Ia lahir dengan nama Ibrahim pada masa paceklik. Tepat ketika bundanya melahirkannya, seorang lelaki tua misterius mendatangi ayahnya, Sutan Rasyad, dan berkata bahwa kelak putranya akan membawa perubahan besar di dunia. Pada usia yang masih muda, gelar datuk pamuncak telah disandangnya. Gairahnya yang besar akan pengetahuan mendorongnya berlayar ke Nederland. Tercampak dari tanah adat adalah konsekuensi yang harus ditanggungnya. Di negeri penjajah ia hidup fakir dan mengalami diskriminasi rasial karena kulitnya cokelat. Semangat revolusioner yang membakar Eropa mengubahnya menjadi seorang pejuang kemerdekaan. Ditemani Fenny van de Snijder, perempuan kulit putih yang dicintainya, ia melawan penjajahan melalui tulisan. Di sana ia lebih dikenal dengan nama pena: Tan Malaka!
Dari kota-kota di Nederland, Tan lantas bergerilya ke Sumatera dan Jawa, mengobarkan semangat perlawanan terhadap kaum penjajah. Ia harus berhadapan dengan para kapitalis perkebunan, sindikat pengusaha gula, dan Gubernur Jenderal Hindia. Dalam kejaran polisi intelijen pemerintah kolonial, Tan bergerak di bawah tanah untuk mencegah malapetaka pertama dalam sejarah Hindia abad ke-20.
Tan adalah sebuah novel sejarah yang mengungkap sisik-melik kehidupan Tan Malaka, salah satu sosok terpenting dalam kemerdekaan Republik Indonesia, bapak bangsa yang terlupakan.
Novel ini merupakan pengembangan dari naskah "Memoar Alang-alang" karya penulis, salah satu pemenang unggulan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2010.
Hendri Teja adalah putra Minangkabau kelahiran Batavia yang gandrung menulis sejak berseragam Merah-Putih. Belakangan aktif sebagai peneliti di Sang Gerilya Institute (S@GI) dan mengabdi sebagai aktivis buruh di Pengurus Besar Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (GASBIINDO).
Setelah berpindah-pindah kota, akhirnya ia memutuskan untuk menetap di Bogor, Jawa Barat. Ia bisa dihubungi secara personal melalui Twitter: @hendriteja, Fp Facebook: @hendriteja28 dan email hendriteja2029@gmail.com.
“Kalian tahu kapan saat revolusi tiba? Tak lain adalah ketika penindasan kaum penjajah terhadap rakyat sudah sampai di pangkal leher hingga kaum kromo memilih mati ketimbang hidup sebagai budak! Serupa revolusi di Mesir, India, Tiongkok, Jerman, dan Rusia, ketika unjuk rasa berlangsung tak berujung karena rakyat sudah kenyang menahan lapar! Ketika rakyat sekadar tertawa saat pentungan atau peluru polisi datang menghantam! Ketika pengusaha pribumi menolak membayar pajak dan kaum tani merebut kembali tanah-tanah mereka! Ketika serikat buruh kereta dan kapal menentang pembuangan para pemimpin rakyat! Ketika massa aksi mematahkan jeruji penjara dan para pemimpin rakyat dibebaskan! Ketika para serdadu penjajah dimamah perasaan bersalah sampai tidak berani menembak rakyat yang tak bersenjata! Ketika kulit putih tidur dengan pistol di tangan dan tak berani bersantap sebelum hidangannya diperiksa dokter! Semua itu adalah alamat semangat revolusi sudah berurat akar di dalam dada dan benak rakyat Hindia. Jika semua itu sudah berlaku, tidak ada lagi obatnya selain kemerdekaan Hindia!” (Tan Malaka dalam novel TAN karya Hendri Teja).
Novel yang inspiratif!
