Jump to ratings and reviews
Rate this book

Life as the River Flows: Women in the Malayan Anti-Colonial Struggle

Rate this book
During the years spanning from 1949 to 1961, communist insurgents fought some 100,000 British troops in the hopes of ending the British presence in Malaya. What was it like living during that time? What role did the community of women play in the situation? What compromises did they have to make to survive? Answers lie in this enlightening collection of 16 real-life stories—Malayan women reveal their innermost thoughts on their hopes for a new society, their changing lives, their evolving role in society, and their relationships with their male counterparts.

326 pages, Paperback

First published October 28, 2005

6 people are currently reading
65 people want to read

About the author

Agnes Khoo

1 book1 follower

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
9 (40%)
4 stars
7 (31%)
3 stars
6 (27%)
2 stars
0 (0%)
1 star
0 (0%)
Displaying 1 - 5 of 5 reviews
Profile Image for A.J. Susmana.
Author 3 books13 followers
November 19, 2009
Hidup yang Terus Mengalir

Senin, 28 April 2008 | 02:18 WIB

Sejarah seringkali dikonstruksi dalam bingkai ”sejarah negara”. Kadang, perjuangan yang dihidupi dengan jiwa dan raga tak membawa hasil seperti yang diharapkan. Kekecewaan dan rasa sesal pun melanda di hati. Akan tetapi, itu tampaknya tidak berlaku bagi wanita-wanita mantan prajurit gerilya yang telah menghabiskan sebagian hidupnya dalam perjuangan gerilya nan panjang di hutan tropik Semenanjung Melayu.

Itulah sepenggal kisah beberapa perempuan yang angkat senjata berjuang menentang kolonialisme, yang dikisahkan di dalam buku Hidup Bagaikan Mengalirnya Sungai: Wanita dalam Perjuangan Anti-Kolonial Malaya, Sejarah Lisan suntingan Agnes Khoo. Cita-cita perjuangan mereka memang tidak berhasil dan kini hidup dalam perlindungan Kerajaan Thailand, tetapi mereka tak menyesali atas jalan yang pernah ditempuh. Kisah seperti ini, dalam beberapa hal, tentu saja bukan kisah yang baru dalam perjuangan antikolonialisme di Indonesia.

Membaca buku ini, tak pelak lagi, Anda akan diingatkan pada novel Pramoedya Ananta Toer, Keluarga Gerilya, yang diterbitkan setelah kecamuk perang revolusi kemerdekaan Indonesia berangsur surut. Dalam Keluarga Gerilya diceritakan bagaimana anak tega membunuh bapaknya karena bapaknya bekerja sebagai tentara penjajah kolonial; adik menyerahkan keperawanan kepada musuh demi pembebasan kakaknya dari tawanan, walau toh akhirnya ia dikhianati dan kakaknya tetap tak dibebaskan tetapi malahan dijatuhi hukuman mati. Dan sang ibu menjadi gila lantaran menyaksikan anak-anak dan keluarganya tercerai-berai. Inilah gambaran kehidupan sebuah keluarga gerilya yang anak-anaknya tanpa pamrih berjuang demi kemerdekaan Tanah Air dan rakyatnya dari penjajahan kolonialisme.

Buku ini memiliki keistimewaan sendiri, seperti diungkapkan oleh Chong Ton Sin dalam pengantar buku ini, yakni menonjolkan peranan wanita dengan penulisan berperspektif feminis. Isinya mampu mencerminkan peranan wanita di Singapura, Malaysia, dan Thailand dalam keluarga, masyarakat, dan pergerakan politik antara tahun 1930-an hingga 1980-an akhir, termasuk dalam politik bersenjata dan perang gerilya yang berlangsung lama di hutan belantara. Lebih jauh, para mantan prajurit wanita ini kebanyakan berasal dari lapisan bawah masyarakat yang miskin yang seringkali terlupakan peranannya dalam penulisan sejarah yang lebih mengedepankan para tokoh dan pucuk pimpinan.

Hidup disadari dan dimaknai sebagai perjuangan tanpa henti untuk memperbaiki dan memajukan harkat kemanusiaan; mengalir dari detik ke detik kehidupan dalam suka dan duka bagaikan aliran sungai. Inilah pesan yang menonjol dari penulisan buku ini. Bukankah perjuangan sendiri kadang tak berbuah manis seperti yang diharapkan, tetapi justru pahit dan menjadi cemoohan atau ejekan karena tiadanya sukses sebuah perjuangan bahkan dari segi materi sekalipun? Dalam situasi yang gamang ini, hanya keyakinan perjuanganlah yang menjadi sandaran dalam menempuh hidup di sepanjang aliran sungai sejarah ini. Sejarah pun tiba-tiba menjadi penting dan bernilai untuk meletakkan diri dalam berbagai aliran sungai sejarah dan tujuan hidup selanjutnya.

