Jump to ratings and reviews
Rate this book

Orang-orang Proyek

Rate this book
Aku insinyur. Aku tak bisa menguraikan dengan baik hubungan antara kejujuran dan kesungguhan dalam pembangunan proyek ini dengan keberpihakan kepada masyarakat miskin. Apakah yang pertama merupakan manifestasi yang kedua? Apakah kejujuran dan kesungguhan sejatinya adalah perkara biasa bagi masyarakat berbudaya, dan harus dipilih karena keduanya merupakan hal yang niscaya untuk menghasilkan kemaslahatan bersama?


Memahami proyek pembangunan jembatan di sebuah desa bagi Kabul, insinyur yang mantan aktivis kampus, sungguh suatu pekerjaan sekaligus beban psikologis yang berat. "Permainan" yang terjadi dalam proyek itu menuntut konsekuensi yang pelik. Mutu bangunan menjadi taruhannya, dan masyarakat kecillah yang akhirnya menjadi korban. Akankah Kabul bertahan pada idealismenya? Akankah jembatan baru itu mampu memenuhi dambaan lama penduduk setempat?

256 pages, Paperback

First published January 1, 2002

227 people are currently reading
2203 people want to read

About the author

Ahmad Tohari

47 books504 followers
Ahmad Tohari is Indonesia well-knowned writer who can picture a typical village scenery very well in his writings. He has been everywhere, writings for magazines. He attended Fellowship International Writers Program at Iowa, United State on 1990 and received Southeast Asian Writers Award on 1995.

His famous works are trilogy of Srintil, a traditional dancer (ronggeng) of Paruk Village: "Ronggeng Dukuh Paruk", "Lintang Kemukus Dini Hari", and "Jantera Bianglala"

On 2007, he releases again "Ronggeng Dukuh Paruk" in Java-Banyumasan language which is claimed to be the first novel using Java-Banyumasan. Toward his effort, he receives Rancage Award 2007. The book is only printed 1,500 editions and sold out directly in the book launch.

Bibliography:
* Kubah (novel, 1980)
* Ronggeng Dukuh Paruk (novel, 1982)
* Lintang Kemukus Dini Hari (novel, 1985)
* Jantera Bianglala (novel, 1986)
* Di Kaki Bukit Cibalak (novel, 1986)
* Senyum Karyamin (short stories, 1989)
* Bekisar Merah (novel, 1993)
* Lingkar Tanah Lingkar Air (novel, 1995)
* Nyanyian Malam (short stories, 2000)
* Belantik (novel, 2001)
* Orang Orang Proyek (novel, 2002)
* Rusmi Ingin Pulang (kumpulan cerpen, 2004)
* Mata yang Enak Dipandang (short stories, 2013)

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
746 (32%)
4 stars
1,020 (43%)
3 stars
471 (20%)
2 stars
71 (3%)
1 star
16 (<1%)
Displaying 1 - 30 of 484 reviews
Profile Image for MAILA.
481 reviews121 followers
July 13, 2016
berlebihan tidak sih kalau saya kasih rate 5? habis saya suka sih XD

nama tokoh yang pas dengan cerita (check)
tema cerita yang unik (check)
alur cerita (check)

hmm..agak kurang sreg dibagian percintaan kabul dan watinya aja sih. kayaknya kurang romantis gitu...tapi bisa saya maafkan kok hehe

sedikit cerita, 2 tahun terakhir ini saya memiliki teman dari dunia maya yang berasal dari latar belakang berbeda. beberapa yang dekat diantaranya adalah mono,dukalara dan donyiswara (sila cari di twitter). salah satu dari mereka ada yg seorang pekerja proyek (yang juga seorang penggemar jejepangan garis keras) satunya lulusan PTN ternama tapi terjebak di tempat yang salah (juga seorang penggemar jejepangan) satunya lagi...ah, kerjanya ya nyatai, nonton film, bantu2 di warkop, pergi ke laut dan tiap ngetwit selalu suka menambahkan tulisan ''he he he''

yang ada di bayangan saya saat baca buku ini itu ya 3 teman twitter saya itu XD
apalagi dalam buku ini, sering sekali Ahmad Tohari menuliskan dialog pak Tarya (seorang tokohnya) yang mengucapkan kata ''he he he''. ampun, sepanjang baca ini tuh saya kebanyakan senyum2 mlulu.

sejauh ini, selain christian simamora, seno gumira dan raditya dika, Ahmad tohari juga masuk sebagai penulis laki-laki kesukaan saya.
Profile Image for Dhik.
97 reviews18 followers
July 4, 2021
Selesai dibaca: Minggu, 4 Juli 2021

Final Rating: 2.5/5

Premisnya menarik, tentang bagaimana Kabul yang idealis memimpin sebuah proyek pembangunan sebuah jembatan. Namun layaknya proyek-proyek lain di Indonesia, proyek pembangunan ini hanya alat yang digunakan oleh banyak "oknum" dari segala jajaran sebagai jalan pintas menuju kekayaan. Hal yang membuat novel ini menarik adalah bagaimana pergumulan batin dari idealisme Kabul dalam menghadapi kenyataan bahwasanya proyek jembatan ini banyak berisi orang-orang pragmatis yang sebenarnya tidak peduli sama sekali dengan mutu dari jembatan yang akan dibangun. Pergulatan batin tersebut yang menurut saya cukup menjanjikan untuk diangkat menjadi sebuah cerita.

Namun premis yang menarik tidak serta merta membuat suatu novel menjadi bagus. Sayang sekali banyak penggambaran suasana yang serasa diulang-ulang seperti "gelang Mak Sumeh yang bergemerincing". Lalu penokohan Wati yang ngambekan membuat saya sebagai pembaca merasa jengah saat ceritanya sedang membahas perihal Wati dan Kabul. Lalu dirasa-rasa elemen romansanya terlalu dipaksakan untuk ada dan bahkan romansa di novel ini menempati porsi yang cukup besar di dalam cerita.

Sepertinya rating bintang 2.5 diberikan karena saya merasa kecewa sudah berharap terlalu tinggi. Saya kira novel ini akan bisa lebih pedas dalam mengkritik budaya "proyek" namun ternyata tidak begitu.
Profile Image for Endah.
285 reviews157 followers
December 23, 2008
Dan ada cerita humor yang sangat populer tentang orang-orang proyek. Suatu saat di akhirat, penghuni neraka dan penghuni surga ingin saling kunjung. Maka penghuni kedua tempt itu sepakat membuat jembatan yang akan menghubungkan wilayah neraka dan wilayah surga. Bagian jembatan di wilayah neraka akan dibangun oleh orang neraka dan sebaliknya. Ternyata penghuni neraka lebih cepat menyelesaikan pekerjaannya darpada para penghuni surga. Dan ketika dicari sebabnya, ditemukan kenyataan di antara para penghuni neraka banyak mantan orang proyek.

Anekdot di atas saya penggal dari novel lawas Ahmad Tohari, Orang-Orang Proyek, yang diterbitkan kembali oleh PT Gramedia Pustaka Utama (GPU). Sebelumnya pernah diterbitkan oleh Penerbit Jendela dan Penerbit Matahari.

Lelucon yang mengundang senyum itu tentu tak muncul begitu saja . Ia lahir dari kenyataan pahit yang kerap berulang kita temui pada masyarakat kita.

Proyek, kata yang sebelumnya bermakna positif berkenaan dengan pengerjaan pembangunan (misalnya, gedung bertingkat, pembuatan jalan, jembatan, dsb), kini sering dikonotasikan sebagai hal yang negatif serta, kembali mengutip kalimat Tohari dalam buku ini, bahwa kata 'proyek' pun kini memiliki tekanan arti yang khas. Yakni semacam, kegiatan resmi, tapi bisa direkayasa agar tercipta ruang untuk jalan pintas menjadi kaya. Maka apa saja bisa diproyekkan. Mulai dari pembangunan jembatan, pengadaan kotak pemilu, pembagian sembako untuk rakyat miskin, program penanggulangan korban bencana alam, bahkan sidang penyusunan undang-undang pun bisa dijadikan proyek untuk menangguk keuntungan. Proyek acapkali dijadikan sebagai ajang bancakan.

Begitulah yang nyata-nyata terjadi di republik ini yang coba direkam, dipotret, diabadikan Ahmad Tohari dalam novel yang ditulis tahun 2001 ini. Sastrawan kelahiran Banyumas, 13 Juni 1948 ini, menghadirkan kisah ironis dari sebuah lokasi proyek pembangunan jembatan Sungai Cibawor.

Adalah Insinyur Kabul, pemuda berusia awal 30, sebagai Kepala Pelaksana proyek itu. Mantan aktivis kampus itu kini harus berhadap-hadapan dengan realita di lapangan yang sangat jauh dari idealisme yang selama ini ia yakini dan perjuangkan kebenarannya. Di lapangan, banyak hal yang harus dikompromikan, kendati kerap tak sesuai dengan suara hatinya. Kabul sadar sepenuhnya proyek yang ditanganinya ini sarat korupsi dan manipulasi sebagaimana terjadi pada banyak proyek di tanah air.

Alhasil, tidaklah mengherankan mana kala sebuah gedung sekolah dasar , pasar inpres atau terminal bus yang baru berusia 2 tahun sudah rusak parah lantaran dibuat tidak sesuai dengan ketentuan yang semestinya. Anggaran untuk proyek-proyek tersebut lebih banyak yang diselewengkan. Bahan-bahan bangunan yang dipakai adalah bahan-bahan mutu kelas dua atau tiga, padahal dalam anggaran yang dicantumkan mutu satu. Belum lagi rongrongan dari para "raja kecil" di daerah tempat proyek berlangsung. Para penguasa daerah ini tanpa malu-malu dengan celamitan meminta jatah. Maka. para pelaksana proyek seperti Kabul mesti pandai-pandai mengelola anggaran. Jadilah cuil sana-sini–biasanya dari pengadaan barang bahan–agar proyek bisa tetap jalan dan dapat selesai pada waktunya.