Merged review:
Ada kemiripan antara TAN dan RUMAH KACA karya Pramoedya Ananta Toer sang maestro. Minke (yang merupakan representasi Tirtoadisuryo) dalam RUMAH KACA dan Tan Malaka dalam TAN sama-sama berada dalam kuntitan dinas intelijen pemerintah kolonial. Dua-duanya juga sama-sama menjalin asmara dengan perempuan berdarah Belanda, Annelies dan Fenny. Tetapi bagiku, TAN lebih tidak membosankan untuk dibaca daripada RUMAH KACA.
Well, ini novel yang bagus. Berhasil mengaduk-ngaduk perasaan juga. Endingnya juga bagus, namun sayangnya klise. Penulis juga boleh dapat pujian karena peran seorang Tan Malaka pada usaha kudeta PKI pada 1926 memang cukup krusial (karena PKI pada seterusnya menganggap Tan seorang pengkhianat secara terbuka) dan penulis menulisnya dengan fokus yang bagus. Akibat novel ini pun pertanyaan-pertanyaan tentang fakta sejarah juga mulai bermunculan. Misalnya, sejak kapan Tan Malaka memulai pelariannya di luar negeri? Seperti yang diterangkan Tan sendiri di pendahuluan Madilog. (Karena novel ini tidak menceritakan kaburnya Tan keluar negeri karena aktivitasnya di PKH).
Overall, novel ini ibarat film hollywood yang digarap dengan bagus namun setelah keluar bioskop kita akan lupa dengan apa yang kita tonton. Karena kita tahu kisah Tan Malaka sendiri lebih seru dari novelnya.
Membaca novel karya Hendri Teja ini membuatku lebih mengenal sosok Tan Malaka, seorang pembela kemerdekaan Indonesia yang terlupakan -forgotten founding father-.
Dengan gagasan-gagasannya, Tan Malaka tidak hanya menjadi penggerak rakyat Indonesia, tetapi juga dunia. Perjuangannya mendirikan sekolah rakyat untuk membebaskan rakyat pribumi dari keterbelakangan dan kebodohan telah menjadi modal yang kuat untuk melepaskan bangsa Indonesia dari kolonialisme.
Di masanya, Tan Malaka adalah pemuda yang sangat cerdas, berwawasan luas dan aktif menuangkan pemikiran-pemikirannya ke dalam artikel atau opini2 yang dimuat di media massa Eropa. Hemmm..., aku jadi teringat salah satu quote-nya; "Belajarlah dari Barat, tapi jangan jadi peniru Barat, melainkan jadilah murid dari Timur yang Cerdas".
Dalam "TAN: Sebuah Novel", Hendri menuturkan kisah perjuangan TAN yang tak mudah..., dibumbui oleh pengkhianatan, konspirasi, juga cinta yang tak sampai. Ya, sepanjang hidupnya, TAN memang lekat dengan penderitaan, namun hal itu tak pernah membuatnya berhenti berjuang hingga titik akhir. Menurutku, TAN telah menghembuskan semangat perjuangannya melalui apa yang dikatakannya; "Kelahiran suatu pikiran sering menyamai kelahiran seorang anak. Ia didahului dengan penderitaan-penderitaan pembawaan kelahirannya".
Secara keseluruhan, aku suka novel ini. Sangat inspiratif...
Sebuah novel yang mungkin bisa menggambarkan perjuangan "pahlawan yang dilupakan". Novel ini menggambarkan pula perpecahan partai yang Tan ikuti karena siasat dari PID. Selain itu, pembacaan sejarah baru yang berbeda dengan versi "mainstream"orde baru. Lebi lanjut, penulis menggambarkan suasana dengan sangat bagus, sehingga pembaca bisa tenggelam dalam dunia penulis. Ya, layaklah untuk dibaca. Pun, ada beberapa "missing moment" yang dialami oleh Tan.
Buku ini bukan sekedar novel,seolah olah kita dibawa mengikuti kehidupan seorang Tan Malaka. Hendri Teja dengan ciamik menjabarkan kondisi Hindia di zaman penjajahan. Sifat revolusioner dan keras kepala Tan disampaikan dengan tepat oleh penulis. Selamat datang di pahlawan sesungguhnya Indonesia.
