi saya karena membaca novel Aan Mansyur ini, di tengah upaya untuk menghindar dari masa lalu, Aan malah menyarankan untuk hidup dan berdamai dengan masa lalu. Sudah tidak perlu diragukan, bahasa-bahasa puitis membanjiri sekujur novel ini, banyak kalimat-kalimat yang quotable dan akan tampak keren jika diposting di media sosial sebagai status. Tapi, saya mengucapkan banyak terima kasih untuk Aan yang sudah menulis ulang novel ini, dengan konsep yang tidak jauh beda seperti kumpulan cerpen-nya yang saya baca belum lama ini `Kukila`, yang menjadikan badan tulisan sebagai kisah yang diceritakan ulang. Ada beberapa hal yang menurut saya sedikit mengganggu, yakni tambahan catatan kaki dari si Nanti. Catatan-catatan itu cukup menggelitik untuk dibaca, tapi sukses membuat saya kehilangan ritmen membaca, hingga akhirnya saya putuskan untuk tidak melirik footnotes hingga novel ini berakhir. Secara keseluruhan, novel ini cukup menarik dengan permainan kata yang cantik, kontradiktid dan analogi-analogi yang membuat pembacanya bisa mendeskripsikan lebih luas.
Ini adalah antara buku yang sukar untuk saya habiskan. Bukan kerana ia sukar difahami atau membosankan. Buku ini antara buku yang tidak mahu saya habiskan segera.
Setiap bab, setiap perenggan membuatkan otak berkecamuk ingin menulis juga perkara yang sama dalam konteks yang berbeza. Setiap ayat membawa kita untuk berfikir sama dan kadangkala menyanggah atau geram dengan tindakan watak.
Jika diikutkan buku ini mengangkat kisah cinta yang biasa. Namun garapan dan olahan serta stail persembahannya unik dan membuatkan saya berfikir, ya, semua orang ada kisah yang sama tetapi bagaimana mereka menangani kisah itu, itu yang membezakan setiap orang.
Falsafah hidup yang terkandung dalam buku ini tidak perlu dijadikan sandaran tetapi cukup mengenalkan kita kepada susuk peribadi orang yang bernama Jiwa (nama watak), dan watak-watak sampingannya yang sangat kuat digambarkan mempunyai keperibadian tersendiri.
Apa lagi?
Saya menunggu novel-novel Aan Mansyur yang lain berbanding buku-buku puisinya.
Kehidupan selalu memiliki tetapi, sama halnya dengan buku ini. Kegetiran hidup didamaikan oleh sepi dan kesendirian tetapi pembohong ulung sekalipun selalu gagal membohongi dirinya sendiri.
ps. nama-nama tokohnya bagus; Mimpi, Hujan, dan Nanti.
"jiwa" yang me"nanti". ku kira ini akan menjadi romansa klise yang di hadapi semua muda mudi Indonesia. ternyata, another tables turned! dari semua hal yang di tulis aan mansyur, this might be my favorite one.
Menjadi lelaki terakhir yang menangis di bumi, aku melihat seorang lelaki yang begitu pesimis akan dirinya sendiri. Ia jatuh cinta, begitu gila pada satu sosok wanita.
Baginya, sebagai lelaki ia berusaha memperbaiki nama laki-laki ketika ayah dan kakeknya menjadi bajingan di mata wanita. Ia hidup bersama wanita yang bertahan pada kesetiaannya. Ibu dan neneknya.
Tapi ia juga hidup dan mengenal seorang lelaki yang memilih setiap pada cintanya. Seorang pria yang jatuh cinta pada ibunya. Kehidupan yang penuh cinta-cintaan ini kemudian membebani kepalanya tentang jatuh cinta.
Baginya, hidup adalah kembali pada masa lalu. Pesimis adalah caranya menikmati hidup ketika satu-satunya wanita yang mampu menumbuhkan cinta yang gila, kini telah bersama lelaki lainnya. Menikah. Kehilangan cinta membuatnya tak percaya pada pernikahan. Sampai akhirnya ia benar-benar melajang sampai ajal menjelang. Drama cinta yang gila. Memberikan cerita bahwa cinta dapat menghadirkan pesimisme yang tak terkira hingga menghadirkan pencarian akan cinta-cinta lainnya. Kebuntuan adalah sesuatu yang ditemukan. Kenangan, adalah suatu cara pengabadian.
