Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia secara kritis memeriksa apa yang diungkapkan oleh media dan budaya layar tentang cara-cara orang Indonesia yang tinggal di kota berusaha mendefinisikan ulang identitas mereka pada dekade pertama abad ini.
Melalui analisis yang kaya nuansa ekspresi dan representasi yang ditemukan dalam budaya layar (bioskop, televisi dan media sosial), ia menganalisis gelombang energi dan optimisme, dan kekecewaan, disorientasi, dan keputusasaan, yang muncul dalam kekosongan kekuasaan yang mengikuti kehancuran dramatis yang mengikuti keruntuhan dramatis dari pemerintah Orde Baru yang militeristik.
Sementara analisis mendalam tentang identitas dan kontestasi politik di dalam negara adalah fokus dari buku ini, keterlibatan trans-nasional dan dimensi global adalah bagian penting dari cerita di setiap bab. Penulis fokus pada politik budaya kontemporer di Indonesia, tetapi setiap bab mengontekstualisasikan keadaan saat ini dengan menempatkannya dalam perspektif sejarah yang lebih luas.
***
“Heryanto memiliki kemampuan yang langka untuk mengaitkan analisa tajam atas ben tangan masalah media dengan pertanyaan-pertanyaan teoretis yang lebih luas da lam ka jian budaya.” (Profesor Krishna Sen, Dekan Fakultas Sastra-Budaya, The Uni versity of Western Australia)
“Buku ini bukan hanya meneroka berbagai isu dalam masyarakat mutakhir, mulai dari islami sasi budaya kaum muda perkotaan hingga K-Pop, politik jalanan, minoritas Tionghoa, dan representasi tragedi 1965-66, tetapi juga memperlihatkan kebertautan antar isu tersebut; dan bermuara pada problematisasi narasi-narasi besar seperti nasion dan nasionalisme, globalisme dan globalisasi, modernisme dan modernitas, yang selama ini diterima begitu saja.” (Dr Budiawan, Universitas Gadjah Mada)
Jarang sekali ada buku tentang kebudayaan pop Indonesia sekalinya ada pasti isinya terlalu berat atau terkesan tidak uptodate dengan situasi saat ini. Untungnya ada seorang peneliti dari Indonesia yang akhirnya mencoba untuk membawa topik yang menarik dan jarang diteliti ini ke penerbit besar dan hasilnya merupakan sebuah buku dengan kajian tentang pop kultur Indonesia yang menarik dan (beberapa) mindblowing
Dalam buku ini penulis mengeksplorasi seperti apa orang Indonesia sebenarnya dalam berbagai macam perspektif dan topik mulai dari tentang budaya Islam yang masuk ke berbagai macam lini di Indonesia, pertarungan dibalik layar yang tak kalah gilanya dengan apa yang terjadi di depan layar, sejarah yang banyak dihilangkan di Indonesia sampai membahas kenapa K-Pop dan budaya Asia Timur lainnya bisa menjamur di Indonesia (ini merupakan salah satu topik yang paling seru untuk disimak karena hanya buku ini yang mengungkapkan fenomena tersebut secara ilmiah melalui sebuah buku di penerbit besar)
Banyak sekali yang didapat di dalam buku ini mulai dari orang Indonesia yang seolah seperti ke”restart” kembali ke jaman setelah Indonesia merdeka setelah lepas dari zaman Orde Baru, banyak orang Indonesia yang mencari identitas di tempat lain karena kebanyakan mereka katakanlah bingung mencari makna kebebesan setelah hidup di zaman Orba yang serba terkontrol dan terdikte dan itu semua membuat pop kultur Indonesia semakin unik dan kaya. Tapi buku ini tidak terlalu menglorifikasi hal tersebut, buku ini juga membahas kenapa hal-hal di masa lalu membuat orang Indonesia lupa akan akarnya dan terkadang menghapus sejarah yang menyakitkan atau mencoba membelokkan hal tersebut
Meskipun ada beberapa kata yang terkesan sangat ilmiah tetapi untuk ukuran buku penelitian tentang sosial budaya buku ini termasuk buku dengan kategori yang mudah dibaca dan tidak sulit untuk dicerna. Kepiawaian penulis dan penerjemah (karena naskah asli buku ini diterbitkan dalam Bahasa Inggris) dalam menangkap identitas masyarakat Indonesia melalui apa yang mereka tonton benar-benar ringan dan luwes sehingga membaca ini tidak terasa bahwa sudah mau berpindah bab bahkan habis karena penulis selalu menyambungkan satu hal dengan hal lainnya dengan sangat rapi dan masuk akal