Hidup terus mengalir dan dunia pun kini mengalami perubahan. Perang dingin pasca-Perang Dunia II yang mencekam telah berakhir. Berbagai bangsa dan negara, termasuk Indonesia, Singapura, dan Malaysia, memasuki ruang hidup dan tata cara pergaulan yang baru. Begitulah juga Agnes Khoo, penulis buku ini, dan mungkin juga generasi seangkatannya yang hidup tanpa cengkeraman dan penindasan nyata kolonialisme, tetapi sangat ingin tahu sosok orang-orang yang diberi label komunis dan digambarkan sebagai ”teroris bertanduk dua” oleh penguasa negeri Singapura.

Dalam usaha ini, Agnes Khoo akhirnya sampai di sempadan Malaysia-Thailand dan menemukan kampung suaka politik bagi anggota Partai Komunis Malaya (PKM). Perkampungan itu disediakan Pemerintah Kerajaan Thailand sebagai hasil penandatanganan Persetujuan Perdamaian Tiga Pihak, yakni Pemerintah Malaysia, PKM, dan Kerajaan Thailand di Haadyai, bagian selatan Thailand, pada 2 Desember 1989. Persetujuan ini mengakhiri perang gerilya PKM yang berlangsung selama lebih dari 40 tahun dan PKM memutuskan untuk memusnahkan sendiri semua senjata mereka, meninggalkan hutan tropik di sempadan Thailand-Malaysia, dan mulai membangun hidup baru di perkampungan yang berada di bawah naungan Puteri Chulaporn Thailand. Kampung- kampung ini kemudian dinamakan Kampung Perdamaian PKM. Sebagian sempalan PKM pun mendirikan Kampung Persahabatan.

Sejarah lisan

Buku ini merupakan sejarah lisan yang disusun Agnes Khoo berdasarkan wawancara terhadap 16 wanita mantan prajurit gerilya PKM yang tinggal di Kampung Perdamaian tersebut, kecuali seorang bernama Xiao Hua yang kini menetap di Hong- kong. Karena keterbatasan dana dan waktu, Agnes Khoo hanya mewawancarai mantan gerilyawati PKM yang tinggal di tiga Kampung Perdamaian, yakni Betong, Banlang, dan Sukirin. Walau begitu, buku ini sudah cukup berhasil menggambarkan kisah hidup wanita-wanita pemberani dari Thailand, Malaya, dan Singapura ini, termasuk usaha yang berani dari Agnes Khoo sendiri.

Agnes Khoo pun akhirnya memahami dan menemukan kisah lain dari sejarah perjuangan bangsanya melalui tuturan 16 wanita ini. Ia mengungkapkan, ”Setelah mengenali wanita-wanita ini, mendengar kisah hidup mereka, harapan dan pilihan hidup mereka, saya merasa telah menjadi lebih matang sedikit. Saya tidak lagi naif seperti dahulu ketika saya seorang rakyat Singapura yang tidak berminat terhadap sejarah tanah air. Melalui penulisan buku ini, saya telah lebih yakin diri. Saya mulai tahu siapakah diri saya, makna sebagai rakyat Singapura, bagaimana kami menjadi rakyat Singapura dan apakah yang membuat saya menjadi seorang Singapura” (hlm 372).

Untuk menyelesaikan buku ini, Agnes Khoo menghabiskan waktu lima tahun. Ia telah mengarungi perjalanan yang paling kesepian dalam hidupnya, dengan meninggalkan kehidupan mewah dan modern, baik di Singapura maupun di Hongkong. Penulisan sejarah lisan ini, bagi Agnes Khoo, adalah perjalanan penyembuhan diri dari rasa ngeri akibat kampanye sejarah yang gencar versi pemerintah tentang kekejaman teroris komunis, sementara ia sendiri tak pernah bertemu dengan wujud nyata sang ”teroris” itu. Inilah yang membawa Agnes Khoo mencari kebenaran sejarah dari sudut yang berlainan. Sebagaimana Indonesia di bawah Orde Baru, orang takut membela orang-orang komunis yang teraniaya bahkan dari sudut kemanusiaan, begitulah juga rakyat Singapura dan Malaysia. Mereka terpaksa mengelak memperbincangkan kaum komunis dan membisu demi melindungi diri karena takut akan disekap ke dalam penjara di bawah Internal Security Act (ISA).

