Jump to ratings and reviews
Rate this book

Puya ke Puya

Rate this book
Surga diciptakan karena...

Setelah puluhan tahun kau menunggu, kini kau telah berjalan ke surga. Ketika hampir tiba, ketika kutanyakan 'kenapa surga diciptakan?' kau hanya bisa diam. Untuk apa kau berjalan? Kau juga tidak tahu. Dasar manusia!
Kau hidup hanya untuk mati? Jika seperti itu, betapa kasihan kau, saya dan leluhur kau yang lain, tentu sangat kecewa. Tak pantas kau berjalan ke tempat suci ini--tak pantas kau menjadi orang Toraja yang kami banggakan.
Pulanglah, pulanglah dulu, tanyakan kepada kawa kau yang lain, tanyakan kepada semua orang: Kenapa surga diciptakan?

230 pages, Paperback

First published October 15, 2015

33 people are currently reading
478 people want to read

About the author

Faisal Oddang

33 books112 followers


Faisal Oddang was born on 18th September 1994. He finished his study in Universitas Hasanuddin, focusing on Indonesian Literature. His books are: Poetry Collection Perkabungan untuk Cinta (Mourning for Love) and Manurung was shortlisted for Khatulistiwa Literary Award 2018, Novels: Tiba Sebelum Berangkat (Arriving Before Departing) was shortlisted for Khatulistiwa Literary Award 2018, Puya ke Puya (From One Heaven to Another) won 4th place in Jakarta Art Council Novel Competition 2014 and was chosen as the best novel in 2015 by Tempo Magazine.

He achieved: Robert Bosh Stiftung and Literary Colloquium Berlin Grants 2018, Iowa International Writing Program 2018, Asean Young Writers Award 2014, Best Short Stories Writers 2014 by Kompas Daily, Prose Writer of The Year 2015 by Tempo Magazine, Best Essayist in Asean Literary Festival 2017. He was invited as a speaker in Ubud Writers and Readers Festival 2014, Salihara International Literary Biennale 2015 and Makassar International Writers Festival 2015, and participated in writer’s residency 2016 in Netherland by Indonesian National Book Committee.

Email: faisaloddang@gmail.com

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
117 (26%)
4 stars
229 (51%)
3 stars
85 (19%)
2 stars
10 (2%)
1 star
3 (<1%)
Displaying 1 - 30 of 124 reviews
Profile Image for ucha (enthalpybooks) .
201 reviews3 followers
June 23, 2018
Lebih dari setahun lalu saya pernah menonton dokumenter dari VICE Indonesia berjudul Royal Blood : Uang, Darah dan Kematian di Toraja. Liputan yang cukup lengkap untuk memahami proses upacara terpenting dalam adat Toraja yaitu upacara kematian yang dinamai Rambu Solo.

Pengetahuan akan budaya ini kembali menemui konteksnya ketika kita membaca karya sastra. Ini bisa ditemui dalam novel 'Puya ke Puya'. Jika saja belum baca profil penulisnya, saya tak akan percaya karya ini ditulis oleh seorang yang begitu muda. Keunggulannya adalah cara berceritanya sangat enak dan mengalir, bisa membacanya tanpa putus dan tanpa bosan. Tema dan pilihan katanya cukup berani dan yang paling saya suka adalah cara pergantian sudut pandang pencerita menggunakan simbol asteriks (*) sebelum cerita berakhir dalam satu paragraf. Satu lagi, selang seling dari cerita nyata dan arwah cukup berhasil disajikan.

Hal yang mengganjal hanyalah saya merasa seakan-akan begitu banyak unsur seperti budaya, konflik sosial, seks, asmara dan drama keluarga, semua dipapatkan dalam satu cerita. Terburu-buru ada dan terburu-buru selesai. Stereotip akan berbagai hal masih cukup kental di sini, dan tokoh pendukung lainnya yang bersifat satu dimensi karakter.

Bahagia tahu ada satu lagi penulis berbakat di sastra lokal Indonesia, saya memastikan akan membaca karya Faisal Oddang lainnya.
Profile Image for Teguh.
Author 10 books335 followers
October 12, 2015
Saya masih mengingat betul betapa goosebump saat Faisal Oddang diumumkan sebagai cerpen terbaik Kompas Juni 2015 lalu.Saya merinding karena di usianya yang sangat muda, prestasi dan dedikasi sastranya perlu diacungi jempol. Benar-benar generasi sastra muda yang menjadi masa depan cerah Indonesia. (Saya jadiingat Linda Christanty, yang di usia 19 tahun, cerpennya menjuarai lomba cerpen KOMPAS dan dimuat di harian yang sama)

Sekarang, saya berhasil membaca novel Puya ke Puya yang menjadi juara ke-4 DKJ 2014 lalu. Novel ini unik sekali, mulai dari tema dan dari penceritaan yang luar biasa.

Novel ini berkisah tentang bagaimana upacara penguburan di Tana Toraja, tentang seorang pemuka adat bernama Rante Ralla, yang dikisahkan memiliki derajat luar biasa bagus. Dan karena kebagusan derajat itulah rambu solok harus dilakukan dengan istimewa dengan kerbau belang dan babi berekor-ekor agar ambe (ayah) mampu mencapai puya (surga) dengan mulus dan ditempatkan sebagai dewa.

Tapi biayanya sangat mahal, sedangkan harta warisan tidak begitu banyak ditinggalkan.

Konflik yang ini, kmeudian dikelindan dengan konflik tambang nikel yang memaksa tongkonan Rante Ralla harus digusur demi jalan truk menuju tambang. Konflik tambang vs lokal heritage, intrik politik kotor demi kelancaran alih fungsi lahan, menjadi isu yang menarik.
Selain itu juga tampak konflik cinta, konflik penjuaaln bayi-bayi di pohon tarra (kasus ini jadi ingat cerpen Faisal yang menjuarai di kOMPAS, di pohon tarra di rahim pohon).

satu quote yang perlu dibold: Kebudayaan adalah produk manusia, manusia dan kebudayaan itu dinamis sesuai ruang dan waktu. Dan relevansi dengan zaman sangat penting sebagai acuan untuk mempertahankan sebuah tradisi yang merupakan bagian dari kebudayaan itu. Acuan untuk tetap melakukan atau tidak, dan saya pikir zaman sudah tidak relevan dengan yang kalian pertahankan. (hal.20)