Lagi-lagi aku dibuat gundah gulana hanya oleh beberapa ratus lembar kertas. Kali ini oleh seorang pejuang bangsa Indonesia yang meretas penjajahan Nederland terhadap pribumi Hindia Belanda. Seorang guru bangsa, yang beribu pengorbanannya musti diingat, bukan malah dilupakan begitu saja.
Tan Malaka, atau lebih akrabnya kupanggil Ibrahim, Sutan Ibrahim. Ataukah Ipiy? Nama spesialmu yang sering dilantunkan dari bibir manis Fenny, wanita kulit putih Nederland dengan mata hijau, siapapun akan menyimpan cantik parasnya dalam benak mereka yang telah melihatnya. Dan juga Enur, kembang desa Sunten Jaya, calon istrimu.. Atau boleh kusebut istrimu? Ya, mereka berdua keras kepala, sangat cocok menjadi pendampingmu kelak, jika saja kau tidak terjun terlalu dalam ke jurang politik nir-akhir ini.
Hati dan pikiranku dibuat menari-nari olehmu, kisahmu layaknya musik dansa yang pantang dimatikan selagi hati&pikiran sedang menari. Seluk beluk sepak terjang hidupmu telah kulirik dengan saksama. Siapa sangka, dari bocah ingusan dapat menjadi ketua umum PKH, hanya dengan tekad dan nurani yang membara, bagai panas api yang melahap setiap opas Nederland yang berhadapan dengannya.
Hanyut diriku dalam setiap lembar halamanmu hanya dalam satu minggu. Tak kuasa menahan ragamnya rasa dalam satu pukulan telak yang aku dapat setelah membacanya, sehingga terdorong kewajiban agar membagi rasa ini kepada khalayak. Serasa berdosa jika nantinya tidak kusebarkan. Namun apalah daya, sempitnya sastra dan diksi yang aku punya sehingga semakin sulit untuk menampakan secara gamblang seluruh gejolak dalam kitab ini, walhasil juga membuatku menjadi semakin minder akan kesanggupan dalam menyebar ragam rasa yang ada dalam kitabmu ini, serasa tertekan aku dibuatnya.
Dan pada akhirnya aku harus dibuat kecewa olehmu, hatiku menangis sedih, sepi, selepas selesainya halaman terakhir kitabmu. Belum sekalipun aku berjumpa denganmu, namun rasa rindu datang mencabik-cabik hatiku seakan kita sudah seribu tahun tak jumpa. Tidak seperti kisah lain yang berujung happy ending, kisahmu sangatlah menggantung. Apa boleh buat? Jangan harapkan akhir yang bahagia di tengah pahitnya kemerdekaan Hindia Belanda.
Sekali lagi aku terangkan bahwa aku benar-benar tercengang mendengar riwayat personal dirimu wahai Engku Tan. Semoga Tuhan memberkatimu di peristirahatan terakhirmu, Tuan Tan Malaka, Engku yang terlupakan.