Insinyur Kabul, tak pelak juga menemui masalah yang sama. Ia harus bermuka-muka dengan para perongrong dari partai GLM (Golongan Lestari Menang) selaku penguasa daerah setmpat. Kabul dituntut untuk menyelesaikan pembangunan jembatan Cibawor itu dengan menggunakan barang bahan yang tersedia sebelum HUT GLM, supaya pada hari "H" dapat diresmikan oleh Pimpinan Pusat GLM. Kabul paham betul, mutu barang bahan tersebut tidak layak pakai dan akan berakibat fatal kelak. Tetapi orang-orang GLM tak mau tahu. Mereka tetap berkeras dengan target itu. Mengingat setting cerita ini tahun 1990-an, maka kita tahulah yang siapa yang disindir Ahmad Tohari sebagai GLM.

Batin Kabul berperang antara memenangkan idealismenya atau berkompromi dengan segala penyimpangan itu. Kabul harus menentukan sikap dan ia sadar benar konsekuensi pilihannya nanti. Jika ia menuruti kemauan orang-orang GLM itu, berarti ia telah melacurkan idealismenya serta mengorbankan hak rakyat Cibawor untuk mendapatkan jembatan yang baik. Namun, bila ia menolak, itu berarti ia harus hengkang dari proyek itu dan kehilangan pekerjaannya.

Ahmad Tohari, dengan kepekaan sosialnya yang tinggi, mengurai pergulatan batin seorang idealis di tengah-tengah perangkap proyek yang sarat korupsi dan manipulasi. Meski berlatar masa Orde Baru (1990-an), namun persoalan yang diangkatnya masih sangat relevan dengan kondisi pemerintahan dan masyarakat Indonesia hari ini.

Tak cuma Kabul yang ditampilkan, tetapi juga orang-orang kecil yang mencoba mengais hidup di proyek itu. Ada Mak Sumeh, wanita separuh baya pemilik warung nasi; ada Tante Ana, banci yang selalu hadir setiap hari gajian untuk menghibur para kuli proyek dengan lenggang-lenggoknya yang genit; ada Bejo dan Kang Acep para kuli.

Ada juga orang-orang seperti Basar, Kepala Desa teman Kabul semasa mahasiswa; dan Dalkijo, Pimpinan Proyek; juga Wati, gadis muda anak seorang anggota DPRD yang bekerja di bagian administrasi proyek dan diam-diam memendam cinta pada Kabul.

Walaupun tidak sedalam karya masterpiece-nya, Ronggeng Dukuh Paruk, namun Orang-Orang Proyek tetaplah memperlihatkan keberpihakan Ahmad Tohari kepada wong cilik serta sikap kritisnya kepada para penguasa yang semena-mena. Kegelisahan seorang Ahmad Tohari tercermin melalui karakter Kabul. Konon, seorang sastrawan wajib senantiasa merasa 'gelisah', agar dapat selalu menyampaikan kebenaran.
Profile Image for Aveline Agrippina.
Author 3 books69 followers
June 25, 2010
Mereka yang sudah lama berkencan di dunia sastra tak akan asing lagi dengan seorang yang bernama Ahmad Tohari. Namanya bisa disejajarkan dengan Y.B. Mangunwijaya ataupun Arswendo Atmowiloto dalam soal menganyam kata. Dia berhasil meneribitkan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang akhirnya mengangkat dirinya sebagai novelis yang patut diperhitungkan dalam wacana sastra Indonesia. Terkenal dengan permainan majasnya dalam setiap cerita dan kata-kata yang asing didengar oleh orang-orang.

Di dalam novelnya yang paling baru ini, Ahmad Tohari mengambil latar di tahun 1991, menjelang pemilu 1992 di mana banyak sekali penyelewengan dalam pembangunan proyek jembatan di atas Sungai Cibawor. Bahkan, penduduk desa sendiri berani menyuap para kuli untuk mendapatkan semen. Apalagi mereka yang ada di pemerintahan pusat, mereka akan bermain tipu muslihat jika yang mereka hadapi saat ini adalah uang. Hal -hal semacam ini memang dianggap biasa dan mustahil kalau tidak terjadi di dalam proyek pembangunan.

Kabul, mantan seorang aktivis kampus yang kini bertaut juga dengan proyek ini mau tidak mau harus juga berurusan dengan idealisme semacam ini. Di sisi lain nurani seorang aktivis kampus bermain, namun di sekelilingnya, hal berbau penyelewengan begitu keras tercium. Kabul bermain di antara hal-hal yang begitu kontras dalam hidupnya.
Ahmad Tohari menceritakan sesuatu yang seperti dilihatnya sendiri. Adalah hal umum jika dalam sebuah proyek, korupsi terjadi sedemikian hebatnya. Mereka yang dipercaya sebagai pengawas lapangan saja bisa terlena dengan buaian uang. Ahmad Tohari mendeskripsikan suasana mereka yang terlibat dalam pembangunan jembatan yang begitu kotor dan jauh dari pemikirannya yang jujur.

Jika kita mengamati tulisan Ahmad Tohari, banyak sekali majas-majas yang digunakannya dalam novel ini. Nampak jelas adalah majas personifikasi ketika mendeskripsikan seperti apa suasana di sekitar Kabul ketika menghampiri Pak Tarya dan berbincang di pinggiran sungai yang masih keruh akibat banjir. Alur penceritaan yang terus lurus sambil mengingat-ingat masa lalu Kabul yang begitu idealis dengan kejujuran menjadi cerminan tersendiri bagi pembaca untuk menoleh ke belakang untuk ikut larut menjadi tokoh Kabul yang bimbang dengan masa lalu dan masa kini yang dihadapinya.

Namun kendala pembaca adalah ketika penulis sudah menggunakan kata-kata daerah yang tak semua kalangan mengerti apa yang dimaksudkan oleh penulis. Sayangnya, tidak ada catatan kaki yang dapat menerjemahkannya. Seperti pada halaman 191 di mana Ahmad Tohari menuliskan tembang yang dinyanyikan Pak Tarya. Ketika di paragraf berikutnya dituliskan bahwa Kabul begitu terenyuh dengan kata-kata yang ditembangkan oleh Pak Tarya. Pembaca hanya bisa mengerti bahwa itu adalah sajak dengan penuh kepedihan tanpa tahu apa isi sesungguhnya.

Penulis menceritakan keadaan sosial yang benar-benar terjadi di sekitar kita namun acap kali luput dari kepekaan kita. Korupsi kecil-kecilan dan pengabaian hukum yang telah dibentuk dalam sebuah proyek adalah hal yang dianggap biasa dan tak wajar jika tidak terjadi. Kabul merupakan tokoh yang penuh pertimbangan dalam memilih antara kebenaran dan materi yang ada di mana dan bagaimana dia berpihak terhadap mereka yang tidak ikut mengambil keuntungan dalam proyek tersebut. Kabul masih berupaya memperjuangkan kebenaran di atas kertas hitam yang begitu pelik. Namun, cinta tetap ada dalam setiap cerita entah apapun topiknya yang diangkat oleh sang penulis, termasuk di dalam buku ini. Kabul yang merasakan jatuh cinta terhadap gadis desa.

Bagaimana Ahmad Tohari menggambarkan novelnya sendiri, sebegitu pandai mengukir kata-kata dan mencari referensi sehingga data-data akurat dapat ditemukan di sini seperti ketika Ahmad Tohari memperingatkan mengenai adanya undang-undang yang berlaku di dalam pembangunan proyek. Sistematika dan struktur bahasa yang tak dapat dipungkiri ketika kita membaca adalah penataan setiap kalimat yang disusun bedasarkan alur yang begitu rapi dan berhamonisasi sehingga kita sendiri terjun ke lapangan dan melihat situasi yang ada dalam cerita.
Ahmad Tohari, bukan hanya menceritakan tentang realisme kejujuran tetapi juga menceritakan suasana desa yang dulunya terpencil dan sekarang begitu mengenal apa itu uang dan bagaimana mengambilnya. Begitu kotor kehidupan. Penciptaan tokoh Kabul adalah sebuah penyeimbangan sebagai pusat masalah yang terjadi ketika dia dihadapi dalam kondisi seperti itu.

Sindiran-sindiran Pak Tarya juga menjadi acuan bagaimana kejujuran harus dipertahankan ketika sebuah cap sudah tertempel dan dipatenkan bahwa semua orang yang terlibat dalam proyek pembangunan adalah orang-orang yang jauh dari nurani masyarakat. Karakter Pak Tarya yang begitu teguh membuat pembaca terlena dan mengaca apakah kita sudah bersih ataukah kita tak ada bedanya dengan orang-orang proyek yang selalu mencari kesempatan dalam benih-benih kesempitan yang ada.

Didampingi dengan prolog yang begitu apik, rasanya memang benar bahwa Ahmad Tohari seperti mengalami sendiri suasana proyek pembangunan yang begitu kotor dan gambaran cerita darinya begitu rapi disusun. Pembaca dapat mengartikan sendiri dan menyusun kerangka bahwa Ahmad Tohari bukan saja pandai dalam menciptakan karakter-karakter seperti Seno Gumira Ajidarma yang mampu menciptakan tokoh-tokoh imajinatif, tetapi juga dapat menyisipkan pesan moral yang terkandung dalam cerita yang dibaca seperti Pramoedya Ananta Toer meramu novelnya dengan berbagai macam tema namun tetap tersisip pesan yang ingin disampaikannya.