Buku ini masuk dalam kategori #LuthfiEssentialReading karena pengetahuan penulis dan keluwesannya dalam membahas seperti apa orang Indonesia di era seperti sekarang ini. Buku ini sangat direkomendasikan bagi siapapun yang ingin tahu kondisi pop kultur Indonesia melalui apa yang mereka tonton (karena di Indonesia, tontonan jauh lebih berpengaruh dibandingkan tulisan) karena balik lagi apa yang ditonton dan dikonsumsi menjadi faktor yang berpengaruh besar dalam membentuk identitas seseorang
Buku yang wajib dibaca untuk mengetahui seperti apa orang Indonesia dan menjadi salah satu buku Indonesia yang wajib dirayakan karena membahas sesuatu yang jarang dibahas di penerbit besar tapi ada dan bisa kita lihat sehari-hari
Saya tergoda untuk mengkaitkan ulasan pendek ini dengan twit dari Ariel Heryanto beberapa waktu yang lalu. Dia menulis "Kita ini masih berenang2, agar tidak tenggelam dalam samudra non-truth. Ngapain diskusi dan seminar soal post-truth?" Buku ini merupakan bentuk nyata upaya dia mendorong pembacanya agar tidak tenggelam dalam samudera non-truth ketika kebanyakan dari kita sudah berangan-angan menggapai post-truth. Angan-angan ini dianggap wajar ketika masyarakat Indonesia terbiasa dalam budaya lisan yang mengandalkan bahasa yang diekspresikan lewat suara, gerak, dan bentuk-bentuk visual pendek yang disajikan terus menerus. Akibatnya kemudian adalah timpangnya keinginan untuk melakukan budaya membaca dan mendalami suatu objek, apalagi jika dipersulit, dilarang, diharamkan oleh yang memiliki Kuasa. Masyarakat kita yang dikenal sebagian besar tidak menyukai membaca kemudian lebih suka bermain di media sosial dan latah akan budaya luar tanpa memahami sebaik-baiknya apa itu Indonesia. Terasa lucu dan menyedihkan di saat yang sama ketika melihat perdebatan menggunakan bahasa Inggris atau bahasa Arab yang ramai di masyarakat kita yang sebenarnya belum paham akan Bahasa Indonesia sendiri. Itu belum seberapa ketika melihat banyak kasus yang ditampilkan di buku ini terus terulang seperti penggambaran G30S dan semua pihak yang berjalin di sana, ekspresi-ekspresi ke-Islam-an, kehadiran masyarakat Tionghoa, dan yang terbaru adalah penerimaan K-Pop dan berbagai jenisnya. Ariel Heryanto menuliskannya dengan bernas dan, yang saya suka, adalah pemilihan sumber yang caranya patut diteladani ilmuwan sosial politik Indonesia dimana dia dapat memilah dengan baik sumber - sumber yang bernuansa rasis untuk diambil hal-hal baik dan dijadikan contoh kepada pembaca. Pada akhirnya, ekspresi akan identitas untuk mencapai kenikmatan kembali ke masing-masing subjek dan belum tentu anda dapat menikmati buku ini menggunakan kacamata dan media yang sama seperti saya. Namun, kita bersama-sama mendambakan masa depan yang lebih maju, alangkah lebih baik juga membuka dulu masa lalu bersama-sama tanpa ada yang disembunyikan?
Fenomena film religi, film tentang 65, stereotipe pada Tionghoa, dan dunia hiburan dalam pemilu 2009.
Ariel menyebut masyarakat Indonesia lebih condong komunikasi lisan daripada tulisan. Lebih menikmati layar daripada kata. Dunia layar sangat memengaruhi pengetahuan sejarah Indonesia.
jujur, pas awal bacanya kerasa agak berat tapiiii makin dibaca makin oke bukunya informatif bgt apalagi pas bahas film2 yg populer waktu gue masih kecil jadi kaya ohhh gini nih dulu tuh
banyak bgt hal yg baru gue tau dari buku ini pembahasan kaya islamisme, post-islamisme, film populer di masa itu, orde baru vs komunisme, cerita ttg 65-66, kpop, identitas perempuan muslimah yg suka kpop, pemilu wahhhh itu bener2 nambah pengetahuan
keren gitu pengamatan dan analisisnya terhadap politik identitas dan kenikmatan di indo
Akhirnya buku yang satu ini berhasil saya habiskan.
