Jump to ratings and reviews
Rate this book

Lelaki Bukan Malaikat

Rate this book
Semestinya tidak ada yang dilenyapkan dengan angkara. Semesta adalah kelengangan yang menumbuhkan ilalang di antara gandum. Para penuai masih terlelap sebab anggur terbaik yang terminum semalam disisihkan tuan rumah hingga akhir pesta. Di sisi Nuh, Lot ikut menengadah. Anggur dalam tempayan terakhir telah habis ditenggak. Setelah air setelah api, mereka sama menanti, apa lagi yang akan dimuntahkan langit ke atas mezbah yang kehilangan puja-puji?

“Mario Lawi dengan terampil telah memindahkan inti amanat Kitab Suci ke puisi dan menawarkannya kepada pembaca sebagai penghayatan dan pengalaman baru yang tidak lagi perlu dibatasi oleh keyakinan apa pun.”
Sapardi Djoko Damono

76 pages, Paperback

First published July 1, 2015

6 people are currently reading
82 people want to read

About the author

Mario F. Lawi

21 books15 followers
Mario F Lawi lahir di Kupang, pada 1991. Ia meraih NTT Academia Award 2014 kategori Sastra dari Forum Academia NTT, Penghargaan Terbaik I Taruna Sastra bagi Generasi Muda 2015 dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud. Pada 2017, ia menjalani residensi di Italia. Pada 2019, mengikuti program Pertukaran Penyair Indonesia-UK di Makassar, London, dan Hull. Buku puisinya Memoria (2013) dipilih sebagai salah satu Buku Puisi Rekomendasi 2013 oleh Majalah Tempo. Kumpulan puisinya Ekaristi (2014) dinominasikan dalam 10 Besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2014 dan dipilih sebagai Buku Puisi Terbaik 2014 oleh Majalah Tempo. Ia bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora, dan mengampu rubrik Terjemahan situs bacapetra.co.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
13 (14%)
4 stars
28 (32%)
3 stars
31 (35%)
2 stars
11 (12%)
1 star
4 (4%)
Displaying 1 - 23 of 23 reviews
Profile Image for Arief Bakhtiar D..
134 reviews82 followers
April 11, 2016
SAJAK-SAJAK BIBLIS

“Jika Tuhan tak pernah ada, akankah kau tetap mencintainya?”
─Mario F. Lawi, Life in Technicolor


SUATU hari, ada “mezbah yang kehilangan puja-puji”. Dan tak lama setelah itu ada, mungkin suatu kaum, “yang dilenyapkan dengan angkara”.

Dengan pemahaman yang terbatas atas satu puisi, saya seperti mendengarkan kembali takdir manusia di masa para Nabi ketika hukuman atas kedurhakaan turun langsung dari Tuhan dalam bentuk bencana besar:

Semestinya tidak ada yang dilenyapkan dengan angkara. Semesta adalah kelengangan yang menumbuhkan ilalang di antara gandum. Para penuai masih terlelap sebab anggur terbaik yang terminum semalam disisihkan tuan rumah hingga akhir pesta. Di sisi Nuh, Lot ikut menengadah. Anggur dalam tempayan terakhir telah habis ditenggak. Setelah air setelah api, mereka sama menanti, apa lagi yang akan dimuntahkan langit ke atas mezbah yang kehilangan puja-puji?


Saya kira, dalam puisi Sepasang Hikayat ini, Mario F. Lawi berbicara tentang hikayat Nabi Nuh dan Nabi Lot. Pada beberapa riwayat yang agaknya mirip antara ajaran Islam yang saya anut dengan ajaran Katolik Mario (hal yang membuat saya bisa berbicara sedikit mengenai beberapa tema dalam puisi-puisi Mario), “air” merujuk pada banjir besar yang menghancurkan peradaban umat Nuh, sementara “api” merujuk pada letusan dan guncangan besar yang menghancurkan peradaban umat Lot.

Pada sajak itu, Mario seakan-akan menggiring saya untuk menyadari bahwa para Nabi cenderung menikmati pertunjukan: Mario memakai kata “pesta” untuk peristiwa bencana tentang lenyapnya suatu peradaban itu; sementara Nuh dan Lot sama-sama nabi yang hanya bisa menunggu “pesta” itu usai sambil menenggak “anggur”. Nabi yang digambarkan Mario hampir mirip gambaran Nuh dalam sajak Nuh Goenawan Mohamad: seorang alim yang lega usai gelombang besar yang membunuh apa yang tak tinggal dalam bahteranya dan berkata, setelah daratan kembali tenang, “Keadilan, perkara besar itu, telah dibereskan Tuhan”.