Aku jujur suka dengan cara Faisal Oddane memindahkan POV dengan tanda bintang (*) dan kurung().
Profile Image for Pauline Destinugrainy.
Author 1 book265 followers
July 2, 2016
Setiap satu ayunan kaki manusia, ia tengah berjalan pergi seklaigus menuju pulang. Orang-orang hidup hanya untuk mati, begitulah. Semakin kau berjalan menjauh, semakin maut berjalan mendekat. Dan Tuhan menciptakan surge bagi para pejalan. Entah karena apa…

Rante Ralla meninggal dunia. Sebagai seorang tetua adat dan bangsawan di Kampung Kete Kesu Toraja, maka dia harus dimakamkan dengan adat Rambu Solo’. Hanya saja biayanya tidak sedikit. Dibutuhkan 24 kerbau dan ratusan babi untuk mengantarnya ke puya (surga). Allu Rante, anaknya yang adalah seorang mahasiswa di Makassar, memutuskan untuk memakamkan ayahnya di Makassar. Tanpa adat dan tentu saja dengan biaya yang lebih murah.

Jelas saja keluarga besar Ralla murka. Paman Marthen, adik Rante Ralla adalah orang yang paling menentang usul Allu. Mau ditaruh dimana muka mereka jika Rante tidak dimakamkan secara adat. Paman Marthen mengusulkan agar mereka menerima tawaran dari Mr. Berth, pengusaha tambang nikel, yang hendak membeli tongkonan mereka. Uangnya bisa digunakan untuk membiayai pemakaman Rante. Tapi Allu berkeras hati, kalau rumah dan tanah mereka dijual dimana lagi mereka akan tinggal? Lagipula pesta adat ini hanya akan meninggalkan utang yang harus ditanggung oleh Allu dan ibunya, Tina Ralla.

Yang tersisa setelah kematian hanyalah ingatan dan ingatan… (juga luka?)

Sebagai orang Toraja, saya akrab dengan adat Rambu Solo’ yang diangkat di dalam novel ini. Saya masih ingat saat saya masih kecil, beberapa kali saya diajak oleh orangtua saya untuk menghadiri Rambu Solo’ kerabat yang meninggal. Yang saya ingat (dan suka) adalah kemeriahannya. Ada banyak orang, lantang (pondok bambu tempat menjamu tamu dan tempat tinggal sementara untuk keluarga), makanan enak, dan keluarga yang terserak bisa berkumpul. Beranjak dewasa, saya juga mengetahui bahwa untuk mengadakan adat itu butuh biaya yang sangaaat besar. Makanya hanya keluarga bangsawan yang mampu melaksanakannya.

Permasalahan itulah yang dihadapi oleh Allu Ralla dan Tina Ralla. Sebagai bangsawan, sepatutnya mereka harus mengadakan pesta adat untuk Rante. Tapi Allu sebagai pemuda yang idealis, menganggap hal itu tidak perlu. Budaya seharusnya bisa berubah sesuai perkembangan zaman. Allu berpikir praktis dengan mengumumkan niat menguburkan ayahnya di Makassar, sementara Tina hanya diam memendam semua rasa di dalam hatinya.

Novel ini dikemas dalam gaya unik. Ada empat POV yang bercerita secara bergantian. Yang pertama adalah narator yang menggunakan sudut pandang orang ketiga. Berikutnya ada Rante, Allu dan Maria yang bercerita dari sudut pandang orang pertama. Untuk membedakannya, penulis memakai tanda bintang (* untuk Rante, ** untuk Allu, dan *** untuk Maria) disertai tanda kurung. Yang menarik adalah kesetaraan persepsi antara orang yang sudah mati dan yang masih hidup. Seperti yang sudah disebutkan di awal, Rante sudah mati meski belum dikuburkan. Dari kisah Rante, ada banyak informasi penting yang berkaitan dengan adat dan penyebab kematiannya. Sementara Maria adalah adik Allu, yang sudah mati hampir 17 tahun yang lalu. Dia mati sebelum giginya tumbuh, karenanya Maria dikuburkan di dalam pohon tarra’ (sejenis nangka) yang menjadi rumahnya sebelum berangkat ke puya. Seperti halnya Rante, Maria juga memberikan informasi tak kalah penting. Semuanya menjadi kesatuan yang merangkai kisah ini dengan apik.

Jujur saja, saya punya pemikiran yang sama dengan Allu, bahwa adat Rambu Solo’ ini lebih banyak ruginya daripada untungnya dari sisi ekonomis. Tapi saya tidak setuju Allu mau membawa jasad ayahnya dimakamkan di Makassar. Saya paham Allu tidak mau memakamkan ayahnya di Toraja karena takut biayanya membengkak, tapi dengan membawa jasad itu dari sanak keluarganya, dari kampung halamannya, Allu tidak punya rasa hormat pada ayahnya. Allu adalah pemuda yang sangat mengikuti perkembangan budaya. Bukan saja masalah adat istiadat, gaya hidup Allu juga bebas (di sini Allu digambarkan sering berhubungan seksual dengan pacarnya). Allu hanya memikirkan dirinya sendiri, keuntungannya, dan masa depannya. Saat ada peluang untuk itu, semuanya dikorbankan. Termasuk ideologinya tentang adat Rambu Solo’. Di akhir cerita, saya sukses membenci Allu. Sementara Tina menggambarkan sosok perempuan Toraja yang setia dengan adat. Dia lebih sering diam, karena dia sadar dirinya adalah seorang perempuan. Sebagai “warga kelas dua”, seringkali pendapat perempuan tidak diperhitungkan dalam pertemuan yang membicarakan masalah adat. Apalagi dia menaruh kepercayaan penuh pada anaknya, yang kini menjadi kepala keluarga.

Saya rasa novel ini memang pantas mendapatkan juara IV dari Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2014. Meski tipis, novel ini tidak hanya berbicara soal adat yang terkenal dari Toraja. Ada juga permasalahan soal perebutan tanah, pertambangan, campur tangan pemerintah dalam urusan adat, dan juga pengkhianatan. Apalagi novel ini ditulis oleh seorang anak muda. Saya merekomendasikan buku ini untuk yang mau mengenal budaya Toraja lebih dekat.