Ketika kita membuka lembar demi lembar tulisan yang diracik oleh Ahmad Tohari, pantaslah kita memberikan sesuatu yang lebih terhadap karyanya apalagi majas-majasnya yang begitu kuat dan disertai juga bagaimana menelaah konsep cerita yang manis, yang jauh dari puitis yang dipaksakan dan cerita yang terkesan mengada-ada dan membuat pembaca berbicara bahwa ini hanyalah dongeng dari Ahmad Tohari belaka.

Membaca Orang-orang Proyek seperti kita menelusuri jejak-jejak keraguan yang memedihkan masyarakat. Seperti dalam kalimat penutupnya, Ahmad Tohari menulis seperti ini,” Dan dengan mental “orang-orang proyek” yang merajalela di mana-mana, bisakah orang berharap akan terbangun tatanan hidup yang punya masa depan?” membuat kita mengadah dan mengintropeksi diri kita tentang pilihan apa yang kelak kita pilih, aktivis atau orang-orang proyek. Sebuah tanda tanya besar yang harus kita hadapi ketika menutup buku ini. Seperti cermin yang dihadapkan ke depan wajah kita sambil mengundang pertanyaan: “sudah bersihkah saya?”

Novel ini juga sebagai pembuktian bahwa Ahmad Tohari masih berpihak terhadap mereka yang jujur dan peduli terhadap masalah lingkungan sekitarnya.
Profile Image for Darnia.
769 reviews113 followers
June 26, 2016
Sepertinya buku ini wajib dibaca oleh seluruh rakyat Indonesia, terutama yg sudah punya jabatan penting di Pemerintahan . Siapa tahu, nuraninya tergerak dan kembali menjalankan tugasnya sesuai jobdesk-nya yg dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat. Dan juga sebagai pengingat kalo mereka bukan "raja kecil" yg menganggap pajak rakyat adalah upeti bagi mereka.

Buku Ahmad Tohari yg sangat-sangat-sangat bagus dan menyentil. Semoga bisa jadi bacaan wajib di sekolah-sekolah negeri ini (roman Kabul-Wati bolehlah buat bumbu).

Terima kasih iJak atas peminjaman bukunya
Profile Image for fayza R.
227 reviews56 followers
August 6, 2016
mau ngasih 5 tapi gak suka sama sidekick cerita romansa Wati sama Kabul, atau lebih tepatnya ga sukaaa sama cara Wati haha

habis baca buku ini jadi ingat : BREXIT.
Kalo jembatan aja banyak yg dikorupsi apalagi tol yang panjaaaangg banget ini, bagian mana yaaa yg dipotong dr anggaran sesungguhnya ? wkwkw

skr kalo lihat proyek2 pasti mikirnya "pasti dikorupsi nih" wkwk

"Kegilaan ini akan berlangsung sampai kapan Mas ?"
"Rayap baru berhenti makan bila kayu yang digerogotinya sudah habis. Atau bila mereka disiram racun antiserangga."

Banyak menohok dan ditampar habis baca buku ini seseunnguhnya.
Profile Image for Meta Morfillah.
664 reviews23 followers
September 1, 2015
Judul: Orang-orang proyek
Penulis: Ahmad Tohari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Dimensi: 224 hlm, 21 cm, januari 2007
ISBN: 909 22 2681 1

Menjadi kepala pelaksana proyek pembangunan jembatan di Sungai Cibawor bagi Kabul--insinyur teknik sipil yang juga mantan aktivis kampus--merupakan pekerjaan yang berat. Ia yang dibesarkan dengan nilai-nilai arif kehidupan oleh Bapa dan Biyung dalam kesederhanaan, harus menghadapi banyaknya "permainan" yang terjadi dalam proyek. Mulai dari banyaknya pungutan liar, mutu bahan bangunan yang tidak sesuai konsep, hingga intrik politik sebuah partai zaman orde baru yang mendesak agar seluruh kepentingan partai tersebut dipenuhi. Beban psikologis nyata dan acap kali menjadi konflik batin bagi Kabul.

Beruntunglah, dalam dirinya mengalir darah Bapa dan Biyung, dan kehadiran Pak Tarya yang menenangkan cukup membuatnya mempertahankan prinsip hidupnya. Kekecewaan pun kerap menghinggapi hati Kabul, terutama saat ia melihat sendiri seniornya di kampus yang juga merupakan atasannya sudah menjadi orang tamak kepanjangan tangan partai tersebut, dan Basar, teman kuliahnya yang juga mantan aktivis yang kini menjadi KaDes tak bisa menolak tegas beragam himpitan dari orang berkuasa di partai.

Tidak hanya idealisme yang tak sejalan dengan realita, Kabul juga dipelikkan oleh urusan perasaannya kepada Wati--sarjana, anak anggota DPRD yang bekerja sebagai admin di proyeknya. Sanggupkah Kabul bertahan pada idealismenya? Mampukah Kabul menepis anggapan bahwa orang proyek adalah tukang suap, tukang kongkalikong, apa saja bisa dilakukan asal dapat untung tanpa peduli mutu baku, dengan membangun jembatan yang sungguh sesuai konsep awal dan memenuhi dambaan lama penduduk setempat?

Ini adalah karya kedua Ahmad Tohari yang saya baca setelah Ronggeng Dukuh Paruk. Membaca karyanya selalu membuat saya berpikir lebih dalam tentang kenyataan negeri yang saya cintai ini. Dengan latar tahun 1991, saat menjelang PEMILU dan rezim raksasa orde baru yang mengatasnamakan pembangunan di segala sektor, penulis menggambarkan secara detail karakter hingga kesulitan yang dialami masyarakat kecil. Korupsi yang termanifestasi dalam segala bentuk: harta, waktu, hingga gelar kesarjanaan hingga kemiskinan dan kebodohan yang kerap tak bisa dipisahkan. Beragam kekecewaan dan tuntutan perubahan dengan mempertahankan nilai-nilai kearifan dalam hidup seperti nafas dalam karya penulis.

Banyak sekali kalimat yang sederhana namun menohok hingga membuat saya malu ketika membacanya. Berharap agar saya tidaklah menjadi bagian yang dimaksudkan saat penulis menceritakan hal-hal yang kurang tentang bangsa ini. Meski ada sedikit typo dan beberapa bahasa jawa yang tak saya pahami karena tidak ada terjemahannya, saya amat suka buku ini. Secara tersirat, penulis pun berani mengkritik rezim yang pernah menguasai negeri ini begitu lama. Benarlah... bahwa kekuasaan tidak akan berlangsung lama. Rasanya ingin sekali saya membuat para sarjana teknik sipil dan kementerian pekerjaan umum membaca buku ini.

Saya apresiasi 5 dari 5 bintang.

"Pada dasarnya kebanyakan orang masih dilekati watak primitif, yakni lebih mementingkan diri sendiri alias serakah." (Pak Tarya, hlm. 19)

"Kemiskinan harus dihilangkan. Namun tidak harus dengan dendam pribadi. Dan karena kemiskinan erat dengan struktur maupun kultur masyarakat, menghilangkannya harus melibatkan semua orang dalam semangat setia kawan yang tinggi." (Hlm. 32)

"Bukankah harapan, sekecil apa pun, adalah kebutuhan hidup?" (Pak Tarya, hlm. 63)

"Jangan anggap enteng orang-orang tertindas tapi hanya bisa diam. Sebab yang ngemong, Gusti Allah, ada di belakang mereka..." (Pak Tarya, hlm. 136)

"Mengapa banyak insinyur dari generasi berikut lebih suka memilih sikap pragmatis, baik dalam karier maupun kehidupan pribadi? Mungkin karena zaman sudah berubah. Pragmatisme sudah nyata hadir, sehingga orang-orang idealis tampak sebagai makhluk aneh, lucu, bahkan bloon." (Kabul, hlm. 148)

"Hidup tanpa tahu makna kehidupan samalah dengan kerbau. Mending kerbau, dagingnya halal dimakan. Sedangkan daging manusia tentu haram." (Hlm. 192)


Meta morfillah
Profile Image for Bambang Rahmantyo.
30 reviews11 followers
April 16, 2013