Memang sebuah perjalanan yang sungguh panjang. Di satu sisi buku ini di awal-awal membaca, membuat saya (cukup) tertekan oleh olahan kajian tingkat tinggi penulis. Hampir setengah tahun baru saya lanjutkan. Dengan rasa penasaran dan mood yang jauh berbeda.
Hasilnya buku ini menawarkan sesuatu yang beda selama proses membaca. Buku ini menawarkan kepada pembacanya informasi-informasi yang bernilai tinggi.
Meski dalam perjalanan menghabiskan buku ini, banyak kalimat-kalimat berisi teori dan gagasan politik yang membuat saya agak pusing. Buku ini dialih bahasakan dari buku asli penulis, omong-omong. Tapi hal tersebut tidak menyurutkan pendapat saya, buku ini wajib dibaca bagi kaum muda yang concern dengan realitas politik kita. Sejauh mana gagasan-gagasan di dalam buku ini akan menggugah pemikiran Anda.
Buku terjemahan ini sangat mudah dan enak untuk dibaca, dan tentunya membuka kotak pembelajaran baru untuk saya. Budaya layar (screen culture) menjadi hal yang sangat dekat dengan kehidupan (generasi) kini. Buku ini adalah pengantar yang pas untuk memahami konteks di ketiga aspek besar yang ada.
A thorough observation of politics and identity in Indonesia using screen culture as means of analysis. It helps us to make sense what's really going on in our daily life.
Mungkin saya cukup telat mengenal Pa Ariel Heryanto, beliau mungkin salah satu teman dekatnya alm. Pa Arief Budiman, alm. Ben Anderson, atau bahkan mungkin Pramoedya Ananta Toer juga. Saya hanya mengira itu ya. Terlepas dari itu, saya kagum dengan caranya beliau menarasikan argumennya dengan gaya bahasa yg mudah untuk dipahami walau ini adalah hasil penelitian yg sangat ketat dengan metodologi keilmuan beliau sebagai pengkaji sosial politik.
Buku ini menjelaskan bagaimana kita menikmati identitas sebagai sebuah kenikmatan, entah ekspresi melalui keagamaan, K-pop, dll, yg mana dari hal itu dikaji dari sajian analisa terhadap beberapa karya budaya populer salah satunya film. Film bernuansa agama Islam seperti ketika cinta bertasbih, lalu ada juga soal film tentang peristiwa G30S - PKI, yg menjadi senjata ampuh propaganda rezim orde bangkenya Soeharto saat itu hingga kini.
Saya menaruh perhatian cukup serius terkait G30S ini, mengingat kebencian yg begitu kuat mengakar di tubuh sosial masyarakat kita saat ini terhadap PKI. Stempel negatif masih lebih melekat dibandingkan mau mencari tahu akar permasalahan itu seperti apa sebenarnya. Masih jarang yg bertanya benarkah PKI sekejam itu, ataukah semua ini persoalan kekuasaan semata, sehingga kita semua masyarakat biasalah yg menjadi tumbal ini semua. Hingga kini nada sumbang soal PKI masih trs jd isu yg mudah digoreng oleh politisi atau elite² militer Indonesia.
Orde bangke Soeharto sudah cukup lama mati, tp ajarannya masih melekat dibanyak sendi negara dan masyarakat.
ulasan menarik yg membuat kita berpikir kembali kepada batas teritorial, batas imajinasi yang dibuat untuk melindungi indentitas masing2 bangsa, suku atau ras
A very well written explanation on the current situation of Indonesia. Definitely worth reading for anyone interested in the dynamics of identity building in the context of Indonesian society.
Awalnya sempat takut ga kesampaian otak saya kalo baca buku ini. Haha. Soalnya formatnya ilmiah banget: banyak catatan kaki, banyak kutipan dari buku atau penelitian lain, dll. Ternyata, pas dibaca sampe tamat, asik-asik aja. Mungkin karena subjek penulisnya “saya” (terasa lebih cair), bukan “penulis”—yang biasanya terdengar kaku.
Di dalam buku ini, dibahas pencarian identitas keindonesiaan yang ternyata tidak sesederhana melabeli dengan satu lapis. Maksudnya, ada banyak kondisi dan tampilan yang menunjukkan bahwa itulah bangsa indonesia di saat itu. Dan semua dianalisa berdasarkan budaya layar: produk sosiologis yang tampak melalui layar ponsel, televisi, bioskop, dan sejenisnya.