salah satu novel sejarah terbaik yang pernah saya baca. Menurut saya novel ini mempunyai karakter dan esensi yang hampir sama dengan novelnya Pramoedya yang berjudul Bumi Manusia, bedanya apabila Pram menekankan sosok "Minke" yang benarbenar menjadi "superhero" kaum tertindas dalam masa kolonial, disini Hendri Tedja menekankan bagaimana sosok Tan yang sangat ambisius dalam mengobarkan semangat kaum buruh dalam meraih keadilan dari penjajah. Penulis benarbenar mengajak kita menyelami sepak terjang Tan terutama soal konsepkonsep cemerlangnya untuk mencerdaskan anak Bangsa. Buku ini menceritakan bagaimana sosok Tan banyak melalui pahit getir dalam memperjuangkan citacita Bangsa, memintarkan golongan rendah dengan mendirikan konsep Sekolah Rakyat, serta memperjuangkan keadilan kaum tertindas. Disini penulis juga mengajarkan kita untuk lebih memahami idelogi sosialis. Terutama yang dianut oleh Tan. Banyak masyarakat Indonesia yang masih "alergi" dengan paham kekirian. Tidak bisa disalahkan memang karena hal ini disebabkan oleh rezim orde baru yang melarang segala informasi mengenai paham kiri. Padahal, sosialisme itu sendiri sebenarnya tertuang di dalam Pancasila sebagai ideologi negara (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia). Semoga karya ini dapat membuka mata masyarakat bahwa kekirian tidak selalu berarti BURUK/ANARKIS. Sosialisme tentunya beda dengan komunisme. Dan Tan walaupun dia dinaungi oleh PKI, tapi sosok Tan sangat menjunjung tinggi ketuhanan serta mengedepankan demokrasi, yang mana berbeda dengan konsep Komunisme nya Karl Marx (dapat disimak pada hal. 218 soal perdebatan Tan dengan Alimin soal perbedaan ideologi mereka).
Melalui profil singkat penulis di halaman belakang 'TAN' ini, wajar saya rasa bila penulis memiliki keakraban tertentu dengan salah satu tokoh nasional ini.
Tanpa maksud mengurangi nilainya, dalam rentang yang cukup panjang dengan loncatan2 setting, budaya, termasuk didalamnya kemajuan berpikir dan pribadi sang tokoh, saya rasa novel ini tidak begitu lekat menggambarkan suasana lalu menyedot emosi pembaca kedalamnya -- mungkin kedalaman pengetahuan dan keinginan penulis membeberkan detail sejarah lah yang justru menghalangi pembaca menikmati karya ini sebagai novel sejarah -- yang justru saya cari (terhibur, terbuai tegang, marah, sedih bahkan jijik. Terdidik dan tercerahkan termasuk bonus saya anggap).
Tetap saja tidak dapat dipungkiri, 'TAN' menambah deretan daftar buku yang tidak menyesal saya beli dan membacanya. Positifnya, Mungkin bukan saya tipe pembaca yg hendak disasar.
Terima kasih Hendri Teja sudah melakukan riset dan membuat buku untuk kita mengenal anak bangsa dengan pemikiran luar biasa dan kecintaan tanah air yang menggelora.
Tak akan putus doa dan decak kagum untuk seorang Tan Malaka ... Semoga arwahmu bahagia didekapan Allah SWT
Sewaktu ditawarin buat ngerjain buku keduanya, saya diminta untuk membaca buku pertamanya. Saya sangat menikmati jalinan kisah di buku ini, kata demi kata, kalimat demi kalimat tersusun dengan baik, sambil ngebayangin gimana jadinya kalo saya lahir di tahun yang sama dengan Tan. Terima kasih, Tan Malaka. Kau rela melepas semua gelar demi kemerdekaan yang kami nikmati sekarang.
Tan Malaka... Tokoh penting dan misterius dalam terbentuknya negara Indonesia.
Ini adalah Novel kedua yang kutemukan yang menceritakan tokoh fenomenal Tan Malaka. Dan ini jauh lebih menarik dibaca dari pada buku sebelumnya. Lebih manusiawi, deskriptif dan mengaduk-aduk perasaan juga. Beberapa sumber dan potongan sejarah membuatku penasaran untuk lebih mencari tahu lebih detail, apa sebenarnya yang terjadi. Apalagi salah satu setting novel ini adalah Kota Medan, tepatnya Tanjung Morawa.
Dari Novel ini aku baru tau ada pemberontakan Sunggal, yang tokonya mampu menyatukan berbagai etnis pribumi saat itu melawan Kolonial. Kecamatan yang sangat dekat dengan aktifitas keseharianku ini, selama ini kuanggap cuma nama, sekarang berbeda. Sunggal memiliki sejarah perjuangan penting di Kota Medan. Aiih...lucunyanya. Dibangku aku sekolah di jejali sejarah Indonesia dan dunia, tapi tidak sejarah tempat tinggalku sendiri.