Saya sebenarnya bukan pembaca karya sastra indonesia yang bersemangat, cuma pernah baca sedikit sekali novel sastra. Eh, sebenarnya saya engga bisa membedakan mana yang karya sastra mana yang bukan sih, bisa ngomong novel ini karya sastra juga hanya berdasar dari label di barcode novelnya saja. Tapi secara umum bagi saya yang disebut karya sastra adalah karya yang ditulis dengan bahasa yang baku dan serius, membahas permasalahan yang aktual ataupun pemikiran kontemplatif mendalam, becanda pun dengan gaya yang sebisa mungkin intelek gitulah, CMIIW.
Saya tertarik untuk membeli buku berjudul Orang-orang Proyek ini berdasar sinopsis dari belakang buku yang menyatakan bahwa novel ini bercerita tentang insinyur yang membangun jembatan di sebuah desa beserta dengan konflik-konfliknya. Latar belakang pendidikan saya adalah arsitektur jadi ada semacam ketertarikan bawah sadar untuk memiliki novel ini. Sama seperti kalau anak teknik bertemu dengan anak teknik lain di jalan yang mengenakan jaket angkatan, badan bau belum mandi, mata panda kebanyakan lembur, otomatis merasa saudara sepenanggungan *air hugs*. Eh tapi jaman sekarang engga sebegitunya sih, anak teknik udah kece-kece, rapi, necis, wangi dan pandai bergaul, yang masi dekil, kesian deh yu.
Okay, kembali ke topik. Pertama kali bersentuhan dengan Ahmad Tohari melalui film "Sang Penari" yang merupakan adaptasi dari bukunya Ronggeng Dukuh Paruk. Bukunya cukup ngetop karena sempat dilarang terbit pada masa orde baru karena memang didalam novel banyak menyinggung mengenai PKI walau hanya sebagai background cerita. Saya cukup terkesan dengan filmnya, bagus, asumsinya novelnya pun bagus juga. Jadi ya sebenarnya saya belum pernah sama sekali membaca karya Ahmad Tohari dalam bentuk novel, ini novelnya yang pertama bagi saya, awwh *malu*.
Novel ini bercerita tentang Kabul, seorang insinyur idealis mantan aktivis kampus yang memimpin sebuah proyek pembangunan jembatan di sebuah desa. Konflik utama terjadi antara Kabul yang idealis dengan sistem proyek yang korup. Sedari awal hingga akhir novel ada satu hal yang bagi saya terasa begitu kuat, yaitu keberpihakan. Keberpihakan Ahmad Tohari pada wong cilik. Keberpihakannya bukan hanya dalam tataran konsep saja, tapi termasuk bahasa penulisan novel ini yang banyak mengambil istilah-istilah bahasa daerah pula. Ahmad Tohari sepertinya memang ingin menempatkan feodalisme dan budaya korupsi sebagai musuh yang harus dilawan. Dan contoh paling nyata terjadinya kedua hal tersebut adalah pada proyek-proyek pemerintah, dimana Ahmad Tohari memotretnya dengan begitu gamblang. Segala macam intrik dan solusi pragmatis dari pelaku-pelaku proyek dalam novel ini benar-benar terjadi dalam kenyataan sehari-hari, bukan hanya pada masa orde baru, bahkan hingga kini. Sayangnya keberpihakan Ahmad Tohari ini digambarkan secara vulgar, sedikit marah, uneg-unegnya tergelontor keluar tak terkontrol, muntah. Mungkin memang begitu apa yang dia rasakan melihat korupsi yang begitu sistemik, dan engga tahu harus kemana lagi harus menyalurkan energi negatifnya. Yah, tapi bagi pembaca rasanya seperti nonton salah satu episode "Mbangun Desa" di TVRI dimana Pak Bina menjelaskan segala macam konflik, menjelaskan siapa yang baik siapa yang buruk. Misi yang mulia, sayangnya terlalu klise.
Sementara dibalik konflik utama tersebut ada sedikit bumbu romans dengan Wati, dan favorit saya adalah Pak Tarya, seorang pemancing yang banyak memberikan pernyataan-pernyataan kontemplatif, entah menanggapi curhat Kabul ataupun mengenai memancing (berdasar wiki, ternyata memang hobi Ahmad Tohari adalah memancing, gak heran tokoh Pak Tarya si pemancing yang hanya muncul selintas menjadi begitu signifikan dan menjadi favorit saya). Hubungan antara Kabul dan ibu-nya pun menarik, walau hanya digambarkan sedikit. Yang paling saya nikmati adalah deskripsi-deskripsi mendetail dari peristiwa yang terjadi dalam novel, sehingga serasa kita melihatnya dalam slow motion, seakan kita bisa menghirup debu proyek, merasakan panas yang menyengat di kulit, melihat pergerakan burung yang gelisah. Dalam pendapat saya, ini yang membedakan penulisan-penulisan penulis yang sudah berumur dengan penulis muda. Penulis-penulis muda cenderung rumit pada konsep, ide, pemikiran, pada hal-hal yang diolah dikepala. Sementara penulis lama seperti Ahmad Tohari ini, banyak berkontemplasi, menikmati alam, merasakannya dengan tubuh, bukan hanya dengan pemikiran.
2,5/5

Profile Image for Lala.
128 reviews46 followers
March 18, 2021
Mengambil setting & ide cerita di sebuah proyek pembangunan jembatan, Orang-Orang Proyek banyak sekali menyisipkan kritikan & sindiran yang tajam kepada para orang-orang korup, dan juga para penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya. Tokoh-tokohnya namanya unik, contohnya Kabul. Hanya saja aku nggak melihat love story Kabul berperan banyak, walau diceritakan cukup panjang juga. Cuma, karya ini tetap bagus.
Profile Image for m..
30 reviews
August 7, 2025
Sebagai lulusan teknik sipil yang sekarang kerja sebagai engineer struktur, baca Orang-Orang Proyek rasanya seperti lagi baca potret dunia kerja sendiri. Aku udah lama banget ngincer pengen baca buku ini. Dari judulnya aja udah kebayang kalau isinya bakal tentang konflik di dunia proyek—dan sebagai lulusan teknik sipil, aku lumayan was-was. Takutnya pas baca malah tertampar realitanya.

Ternyata memang, Ahmad Tohari menulisnya begitu dekat dengan dunia yang aku kenal. Kabul, tokoh utamanya, adalah insinyur muda yang terjun langsung mengerjakan proyek jembatan di daerah. Cerita dari sudut pandangnya bikin aku sering mengangguk-angguk sendiri. Panasnya lapangan, koordinasi yang kadang lebih ribet dari gambar kerja, sampai tarik-menarik kepentingan—semuanya akrab banget buatku.

Aku merasa cukup relate dengan Kabul. Memang aku bukan pelaksana proyek seperti dia, tapi sama-sama pernah ada di posisi di mana idealisme harus berhadapan dengan kenyataan lapangan. Sama-sama ingin kerja rapi sesuai rencana, tapi tetap harus jungkir balik menghadapi situasi di luar kontrol.

Yang bikin buku ini kuat bukan cuma detail teknis atau suasana proyeknya, tapi juga bagaimana ia membongkar dilema moral, tarik-menarik kepentingan, dan sisi rapuh orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Buatku, membaca Orang-Orang Proyek rasanya seperti bercermin—ada rasa bangga, ada rasa lelah yang terwakilkan, tapi juga ada pertanyaan-pertanyaan besar soal integritas yang masih relevan sampai sekarang.
Profile Image for Widia Kharis.
47 reviews
December 8, 2019
Ahmad Tohari berhasil mengungkap kembali kebusukan—atau yang sering disebutnya ke-sontoloyo-an—Orde Baru melalui proyek pembangunan. dan lucunya, kita menggelari pemimpin Orba itu dengan sebutan Bapak Pembangunan.

sungguh, degradasi moral bangsa ini tergambar dengan jelas, tak hanya pada para petinggi dan kader partai Golkar—yang di sini digubah menjadi Golongan Lestari Menang alias GLM—tetapi juga orang-orang cilik yang merasa kekorupan di negaranya sudah biasa dan membudaya.

keresahan ini disampaikan melalui pemikiran idealis Insinyur Kabul, ketua pelaksana proyek pembangunan jembatan di Sungai Cibawor. ia merasa telah mengkhianati profesinya, sebab terus-menerus ditekan sang atasan dan orang-orang politik agar menggunakan bahan bermutu rendah. dengan demikian, anggaran bisa dipakai bancakan. tak sampai di situ, penggarapan proyek juga dikebut supaya selesai tepat pada HUT GLM. kedongkolan Kabul jelas bisa saya rasakan.

keresahan yang lain juga muncul dari Kades Basar—teman sesama aktivis Kabul di kampus yang kini menjadi Kades. Basar terjebak di antara idealisme dan tanggung jawabnya sebagai seorang kader GLM.

kemudian, yang menarik perhatian saya adalah Pak Tarya—dan ketawa he-he-he yang nyentrik. seorang pensiunan karyawan dinas penerangan ini sehari-harinya memancing di hilir sungai, terkadang sambil meniup seruling. bersama Pak Tarya, Kabul kerap bertukar kegelisahan dan pikiran. uniknya, orang tua yang tampak tak punya beban hidup ini selalu mengeluarkan kalimat-kalimat penuh makna yang tak jarang direnungkan oleh Kabul.

sayangnya, hubungan romansa antara Kabul dan sekretarisnya, Wati, terasa agak mengganggu bagi saya. tampak seperti sengaja diselipkan supaya tidak melulu tentang keresahan Kabul dan kebusukan Orba.

tapi secara keseluruhan, novel ini memberi gambaran kepada saya, generasi yang lahir di masa reformasi, tentang kesemrawutan sebuah zaman yang pernah eksis sekian lamanya. dan tentu saja, kegelisahan di sepanjang novel ini masih relevan jika kita sandingkan dengan kondisi sekarang.
Profile Image for Revian.
68 reviews5 followers
January 18, 2022
Saya sangat terkesan dengan topik filosofis merakyat yang diangkat oleh novel ini. Tokoh-tokohnya, yang sesuai dengan judul, adalah orang-orang proyek atau orang-orang yang hidupnya berkaitan erat atau mendapatkan dampak dari berjalannya sebuah proyek, sangat berpadu dengan cerita.
Terkadang interaksi para tokohnya begitu ringan sekalipun bahasannya bisa dikatakan berat: mengenai keadaan negeri, kejujuran, kemiskinan, dan segala macamnya.

Saya hanya menyayangkan subplot romansa di dalam cerita ini. Mendekati bagian akhir subplot itu seakan menggeser fokus dan tujuan protagonis di dalam cerita, Kabul. Saya pikir mungkin tidak masalah kalau Kabul akan terlibat percintaan atau semacam itu, tetapi sejujurnya saya melihat lawan main Kabul dalam subplot romansa itu sebagai tokoh yang keberadaannya tidak begitu signifikan selain sebagai ‘love interest’.