Pertama, identitas berdasarkan kecenderungan menyikapi gelombang post-islamisme—definisi ini tidak dijelaskan secara gamblang, tapi saya menangkap bahwa post-islamisme bermakna penggunaan islam untuk tujuan “nonislami” (referensi tentang post-islamisme saya rujuk dari pengertian populer post-rock: membuat musik rock dengan suara yang kurang nge-rock. Dalam pembahasan tentang konservatisme ini, sampel yang diuji tentang fenomena pasca penayangan film ayat-ayat cinta dan perempuan berkalung sorban.
Kedua, identitas berdasarkan cara bangsa indonesia menyikapi perang ideologi kapitalisme-komunisme. Di dalam buku ini, dibahas juga beberapa film yang menandingi gagasan fiktif film pemberontakan g-30-s/pki. Para pembuat film tandingan ini digolongkan ke dalam 3 kategori: pembuat film yang merupakan korban (yang tergabung dalam organisasi tertentu) seperti: tjidurian 19, pembuat film yang tidak terkait dengan peristiwa 1965 tapi tetap mengajak para korban seperti: the act of killing, dan pembuat film yang bukan korban dan tidak memainkan korban selamat genosida seperti: sang penari—sebenarnya, film feature pertama yang angkat tema geger 1965 dibuat oleh garin nugroho, bukan sang penari yang disutradarai ifa isfansyah, menantu garin nugroho. Tiga kategori ini saya tulis sesuai ingatan saya. Mungkin salah. Hehe. Yang jelas banyak dijelaska judul filmnya—dan kami bisa telusuri di internet untuk ditonton online.
Ketiga, identitas berdasarkan perlakuan terhadap etnis tionghoa. Di sini juga dijelaskan, tentang alasan kenapa warga indonesia etnis tionghoa selalu termarjinalisasi. Jawabannya berkaitan dengan politik kekuasaan. Pembahasan tentang ini, kemudian berlanjut juga dengan analisa terhadap gempuran budaya dari negara asia timur lain: halyu wave dari korea selatan. Ada satu kutipan menarik tentang ini. Kurang lebih: di masa orde baru, keturunan tionghoa dipaksa ganti nama untuk menutupi identitas keasiatimurannya. Sekarang, fans k-pop rela melabeli diri dengan nama oriental. Hal yang sama berlaku dengan tren berkerudung.
Intinya, buku ini direkomendasikam untuk dibaca oleh orang yang tertarik untuk menganalisa fenomena budaya pop—produk budaya yang diproduksi secara massal. Satu sumbangan penting lain buku ini adalah kesadaran untuk tidak terjebak ke dalam kategorisasi identitas. Identitas itu semu, kemanusiaanlah yang nyata ada dan harus terus diperjuangkan. []
Ariel Heryanto pertama kali saya ketahui saat momen menuju Simposium 1965 dan IPT 1965. Setelahnya, beredar video yang diunggah oleh channel Jakartanicus, membicarakan sejarah modern Indonesia. Sejarah yang secara struktural sengaja dilupakan. -- Sangat beruntung untuk akhirnya memutuskan membeli buku ini. Membahas pengertian secara meluas definisi dari budaya pop dan populer pada bagian awal, lalu penulis mulai masuk ke dalam konteks riil dalam kehidupan di Indonesia yang dibuka dengan kekosongan kekuasaan pasca 1998.
Pada bagian tersebut, menurut saya masih bisa digali lebih jauh perbedaan yang dapat membuat setiap definisi (budaya pop dan populer) lebih mencolok. Tujuannya agar pembaca kemudian dapat mudah mengidentifikasi perbedaannya dan dikatikan dengan konteks kehidupan kesehariannya.
Penulis lalu membawa peristiwa yang terjadi di sekitar dan pasca 1965. Saya tidak akan menjabarkan lebih lanjut mengenai 1965, namun pada bagian-bagian tersebut dari buku ini yang menarik bagi saya adalah bagaimana penulis berhasil mengupas Kecinaan di Indonesia secara konkret. Saya kira keberhasilan penulis dalam menjabarkan kefiksian kecinaan di Indonesia ini salah satu faktornya adalah metode penelisikan yang lengkap (menurut saya), dengan pendekatan MDH (materialisme, dialektika, dan historis).