Senang sekali buku jenis ini muncul dalam deretan perbukuan Indonesia. Banyak tokoh pergerakan di kenal hanya sebatas nama dan foto yang di pajang. Namun belum diolah dalam kisah-kisah novel yang merangkum proses pembentukan karakter tokoh tersebut sehingga bergerak bangkit menjadi pelaku perubahan.
tapi...ending novel ini bagiku terlalu lebay :(. Biar lah Tan tetap misterius bagi Enur...bagiku itu lebih mengaduk perasaan.
pertama kali saya melihat buku ini, saya pikir ini buku biasa-biasa saja, sama seperti buku sejarah lain yang membosankan. tetapi karena rasa penasaran maka saya beli juga. pada halaman-halaman depan, terus terang saya belum mendapatkan feelnya. tetapi semakin saya membaca, semakin saya merasakan masuk ke dalam dunia Tan di abad dua puluh awal. cerita yang dibawakan begitu mengalir seperti air sungai yang jernih dengan ikan yang berwarna-warni di dalamnya. tidak ada rentang tahun, apalagi tanggal sebagaimana sejarah dibawakan pada umumnya. cerita Tan dari mulai kehidupannya di Nederland, perjuangannya sebagai presiden Partai Komunis Hindia (PKH), hingga kisah asmaranya yang berliku digambarkan dengan begitu apik oleh sang penulis. selain kehidupan Tan yang diceritakan dari sudut pandang orang pertama oleh penulis, kita juga mendapat banyak sekali pelajaran mengenai istilah-istilah Belanda yang digunakan pada jaman dulu (yang dulu kita hafalkan di sekolah, tapi tidak hafal-hafal juga), mengenai kerja paksa, politik di jaman kolonialisme, semua begitu detail hingga rasanya kita bisa merasakan setiap peristiwa, menapakkan kaki di Hindia pada jaman itu, dan mendengar setiap langkah kuda tunggangan di dalamnya. sangat disarankan bagi yang tidak begitu menyukai sejarah. cerita ini bisa memotivasi anda lebih dari buku-buku motivasi karangan para motivator ternama. trust me!
Astaga! Kau boleh ngomong begitu kalau sudah jadi ateis. Tetapi karena kulihat kau masih sembahyang, aku yakin seratus persen kalau kau pun paham bahwa tak ada yang kebetulan dalam hidup. Ayolah, Bung! Jangan lagi mungkir. Tan Malaka adalah Ibrahim di era kapitalis busuk ini. Tan Malaka adalah simbol perlawanan, simbol kepercayaan kakekmu bahwa kau akan memperkaya nagarimu, bahwa kau akan mengarahkan bangsamu ke jalan damai sejahtera. Jadi angkat kapakmu, duhai Tan Malaka, dan hancurkan berhala-berhala kapitalis itu!
Novel sejarah. Ini sejenis historical fiction atau bukan? Saya ingin baper. Sejadi-jadinya. Tapi kemudian bingung, objek baper ini fiksi atau bukan. Jatuh cinta setengah mati dengan sosok Tan Malaka. Anyway, sosok wanita yang bisa membuat pria konsisten ini bergeming hanyalah wanita keras kepala, mandiri, dan tegas. Ah... memang hanya lelaki berkualitas yang tak ciut dengan kualitas wanita seperti itu.
Senang melihat penggambaran Tan yang tidak ujug-ujug jadi tokoh yang membuat zaman bergolak. Ketika membaca jadi teringat akan tentraloginya Pulau Buruh-nya Pram yang juga berkisah di era awal abad XX di Indonesia. Kalau dipinta memilih antara Fenny dan Enur, saya lebih suka berdiri di belakang gadis Sunda itu.
