What do you think?
Rate this book


276 pages, Paperback
First published November 4, 2015
Kamu tahu cara terbaik untuk menjalani hidup, By? Enjoy your life whether it's up or down. Life is always like a rollercoaster. You have the right to be afraid, but try to climb into the front seat, throw your arms in the air, and enjoy the ride. Find the joy in all choices you make. Remember, in the end good girls always win. (hal.244)
Kalau lagi patah hati, kamu cukup ingat ini, if it's good, it's wonderful, but if it's bad, it's experience. Intinya, kita nggak perlu menyesali apa pun yang terjadi, baik atau buruk. Kalau udah bisa ngelakuin itu, berarti kita udah berdamai dengannya. (hal.234)
“Kemarin kamu nanya kenapa aku travelling pakai gaun pengantin, kan? Ini jawabannya, dalam pikiranku gaun ini bakal menyerap semua kesedihanku dan berubah menjadi hitam.” (h. 75)
“Karena aku memilih untuk bahagia, By. Aku memilih untuk berhenti mengeluh dan mulai mensyukuri hidupku, apa pun kondisinya.” (h. 131)
Bukankah sebenarnya kita semua merupakan kumpulan masokhis, disadari ataupun tidak? Terlalu sering kita sengaja membuka kenangan menyakitkan atau menyedihkan dan menyesapnya kembali. Membuka luka yang belum benar-benar mengering. Luka yang tidak akan pernah kita biarkan mengering karena kita mencandu rasa sakit itu.
Ternyata benar, tidak ada manusia yang benar-benar ahli menghindar dari kenangan, termasuk aku. Sekuat apa pun aku berusaha berlari dan menghindar dari kenangan, selalu ada hal-hal kecil yang mengembalikannya. Menggerus habis pertahananku.
Aku selalu percaya cinta itu sama dengan luka. Kita mungkin ngira waktu bakal nyembuhin atau ngilangin bekasnya, tapi sebenarnya nggak. Bekasnya cuma menipis. Sama kayak cinta.
Cinta itu sama kayak energi. Sekali hadir, dia nggak akan pernah bisa menghilang, hanya bisa berubah bentuk.
"Ngobrol sama orang asing selalu jadi pengalaman yang luar biasa karena kita nggak pernah tahu siapa yang kita ajak ngobrol, gimana kehidupan yang mereka jalani, cerita apa yang mereka punya. Itu ngajarin aku buat nggak cepat menghakimi, dan itu nyenengin."
"Travelling itu tentang keberanian menantang batasan yang kita punya. Keberanian buat ngelewatin tantangan yang kita temui saat travelling."
"Travelling itu bukan sesuatu yang bisa direncanain seratus persen, By. Adakalanya kita pasrah sama nasib." Wira tersenyum lembut. "Dan, travelling bukan tentang berapa banyak tempat yang kita lihat, melainkan sebanyak apa kita menikmatinya."
"Hidup itu kayak nyusun puzzle, harus berantakan dulu biar kita semangat nyusunnya karena penasaran bakal sebagus apa kalau semuanya udah tersusun."
"Hidup itu tentang mengeja ikhlas. Bagaimana kita belajar untuk ikhlas menerima kondisi apa pun dalam hidup kita dan menjalaninya dengan sebaik-baiknya."
"Because happiness is like a kiss, you must share it to enjoy it. Aku nggak takut hidup sendiri, tapi," dia menatapku lekat, "aku takut kalau nggak punya seseorang untuk berbagi kebahagiaan. Kamu tahu rasanya ketika bahagia, tapi nggak bisa membaginya? Lebih nyesek daripada sendirian waktu sedih."
"Kalau lagi patah hati, kamu cukup ingat ini, if it's good, it's wonderful, but if it's bad, it's experience. Intinya, kita nggak perlu menyesali apa pun yang terjadi, baik atau buruk. Kalau udah bisa ngelakuin itu, berarti kita udah berdamai dengannya."
"Jangan pernah," napasnya masih tersengal, tapi aku bisa mendengar kemarahan dalam suaranya, "kamu ninggalin aku lagi kayak tadi! Kamu benar-benar bikin aku panik, By! Aku lari muterin tiap sudut buat nyariin kamu! Aku nggak mau pengalaman di Grand Bazaar terulang di sini, makanya aku berusaha nemuin kamu secepatnya."
"One day is just that; one bad day. Jangan sampai satu hari buruk merusak kebahagiaan yang sedang mengantre untuk menghampiri kehidupan kita. So, smile and don't ever stop."
Aku menunggu. Berjam-jam.Hingga matahari sempurna menghilang.
Akan tetapi, percuma. Dia tak kunjung datang.
Kenapa kamu tega ngelakuin ini, Dre?! Apa salahku?! (hal. 11)
Ternyata benar, kita memang ahlinya mesin waktu. Cukup dengan sepotong lirik, aku kembali terlempar ke masa lalu. (hal. 155)
“Maafin itu nggak cuma tentang orang yang berbuat salah sama kita, By. Tapi, juga tentang ngobatin luka hati kita.” (hal. 199)
Pada setiap kepergian, sakit bukan hanya milik mereka yang ditinggalkan, melainkan juga milik mereka yang memilih pergi. (hal. 223)
Tapi, kalau mau jujur, bukankah sebenarnya kita semua kumpulan masokhis, disadari ataupun tidak? Terlalu sering kita sengaja membuka kenangan menyakitkan atau menyedihkan lalu menyesapnya kembali. Membuka luka yang belum benar-benar mengering. Luka yang tidak akan pernah kita biarkan mengering karena kita mencandu rasa sakit itu. (hal.17)
Di halaman 173-175, dimana Abby menanyakan rumah impian Wira dan dijawab Wira sebagai pasangan hidupnya kelak. Jawaban Wira tuh bikin pengin nyalonin diri jadi istrinya deh, ups. Dan alasan Wira yang sudah mengeksplor dunia tapi tetap menyisakan Indonesia itu maniiis banget, ya ampun. Wira husband material banget ih.