Terlebih lagi ‘love interest’ tersebut tidak punya kepribadian yang kuat yang bisa membuat saya tertarik dan ingin mendukung ceritanya. Saya mungkin akan memberikan lebih dari tiga bintang bila tidak ada selingan subplot romansa yang terkesan janggal dan mengganggu itu.

Selebihnya pembawaan ceritanya cukup baik dan tidak menjemukan. Saya bisa dengan mudah mengambil pesan yang ingin ditunjukkan cerita, baik secara tersurat maupun tersirat.
Profile Image for Ayu Istiyani.
94 reviews6 followers
August 4, 2025
For the first time baca karya Ahmad Tohari. Dan setelah ini mungkin akan mencoba karyanya yang lain.
Tentang Kabul, seorang mantan aktivis yang kini menjadi pelaksana proyek. Proyek yang sedang digarapnya yaitu pembangunan jembatan Sungai Cibawor.

Dalam cerita ini, kita jadi dibukakan mata, bahwa ternyata dalam sebuah proyek, entah apapun itu, seringkali diganduli oleh banyak kepentingan. Proyek yang ternyata justru jadi bancaan oleh berbagai macam pihak. Entah partai tertentu, entah tujuan tertentu, golongan tertentu atau apapun itu. Belum lagi tentang anggaran proyek. Mengapa tidak mengikuti saran dari perancang saat mendirikan pondasi, mengapa Dalkijo, atasan Kabul, bersikeras terhadap tenggat waktu peresmian jembatan. Dan hal-hal yang mungkin janggal tetapi nyatanya biasa terjadi di lapangan.

Kabul, mantan aktivis idealis, belum banyak jam terbang menangani proyek, rasa-rasanya tidak kuat berada di tengah-tengah orang berkepentingan khusus itu. Dia hanya ingin bertanggung jawab memberikan kualitas dan mutu terbaik pada jembatan itu, mengingat dia banyak menemui jembatan yang umurnya hanya 1-2 tahun. Kabul tidak ingin itu terjadi. Namun, jelas itu adalah keinginan yang tidak sejalan dengan Dalkijo, juga orang-orang lapangan yang lainnya. Hingga pada satu titik, toleransinya habis, Kabul menyerah dan mengundurkan diri dari proyek itu.

Alurnya terkesan lambat, cukup membuat bosan. Yang membuat menarik yaitu ide cerita yang sampai saat ini relevan. Tentang orang-orang dan berbagai permainan di belakang proyek. Membaca ini cukup membuat merenung, ohh ternyata begitu ya permainannya, ohh ternyata selama ini begini ya. Bukan memberikan contoh tapi lebih ke mengungkap fakta yang terjadi di lapangan.

Anyway, yang lumayan kocak adalah Sawin (cmiiw, agak lupa namanya) hilang berhari-hari, yang disangka menjadi tumbal dan dicor bersama dengan tiang jembatan. Karena memang, sampai saat ini masih banyak kepercayaan cukup kental bahwa sebuah bangunan biasanya meminta tumbal tertentu.
Lalu untuk Wati dan Kabul, mereka adalah the real witing trisno jalaran soko kulino. Apalagi pada tahun 90an, romansanya jelas berbeda dengan masa sekarang, dan itu justru membuat gemas 🤭😍
Saya suka dengan Pak Tarya, seorang pemancing yang nyentrik, yang sepertinya dia lebih banyak menyimpan cerita, khususnya pengetahuannya dalam permainan pekerjaan di lapangan.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Nanny SA.
343 reviews41 followers
January 7, 2024
Akhirnya kesampaian juga punya buku ini setelah lama 'berniat' untuk membacanya. Saya tertarik setelah membaca beberapa buku Karya Ahmad Tohari untuk membaca karya beliau yang lain, buku ini salah satunya.

Bercerita tentang kegalauan anak muda bernama Kabul seorang insinyur yang sedang menjadi kepala proyek pembuatan sebuah jembatan di sebuah desa. Ketangguhan dalam mempertahankan idealisme kejujuran dan kesungguhan dalam membangun proyek ini diuji dengan menyaksikan 'permainan' kotor dalam proyek ini yang dilakukan oleh hampir seluruh orang yang terlibat di dalamnya.

...Yang jelas bagiku kecurangan besar maupun kecil yang terjadi di proyek ini pasti akan megurangi tingkat kesugguhan, bahkan mengkhianati tujuan dasarnya. Dan hatiku tak bisa menerimanya. (hal. 39)

Orang- orang yang dijumpai di sini seperti: pak Tarya seorang pensiunan pegawai Kantor Penerangan yg sekarang jadi pemacing handal; pak Basar kades yg ternyata teman akrab semasa kuliah yg sering diajak diskusi; Ir. Dalkijo atasannya yang biasa disebut Bos Proyek, Wati pegawai administrasi di proyek yang naksir Kabul.
Semua orang- orang ini mewarnai perjalanan tindakan dan pemikiran Kabul selama di Proyek.

Apakah Kabul bisa mempertahankan idealismenya di proyek ini atau ikut terseret arus?. Bagaimana pula hubungannya dengan Wati?

Cara bercerita Ahmad Tohari sangat rapi, bahasanya runut sehingga kita dapat membayangkan suasana kerja dan keadaan alam di sana. Cocok buat yang suka bahasa sastra tapi mungkin agak lambat buat generasi yg suka sat set...entahlah...:)

"Rayap baru berhenti makan bila kayu yang digerogotinya sudah habis. Atau bila mereka disiram racun anti serangga." ( Hal. 253)

3,5 bintang dari saya
Profile Image for putri.
274 reviews45 followers
March 21, 2021
Cerita yg amat menarik. Jujur, ini pertama kalinya aku sadar, di dalam suatu proyek itu ada berbagai macam orang dengan tujuannya masing-masing, dan itu bagian yang paling aku suka. Mungkin antara Kabul dan Pak Tarya, kalau harus memilih, aku akan pilih Pak Tarya. Pensiunan Departemen Penerangan yang di zaman Orde Baru ngga bisa live up to their own name, tapi beliau dengan karakternya yang diam-diam berdiri di sisi seberang bisa bertahan sampai jadi pensiunan. Bertolak belakang sama Kabul yang terang-terangan menentang. Tapi aku justru lebih relate ke Pak Tarya❤️

Terus menurut aku Wati sangat annoying dan sampai akhir cerita aku gak paham alasan keberadaannya di dalam cerita wkwkwk.
Profile Image for Aisy.
36 reviews
February 12, 2025
Agak overwhelmed juga baca ini dengan kondisi berita seperti ini hehehe walau ini buku zaman kapan, agaknya masih relate juga dg kehidupan sekarang
Baca buku ini bisa bikin kita membayangkan area setting tempat dan suasana seperti apa

Dan...aku gasuka sama karakter Wati dan Mak Sumeh :)
65 reviews
December 21, 2017
18 Desember 2017; 13:01.

Suatu saat di akhirat, penghuni neraka dan penghuni surga ingin saling kunjung. Maka penghuni kedua tempat itu sepakat membuat jembatan yang akan menghubungkan wilayah neraka dan wilayah surga. Bagian jembatan di wilayah neraka akan dibangun oleh orang neraka dan sebaliknya. Ternyata penghuni neraka lebih cepat menyelesaikan pekerjaannya daripada para penghuni surga. Dan ketika dicari sebabnya, ditemukan kenyataan di antara para penghuni neraka banyak mantan orang proyek.
(Hal. 218)



Hal terkonyol dalam novel ini, saya kira berada dalam penggalan cerita di atas.

Membaca novel ini saya seperti melihat negeri sendiri dipenuhi oleh orang-orang yang tak mau lagi cablaka. Lebih memilih hidup kaya tapi gelisah daripada hidup sederhana tapi bahagia. Pragmatis. Dan selalu, orang-orang yang yang cablaka (jujur apa adanya, tidak rewah, dsb.) memiliki musuh dimana-mana. Tidak disukai banyak orang. Sudah lumrah.
Profile Image for Lola.
178 reviews8 followers
July 5, 2023
Orang-orang Proyek, menceritakan tentang masalah-masalah sosial, yaitu kehidupan orang-orang yang terkena dampak proyek pembangunan di pedesaan Indonesia.

Narasinya berfokus pada tokoh utama, Suharto, seorang pemuda yang kembali ke desanya setelah belajar di kota. Dia menemukan kampung halamannya berubah dengan datangnya proyek pembangunan besar yang menjanjikan kemakmuran ekonomi.

Ceritanya dengan gamblang mengungkap benturan antara nilai-nilai tradisional dan modernisasi, serta hubungan yang rumit antara penduduk desa dan pengembang proyek. Di samping itu, aku suka semua karakter terkesan realistis. Karena, penulis menggali lebih dalam tentang perilaku manusia, mulai dari harapan, impian & kekurangannya.

Meski, aku kurang suka dengan narasi yang puitis, simbolis, dan juga metafora. Namun, aku masih bisa menangkap keindahan dan kesederhanaan kehidupan pedesaan yang sekarang tidak kutemukan di pedesaanku sendiri.