..dan Faisal, menjawab harapan yang kau tuliskan di bawah tanda tanganmu di dalam buku ini , saya mau bilang : buku ini memang menyenangkan, kurre sumanga’.
Profile Image for Gin Teguh.
Author 11 books47 followers
January 3, 2016
Jarang saya menemui cerita yang menarik perhatian di sepanjang tahun 2015 ini. Dan "Puya ke Puya" rupanya membetot perhatian saya selama dua hari penuh ketika membacanya.

Dari awal ketika membuka halaman demi halaman, saya mencoba menurunkan ekspektasi. Yah, karena beberapa kali saya terjebak overrated buku-buku yang dikatakan 'bagus'. Tapi, tidak untuk "Puya ke Puya". Saya sudah jatuh cinta semenjak di halaman pertama hingga halaman-halaman berikutnya yang selalu bikin saya terkejut beberapa kali.

Cerita berpusat pada upacara pemakaman Rambu Solo atas meninggalnya Rante Ralla yang merupakan kepala adat di Kampung Kete'. Sebagai kepala adat, tentu upacara pemakamannya tidak biasa. Sayangnya, Rante Ralla, meski ketika hidup ditasbihkan sebagai kepala adat, tidak meninggalkan cukup warisan bagi istrinya, Tina Ralla, dan anak lelakinya, Allu Ralla. Sehingga, tentu saja membebani mereka sebagai ahli waris. Padahal, keluarga besar Ralla sudah mewanti-wanti atas upacara Rambu Solo yang tentu tidak boleh sederhana mengingat itu akan mencoreng nama keluarga dan membuat kecewa para leluhur.

Nah, inilah yang menjadi konflik dasar dalam novel 'Puya ke Puya'. Allu Ralla yang berpikiran lebih maju karena sudah meninggalkan keyakinan adatnya mengusulkan untuk tidak menyelenggarakan upacara pemakaman Rambu Solo atas alasan biaya. Puluhan kerbau dan ratusan babi, serta sajian bagi tamu-tamu yang datang tentu memberatkan.

Sampai sesuatu membuat keyakinan Allu Ralla goyah. Allu Ralla bahkan membuat keputusan yang berbahaya. Keputusan ceroboh yang menyeretnya dalam masalah yang beruntun menimpa. Keadaan tidak lebih baik, tapi malah lebih buruk dari yang diharapkannya.

Yang paling menarik dari 'Puya ke Puya' adalah cara bertutur Faisal Oddang. Dia mengambil sudut pandang orang pertama dari 4 (empat) tokoh yang berbeda. Pertama adalah sudut pandang leluhur (kalau saya tidak salah tangkap), lalu sudut pandang mayat Rante Ralla, kemudian tentu dari sudut pandang Allu Ralla. Uniknya, disisipkan pula sudut pandang Maria Ralla, adik Allu Ralla yang meninggal ketika bayi dan dimakamkan batang Pohon Tarra. Jangan salah, Faisal Oddang bukan tanpa alasan mengambil sudut pandang Maria Ralla karena di sanalah beberapa hal terungkap.

Saya suka alurnya, suka kejutannya, suka karakter tokohnya, dan suka bagaimana Faisal Oddang meramu cerita dengan latar Toraja dengan sangat indah. Saya mendapat banyak pengetahuan baru khususnya 'kematian' bagi orang Toraja. Sejarah Toraja juga sedikit diceritakan serta tentu saja bagaimana penggambaran 'puya' atau surga di mata orang-orang Toraja.

Sayangnya, saya menemukan ketanggungan dalam beberapa karakter terutama Allu Ralla. Perpindahan karakternya sedikit kasar, seperti terburu-buru. Saya padahal berharap lebih pada sosok Allu Ralla yang bisa lebih liar. Beberapa karakter lain juga seperti kurang kuat motivasinya. Siti, misalnya, yang saya pikir bisa dijadikan satu dengan Malena karena kurangnya motivasi karakter Siti hingga malah melemahkan karakter Malena. Tina Ralla juga sebenarnya bisa lebih tergali. Sayangnya, Faisal Oddang seperti tidak dibiarkan berkembang lebih liar lagi. Ada kesan 'segera' menerbitkan novel ini. Sayang sekali.

Dan, seperti kebanyakan buku-buku terbitan KPG, banyak typo bertebaran yang sangat mengganggu saya. Juga, beberapa pemenggalan kalimat yang tidak nyaman hingga saya gemas berkali-kali terutama dalam penempatan tanda 'titik' dan 'koma'. Ada apa dengan redaksi KPG? Padahal banyak buku bagus yang terbit di KPG. Masa masalah sepele seperti typo dan EYD dibiarkan saja?

Selebihnya, saya sangat merekomendasikan novel ini. Label Juara IV Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014 ini memang tidak main-main. Selamat, Faisal Oddang. Kamu berhasil membuat saya terkejut tahun ini.
Profile Image for Perpustakaan Dhila.
200 reviews12 followers
September 28, 2016
Buku ini bercerita dari sudut pandang empat pencerita: Arwah Leluhur, (Arwah) Rante Ralla, Allu Ralla, serta (Arwah) Maria Ralla (adik Allu yang meninggal saat umur 5 bulan, sekitar 17 tahun yang lalu). Puya ke Puya menceritakan bagaimana seorang anak yang mau terbebas dari adat yang ditasa membelenggunya, tetapi dilema karena sang ayah adalah seorang tetua adat yang tentunya memegang teguh adat yang dijunjung. Belum lagi keluarga yang menentang putusannya untuk memakamkan sang ayah secara 'normal', kemudian konflik tambang yang juga mewarnai kisah sang mahasiswa 'labil'.

Jangan sedih, buku ini juga diselipi dengan kisah cinta--tentu saja. Ada kisah Allu Ralla bersama gadis(-gadis) juga kisah yang sedikit menggelitik antara 'Maria dan Bumi'.

Hal menarik dalam buku ini tentunya putusan penulis mengangkat tema Rambu Solo dalam tulisannya, serta bagaimana sudut pandang beberapa tokoh di dalamnya tentang adat itu sendiri. Pembaca bisa melihat sudut pandang yang berbeda--bahkan mungkin kritik penulisnya--tentang bagaimana suatu adat bisa membawa kebaikan pun mungkin keburukan bagi yang menganutnya. Sayangnya pada beberapa bagian, saya pribadi tidak bisa membedakan 'suara' tokoh yang satu dengan lainnya. Semua terasa mirip, menjadi satu suara, yaitu suara penulisnya sendiri.