Membaca ini, aku tahu bahwa menjadi seorang lelaki dengan kepesimisan yang tak pernah berhenti adalah salah satu cara memelihara kebahagiaan tetap ada pada diri sendiri. Sebab, itulah saat kita tak memiliki keinginan yang terus-menerus menembus mimpi.
Setelah Kukila, ini jadi bacaan kedua dari Aan Mansyur yang genrenya bukan puisi. Tepatnya ini novel yang menceritakan tentang Jiwa yang patah hati karena ditinggal oleh Nanti, mantan kekasihnya, untuk menikah dengan lelaki lain. Setelah itu, Jiwa berusaha untuk jatuh cinta pada perempuan-perempuan lain, namun ternyata tak semudah itu.
Novel ini unik, karena meski Jiwa yang bercerita, namun kita dapat melihat dari sudut pandang Nanti juga. Nah, caranya ini yang unik, sudut pandang Nanti dihadirkan dalam bentuk footnote untuk beberapa pernyataan yg ditulis Jiwa namun perlu Nanti konfirmasi. Menarik.
Ketika pujangga menulis novel, maka diksinya pun tidak perlu diragukan lagi, puitis dan manis namun tidak berlebihan. Membaca novel ini hampir menghabiskan sticky notes untuk menandai kalimat-kalimat bagus. Keren.
Dari sekian banyak yg saya tandai, ini kutipan favorit saya: "Hidup ini rumit. Sesederhana itu."
"Jika kehidupan adalah buku, memaafkan diri sendiri adalah cara terbaik untuk menyuntingnya." (page 250) Salah satu dari kutipan yang cukup menyentak saya pribadi.
Terlepas dari cerita yang terasa terlalu klise, saya mengapresiasi novel yang ditulis oleh penyair asal Makassar ini. Banyak bagian-bagian yang mengajak saya merenung. Sangat quoteable hingga harus diberi bookmark di sana sini.
Seharusnya saya membaca novel ini lebih awal—mengingat saat masih maba saya sempat memegang buku ini di gramed, hampir saja membelinya, tapi sahabatku (penggemar berat puisi beliau) berkata: penulis puisi sebaiknya tidak menulis novel—dia teramat skeptis dengan pilihan saya dan saya pun terpengaruh. Saya akhirnya mengerti maksudnya. Tapi, agak menyesal dulu saya memilih tidak jadi mengoleksi novel ini.
saya suka penempatan aan mansyur dalam menempatkan sosok nanti sebagai cacatan kaki yang memiliki sifat tersendiri.. membuat ceritanya semakin hidup.. jenius!! bercerita tentang sosok pemuda bernama jiwa dengan cerita penderitaannya tentang kenangan kekasihnya yang memilih untuk mempersuntung pria lain.. tapi dalam buku ini lebih di ceritakan tentang bagaimana cara jiwa menghadapi pedih dalam hari-harinya terhadap keadaannya tanpa nanti..
Jika mencari sebuah buku yang mengandung banyak kata-kata filosofis dan indah namun juga tidak cengeng, ini buku bisa jadi pilihan. Seakan banyak yang ingin saya tandai di halaman-halamannya demi membaca kembali kalimat-kalimat puitis nan penuh makna.
Sebagai sebuah novel, saya merasa ini seperti potongan-potongan cerita dari kisah satu ke kisah lainnya, dan tidak terlalu kuat konfliknya. Entahlah.
Novel Aan Mansyur yang baru pertama kali aku baca, seringnya baca buku puisinya. Terlalu puitis jika disebut novel sih, banyak kata-kata pemanis cerita yang bikin salfok daripada isi ceritanya gitu. Untuk ukuran lelaki menurutku Jiwa terlalu melankolis tapi bukan tanpa alasan sih sifatnya seperti itu. Kepribadian Jiwa dibentuk dari lingkungannya yang sebagian besar perempuan. Lalu masalah percintaannya dengan Nanti yang bucin abis, first sign lagi. duh gak ngerti lagi ini sama sosok Jiwa.
Ceritanya biasa saja, sebenarnya. Tidak Ada sesuatu yg 'wah' dlm bku ini. Hanya saja, karena yang menuliskan adlh seorang Aan Mansyur yg selama ini dikenal sbg seorang penulis puisi, jadi yah, saya akui bangunan kata yg digunakan untuk penceritaan dlm novel ini memang indah. :')
Novel kedua Aan Mansyur setelah Kukila yang saya baca. Kesimpulan saya tetap, once a poet is a poet. Saya suka sekali membaca puisi-puisi Aan, tapi tidak novelnya.