Sementara, untuk plotnya bergerak dengan lambat. Karena, aku adalah tipe pembaca fast-paced. Tetapi, dalam novel ini aku ikut merasakan perjuangan, konflik, serta pengorbanan yang dihadapi oleh seseorang yg terjebak di tengah pesatnya modernisasi serta kemajuan ekonomi. Tentunya, hal ini membuatku bertanya-tanya tentang berapa biaya kemajuan yang sebenarnya & distribusi manfaat yang tidak merata.
Profile Image for ki.
83 reviews6 followers
Read
July 18, 2025
Dan ada cerita humor yang sangat populer tentang orang-orang proyek. Suatu saat di akhirat, penghuni neraka dan penghuni surga ingin saling kunjung. Maka penghuni kedua tempat itu sepakat membuat jembatan yang akan menghubungkan wilayah neraka dan wilayah surga. Bagian jembatan di wilayah neraka akan dibangun oleh orang neraka dan sebaliknya. Ternyata penghuni neraka lebih cepat menyelesaikan pekerjaannya daripada para penghuni surga. Dan ketika dicari sebabnya, ditemukan kenyataan di antara para penghuni neraka banyak mantan orang proyek.

Ini baru proyek jembatan, gimana kalo proyek buat Ibukota baru ya? Ckckckck.
Profile Image for Wahyu Novian.
333 reviews46 followers
July 18, 2019
Lagi, buku Ahmad Tohari ini juga santun sekali. Kisah insinyur pembangunan yang idealis di sebuah desa ini diceritakan dengan sangat menarik dan menyenangkan. Menyentil para pekerja proyek dan "proyek". Meski memang terlalu hitam dan putih, kegalauan Kabul menarik sekali untuk diikuti. Dan cara dia bertingkah-laku menjadi harapan contoh yang ideal. Jadi ingin menyemangati teman-teman saya yang bekerja di proyek. Akan galau sekali di dunia nyata, terutama di Indonesia.

Buku ini menjadi salah satu karya Ahmad Tohari yang sangat saya suka.
Profile Image for Saad Fajrul.
120 reviews2 followers
November 10, 2018
Buku ini bagus. Saya tidak ragu untuk mengatakannya. Sebuah kisah yang rasanya bukan rekaan. Walaupun rekaan, kita akan dengan mudah menemukannya di kehidupan sehari-hari negeri ini.

Sedih ? Tentu saja. Di akhir kisah pada akhirnya tokoh kita tidak dapat mengubah keadaan. Dia pun menyerah untuk mempertahankan idealismenya.

Great story'
Profile Image for Jingga.
56 reviews15 followers
April 13, 2020
Dalam novel ini, Ahmad Tohari menampilkan perilaku manusia dalam menjalankan politik kekuasaan, termasuk praktik korupsi yang sudah membudaya di dalamnya. Sebuah novel yang merepresentasikan Indonesia saat ini.
Profile Image for Rei.
366 reviews40 followers
March 14, 2019
Selalu menyelipkan kisah cinta, mungkin supaya pembaca ga terlalu dibikin piss off sama masalah yang sebenernya hehehe karena duh, baca buku ini beneran bikin kesellllll
Profile Image for Sukmawati ~.
79 reviews34 followers
August 27, 2019
"...orang-orang proyek adalah manusia-manusia yang suka main curang. Korup dengan berbagai cara dan gaya. Tapi, apakah Pak Tarya salah? Jujur, Kabul merasa sindiran halus Pak Tarya lebih banyak benarnya. Atau benar semua bila aku, Kabul, ikut-ikutan suka makan uang proyek. Tapi bagaimana meyakinkan Pak Tarya bahwa aku tidak ingin seperti mereka?" (Hal. 12)

"Orang-orang Proyek" menceritakan tokoh utama bernama Kabul, seorang insinyur muda, yang terjebak dalam kubangan kekuasaan di masa orde baru. Kabul dipercaya sebagai pelaksana proyek pembuatan jembatan di atas Sungai Cibawor. Sayangnya, proyek itu merupakan bagian dari 'permainan politik' yang ingin menang sendiri. Mencari-cari celah kecurangan demi memuaskan golongan, sementara yang lain harus menanggung derita. Ter-la-lu!

Dalam hari-harinya, Kabul selalu mengalami pergolakan batin. Antara melanjutkan proyek -yang semakin 'kotor'- atau berhenti dan mengundurkan diri sebagai pelaksana proyek. Hal yang sama terjadi pula pada Basar, teman diskusi Kabul semasa kuliah dulu. Basar memiliki jabatan sebagai Kepala Desa di tempat Kabul menjalankan proyeknya. Sebagai aparatur negara, Basar punya kuasa. Namun, jabatan tersebut justru menjadi bencana yang sulit dielak oleh dirinya. Sejumlah titah sekaligus ancaman dari Golongan Lestari Menang -partai yang berkuasa- selalu mengantui keseharian Kades Basar.

Kabul dan Basar sama-sama mantan aktivis kampus. Tentu saja tahu bagaimana seluk beluk dunia penguasa yang dulu selalu dijadikan objek diskusi dan aksi mereka semasa kuliah. Ironisnya, beberapa tahun kemudian (pasca kampus) mereka malah terjebak di sana. Alih-alih mengkritisi para penguasa kemudian membenahi sistem, Kabul dan Basar malah merutuki diri sendiri. Menyesal sudah masuk ke area yang dulu selalu menjadi sasaran empuk hujatannya.

Selain Kabul dan Basar, adapula Pak Tarya. Seorang pensiunan Kantor Penerangan yang hobinya memancing ikan. Tokoh ini bisa dibilang sebagai penengah pada konflik Kabul dan Basar. Celotehan-celotehan dari mulut Pak Tarya seringkali menjadi sindiran halus bagi siapapun. Terutama Kabul. Sosoknya sederhana, apa adanya. Namun, keberadaan Pak Tarya seakan menjadi garis terang bahwa menjadi abdi negara tak selamanya harus taklid terhadap aturan. Ada kalanya berseberangan jika nurani memang mengharuskan demikian.

***
Ini merupakan novel karya Ahmad Tohari yang pertama kali saya baca. Sebelumnya, saya hanya membaca kisah Haji Bakir dan anaknya dalam cerita pendek "Rumah yang Terang" melalui "Nasehat Kiai Lugni; Kumpulan Cerita Pencerah" (Sega Arsy: 2015). Dan bisa dikatakan bahwa darisanalah awal ketertarikan saya pada karya Ahmad Tohari lainnya.

Adapun yang menjadi daya tarik saya untuk menelusuri "Orang-orang Proyek" adalah muatan isu politis dan korupsi yang terjadi pada masa orde baru. Kedua isu itu selalu hangat diperbincangkan oleh berbagai kalangan. Bahkan tak sedikit pula yang menjadikannya sebagai "teori aplikatif" dalam mencapai tujuan-tujuan kelompok maupun pribadi. Memang pada kenyataannya demikian. Korupsi sudah menjadi budaya dalam kehidupan bermasyarakat. Korupsi sudah menjadi sistem terselubung yang terstruktur dalam birokrasi. Dan, korupsi zaman kiwari telah menyusup dalam proyek-proyek bancakan. Ah, berat bahas begituan. Biar Kang Dilan saja. Hah!

Apapun itu, saya salut dengan penuturan Pakde Tohari tentang "Orang-orang Proyek". Narasinya disampaikan secara lugas. Pengambilan sudut pandang rakyat yang diwakilkan oleh tokoh Kabul terasa betul pada setiap uraiannya. Apalagi ketika Kabul melakukan monolog interior (ke dalam dirinya). Sungguh penuh perenungan.

Catatan saya terhadap novel setebal 253 halaman ini cuma satu. Yaitu, banyaknya penggunaan istilah Jawa yang masih asing di kuping. Terutama ketika Pakde Tohari berupaya mendeskripsikan suatu keadaan yang dialami tokoh atau "bridge" dari satu cerita ke cerita lainnya. Itu semua terasa panjang dan Javanese. Jika cetakan selanjutnya dibubuhi catatan kaki, barangkali itu akan lebih menyenangkan. :)
8 reviews
August 13, 2019
‘Orang-orang proyek’, sebuah novel karangan Ahmad Tohari yang diterbitkan tahun 2002 benar-benar menggelitik nuraniku kala tulisan ini dibuat. Sekarang aku sedang berprofesi sebagai PNS dan diriku tidak lebih beruntung daripada Kabul sebagai tokoh utamanya sedang terkoyak dalam arogansi, intrik, dan keserakahan Trisula penghancur Negara ini (Pemerintah, Pengusaha, Politikus). Sembari mendengarkan lagu-lagu Efek Rumah Kaca, aku menamatkan Buku ini dengan makna yang lebih mendalam, kebetulan keduanya saling menguatkan.

Dari kehidupan Kabul di dalam Proyek Pembangunan Sungai Cibawor, dengan latar Tahun 90’an, sedikit banyak aku mengerti kenapa ia (Ahmad Tohari) tidak merilis buku ini kala itu. Ada 2 kemungkinan pikirku, yang pertama: Ia akan langsung ditangkap dan dieksekusi karena benar-benar menelanjangi pemerintahan yang sangat berkuasa kala itu, dan kemungkinan keduanya: Agar kegagalan birokrasi dan korporasi serta tingginya hegemoni kala itu tak terulang kembali, sayang, semua niat baiknya tak kunjung terwujud hingga kini. Semuanya masih sama, Korupsi, Kolusi, Nepotisme, sebuah paket bahasan yang tak kunjung menemui kata akhir di Negara Indonesia yang kita cintai ini.