Untuk pembaca yang memang awam dan tertarik terhadap budaya Toraja khususnya Rambu Solo, buku ini bisa jadi pilihan yang tepat untuk jadi 'pengantar'. Hanya saja untuk pembaca yang mungkin cukup mengenal tentang Toraja, buku ini tidak terlalu memuat banyak hal, tetapi tetap 'recommendeath' untuk dibaca. Banyak informasi dan sudut pandang yang bisa didapat dalam Puya ke Puya.

Selain itu, aduh, tolong penerbit--utamanya editor--lebih memperhatikan beberapa kesalahan pengetikan dalam buku ini. Jika hanya sekali dua kali mungkin tak masalah. Cukup mengganggu karena saya beberapa kali menemukan kesalahan pengetikan ataupun ejaan.
Profile Image for Jonas Vysma.
30 reviews32 followers
March 18, 2020

Seperti novel-novel yang pernah saya baca, saya masih harus meraba untuk menemukan dan memegang alur cerita. Beberapa halaman setelahnya, saya baru mulai setel untuk mengikuti cerita. Bahkan, dalam beberapa novel, mata saya hanyut mengikuti emosi yang dibangun. Dan Puya ke Puya adalah salah satunya. Ya, saya hanyut, seperti diajak oleh orang ketiga serba tahu ke ruang & waktu saat kejadian. Ketika sedang menulis ini, kembali saya melihat novel ini yang berada di samping kiri, tersenyum simpul & termangu-mangu.

Wow… demikian, satu kata yang saya lontarkan setelah membaca novel ini. Alur yang dibangun memang tidak memiliki banyak kejutan. Namun, saya menemukan sebuah tikungan meliuk yang sungguh-sungguh manis. Yakni di Bab 4; Alam Baka, subbab 18; Borok Luka, halaman 191. Tikungan itu tajam. Entah, apa istilah yang tepat untuk mengganti kata tikungan yang saya pakai disini. Namun sensasi itu yang saya rasakan. Dan bagian itu, tidak bisa dinikmati satu potong. Bagian itu menjadi tikungan jika kita menempuh jalan sejak awal, paling tidak dari tanjakan klimaks.
Setelahnya, soal sudut pandang tokoh yang digunakan, kearifan lokal Toraja dengan adat istiadat & kebudayaannyalah yang menjadi perhatian. Pertimbangan & dilematis dua sisi antara pemikiran logis versus ketentuan adat & budaya, berhasil dibongkar oleh Faisal dan disajikan dengan baik. Meskipun belum terlalu mulus. Ada beberapa bagian tokoh Allu sebagai mahasiswa di kampus yang saya kira sedikit berlebihan. Disajikan dengan baik, karena dilema tokoh Allu dengan adat yang kaku membuat saya sedikit cengir-cengir melihat kenyataan ketentuan adat istiadat dari leluhur memang begitu nganu. Hiiyaaaa.

Saya tidak menaruh ekspetasi berlebih ketika membacanya. Namun novel pertama yang saya baca di tahun 2020 (dan novel pertama dari Faisal) ini sungguh menjadi awal yang manis sekali. Novel ini sangat cocok dibaca oleh kita yang sudah bisa membaca.
Profile Image for Muhammad Rajab Al-mukarrom.
Author 1 book28 followers
October 8, 2015
aku akui Faisal Oddang menulis dengan bagus sekali. dan hal ini juga yang menyebabkan aku hendak memberi nilai lebih untuk novel ini. barangkali empat bintang. terutama oleh cara bercerita Faisal yang benar-benar enak dan bagus. pergantian tokoh melalui sudut pandang orang pertama dari tiga orang: Rante Ralla, Allu Ralla, dan Maria Ralla masing-masing disuarakan berbeda. tentunya hal ini membuat aku takjub. kemampuan menulis Faisal--yang masih seumuran aku--sudah hebat begitu. aku paling suka ketika dia menyuarakan tokoh Maria. benar-benar indah. novel ini pula menyuguhkan kisah surealis dan cerita berlatar adat yang kental, tetapi disisipi oleh benturan modernitas dan ancaman-ancaman yang hendak membikin adat, kultur, budaya itu raib. ini barangkali memang keahlian Faisal dalam mengamati semua gejolak adat budaya di Toraja, kupikir dia sudah akrab dengan semua itu.
namun, di balik semua keindahan itu sesuatu yang tidak mengenakkan menabrak rasa kagumku atas novel ini. ialah banyaknya adegan kekerasan dan tidak tenggang rasa. aku tidak tahu kenapa aku memikirkan hal itu begitu dalam, dan mungkin cuma aku yang berpikiran demikian. tetapi kekerasan dalam beberapa adegan sungguh bikin meringis. sedih rasanya novel sebagus ini harus tercemar adegan yang mestinya bisa disiasati penulis agar tidak melukai hati pembaca.

hmm, apa pun itu inilah novel pemenang keempat sayembara novel DKJ 2014. hatiku masih tetap pada juara pertama. ha-ha-ha.
Profile Image for Rido Arbain.
Author 6 books98 followers
March 15, 2016
Sepertinya baru kali ini aku membaca novel bertema lokalitas budaya daerah yang konfliknya begitu kompleks. Salut dengan Faisal Oddang yang bisa menjalin cerita semenarik ini. Aku suka cara bertuturnya yang unik dengan penggunaan tanda * dan kurung () untuk membagi sudut pandang Rante Ralla, Allu Ralla, dan Maria Ralla. Semua porsinya pas, dengan napas bercerita yang berbeda dari masing-masing tokoh.

Menurutku, Fai berhasil menyajikan sebuah paradoks lewat rasionalitas Allu Ralla yang kadang keras kepala menggaris labil, tapi sekaligus merasa kurang puas dengan cara Fai menjawab pertanyaan "kenapa surga diciptakan?" lewat akhir cerita yang ironis.

Jadi penasaran, apa pendapat masyarakat Toraja saat membaca novel ini.
Profile Image for Sutresna.
225 reviews14 followers
December 2, 2015
Buku ini parah gila.

Saya pernah nonton si penulis membacakan karyanya yang lain di suatu kesempatan, dan saya takjub akan pembacaan waktu itu. Waktu itu saya belum baca ini, dan emosi yang sama juga melanda saya saat membaca ini. Gila.

Cerita ttg Tanah Toraja dan kematian ini sungguh menyajikan beraneka ragam imajinasi. Cara berceritanya juga dalam kecepatan yang saya sukai.