Buku ini sangat unik, setidaknya begitu menurutku. Mungkin karena aku belum pernah membaca buku yang seperti ini. Sebenarnya, dimana letak keunikannya? Mari kita bahas!
Pertama, tentu saja, judulnya sangat unik! Bagaimana bisa Lelaki Terakhir Yang Menangis di Bumi dijadikan sebuah judul dari novel? Pada awalnya, aku sangat penasaran dengan isi dalam buku ini. Mungkin karena aku melihat judulnya (biasanya, sebuah buku dapat menentukan ‘tema’ , ‘ciri khas’, atau bahkan ‘konflik’ dari ceritanya), lalu, setelah aku menyelesaikan cerita di dalamnya, aku terheran-heran dengan judulnya. Menurutku, judulnya sama sekali tidak berhubungan dengan ceritanya (atau mungkin, hanya aku yang kurang ‘menangkap’ isi cerita?). Lalu, jika penulis buku ini membaca postinganku ini, aku ingin bertanya satu hal. Kenapa berjudul ‘Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi’?
Kedua, ‘penulis’ hadir di dalam cerita! Whoa, ini apa maksudnya? Gini ya, seperti yang aku katakan tadi, jadi ya.. tokoh utama dalam novel ini mengenali seorang penulis yang bernama M Aan Mansyur (Ini kan nama penciptanya? Hahaha) Sebenarnya sih ya, ‘hadir’ di sini bukan dalam artian mengambil ‘peran’ atau sekedar bertemu dengan tokoh utama. Kata ‘hadir’ maksudnya nama penulis disebutkan di sebuah kesempatan saat tokoh utama pria berbicara dengan tokoh utama wanita.
Lalu, yang ketiga, prolog dari buku ini dibuka oleh ‘kenalan’ dari si penulis cerita. Aduh, gimana ya jelasinnya. Tokoh utama (tokoh fiksi) juga seorang penulis. Aduh, gimana jelasinnya yah.. Gini ya, awal-awal aku membaca buku ini juga sempat bingung. dibuat bingung oleh prolognya. Sempat terlintas kalau buku ini buku non-fiksi. Eh, ternyata fiksi, memang. (Eh, nggak tahu, deh!) Singkatnya, buku ini dibuka dengan prolog yang sangat ‘menjanjikan’. Menjanjikan gimana sih? Yuk, langsung aja baca buku ini!
Yang terakhir. Soal ‘penamaan’ para tokoh. Penulis benar-benar ahli dalam memberi ‘nama’ untuk tokoh fiksinya. Bahkan, ‘nama’ dari tokoh fiksi dalam novel ini bikin adem banget! Entah kenapa. Mungkin karena aku mendapati ‘makna’ dari nama tersebut (meskipun nggak benar-benar ngerti) Sedikit bocoran: tokoh utama pria bernama Jiwa, tokoh utama wanita bernama Nanti. Sebenarnya, salah satu penyebab aku sedikit ‘susah’ mengerti jalan cerita buku ini, (pada awalnya) adalah karena nama-nama dari tokoh-tokoh dalam cerita yang sedikit ‘istimewa’.
Penulis juga sangat ahli dalam per-alur-an. Alur maju-mundur. Alurnya sangat cepat. Dari masa kanak-kanak, hingga dewasa. Ada beberapa karakter pendukung dalam buku ini. Ada seorang karakter pendukung yang aku rasa ‘mendukung’ banget untuk tokoh utamanya. Jelasnya, panutan untuk tokoh utamanya. Panutan yang mengajarkan bahwa ‘Cinta tak harus memiliki.’
Perempuan adalah keindahan yang tersimpan dan selalu hidup di kepala laki-laki seperti kita. Tidak akan mati oleh mata pisau waktu.
Ah, ya. Dalam postingan kali ini, aku tidak akan membeberkan spoiler dari buku ini. Dibalik semua kelebihan-kelebihan yang aku tuliskan diatas. Ada sesuatu yang menurutku kurang
Banyak kata-kata manis di buku ini yang bikin diabetes. Jalan ceritanya termasuk cepat. Meski begitu, aku beberapa kali sempat merasa bosan dipertengahan jalan. Untungnya, seperti yang saya katakana tadi,'terlalu' banyak kata-kata manis. Untungnya, kata-kata manis tersebut menolong saya untuk 'menyelesaikan' buku ini. Review lengkap coming soon :D