“Beliau senang kalau saya berpakaian rapi dengan warna-warna yang menurut istilah sekarang, kinclong, sesuai pilihan ibu saya. Namun, ayah tidak pernah memuji saya dengan kata-kata berbunga.... Namun, kalau saya menunjukkan gambar yang saya buat dengan pensil berwarna, Ayah segera memuji saya. Ketika saya remaja, saya baru sadar bahwa pujian itu dimaksudkan Ayah agar saya terus mengembangkan kemampuan saya untuk menjadi lebih baik lagi.” (Meutia Farida Hatta)
“Pada tahun 1971, Ayah, Ibu, disertai Halida pergi berobat ke Austria. Sekembali dari sana, Ayah memerintahkan Pak Wangsa Widjaja mengembalikan kelebihan dana sisa perjalanan yang diperolehnya itu ke Negara melalui Sekretariat Negara.... Tidak terlintas di pikiran Ayah sedikit pun untuk menggunakan sisa uang untuk dirinya sendiri atau keluarganya.” (Gemala Rabi’ah Hatta)
“Dalam kesederhanaan hidup Ayah sebagai eks Wakil Presiden, Ayah tetap memakai standar internasional. Contohnya, untuk kegiatan korespondensi atau surat menyurat. Kertas surat dipesan selalu dari G. Lalo di Paris dengan cetakan nama Ayah: Mohammad Hatta di sisi kiri atas. Ini adalah sebuah prinsip bahwa seorang yang mempunyai status tertentu di dalam masyarakat, ia harus mengerti menjaga martabatnya... Di sisi lain, itu adalah untuk juga memberikan rasa hormat atau menghargai orang yang diberi surat....” (Halida Nuriah Hatta)
Sebelumnya, saya sudah membaca otobiografi Bung Hatta, jadi buku ini melengkapi kisah hidupnya, terutama ketika ia bersikap dan membimbing istri serta ketiga anaknya. Masing-masing anak Bung Hatta memiliki kisah dan kesannya sendiri yang diungkapkan di buku ini.
Selain itu, yang saya dapat dari buku ini tentang Bung Hatta adalah ia sangat memegang teguh prinsip, ia tidak akan mau menerima sesuatu yang bukan haknya. Bahkan, ketika ia mendapatkan uang bantuan dari negara untuk berobat ke luar negeri, sisa uang tersebut--yang sah saja untuk ia nikmati sampai habis--dikembalikan kepada negara. Begitu juga ketika salah satu anaknya yang mendapatkan beasiswa di kampus, ia tetap membayar biaya kuliah anaknya karena merasa bahwa itu sebagai usahanya supaya ada anak lain yang kurang mampu bisa ikut berkuliah.
Secara keseluruhan, buku ini sangat menginspirasi untuk kita yang ingin menambah wawasan tentang kehidupan Bung Hatta dari sudut pandang ketiga anaknya. Sebab, bagi saya pribadi, saya mulai mengagumi sosoknya setelah saya mencari kisah hidupnya di buku-buku lain, bukan dari buku pelajaran sekolah yang saya rasa kurang dalam membahas sosok Bung Hatta.
ringan dan menghibur, namun terkandung hikmah yang dalam. Bung Hatta adalah salah satu dari sedikit tokoh yang menguasai banyak dimensi sekaligus; pemimpin, guru, suami, dan ayah.
Paling suka buku tentang Bung Hatta ini..., terasa sekali gimana kuatnya karakter Bung Hatta..., dulu pas kecil dikasih bacaan buku Bung Hatta yg isinya dari orang-orang yg dekat dan pernah berhubungan dengan Beliau, tapi sekarang bukunya entah kemana..., kayaknya tidak dicetak ulang juga..., rasanya buku ini pengobatnya...
Yang paling saya kagumi dari Bung Hatta dibalik sikapnya yang terkesan dingin terhadap wanita adalah karakternya yang sangat perhatian hanya kepada istrinya tercinta, selalu sebelum berangkat dengan mobilnya Bung Hatta terlebih dahulu memperhatikan arah datangnya matahari, kemudian mempersilahkan pasangannya untuk duduk di bangku yang tak terkena terik sinar matahari. Karakter beliau benar-benar memperlihatkan kisah kesetiaannya hanya kepada istrinya seorang.
bab-bab awal dari buku ini lebih menarik menurut saya, lebih bercerita. dari beberapa tulisan terselip beberapa pembelaan, ada beberapa yang lucu, ada juga tulisan yang terbaca seperti laporan, tapi (mungkin) karena yang menulis kagum sama ayahnya, saya jadi ikut tambah kagum juga dengan yang diceritakan.
Sesungguhnya, anakmu banyak Bung. Mungkin kau tidak akan pernah melihatnya, belump ernah bertemu dengannya, tapi kau bisa yakin ada anak-anak yang sudah, sedang, dan akan [selalu] belajar darimu.