Dan si penulis lebih muda dari saya. Haha
Profile Image for Adek.
195 reviews4 followers
February 2, 2017
Overall, bagus, tapi ada satu hal yang sangat mengganggu saya di bab terakhir saat pembalasan dendam kepada Malena yang dilakukan Allu dengan mendeskripsikan perkosaan begitu sadis. Semoga penulis bisa sedikit merevisinya di edisi terbaru nanti.
Profile Image for Sadam Faisal.
125 reviews19 followers
May 25, 2017
Biaya pemakaman yang berharga mahal, adat istiadat vs modernisme, idealisme yang terpaksa digadaikan, pengkhianatan atas cinta, dendam yang memakan banyak korban.
Jadi, kenapa surga diciptakan?
Profile Image for Amal Bastian.
115 reviews4 followers
July 17, 2017
Menggigit. Tragis. Komunikatif. Eksploratif. Dengan gaya bahasa dan cara bertutur pada penokohan yang tak biasa, membuat karya terbaik DKJ ini sedap dinikmati. Menggiring pembaca ke jalur terdalam satu budaya Toraja yang tidak banyak diketahui orang. Jika non-Toraja hanya menikmati hasil suatu budaya, merekam dalam mata dan ingatan, tapi tidak dalam karya ini. Kita dipaksa menjadi seorang Torajan yang berdiri pada lini tengah yang diapit dua lapis kehidupan: mempertahankan adat dan berjalan seiring modernitas. Keduanya sama-sama menawarkan ketidakpastian. Jika modernitas kota menyajikan secara jelas wajah kejahatan, maka akan berbeda pada usaha mempertahankan adat namun dengan jalan kejahatan. Eksplorasi rentetan adat Toraja yang lugas, laksana ensiklopedia yang dinikmati dalam bentuk cerita.
Profile Image for A.A. Muizz.
224 reviews21 followers
February 2, 2016
Jujur, saya tak begitu menikmati cerpen Fai yang dinobatkan menjadi cerpen terbaik pilihan Kompas tahun 2014. Namun, meski tema yang diangkat sama, Puya ke Puya jauh lebih asyik. Gaya berceritanya pun asyik. Kita akan diajak menyelami adat Toraja, dan memahami bagaimana adat bermanfaat bagi kelangsungan hidup bermasyarakat. Pergantian PoV yang menurut saya unik, karena saya belum pernah membaca yang semacam ini. Sayangnya, typo bertebaran di mana-mana. Ini cukup mengganggu.
Profile Image for Dian Hartati.
Author 37 books35 followers
December 14, 2015
Seperti membaca "Upacara" milik Korrie, kuat berkarakter. Hingga saya marah kepada penulisnya mengapa menciptakan Siti dengan tabiat yang begitu.
Profile Image for Alien.
254 reviews31 followers
May 6, 2020
Sudah lama saya tidak merasa bingung - apakah saya suka atau tidak suka pada buku ini?

Yang saya suka:
1. Gaya menulisnya yang cukup inovatif.
Menurut saya, ada 4 perspektif yang bercerita dalam buku ini dan keempatnya bergantian dengan baik. Cara mengganti perspektif dengan menggunakan (*) juga baru bagi saya. Saya belum pernah lihat sebelumnya.
2. Plot twists
Ada beberapa kali saya melontarkan suara "hah?!" saat membaca. Banyak plot twists yang membuat saya kagum pada kreativitas penulis - walaupun ada juga beberapa plot yang sangat tertebak, seperti plot twists yang bersangkutan dengan Siti dan Malena.

Yang saya tidak suka:
1. Tokoh-tokoh wanita sungguh lemah - atau kalau tidak lemah, sangat negatif.
Tokoh Tina dan Mori Ralla harusnya diberikan porsi lebih. Sebagai bagian dari keluarga Ralla langsung, penggambaran kedua tokoh ini sangat minim. Hanya bisa menangis dan meratapi nasib. Setiap ada rapat keluarga hanya diam. Bahkan di buku ini disampaikan bahwa adat Toraja tidak menggagap wanita sebagai mahkluk yang bisa apa-apa.
Tokoh Siti dan Malena dibuat menjadi sangat jahat dan Allu digambarkan sebagai korban. Tidak ada sama sekali aspek-aspek dalam novel ini yang menceritakan latar belakang "jahatnya" kedua tokoh ini. Benar-benar terlihat bahwa penulis adalah seorang laki-laki dari grup mayoritas di Indonesia.
2. Cultural appropriation?
Berulang kali saya teringat akan debat mengenai betapa problematiknya novel AMERICAN DIRT di Amerika Serikat ketika saya membaca buku ini.
Saya tidak bisa tidak bertanya-tanya, apakah buku ini merupakan sebuah cultural appropriation? Penulisnya jelas bukan orang asli Toraja. Semua unsur-unsur kebudayaan Toraja yang dituliskan di novel ini adalah hasil dari riset. Apakah ini cultural appropriation?
Saya sendiri belum pernah membaca buku yang ditulis oleh penulis asli dari Toraja. Jadi kepingin juga setelah baca buku ini.
Setelah selesai membaca, saya langsung memberikan buku ini kepada salah satu teman saya, yang saya tahu suka membaca dan juga orang Toraja asli. Saya penasaran, apa yang ada dipikiran orang Toraja setelah membaca buku ini.

Sebagai kesimpulan, menurut saya novel ini terlalu ambisius untuk ukurannya. Saya jadi ingin juga baca buku-buku penulis yang lain. Semoga ada kesempatan.
Profile Image for Zida.
6 reviews
April 7, 2025
Takjub, Geram, dan Marah.

Puya Ke Puya karya Faisal Oddang membuat saya larut dalam perasaan takjub sekaligus geram. Dengan pendekatan budaya Toraja yang begitu kaya, buku ini berhasil mengenalkan saya—yang sebelumnya masih awam—pada salah satu upacara adat yang unik dan sarat makna: Rambu Solo’, sebuah upacara kematian khas masyarakat Toraja.

Narasinya lugas dan mengalir. Banyak pengetahuan baru mengenai budaya Indonesia yang saya dapat dari sini, dan itu membuat saya terus ingin membuka halaman demi halaman.