Kecinaan di Indonesia yang eksis, menurut buku ini, dimulai sejak diadakannya sensus oleh pemerintah Hindia Belanda di tahun 1870 (dan tentunya chinezenmoord juga menjadi cikal bakal) yang menghasilkan kesimpulan; tidak tersegregasinya penduduk cina menjadi potensi masalah pemerintah kolonial. Warisan segregasi yang terwujud dalam bentuk pecinan, perpajakan dari aktivitas kebudayaan, dan sebagainya dilanjutkan oleh pemerintah Orde Baru yang mengidentifikasikan ;cina sebagai etnis' dengan Negara Cina. Negara Cina Komunis, musuh Orde Baru. Buku ini kemudian membedah bagaimana kecinaan ini menguntungkan rezim Orba melalui percontohan keseharian (yang sangat kontekstual) dan kemudian diangkat ke bentuk kontradiksinya. Lengkaplah penelisikan secara material, historis, dan dialektika.
Pembedahan yang tidak kalah menariknya bagi saya juga pada bagian hibriditas kebudayaan yang terjadi hari ini. Demam budaya Asia Timur yang sudah berjalan bertahun-tahun sejak 2000an awal dan terus berkembang hingga sekarang.
Buku ini sangatlah relevan, atau bahkan menjadi referensi penting dari identifikasi identitas Keindonesiaan pasca 1998. Terbukti bahwa pasca ditulisnya buku ini, hibriditas terus berevolusi dan mencoba menemukan bentuknya yang baru. Bisa dilihat bagaimana Islamisme berjalan mesra sebagai budaya populer dengan budaya Korea dalam rupa produk seperti, Soju Halal.
== Buku ini mudah untuk dibaca dan dimengerti. Referensi yang digunakan juga sangat layak untuk dibaca. Saya sangat merekomendasikan buku ini untuk umum. Terlebih bagi pembaca yang ingin mengenal lebih jauh dengan pertanyaan identitas hari ini seperti, siapakah orang Indonesia modern?
Buku ini adalah salah satu buku resensi pertama yang saya baca mengenai sejarah indonesia tentang masa 1965 (pembantaian PKI), dan benar-benar membuka mata saya tentang bagaimana hebatnya propaganda media visual di Indonesia. Umur saya <25th dan benar sekali apa yang buku ini katakan, kebanyakan teman sebaya saya amnesia sejarah, sehingga lupa bahwa Indonesia pernah melalui masa-masa kelam. Belum banyak buku yang saya baca dan kebanyakan sastra novel ataupun buku-buku religi dan sains (walaupun dalam bahasa Inggris), namun saya dapat mengatakan bahwa gaya bahasa di buku ini sulit untuk dipahami. Mungkin karena versi aslinya memang bahasa Inggris, tapi tetap saja perlu berpikir lebih lama saat membaca buku ini, walaupun saya sangat menghargai translatornya yang tergolong sangat bagus dalam menerjemahkan ke bahasa Indonesia. Banyak buku bahasa Inggris yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia yang bahasanya menjadi sangat amburadul dan membuat saya muak untuk membaca, tapi buku ini benar-benar diterjemahkan dengan baik.
Terlebih itu, isi dari buku ini tidak bisa dianggap remeh, karena membuka mata kita bahwa ternyata hal yang kita kira 'hanya' hiburan ternyata tercipta berdasarkan konflik. Isi dari buku ini perlu dipertanyakan, namun validitas sitasi lumayan kuat, jadi saya ambil tengah-tengahnya saja.
Overall, the book does a good job of introducing ties between politics, specifically identity politics, and film. I found the last chapter to be the least fleshed out and, because the focus was on ‘the masses’ as opposed to middle class, which Heryanto states he focused on purposefully throughout the rest if the book, it seemed tacked on and that the subject could warrant a whole different book. Each of the other chapters provide numerous examples of films to demonstrate the author’s points on post-Islamic film, film made during the New Order and about 1965-1966 massacres, Chinese Indonesian contributions and representation in film, and the Korean Wave (although his primary example is actually a Taiwanese drama) whereas the last chapter briefly mentions Indonesian Idol as an on screen influencer of the 2009 elections.
Hmm mulai darimana ya? Secara luas buku ini menjelaskan lika-liku budaya pop atau bahasa sekarangnya “poser/fomo” dengan cukup keren menurutku.