"Adat ayam ke lesung, adat itik ke pelimbahan. Tegaklah seperti alif, Nak. Aku akan selalu menyertai langkahmu." Doa sang Ayah, Sutan Rasad terus mengiringi kembara Tan Malaka
Salah satu novel terbaik yang pernah saya baca. Latar cerita digambarkan dengan baik melalui gaya bahasa yang cerkas, dan membuka wawasan mengenai kehiduoan zaman itu.
Buku Tan ini adalah cerita fiksi yang terinspirasi dari sosok Tan Malaka, salah satu tokoh besar dalam sejarah Indonesia. Tapi jangan bayangin ini kayak buku sejarah berat, ya. Hendri Teja ngeceritainnya dengan cara yang lebih santai dan asyik, jadi kamu bisa menikmati sisi lain dari perjuangan Tan Malaka tanpa merasa seperti lagi belajar sejarah.
Cerita di buku ini menggambarkan perjuangan Tan Malaka sebagai seorang pemikir dan revolusioner yang idealismenya sering berbenturan dengan realitas. Kita diajak ngintip kehidupan pribadinya, konflik batin yang dia alami, dan semangatnya yang nggak pernah padam untuk memperjuangkan rakyat kecil.
Yang bikin buku ini seru adalah gaya penulisannya yang mengalir dan mudah dimengerti. Kamu nggak cuma belajar tentang perjuangan Tan, tapi juga bisa lebih memahami bagaimana pemikirannya berkembang, bahkan ketika dia harus berhadapan dengan pengkhianatan dan tantangan dari berbagai sisi.
Buku ini cocok banget buat kamu yang penasaran sama sejarah Indonesia, tapi pengen pendekatan yang lebih manusiawi dan relatable. Dengan membaca Tan, kamu jadi sadar kalau pahlawan itu juga manusia biasa yang punya rasa takut, ragu, tapi tetap gigih memperjuangkan apa yang dia yakini.
⭐⭐⭐⭐⭐ Historical Fiction yang menceritakan kehidupan sosok Bapak Republik Indonesia yaitu Ibrahim atau yang lebih dikenal dengan nama Tan Malaka.
Buku yang memuat perjalanan hidup Tan Malaka ini ditulis dengan sangat bagus oleh Hendri Teja. Perjalanan Tan dari kecil semasa pengangkatannya menjadi Datuk Tan Malaka, kehidupannya di Nederland, hingga menjadi pejuang revolusi yang memiliki kecerdasan pemikiran yang lain dari pada teman-temannya.
Membaca buku ini, selain dapat mengenal sosok Tan Malaka dengan lebih baik mulai dari karakternya yang sangat kokoh dalam memegang prinsipnya, pemikirannya mengenai pengorganisiran suatu aksi massa, dll., juga mengetahui kondisi pemerintahan Hindia Belanda mulai dari sistem pemerintahannya, perlakuannya terhadap pribumi Indonesia, ketimpangan dalam pemberlakuan hukumannya, dan masih banyak lagi.
Buku dengan tebal +400 halaman ini sama sekali tidak membuat bosan saat dibaca. Dibalut dengan POV yang menarik dan terselip kisah romansa Tan Malaka, buku ciamik ini begitu mengalir dan menampilkan kesan juga rasa tersendiri saat membacanya.
Buku yang patut dibaca sekali seumur hidup dan dimiliki!
Terima kasih kepada penulis, Hendri Teja, karena sudah menulis novel tentang Tan yang saya benar-benar gatau apa-apa tentang dia. Melalui novel ini, saya jadi tahu bagaimana kisah Tan dari masa muda nya dan membuka pandangan saya terhadap bagaimana sebenarnya Tan lebih dari sekedar gosip “dia komunis”.