Yang menarik, buku ini memakai sudut pandang dari beberapa tokoh yang berbeda. Awalnya, saya cukup bingung mengikuti alurnya, namun lama-kelamaan saya mulai terbiasa, terutama sejak bab-bab awal mulai membentuk pola.

Saya juga sependapat dengan salah satu pembaca yang menyoroti peran tokoh perempuan dalam cerita ini. Ada kesan bahwa mereka ditampilkan dalam posisi yang lemah atau negatif—seperti Indo, yang sebenarnya bisa saja lebih tegas. Tapi, mungkin begitulah kenyataan yang ingin ditampilkan dalam konteks sosial budaya yang ada.

Memasuki pertengahan buku, emosi saya benar-benar terkuras. Sekali lagi saya dibuat takjub oleh gaya narasi Faisal Oddang yang mampu membawa pembaca merasakan geram, marah, dan terpukul oleh konflik yang hadir dalam cerita.

Terakhir, saya hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada penulis. Dan bertanya dalam hati:

Untuk apa surga diciptakan?
Profile Image for Nike Andaru.
1,628 reviews111 followers
June 28, 2020
93 - 2020

Saya sudah membaca buku-buku puisi karya Faisal Oddang, tapi baru kali ini membaca novelnya.

Buku ini kental soal budaya Toraja khususnya upacara kematian. Di banyak daerah kematian memang hal yang tidak mudah dan murah bagi keluarga yang ditinggalkan, dibutuhkan merogoh kocek yang tak sedikit jumlahnya apalagi bagi bangsawan adat.

Ini juga yang terjadi pada keluarga Ralla. Rante Ralla meninggal, lantas Allu Ralla sebagai anak laki-lakinya harus bertanggung jawab untuk melakukan upacara rambu solo agar segera menuju puya. Allu yang gak punya apa-apa harus cari cara agar ayahnya yang ketua adat bisa diberikan upacara kematian yang selayaknya bangsawan.

Saya kaget ternyata sebanyak itu yang dibutuhkan untuk upacara kematian di Toraja ya. Butuh 24 kerbau dan seratusan babi, wow kebayang gak berapa duit itu ya.

Menariknya buku ini gak cuma mengupas budaya adat Toraja tapi juga dibalut dengan cerita soal pertambangan nikel di Kampung Kete' yang mau menggusur rumah Allu untuk jalan menuju pertambangan. Ada juga soal homosex di pertambangan yang dicolek dalam ceritanya ini. Dan, yang menarik juga cerita ini ditulis dengan beberapa sudut pandang, yaitu Allu, Rante dan Maria.

Selain karena ceritanya yang kuat, gaya menulis Faisal Oddang memang mengasyikkan, benar kayak penyair bikin novel gitu deh.
Profile Image for Advan.
11 reviews
February 28, 2024
Kandidat menjadi buku favoritku so far, sayang banget sekarang fisiknya udah susah dicari dan aku akhirnya baca digital

Buku ini udah menangkap atensiku dari bab bab di awalnya, isunya BANYAK BANGET dan menarik semua. Jujur agak sebel sama beberapa keputusan allu di buku ini HAHA. Tapi sudut pandang dari si bapaknya dan adeknya bikin ceritanya jadi very very nuance dan kontemplatif. Kaya ambe nya mau diupacarakan dengan layal tapi at the same time ga mau itu dilakukan dengan menjual tanah mereka. Ini dilema yang bikin gw juga ikut mikir juga

Overall bagus, dan beda sama buku buku favku sebelumnya yang aku bacanya cepet banget, aku malah gamau ini cepet cepet kelar wkwk semoga suatu saat ketemu buku fisiknya deh
Profile Image for Aidi Aik.
48 reviews1 follower
November 16, 2021
8 hari baca buku ini akhirnya kelar
Yang bikin lama adalah, berhenti2 karna aku penasaran sama istilah2 bahasa2 toraja. Sampe buka google, nyari tahu di yutub
Seru sih baca novel ini
Profile Image for Hapudin.
287 reviews7 followers
February 12, 2017
Resensi lengkapnya: http://bukuhapudin.blogspot.co.id/201...

Penilaian bagus terhadap novel Puya Ke Puya ini, sudah saya tahu dari lama. Selain membawa rasa lokal, masyarakat Toraja, novel ini menggali banyak sisi kehidupan. Berangkat dari kematian Rante Ralla yang mengharuskan anak sulungnya, Allu Ralla, menggelar upacara kematian, cerita digiring ke berbagai lini. Puya sendiri maknanya alam tempat menemui Tuhan (hal.3).

Upacara kematian atau yang disebut Rambu Solo, bisa menelan ratusan juta untuk melaksanakannya. Allu Ralla yang seorang mahasiswa, mempunyai pikiran yang lebih terbuka. Apakah adat harus membebani? Pertanyaan ini yang akhirnya memutuskan Allu untuk tidak menggelar perayaan rambu solo.

Pikirannya itu ditentang oleh pamannya. Kegigihan melawan adat yang membebani kalah oleh cinta pertama. Allu yang didesak menikahi Malena, menelan semua idealismenya. Ia menjual tanah warisan, ia mencuri jasad bayi, dan ia menjadi pemuda yang berbeda. Selain konflik yang disulut upcara rambu solo, Puya Ke Puya menambahkan konflik besar tentang penambangan nikel yang dilakukan di Toraja.

Saya sangat puas dengan eksekusi cerita yang dilakukan penulis. Ia membuat semua ketegangan yang disusun pada awal cerita, luruh di akhir. Proses menebarkan banyak masalah yang dikuliti di awal cerita, membuat saya sendiri sangat penasaran akan ada kejadian apa lagi. Misalnya, kasus pembunuhan Rante Ralla. Awalnya saya sangat penasaran dengan pelaku dan motifnya. Penyelesaian yang dilakukan Faisal sungguh menjawab. Tapi tidak sampai disitu saja. Berikutnya, bagaimana perasaan keluarga Rante Ralla, Allu Ralla dan Tina Ralla? Ini jadi klimaks tersendiri dan itu mendebarkan. Masih banyak konflik lainnya yang lebih seru.

Puya Ke Puya menggunakan sudut pandang yang berbeda. Faisal mengombinasikan sudut pandang roh leluhur, Rante Ralla, Allu Ralla, dan Maria Ralla. Yang patut diapresiasi adalah ide membuat perpindahan sudut pandang yang tidak ribet. Penulis mengakali dengan tanda bintang yang konsisten menunjukkan itu jatah sudut pandang siapa. Tanda bintang satu (*) untuk Rante Ralla, tanda bintang dua (**) untuk Allu Ralla, dan tanda bintang tiga (***) untuk Maria Ralla.