Di situ saya menyangka Nuh dan Lot melihat kedurhakaan sebagai sesuatu yang pantas mendapatkan celaka. Azab adalah hukuman bagi para “ilalang”─mereka yang tumbuh liar, yang menyulitkan penyebaran risalah-Nya─dan dengan begitu, merupakan pertolongan Tuhan bagi Nuh dan Lot─suatu kabar baik.

Tapi benarkah turunnya azab yang keras adalah pertanda “angkara” Tuhan? Benarkah Tuhan “ganas” dan “cemburu”, seperti yang diseru Amir Hamzah? Benarkah Tuhan hanya menghendaki kota-kota “yang kukuh, patuh”: “Kota Nuh”?

Tentu saja ada yang tak seluruhnya kita mengerti tentang iman dan Tuhan. Dan barangkali puisi tidak perlu meyakinkan. Kita tahu: iman benar-benar “proses pencarian yang tak mudah selesai”. Seperti kata Derrida: kita tak perlu selalu mencemaskan ambiguitas dan tak perlu selalu menuntut kejelasan makna.

●●●
Oleh karena pengalamannya mengikuti pendidikan seminari (saya mengetahuinya lewat tulisan M. Aan Mansyur dari interviu dengan Mario dalam situs Pindai), sajak Mario mengingatkan kita pada beberapa potong peristiwa dalam kitab suci: “Roh Kudus” (dalam puisi Life in Technicolor); “pastor tua”, “katedral”, “Sabat”, “Kristus”, “Yerusalem”, “Petrus” (Viva la Vida); “Taurat” (Death and All His Friends); “kerajaan surga” (Seekor Keledai Memasuki Kerajaan Surga); “danau Galilea”, “Lazarus” (Seekor Keledai di Depan Lubang Jarum); “perjamuan malam” (Memandangmu); “kamis putih” (Kamis Putih).

Di antara beberapa sajak itu Mario seperti menukilkan khotbah para pastur. Khotbah itu seringkali menggugat, misalnya, dengan menyuarakan peringatan buat para “ilalang” yang gemar beragama hanya dalam puja dan sepi. Dalam Sajak Terakhir, Mario menulis bahwa “Surga adalah gelembung sabun/ yang penuh udara/ karena dijejali keluh-kesah orang-orang/ pasrah yang malas berusaha”. Saya rasa Mario ingin mengatakan agama bukan sebatas doa-doa, atau surga cuma jadi sesuatu yang tak berharga sebagai cita-cita. Sajak itu menampik gagasan bahwa manusia tak perlu bersusah payah untuk meraihnya. Apa yang tampak dari situ adalah himbauan untuk menerjemahkan ajaran agama sebagai kata kerja: iman harus ditunjukkan dalam suatu tata perilaku. Di sini puisi bukan lagi sekedar keindahan suasana atau ide. Puisi juga suara yang punya tendensi untuk menggerakkan. Bait “pohon yang tumbuh dari sebutir kecil/ iman tak bisa dihinggapi burung/ yang malas terbang dan memasrahkan tubuhnya/ pada aliran udara” adalah penegasan yang mengingatkan manusia (selain mengingatkan kita pada kitab suci yang kerap memberi amsal) bahwa iman bukanlah terdiri dari “malas” dan pasrah. Hidup seperti labirin berliku yang mesti diatasi, dan “berhenti bergerak” berarti membiarkan “sulur-sulurnya” menyeret kita ke dalam kegelapan.

Gagasan tentang iman dalam puisinya terus muncul pada puisinya yang lain. Dalam Luna, 1, misalnya, Mario menghidupkan kembali sebuah perdebatan panjang manusia antara pedang, Tuhan, dan agama. Saya kutip Luna, 1 sebagian:

Suaramu yang pasrah terdengar seperti doa orang-orang asing yang letih di tanah terjanji setelah menaklukan daerah yang mereka lalui dengan menegakkan pedang. Tuhan adalah dongeng yang diciptakan untuk menyertai mereka. Kau dan aku adalah sepasang tokoh yang terjebak di dalam dongeng itu.