Walaupun ada lanjutannya (dan saya belum memutuskan untuk beli lagi soalnya masih banyak waiting list 😂) tapi baca 1 aja menurut saya udah a good start. Di buku ini sebenarnya kebanyakan cerita pilu dan sedih akan Tan sendiri yang dapat saya rasakan berkat penulis. Novel sejarah politik yang sangat mudah dibaca dan pembaca akhirnya bisa relate.
Overall, menurut saya worth to read untuk kalian yang emang gak tertarik sama politik tapi pengen aja gitu baca satu. Saya sendiri kasih bintang empat karena dari segi seru nya sih menurut saya bukan yang “wow” banget (tapi mau gimana, kan ini diangkat dari cerita asli).
Waktu pertama kali lihat novel ini di pustaka teman, saya gak habis pikir ada perempuan yang mau baca novel sejarah yang basisnya riwayat hidup tokoh. Saya langsung kepikiran buku-buku sejarah di sekolah. Nyatanya saya keliru. Novel ini mengajak kita belajar sejarah tanpa terasa sedang digurui. Baru ngeh saya apa yang sebenarnya terjadi pada perlawanan rakyat 1926-1927 itu. Dan ini memancing saya untuk membaca lagi ke sumber-sumber yang lain. Alur ceritanya mengalir saja, tak dipaksakan sama sekali, tetapi tetap pengaturan ketegangannya diatur apik. Satu lagi, saya menikmati diksi-diksi indah yang dipaparkan oleh sang pengarang. Ada banyak pepatah Minangkabau dan Belanda yang saya catat. Memang ada juga beberapa diksi yang awalnya saya pahami, tapi pengarang memberi catatan kaki. Kalau tak paham juga, masih ada google yang bisa membantu.
Suka sama cara ceritanya Bang Hendri yang khas roman Melayu jadul. Saya semakin suka karena membahas kehidupan Tan Malaka, sosok yang sangat sangat sangat saya idolakan dan hormati.
Cuma ada beberapa hal yang agak mengganjal aja, sih. Saya kurang setuju dengan penggunaan kata “sosialis” yang rasanya dipakai untuk menggantikan “komunis” di novel ini. Mungkin biar lebih mudah diterima publik juga, ya. Tapi menurut saya itu justru bikin sosok Tan Malaka di novel ini jadi ‘beda’ dari yang aslinya. Susah jelasinnya, sih. Wkwkwk. Tapi overall, ini awalan yang baik untuk mengenal lagi sosok bapak bangsa dan pemikir kita ini.
Ide cerita sejarah yang disajikan dalam novel, dengan kata ganti orang pertama! Padahal bukan Autobiografi tapi mampu novel tulisan Hendri Teja ini bikin saya ngerasa sebagai pembaca kalau saya lagi diceritakan langsung sama bung Tan Malaka sendiri. Kisahnya manis, seru, menyedihkan.. penuh fakta sejarah tanpa lupa menyajikannya dalam tatanan bahasa pecinta drama ataupun non-fiksi seperti saya! Rekomendasi sekali, yuk anak Indonesia lebih banyak kenal orang-orang yang berjuang atas naa hidup dan mati membantu negeri ini jadi seperti sekarang :)
Awalnya sempet ragu untuk baca buku ini karna takut gak bakal bisa ngikutin detail-detail sejarah yang disuguhin. Maksudnya, jadi susah untuk nyerap ceritanya karna keburu pusing duluan sama pelajaran sejarahnya. Tapi setelah baca, semua keraguan & ketakutan gak terbukti sama sekali! Walaupun ya harus diakui, ada cukup banyak detail sejarah yang bikin kita "mikir" tapi secara keseluruhan ceritanya masih bisa tetap dinikmati (Saya gak bisa bohong, saya sempet nangis pas di akhir akhir). Gak sabar untuk baca buku keduanya!
I had a hard time to finish this novel. Probably because I was not used to reading historical fiction, or I didn't enjoy the story at all. There were some missing points here and there which confusing me. The whole story was too dramatic. It didn't connect emotionally.
The only good thing about this novel was I got a new concept of socialism that I had no idea before.