Selain kesan kotornya Pemerintahan, Perusahaan, dan Politik yang disimbolkan dalam Birokrasi Pemerintahan, Pak Dalkijo dan para anteknya, serta partai Superpower bernama Partai ‘Golongan Lestari Menang’, kita juga akan disuguhkan oleh keteguhan tokoh utama, romansanya yang malu-malu, dan ketenangan seorang mantan PNS bernama Pak Tarya yang gemar betul memancing, dan memiliki filosofi tersendiri akan hal tersebut yang membuatku menyunggingkan senyum karena merasakan hal yang sama tapi tak bisa mengungkapkannya dan kebetulan terwakili oleh filosofi Pak Tarya.

Begitu pula dengan lingkungan proyek, sekitar proyek, dan kampung halaman dari Kabul juga mendapatkan penggambaran yang memadai. Lingkungan proyeknya yang banyak diisi kuli lokal dan kurang berpendidikan masih tidak mengalami perubahan yang signifikan sampai dengan hari ini, dan pendeskripsian ‘Kebahagiaan’ para pekerja yang sedikit banyak bisa ditebus lewat goyangan Tante Ana benar-benar membuatku getir. Mak Sumeh yang doyan bergosip adalah realitas yang tak terbantahkan serta kentalnya animisme dalam diri Martasatang dan Wircumplung juga turut andil memberi warna dalam pendeskripsian warga Sungai Cibawor.

Begitupun, walau semua hal yang diceritakan bertendensi tragedi dan kebahagiaan di sana tak lebih dari pretensi dan delusi. Namun Ahmad Tohari bisa menyelesaikan ceritanya dengan cukup baik dan berani yang terwakili oleh ‘Keputusan akhir Kabul’. Tapi tetap saja, bahagia masihlah sebuah sesuatu yang menggantung dan menggantang dan lagi-lagi, itulah wajah Negara kita sekarang ini.
Profile Image for Vioo.
121 reviews12 followers
July 9, 2022
buku ini bercerita tentang pergolakan batin seorang insinyur mantan aktivis di tengah lingkungan proyek yg akrab dan mesra dengan korupsi. dia tertatih-tatih mempertahankan idealismenya di tengah kerumunan orang pragmatis. batinnya tersiksa sembari terus bertanya: bisakah dia menunaikan kesetiaannya pada rakyat dan ilmu pengetahuan seperti saat masih menjadi mahasiswa?

latarnya di proyek pembangunan jembatan tahun 91. sumpah penggambaran suasana proyeknya hidup bgt! hadehhh pokoknya everywhere i go bring "bancakan"😭☝️ oiya, aliran naturalisme yg dianut penulis kerasa kuat di sini bahkan dari halaman awal. jadi kek gue beneran di sana, liat langsung proyek pembangunan jembatannya, ngamatin kontur alamnya, nikmatin suasananya juga.

gue jg suka cara penulis bercerita ttg memancing. rasanya mancing jadi sesuatu yg khikmad. aroma lumut. ciri khas tarikan ikan. jenis2 ikan. kearifan pak tarya yg ngelepasin ikan. kata2 filosofis dari memancing wahhh gue ngerti kenapa ahmad tohari is a legend.

bagian yg paling gue suka tuh pas obrolan pak tarya, basar sama kabul ttg kritik ritus keagamaan. gue jg suka bagian obrolan pak tarya sama kabul ttg tembang asmaradana dan petuah ki hajar dewantara.

gue jg suka sm tokoh2 pendukungnya: mak sumeh yg punya warteg (meskipun ngeselin), teh ana, sawin si tumbal proyek, kang martasatang, dll.

dari celotehan di atas, keliatan bgt kan kalo gue sukaaaaaa bgt sama buku ini. trus kenapa gak bintang luma?
jujur, kalo boleh ngungkapin perasaan gue ke buku ini ya: she's a 10 but she's WATI. alias ngga jadi bintang lima tapi jadi 3.75 aja soalnya wati nyebelin.

kenapa sebel sama wati??? karena dia wati. WKWKWKKWKWKW ngga deh, becanda. soalnya
Profile Image for ukuklele.
462 reviews18 followers
June 4, 2023
Ingin rasanya saya merekomendasikan buku ini kepada orang-orang, terutama yang kebanyakan mikir suka baca. Bagi yang sudah bekerja, saya ingin membandingkan antara keadaan di buku ini dan keadaan di tempat kerjanya. Bagi yang belum bekerja, buku ini bisa memberikan gambaran tentang dunia kerja sehingga dapat mulai mempersiapkan mental.

Saya sendiri tertarik membaca buku ini setelah mendengar dari teman yang lebih dulu membacanya. Ia bilang pengalaman dalam buku ini persis seperti yang dialami teman-temannya sendiri yang bekerja di pemerintahan. Padahal sudah dua puluhan tahun sejak Orde Baru tumbang, dan hampir tiga puluh tahun berselang sejak latar waktu dalam buku ini (tahun 1991), tapi budaya demikian rupanya telah menjadi tradisi yang berurat-berakar.

Saya sendiri bisa relate dengan buku ini, di antaranya karena beberapa tahun lalu (2015) pernah mencicipi pekerjaan di dunia konsultan yang bekerja sama dengan suatu kementerian pusat. Permainan proyek seperti itu memang ada, setidaknya begitulah yang diungkapkan oleh orang yang memberi saya pekerjaan. Namun, tanpa sempat mengenal "permainan proyek" itu lebih jauh, saya sudah keburu tidak betah dengan pekerjaan itu, haha.

Karakter Basar (si tokoh utama) sedikit mengingatkan saya kepada teman saya. Memang pekerjaan keduanya berbeda: Basar insinyur sipil yang notabene pemborong sedangkan teman saya pegawai BUMN. Tapi teman saya itu pernah mengungkapkan kemuakannya pada perusahaan (atau birokrasi?--semacam itulah--) dan, seperti Basar, "ingin jadi dosen saja", seolah-olah posisi dosen adalah yang paling "aman".

Basar juga mengingatkan saya kepada ayah saya. Ayah saya juga berusia tiga puluh tahun pada 1991 dan lulusan teknik sipil sebuah PTN (malah saya curiga jangan-jangan Basar satu almamater dengan ayah saya.) Ayah saya pernah bercerita bahwa sebelum diterima di BUMN, beliau sempat bekerja di beberapa kontraktor yang salah satunya cukup besar. Bisa saja sih saya membandingkan pengalaman Basar dengan pengalaman ayah saya sendiri, kalau saja saya dan beliau cukup dekat untuk membicarakan hal semacam itu (#familygoal).

Di samping itu, dalam usia tiga puluh tahun (anggap saja pas) pada 1991, dikatakan bahwa dari pekerjaannya sebagai insinyur sipil yang pemborong, Basar telah dapat memiliki jip tua dan rumah pribadi. Demikian kita tahu bahwa Basar termasuk generasi baby boomer. Tidak disebutkan nominal gaji Basar, tapi anggaplah secara finansial dia berada di level menengah. Kalau boleh kita bandingkan keadaan Basar dengan keadaan sekarang, bagi seorang milenial pada umumnya yang berusia sekitar tiga puluh tahun dengan penghasilan tingkat menengah, apakah mungkin mencapai taraf yang sama (: punya mobil dan rumah pribadi) dengan Basar pada masa itu? Bisa sih, kalau ambil pinjaman (seperti yang dilakukan beberapa teman saya).

Paling tidak, maksud saya buku ini dapat dijadikan referensi akan adanya perbedaan antara masa itu dan masa sekarang. Tradisi perproyekan boleh diturunkan dari generasi ke generasi, tapi untuk kecukupan finansial nanti dulu. Boleh jadi generasi yang dulu makan hati saat jadi eksekutor proyek, kini justru yang jadi pemberi proyek pada generasi yang lebih muda #eh.

Hal lainnya yang saya perhatikan dari buku ini yaitu deskripsi kealaman serta sudut pandang pria (male point of view/POV).

Bagi yang pernah membaca karya Eyang Ahmad Tohari sebelumnya, contohnya Ronggeng Dukuh Paruk (karena itu satu-satunya yang saya sudah baca, di samping sudah difilmkan), tentu mengenali kekhasan beliau dalam mendeskripsikan alam pedesaan yang sebegitunya. Membaca deskripsi kealaman bisa jadi kenikmatan sendiri, setidaknya begitulah yang dulu saya rasakan, sebelum tahu bahwa setiap bagian dalam narasi sebaiknya ada fungsinya. Kalau saja ada yang bisa menjelaskan kepada saya apakah deskripsi kealaman pada karya Ahmad Tohari sekadar pembangun suasana belaka, ataukah jangan-jangan menyiratkan hal tertentu.

Mengenai male POV, sebagai pembaca perempuan, buku ini memberikan cukup insight yang autentik (karena penulisnya laki-laki). Salah satunya adegan ketika Wati hendak menraktir Basar. Basar galau kalau-kalau duit yang Wati hendak pakai untuk menraktir itu berasal dari ayahnya, yang ia tahu merupakan anggota DPRD (: berpotensi makan duit rakyat). Pikir saya, Cowok bisa mikir sampai semenjelimet itu juga. Iyalah (*dikeplak sama cowok).

Contoh yang paling baik ada di Bagian 5, yang menceritakan tentang Yos--pacar Wati. Yos tipikal pemuda galau level maksimal. Sifat penggalaunya sudah tampak sejak keterangan bahwa dia telah dua kali ganti jurusan kuliah--tiga kali ikut UMPTN--sampai menemukan yang cocok. Sementara Wati--pacarnya yang seangkatan--sudah lulus, bekerja, dan ngebet menikah, Yos masih mahasiswa yang bergantung pada orang tua. Kegalauan Yos meningkat saat ia mempertimbangkan untuk memutus hubungan dengan pacarnya. Entahkah sifat penggalaunya ini ada hubungan dengan latar belakang ekonomi keluarganya yang berkecukupan (kosnya dikatakan lumayan, motornya Yamaha RX-King--yang sepertinya kendaraan cowok paling trendi masa itu).