Secara sederhana, kata “tanah terjanji” yang sering kita dengar adalah Jerussalem. Kalau kita membaca buku-buku sejarah, kota Al-Quds memang dibanjiri darah beberapa kali. Salah satunya adalah serangan Pasukan Salib Pertama yang dipimpin Godfrey de Bouillon pada tahun 1099. Pada zaman itu nama Tuhan dipakai untuk meluaskan kekuasaan dengan “menegakkan pedang”. Dan Mario tahu ke mana ia akan bergerak dalam perdebatan: “menegakkan pedang” atas nama Tuhan dan agama adalah sesuatu yang ironis. Keyakinan bahwa menumpahkan darah (di “bumi”) selalu berpasangan dengan perintah Tuhan (perintah “langit”) adalah suatu jebakan. Ia seperti menyindir bahwa semua itu omong kosong, seperti dongeng.

Kita tahu, tak ada kebahagian di situ. “Kebahagian,” tulis Mario, “adalah keadaan lain yang tak tersentuh” ketika satu kelompok “menegakkan pedang” atas satu kelompok lainnya.

●●●
Saya rasa puisi Mario F. Lawi lebih memiliki kecenderungan mirip puisi Goenawan Mohamad dari sisi tidak menciptakaan tokoh baru dalam puisinya, meskipun latar belakang keduanya membuat perbedaan yang cukup kentara. Puisi-puisi Mario berusaha menggambarkan dan memunculkan tokoh-tokoh kitab suci seperti Magdalena, Yunus (Kesaksian Seorang Murid), Eva dan Adam (Ruang Tunggu, 3; Santa Maria, 2), Jesus (Sajak Terakhir), Lazarus si miskin (Seekor Keledai Di Depan Lubang Jarum), Maria/ Maryam (Santa Maria, 1; Santa Maria, 2), atau Musa dan Abraham (Seorang Ibu dan Tujuh Bersaudara). Tidak heran jika Mario lebih memilih kata biblis daripada religius untuk acuan terhadap puisi-puisinya (kata religius terlalu luas cakupannya). Sementara Goenawan Mohamad banyak mengambil tokoh dari sejarah, politik, atau legenda, seperti Orfeus, Usinara, Sita, Gatoloco, Allen Ginsberg, Aung San Suu Kyi, dan Frida Kahlo.

Yang dilakukan Mario dan Goenawan cukup berbeda dengan, misalnya, Rendra, yang membuat tokoh ciptaannya sendiri dalam puisi, seperti Atmo Karpo, Rick, Betsy, Maria Zaitun, dll. Hal ini mungkin lebih kepada persamaan bahwa Mario dan Goenawan bukan seseorang yang sering mengarang cerita-cerita fiksi seperti Rendra.

Dalam beberapa hal, cerita-cerita legenda, sejarah, atau peristiwa dalam kitab suci memiliki kesamaan: masa lalu yang terekam adalah masa lalu yang puitik dan nostalgik. Ada yang ekstrim dan anomali di situ, mungkin mukjizat atau yang serupa itu yang tak sepenuhnya kita tahu, mungkin misteri yang setengah tersembunyi dan separuhnya masih akan kita cari. Dalam sajak Mario, sebagai contoh, ekstrim itu muncul sebagai akibat dari kesetiaan Mario pada amanat kitab suci: cerita murung di bumi belum tentu cerita yang berakhir suram di akhirat. Seperti kisah Lazarus si miskin, misalnya.