Kendati demikian, di era sekarang banyak kalangan kaum terpelajar, sebagian besar melihat budaya pop sebagai masalah antar kaum A & B. Semacam hasil yang tidak dikehendaki atau ekses modernisasi yang ujuk-ujuk menuju perdebatan yang tidak ada ujungnya.
Kembali ke Penulis; Ariel Heryanto. Ariel juga banyak menjelaskan perihal materialistik di Indonesia yang cukup relevan dengan era sekarang.
Cukup keren, senang rasanya bisa membaca buku ini, selama hampir 2 minggu kebelakang.
Buku ini menjadi buku non-fiksi pertama yang saya selesaikan di awal tahun 2019. Awal mulanya saya hanya sekadar meminjam dan iseng membacanya, tetapi ternyata kontennya cukup menarik. Saya juga pernah melihat nama penulis di jagad Twitter. Ternyata beliau adalah penulis yang sangat produktif. Tulisannya juga cukup bikin mikir ulang mengenai perkembangan sosial-budaya-politik di Indonesia. Lumayan bikin merasa tambah pandai, haha. Apalagi di topik-topik yang berkaitan dengan 1965, Tionghoa, dan perfilman di Indonesia.
"Budaya layar" yang menjadi benang merah dalam buku ini ternyata tak sesederhana seperti apa yang dibayangkan banyak orang (termasuk saya). Di situ terjadi pertempuran ide antara pihak satu dengan yang lain bersama motif yang mereka bawa. Karena itulah, penulis menggelar konteks sejarah yang lebih luas lagi dalam menganalisis tiap fenomena.
Secara keseluruhan, buku ini apik dalam menjelaskan fenomena budaya pop di Indonesia sambil diam-diam menggugat sejarah "resmi" Indonesia dan kekacauan yang diakibatkannya. Chapeau!
cukup kompleks dan butuh kecermatan untuk mengurai keseluruhan isi dalam buku yang berfokus pada dua persoalan tematik ini; yaitu soal menguatnya politik identitas dan maraknya pertumbuhan budaya populer di Asia (K-Pop, J-Pop dsb) pasca kejatuhan rezim otoriter orde baru, serta bagaimana selama ini negara dan masyarakat mendiskriminasi orang-orang Tionghoa, korban 1965-1966, dan masyarakat kelas bawah.
sebagaimana tertuang di sampul, buku karya Ariel Heryanto ini banyak meneroka isu-isu di atas lewat perspektif sinema dan budaya populer.
This book gives me perspectives about how the popular culture is being such a trend in Indonesia historically. I think I should re-read this book again someday because I am not informed enough to have an opinion or basically to understand some parts of the book.
Sebagai orang yang bank pengetahuannya masih sesempit kamar tidurnya, saya merasa buku ini cukup mencerahkan, terutama dalam usahanya menghubungkan fenomena masa kini dengan peristiwa-peristiwa sejarah. Banyak informasi kesejarahan yang baru saya ketahui melalui buku ini; membuat saya ngeri dengan otak di balik sistem pemerintahan Orde Baru. Tak hanya itu, buku ini juga menjelaskan betapa rumitnya pergumulan identitas dan pencarian kenikmatan kelas menengah urban pasca orde baru, yang terwujud dalam budaya populer dan kontroversi di sekitarnya.
Satu kekurangan dari buku terjemahan ini yaitu terjemahannya. Banyak kalimat tidak efektif dan diksi yang terasa aneh. Hasilnya buku ini agak sulit untuk dicerna. Sepertinya saya akan coba membaca ulang versi aslinya yang berbahasa inggris.
The book is worth reading of contemporary culture in Indonesia, in summary. It told you how the history of a nation would have the great impact on its people's cultural and social identities. Contemporary cultures in Indonesia nowadays were clearly depicted along with its historical context. for example, when you read about Islamic massive development in Indonesia, you will track Islamic movement in the past and how they progressed this far to change the social mechanism. Or, if you notice if there is any issue about K-pop fandom; you might see it as a special feature of culture that can promote the whole nation to the world.
Wait for every surprise you will see in this book!
Kajian budaya Indonesia yang dijelaskan di buku ini, membuat saya memahami tentang dinamika politik dan budaya populer yang terjadi. Berawal dari runtuhnya Orde Baru, sehingga muncul film-film bertema islami seperti 'Ayat-Ayat Cinta'; kemudian, membahas tentang sejarah pasca 1965 melalui film, seperti 'The Act of Killing'; sampai tentang masuknya K-Pop dan budaya Asia Timur lainnya ke dalam masyarakat Indonesia.