Untuk plot sendiri, Puya Ke Puya memakai plot campuran. Dominan masa lalu, berupa kilas balik masing-masing tokoh. Keuntungannya, pembaca dibuat penasaran dengan awal cerita, dan diberikan jawaban sepanjang perjalanan membaca hingga akhir.

Penokohan sendiri sangat kuat. Sebagai pemilik sudut pandang (Rante Ralla, Allu Ralla, Maria Ralla) sudah dikemas apik. Rante Ralla sebagai sosok ayah, diperlihatkan jalan pikirannya yang bijak, meski pun beberapa sisi ada bagian yang kolot. Allu Ralla sebagai pemuda berpendidikan dan masih muda mengalami banyak gejolak. Bisa dikatakan ia sosok yang labil dan itu dimaklumi karena dipengaruhi banyak faktor di sisi luar. Maria Ralla sebagai adik Allu yang meninggal semasa belum tumbuh gigi, pikirannya sangat sederhana. Walau di cerita dikatakan adanya pertumbuhan yang dialami Maria, sampai usia 17 tahun, Maria masih jadi sosok yang tidak mengenal tulisan dan berpikir sebatas pengetahuan yang ia lihat, ia dengar dan ia rasakan.

Karena banyak sisi kehidupan yang digali penulis, Puya Ke Puya memiliki pesan yang banyak sesuai konflik yang diperlihatkan. Namun, secara umum, Puya Ke Puya mengajak pembaca untuk melakukan sesuatu dengan cara yang baik agar hasilnya baik.

Sepanjang novel ini akan ditemukan banyak istilah lokal masyarakat Toraja. Penulis menggandengkannya dengan penjelasan bahasa indonesia sehingga tidak perlu catatan kaki. Membuat fokus pembaca tidak melebar kemana-kemana.

Catatan saya justru pada kovernya yang terlalu sederhana. Jika diperhatikan, gambar siluet orang yang sedang menaiki tangga, sangat memiliki kaitan dengan cerita. Ibarat orang yang sedang melakukan perjalanan menuju Puya.
Profile Image for Putu Winda.
300 reviews2 followers
June 5, 2017
Direkomendasikan oleh Dwika, sebenarnya saya tidak berharap apapun terhadap novel ini. Malah pikir saya pasti mati bosan membacanya karena saya curiga bahasanya bakal terlalu "nyastra".

Eng ing eng...
Saya jatuh cinta, saya marah, saya jijik, dan saya sedih karena novel ini.

Jatuh cinta pada pengorbanan Tina Ralla yang berusaha sekuat tenaga menjaga persatuan keluarganya, marah pada Tina karena "diam" yang dia anggap menyelamatkan keluarganya justru menjadi bom waktu pada akhirnya, dan sedih ketika pada akhirnya tak ada satupun yang tersisa baginya. Tina, seorang ibu yang terlalu mencintai keluarganya, tapi tak ada cinta yang tersisa untuk dia.

Saya marah, jijik, dan benci pada Allu Ralla. Tipikal anak muda yang sok idealis, ujung-ujungnya buta karena nafsu dan cinta! Ya, saya muak pada ketololan Allu!

Saya jatuh cinta pada Maria Ralla, dengan bahasa gaya anak kecilnya, Maria yang dalam sepi menjadi pengamat atas semua kehancuran yang pelan-pelan menggerogoti keluarganya.

Begitu banyak rasa yang ditimbulkan novel tipis ini.
Cara penuturan dari sudut pandang 3 orang yang berbeda dengan gaya bahasanya masing-masing.

konflik keluarga dan adat yang tercampur baur tak jelas ujung pangkal, dan tentu saja cerita tentang keserakahan manusia.

Sebagai orang Bali, saya sangat mengerti beberapa ritual kadang menghabiskan biaya sangat mahal. Terutama kalau sudah urusannya dengan gengsi. Sama seperti Ngaben, mungkin tidak "sespektakuler" Rambu Solo, tetapi saya tahu persis rasanya menjadi keluarga yang ditinggalkan lalu mempersiapkan upacara seharga ratusan juta.
Tidak ada yang benar atau salah tentu saja, semua kembali kepada pilihan masing-masing.

Tentu saja setelah membaca ini saya ingin sekali ke Toraja (bukan, bukan ke Puya - setidaknya tidak saat ini)

Satu lagi, super salut untuk Faisal Oddang!!! Di usia semuda itu menulis seindah ini, ah saya sebenarnya malu!
Profile Image for Awal Hidayat.
195 reviews35 followers
February 4, 2016
Pada saatnya tiba nanti, kita tak lagi mampu saling mengindrai. Sebelum semuanya terjadi, mari menuntaskan pertemuan. Biar rindu tak perlu mengusik. Atau, bila kau memang senang menjadi perindu, kita tak usah bertemu. Paling penting, yang fana adalah waktu, kita abadi. Dukamu juga.

Tapi, tunggu, surga diciptakan karena... ? Jangan bertanya kenapa sebab saya pun tak tahu apa jawabnya.

***

Gila betul Faisal Oddang ini. Setelah sukses di MIWF, Sea-Write Award, Cerpen Kompas, Sayembara DKJ, baru-baru ia menangkan Tokoh Seni Tempo 2015. Makin keki iri saya dibikinnya. Hahah... Abaikan!

Tapi, membaca buku ini sedikit menjauhkan pikiran buruk saya padanya. Setidaknya, pada bab terakhir buku ini, kurang dari sepuluh halaman, saya senang sekali membacanya. Apalagi pertanyaan tentang surga itu, kuat betul.

Beberapa subtema yang ditawarkan, bagi saya masih perlu dieksplor lagi. Tentang budaya Toraja, kisah cintanya, penambangan, konflik keluarga. Banyak cerita menarik sebenarnya.

Tapi saya senang dengan adik si tokoh utama itu. Tuturnya polos dan uh, haru. Cintanya yang malu-malu. Ini berhubungan dengan cerpen Faisal yang menang di Kompas itu, kan?
Profile Image for Pringadi Abdi.
Author 21 books78 followers
November 16, 2015
Sambil berpilek ria, saya bisa menyelesaikan buku ini semalam. Dan menyadari betapa Faisal Oddang adalah penjahit yang ulung.