Memang hal-hal seperti itu memungkinkan sajak jadi berarti. Kita menghormat ke masa lalu, kepada amanat kitab suci, sekaligus memandang ke depan apa yang akan kita lakukan, apa yang akan terjadi. Masa depan, toh, tak lebih rumit dari masa lalu: para rasul telah menubuatkan adanya perang dan kehancuran manusia yang dimulai dari tanda-tanda di zaman ini─dengan kata lain, masih tentang misteri, sesuatu yang semisal azab.
Profile Image for Aya Canina.
Author 2 books44 followers
September 10, 2020
Sebelum ini, saya membaca Keledai yang Mulia dan tidak selesai. Sebagian karena saya merasa begitu kabur dengan bahasa alkitab, sebagian lagi karena malas saja (ini terjadi pada hampir sebagian besar buku yang saya baca baru-baru ini). Buku kumpulan puisi ini memberitahu saya satu hal yang mesti dilakukan oleh pembaca puisi: nikmati dulu, baru pahami. Dan saya bisa menyelesaikannya, tidak terganggu dengan kisah dan sejarah katolik yang sungguh tidak saya pahami. Malah, ini betulan, beberapa puisi membuat saya gemetar saking khusyuknya penggambaran peristiwa Mario.
Profile Image for Surya Gemilang.
Author 11 books17 followers
March 30, 2016
Kumpulan puisi ini, bagi saya, adalah seorang kekasih yang sulit dimengerti tetapi begitu nikmat dan cantik. Banyak istilah yang tak saya mengerti serta nama-nama tokoh cerita agama yang hanya pernah saya dengar saja. Seluruh puisi dalam buku ini mengandung gambaran--baik utuh pun setengah pun di bawah setengah--alur cerita agama yang tak pernah lupa untuk menyisipkan amanat dengan cara yang begitu cerdik.
Profile Image for Marina.
2,035 reviews359 followers
April 26, 2016
** Books 102 - 2016 **

2 dari 5 bintang!

Buku ini saya rasa akan lebih mudah dipahami oleh teman-teman yang menganut kristen karena banyak ajaran kitab yang dijadikan puisi didalam buku ini :)

Terimakasih iJak untuk peminjaman bukunya
Profile Image for Jessica Huwae.
Author 7 books32 followers
July 15, 2015
Applause for the unique cover. I also believe Mario has a bright future career as a poet.
Profile Image for Nura.
1,056 reviews30 followers
November 5, 2018
Jarak

Aku pun tersesat
Seperti saat pertama
Aku menemukan jalanMu

(Naimata, 2013)


***

Meskipun ga gitu paham dengan berbagai metaforanya, yang berkaitan erat dengan Injil, tapi saya merasakan keintiman dengan Tuhan yang begitu kental. Sajak terakhir yang saya kutip di atas adalah sajak kesukaan saya. Pertanyaan yang terbetik setiap kali saya teringat pada Tuhan. Seumur hidup apakah saya telah berada di jalanMu, Tuhan?
Profile Image for Arystha.
321 reviews11 followers
February 27, 2022
40 puisi Mario F Lawi dari rentang tahun 2011 sampai dengan 2014. Puisi-puisi yang bernuansa biblikal ini cukup membuat saya berhenti berkali-kali, untuk membaca bagian-bagian tertentu berulang-ulang, supaya dapat paham. Tapi beberapa puisi kadang memang sulit dipahami hehehe. Btw, sampulnya unik sih, ada sayapnya.


Jarak

Aku pun tersesat
Seperti saat pertama
Aku menemukan jalanMu.

(Naimata, 2013)
Profile Image for Andria Septy.
249 reviews14 followers
October 17, 2019
Tentu saja kumpulan puisi ini... keren! Sang penulis/penyair dipastikan melakukan riset dan mendalam. sampai-sampai saya menyakini sang penulis fasih berbahasa latin (barangkali) semoga saja feeling saya tidak salah :) Ada dua buah yang saya favoritkan : 1. Sed Libera Nos A Malo. 2. Kapela. Selain Adimas Immanuel, penulis satu ini juga harus dilirik (karyanya)!
Profile Image for Jihan Suweleh.
37 reviews
June 20, 2020
Surga adalah gelembung sabun~ Aduh, aduh, aku suka deh sama puisi-puisi dalam buku ini. Meski banyak yang aku nggak tahu, tapi Mario F. Lawi tetap membuatku bisa menikmatinya tanpa harus mengerti lebih dulu apa yang ditulisnya. Jago pisan! Aku baca buku ini setelah selesai baca Mendengarkan Colplay, dan berasa bahagia gitu setelah usai menamatkan Lelaki Bukan Malaikat ini. Aduh, aduh 💙
Profile Image for Safara.
413 reviews69 followers
October 29, 2020
Sejujurnya, saya tidak terlalu mengerti secara teori puisi yang wah dan tidak seperti apa. Hanya saja, dari yang saya baca, saya tau bahwa penulis melakukan riset yang bagus terhadap cerita-cerita yang berkaitan dengan agama. Ia membawa pesan bahwa seseorang bisa jadi membawa pesan keagamaan, tapi jangan juga sengsara di dunia.
Profile Image for Itus Tacam.
61 reviews2 followers
November 8, 2017
kita ini memang saling membutuhakan. minim kalo nggak pernah baca Injil apalagi menyimpan kitab itu. yah, kita perlu seorang teman nasrani, sekedar mentransalte kisah mereka untuk bisa membaca buku yang dibilang 'berat'; juga enggak, diomong 'ringan'; paham juga enggak.