Tapi, segalau-galaunya Yos, sebagai lelaki, ada harga diri yang mesti dia junjung tinggi. Saya pernah baca, tindakan lelaki untuk mempertahankan harga dirinya tidak bisa dilogikakan. Maka Yos pun datang ke tempat kerja Wati untuk berkonfrontasi, dalam hal ini dengan memecahkan gelas sekalian mengatai-ngatai. Meski begitu, Yos rupanya juga seorang gentleman dengan meminta maaf kepada yang empunya tempat (: Basar) atas perbuatannya. Dengan demikian, menurut saya, dengan baik Yos memberikan contoh karakter lelaki yang bisa konyol tapi juga dapat diidealkan ...

... mungkin juga agak berengsek.

Secara keseluruhan, ini buku mudah. Resolusinya relatif membahagiakan (AWAS BOCORAN!!!: semua dapat pasangan, Basar dapat ganti pekerjaan, permainan proyek tidak bisa diapa-apakan, tapi paling tidak Kang Martasatang bisa kembali mencari nafkah dari rakitnya). Kelima bagian dapat ditamatkan dalam empat jam saja.

Entahkah satire atau pesan moralnya, hampir semua disampaikan secara gamblang. Bahkan saking blak-blakan satirenya terhadap budaya Orde Baru, enggak heran buku ini pertama kali diterbitkan pada 2002--maksudnya, setelah reformasi. Di samping itu, saking sarat pesan moral, rasanya seperti mendengarkan tuturan seorang eyang kakung idealis berikut segala kearifannya. Mungkin enggak semuanya mengenakkan. Tapi terhadap orang yang jauh lebih tua, mau enggak mau kita mesti mendengarkan karena siapa tahu baru kelak dapat kita pahami maksud dari petuahnya.

Kalaupun ada yang tersirat, saya rasa itu berupa sosok perempuan yang diidealkan penulis, yang terbagi-bagi di antara beberapa tokoh perempuan: mandiri dan pandai berhemat (Biyung), menarik secara penampilan dan pembawaan--manja-manja kenes begitu deh--malah kalau perlu cenderung agresif (Wati), pintar masak (istri Basar), dan punya warung (istri Pak Tarya). Ini dugaan saja lo.

Pembacaan ini terselenggarakan atas sponsor Ipusnas. Sudah difasilitasi pemerintah membaca buku digital legal secara cuma-cuma, yuk kita manfaatkan! (Walaupun kadang-kadang masih ada bug sih.)
Profile Image for Fathiyah Azizah.
104 reviews34 followers
March 14, 2020
Kabul, insinyur penanggung jawab sebuah proyek. Basar, seorang Kades dimana proyek didirikan. Keduanya yang semasa mudanya sebagai aktivis terjebak di lingkaran setan kediktatoran orde baru. Sudah rahasia umum, penyelewengan di birokrasi, yang menolak aturan atas dianggap komunis. "Feodalisme baru, penyeragaman, rekayasa, korupsi, munafi, dan semuanya dibungkus dalam retorika pembangunan." (165)

Akankah Kabul dan Badas ikut menggadaikan idealisme mereka? Yang penasaran yuklah baca..

"Republik belum pernah tegak di negeri ini. Maka tak sedikit insinyur birokrat yang merasa jadi raja kecil yang menganggap proyek adalah objek kekuasaannya, bukan amanat rakyat yang akan membayar biaya pembangunannya." (171)

Orde baru, reformasi, ahh sama saja aku rasa. Masih banyak korupsi dari hal kecil sampai besar, miris loh, milyaran. Pembangunan apa pun mutunya sangat jelek. Dana bantuan pun harus dipangkas ini itu. Jadi ingat republik impian Tan Malaka, tanpa ada parlemen. Pembuat aturan benar-benar terjun di masyarakat, jadi paham benar kebutuhan masyarakat. Nah sekarang, orang-orang di parlemen tak lagi wakil rakyat, tapi wakil penguasa.

Untuk bumbu cerita, percintaan Wati, buat aku agak dipaksakan, seperti drama sinetron. Karakter perempuannya juga terlalu mellow dan memaksa. Yang laki pun tak terlalu menyambut, kesannya atas dasar iba saja mau menerima Wati. Ya terlepas itu, bagaimana Ahmad Tohari menjabarkan kehidupan Orba sudah sangat tergambar dengan jelas. Pemikiran Ahmad Tohari aku suka, lewat tokoh pak Tarya, mengademkan suasana yang panas. Ada bahasan menarik juga, pembaca diajak berpikir, penegakan syariah dulu atau penegakan akhlak, melihat realita, orang lebih banyak melakukan ritual ibadah, tapi akhlak masih jauh, parahnya korupsi. Kalau menurutku pribadi, harus sejalan sih, tak ada hukum syariah orang-orang terlena ini takbisa tersentuh, buktinya hukum koruptor di Indonesia tak pernah bisa membuat jera.
Profile Image for Evan Kanigara.
66 reviews20 followers
February 25, 2020
“Orang-orang proyek” karya Ahmad Tohari merupakan tulisan yang mengalir dan renyah dibaca. Saya begitu menyukainya. Kisah Kabul si insinyur ini terasa lengkap dan dekat. Mantan aktivis kampus yang kerap mengkritisi pemerintah, kali ini Kabul bekerja ikut proyek yang diselenggarakan pemerintah. Kabul melihat bagaimana ilmunya harus berkompromi dengan persoalan non-teknis yang merongrong integritas keprofesiannya. Saya rasa semua mahasiswa yang akhirnya bekerja pasti di satu titik akan merasakan hal-hal semacam ini. Kita semua akhirnya akan menjadi Kabul suatu saat nanti. Kutipan yang sangat saya ingat betul “Dan karena kebiasaan itu, kata ‘proyek’ pun kini memiliki tekanan arti yang khas. Yakni semacam kegiatan resmi, tapi bisa direkayasa agar tercipta ruang untuk jalan pintas menjadi kaya. Maka apa saja bisa diproyekkan.”

Selain itu, Tohari jelas melakukan riset yang baik. Proses ‘proyek’ dijabarkan dengan begitu menyeluruh dan cukup detail. Saya justru merasa mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai pekerjaan insinyur proyek dari buku ini ketimbang waktu kerja praktik. Karya ini juga dengan sangat baik menjelaskan pekerjaan Kabul dengan permasalahan non-teknis yang menyertai proyek itu sendiri. Hal-hal seperti bancaan dana, intervensi parpol, hingga pengaruh kepercayaan masyarakat sekitar, dibalut sedemikian rupa sehingga rasanya begitu relevan meski latarnya adalah tahun 1992. Rasanya begitu khas Indonesia!

Karya ini berhak dibaca oleh semua orang. Pesannya begitu universal. Namun saya tetap merasa ‘Orang-orang Proyek’ wajib dibaca oleh mahasiswa teknik. Alih-alih kuliah stadium generale membahas gimmick 4.0 dsb, mahasiswa teknik sebaiknya diberi tugas membaca karya Tohari ini. Saya sebenarnya membayangkan ketika kuliah ‘engineering ethic’, mahasiswa diberi tugas meresensi ‘Orang-orang Proyek’. Sepertinya bagus. Tapi entah kenapa nggak pernah saya mendengar atau melihat kawan saya dikampus baca ini. Cukup disayangkan.
Profile Image for winthrop.
9 reviews
September 4, 2025
indonesia nih emang ajaib, apa-apa bisa disulap jadi proyek dalam sekejap mata. dan tujuannya gampang ketebak: dana cair, terus dikorup. infrastruktur yang mestinya krusial buat masyarakat malah dijadikan ajang rebutan keuntungan pribadi. entah itu proyek gede, kecil, penting, atau bahkan nggak penting sekalipun, selalu aja ada celah buat main curang. selesai baca buku ini aku jadi sepenuhnya ngerti kenapa banyak pembangunan cuma awet sebentar. ada yang baru beberapa bulan udah retak, ada yang cuma beberapa tahun udah roboh total. kebayang gak, sesuatu yang dibangun bertahun-tahun, dan hasilnya ditunggu masyarakat, tapi manfaatnya cuma bisa dirasain sebentar? semua ini gara-gara korupsi dan keserakahan para petinggi yang egois. dana yang seharusnya dipakai dengan bener malah dicekik habis-habisan, contohnya kayak milih bahan baku seadanya yang jelas-jelas gak sesuai standar.

fenomena-fenomena gak bermoral yang digambarin di buku ini bikin aku makin sadar sama keadaan sekitar. ternyata semua itu bukan cuma cerita masa lalu, tapi emang cerminan yang nunjukin wajah asli indonesia dari dulu sampai sekarang. hal-hal kayak gini udah lama diangkat dan bikin pembaca otomatis berhenti sebentar sambil mikir, kira-kira ada berapa ribu ya unfinished proyek? ada berapa ribu ya jembatan baru tapi udah retak dalam sekejap? dan ada berapa banyak fasilitas umum yang gak bisa dipakai lagi padahal dana pembangunannya fantastis? banyak oknum sipil dengan gelar sepanjang sungai nil dan jabatan tinggi tetap aja ngerawat tradisi korupsi, duh. undang-undang ada, tapi ditabrak seakan gak ada artinya. cerita ini ditulis puluhan tahun lalu dan masih relevan sampai hari ini. wowwww. bukannya maju, malah makin mundur. oh, mirisnya indonesia : )
Displaying 1 - 30 of 484 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.