Saya membaca Rain dan Tears dan berbisik di dalam hati, dia berubah banyak dan entah bagaimana kerja kerasnya, kegigihannya untuk mencapai level setinggi ini.

Sastra bagiku selalu mengenai invensi dan konvensi. Sebagai suatu penemuan, Oddang mengajariku karena Puya ke Puya adalah penemuannya yang berhasil. Ini adalah tema yang baru, segar, setidaknya buatku.

Cara menulisnya pun sangat beresiko, transisi antararwah, tapi dia bisa melaluinya.

Yang nggak kupahami adalah kerja proofreadernya, apa di KPG tak ada proofreading???

Dan menurutku, kalau editornya maksa, Oddang bisa lebih bajingan di novel ini. Allu nanggung sekali. Ah, ada banyak yang nanggung, padahal aku yakin Oddang bisa.
Profile Image for Dion Yulianto.
Author 24 books196 followers
August 24, 2016
Buku sastra yang baik adalah tentang manusia dan menggambarkan kepada kita sejatinya manusia. Dari situ, kita lalu belajar menjadi manusia. Kalau pun belum bisa menjadi manusia yang sempurna, paling tidak kita bergerak menjadi manusia yang lebih baik. Memang layak kalau novel ini menjadi juara IV Sayembara Penulisan Novel DKJ.

Ulasan di http://dionyulianto.blogspot.co.id/20...
Profile Image for Natanael Christianto.
54 reviews6 followers
January 2, 2016
Salah satu novel terbaik di tahun 2015. Dengan membaca novel ini, saya jadi lebih tahu mengenai kebudayaan dan cara pemakaman orang Toraja. Selain unsur budaya, Faisal Oddang juga memasukkan percintaan dan keanehan yang bisa kita jumpai di dunia modern seperti sekarang ini.
Profile Image for Backpfeifengesicht.
17 reviews
December 26, 2023
*Spoiler Alert*
Meskipun remeh, tapi menurut saya ada yang mengganjal dalam salah satu plot ceritanya. Bagaimana Allu bisa mengembalikan mayat-mayat curian sedangkan mayat-mayat tersebut tersimpan dalam brankas dengan kode sandi yang hanya diketahui oleh Berth?
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for rr.
33 reviews
April 2, 2025
Budaya "merayakan kematian" justru menjadi tanggungan keluarga yang sedang berduka. Bukan hanya Rambu Solo, Tahlilan yang pernah keluarga saya, dan mungkin yang lain pun, jalankan juga seperti itu.
Profile Image for fara.
280 reviews42 followers
March 23, 2024
Puya ke Puya mengisahkan dilema Allu Ralla, anak lelaki sulung Rante Ralla, seorang tetua adat di Toraja yang meninggal karena diracun oleh komplotan orang tambang yang hendak menyingkirkan tongkonan mereka. Upacara rambu solo bagi keluarga bangsawan merupakan satu dari upacara kematian termahal yang pernah ada, oleh karenanya Allu gelisah. Mengikuti adat dengan mengorbankan tongkonan atau memakamkan ambe-nya di Makassar untuk menghemat biaya tetapi dicap tak menghormati adat. Saya suka penggambaran tokoh Allu yang idealis di awal (membangun karakterisasi bahwa dia adalah mahasiswa, bahkan aktivis kampus pula), tetapi akhirnya tetap termakan nafsu-nafsu duniawinya sendiri seperti uang dan cinta.

Buku fisiknya sudah mulai sulit dicari dan mau nggak mau saya berlangganan Gramedia Digital demi bisa membacanya dengan tenang. Saya kerap merasa bingung pada beberapa novel yang saya baca; apakah saya menyukainya, atau nggak? Puya ke Puya bagi saya serba nanggung. Konsep adat yang ditabrakkan dengan modernisme memang dituangkan dengan sangat apik, saya juga mengapresiasi kemampuan Faisal dalam mengolah cerita bahkan tanpa bubuhan catatan kaki di sana-sini untuk menjelaskan istilah-istilah khas adat Toraja—meski sambil sedikit meraba-raba, kurang lebihnya saya nggak begitu terganggu dengan hal itu. Soal teknik naratornya yang berpindah-pindah dengan tanda bintang juga hal baru (yang sejujurnya saya kurang suka), tetapi pada akhirnya mempermudah saya memahami cerita dari masing-masing sudut pandang tokoh; Rante Ralla, Allu, dan Maria.

Banyak hal saya kagumi, tetapi banyak hal juga yang membuat kening saya berkerut bingung. Seperti misalnya dalam Puya ke Puya nggak ada satu pun tokoh perempuan yang berdaya dan ikut andil memecahkan masalah dengan kepala dingin dan memberikan energi positif, singkirkan dulu Siti dan Malena; satunya amoral dan satunya lagi culas, atau Tina Ralla yang digambarkan lebih banyak diam (sekalipun sangat dimaklumi karena tengah berduka, sampai di penghujung cerita Tina Ralla hanya sekali meluapkan amarahnya soal kematian suaminya, dan itu nggak memberikan dampak apapun kecuali balas dendam yang, lagi-lagi, serba nanggung). Saya nggak tahu apakah hal tersebut berkaitan dengan karakteristik masyarakat adat Toraja, tetapi yang jelas rasanya begitu kurang dan mengganggu.

Di sisi lain saya suka dengan narasi roh Maria yang lugu dan malu-malu dengan Bumi, meskipun bagian ketika Allu mengembalikan mayat Bumi yang sempat dicurinya ke Ibu Pohon juga terkesan tergesa-gesa (apa iya semudah itu?). Ini mengingatkan saya pada cerpen Kompas Faisal soal mayat bayi-bayi yang belum tumbuh gigi diletakkan di passiliran, yakni pohon tarra, yang diyakini sebagai tempat awal mula perjalanan sang bayi menuju ke akhirat. Entahlah, Puya ke Puya memberikan after taste membingungkan setelah membacanya. Saya nggak meragukan riset etnografinya, tetapi beberapa bagian yang nggak membuahkan jawaban (seperti pertanyaan soal mana yang baik; kubu barat atau timur?) membuat saya jadi bimbang. Andai ritme penceritaan di bab terakhir nggak terlalu terburu-buru, barangkali saya akan beri bintang sempurna.
Displaying 1 - 30 of 124 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.