"lelaki bukan malaikat" nya Mario F. Lawi ini, buku ketiga setelah "aksara amananuna" nya Rio Johon dan "pohon pohon sesawinya" Y.B Mangun yang notabene ketiganya kesasar dipilih, istilahku sendiri kusebut crosslink background. dimana aneka kosakata yang ditawarkan penulis berangkat dari bangunan latar atau settingan yang tidak pernah ditapaki oleh pembaca.

pertama. kesulitan itu kerap menyergapku kala membaca. viscositas tulisan yang disuguhkan, tak tercapai oleh konsentrasi pembaca. novel atau kumpulan cerpen lebih bisa membantu sebab punya alur. sehingga, bisa dipahami. sedangkan puisi (?), akan menjadi sesuatu yang pelik teruraikan. setidaknya dikarenakan memang dalam perpuisian dituntut kriteria tertentu dalam menuliskannya. maka sempit jangkauan, limit penyajian, dan rapatnya penguraian. bisa dibilang memerlukan perhatian yang berbeda dari sekedar membaca cerita, surat kabar, atau report.

kedua. tidak masalah. kesasaran ini akan memperkaya usaha kita mengenal kawan dekat yang berbentuk macam macam. kesasaran ini, mau nggak mau akan menambah intelektualitas, moral, dan juga kegengsianku kepada apa yang kusebut "kenggaktauan".

It,

Sinopsis "Lelaki Bukan Malaikat" Mario F. Lawi, sbb:

Awalnya judul itu kutafsiri sebagai kumpulan puisi yang ngomongin sisi maskulin dimana umumnya ternilai sempurna di mata wanita, sedangkan dalam klasifikasinnya laki laki juga makhluk yang adonannya tercetak manusia, punya karakter dasar kealphaannya.

Dan jauh dari itu. Lelaki Bukan Malaikat yaitu kumpulan puisi yang memperbincangkan kembali kisah nabi nabi atau kisah laki laki yang terberkati oleh penciptaannya sebagai manusia. Dus, di situ lah bold underline untuk "bukan malaikat" yaitu nabi nabi.

Nah, emannya sampai detik ini aku nggak paham atas kisah kisah al-kitab yang digubah dengan tampak apik (sebatas tampak itu karena saya belum memahami betul) dalam fragmen fragmen lepas larik puisi.

Jadi Mario f. Lawi ini ngajak kita menziarahi kisah kisah lelaki istimewa dari dunia al-kitab atau Injil.

Itu sebabnya, saya agak gegar otak dan gagap vocabulari. Susah khusyu' dan belum mencari tau runutan kisah nabi nabinya al kitab. Apalagi harus menelaahnya dalam bentuk puisi yang padat rapat.

It,

Note: kesimpulannya ini buku ber-genre religi nasrani yang dikemas puitik dengan tema kisah nabi nabi. Boleh dibaca dan dipelajari oleh umum sebagai karya sastra.
Profile Image for Muhammad Rajab Al-mukarrom.
Author 1 book28 followers
August 3, 2015
kovernya bagus.
puisi-puisinya cukup baik.
hanya saja, tersebab puisi-puisi Mario diilhami dari alkitab, aku jadi kurang memahami maksudnya.
namun, aku sangat menghargai kepandaiannya dalam menulis puisi. bikin kagum.
Profile Image for Stebby Julionatan.
Author 16 books55 followers
November 18, 2015
buku ini yang menemaniku selama di Solo kemarin. and you know, it's was amazing. bener-bener karya suhu. good job, Mario.
Profile Image for Zaldi.
57 reviews5 followers
Want to read
January 7, 2016
Surga adalah gelembung sabun/ Yang penuh udara/Karena dijejali keluh kesah orang-orang/Pasrah yang malas berusaha
Displaying 1 - 23 of 23 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.