Oleh karena itu, buku ini tentu saja bukan sekadar kisah dan profil 16 mantan gerilyawati, tetapi adalah juga salah satu catatan perjuangan anti-kolonialisme di dunia dan peran wanita dalam perjuangan itu, terutama dalam perang gerilya yang panjang. Tak hanya menjadi pelengkap atau barisan belakang (baca: memasak, menjahit baju pasukan, dan mengobati yang terluka) dari pasukan gerilya. Sebagian dari 16 wanita dalam buku ini merupakan prajurit gerilya yang juga mengangkat senjata dan bertempur di garis depan. Bagaimana sulitnya menjadi gerilyawati di hutan belantara Semenanjung Melayu dengan seluk-beluk kewanitaan seperti haid, melahirkan, hubungan cinta, dan benci pada keluarga, sesama, dan perkawinan diungkapkan oleh mereka.

Buku ini pun menjadi semakin penting bila diletakkan dalam konteks sejarah perjuangan rakyat dan bangsa-bangsa terjajah dari penindasan kolonialisme terutama di Asia Tenggara. Bagi kita di Indonesia, buku ini juga penting untuk dibaca dan diketahui agar kita pun sanggup menghubungkan dan memaknai perjuangan semesta melawan penjajahan kolonialisme yang dalam jangka waktu tertentu nyata menancapkan kuku-kuku kolonialnya di bumi Nusantara. Buku ini pun setidaknya telah memberikan gambaran yang berbeda dari sejarah resmi kemerdekaan Singapura dan Malaysia yang selama ini dinyatakan sebagai hasil diplomatik tanpa perjuangan bersenjata. Bagaimanapun kemerdekaan Singapura dan Malaysia itu telah dilandasi perjuangan bersenjata anti-kolonialisme Inggris dan anti-pendudukan fasisme Jepang.

AJ Susmana Anggota Divisi Sastra Sanggar Satu Bumi

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008...
Profile Image for Susan Loone.
28 reviews1 follower
June 22, 2025
LIFE AS THE RIVER FLOWS by Agnes Khoo is a soulful & historical book about women who sacrificed their lives in the Malayan Anti-Colonial struggle.

Far from living life as the river flows, these women went against the stream, lived courageously and meaningfully in what they believed in.

Styled as an oral history, the book amplifies the voices of women from Thailand, Malaysia, and Singapore, who participated in the Malayan anti-colonial and independence movements.

Translated and edited by Agnes Khoo and Richard Crisp, the book was first published in print in 2004 by Strategic Information Research Development (SIRD).

The one I have is an e-book edition, which was released by Gerakbudaya London Ltd, U.K., in 2017.

Agnes lt a personal responsibility to illuminate this often-silenced part of her country's history.

Questions over why these women joined the Communist Party of Malaya (CPM) guerrillas, their enduring commitment, and their reflections on their revolutionary involvement, were answered in the book.

Many of these women, often from impoverished backgrounds, found education and hope for a better society within the guerrilla movement and the Communist Party.

Joining the Communist Party offered them liberation from oppressive societal and familial attitudes and led some to challenge divisions based on religion and nationality.

The book highlights the hardships faced by these women, including injuries and the challenges of jungle life.

It also touches on the covert gender differences that still existed, such as expectations for women to act as carriers.

After the 1989 Haadyai Peace Agreement between the CPM and the Thai and Malaysian governments, the guerrilla war ended, and many ex-guerrillas, including women, settled in "Peace" and "Friendship" villages in southern Thailand.

Most of these former combatants remain stateless.

The book describes three of these "Peace Villages"—Betong (Chulabhorn Village No. 10), Banlang (Chulabhorn Village No. 9), and Sukirin (Chulabhorn Village No. 12)—highlighting their serene, self-sufficient community spirit.
These villages, built by the former guerrillas themselves with some assistance from the Thai government, feature memorials to those who died in the struggle.

They maintain a collective economy, primarily through rubber plantations, fruit trees, and vegetable plots.

Some villages offer guesthouses, guided tours, and exhibition halls displaying artifacts from the guerrilla period, attracting visitors interested in their history.

Sukirin, predominantly a Malay Muslim village, stands out with its mosque and adherence to Muslim festivities.

The research process for the book involved extensive interviews, primarily with women from Malaya/Malaysia, but also including women from Thailand and Singapore.

The author emphasizes the internationalism of the Thai women who joined the struggle for Malayan and Singaporean independence, viewing national borders as artificial constructs.

The women's willingness to share their poignant and intimate life stories, including their experiences of childhood, reasons for joining the movement, and daily life in the jungle, greatly enriched the book.

Many of the interviewees expressed pride in their perseverance and the "rich and colorful" lives they led, despite not achieving their revolutionary goals.

Ends.

Profile Image for Cassandra Chung.
67 reviews11 followers
April 30, 2019
I don't remember every history class I had to go through in secondary school but I do remember that a big chunk of our syllabus was dedicated to how the Alliance gained independence through peaceful negotiations. I remember being told about the "New Villages" which were established in an attempt to drive the Communist Party of Malaysia (CPM) out of the forest. I remember the Alliance narrative dominating most of our syllabus while the CPM had perhaps a few pages dedicated to them (mostly to tell students how violent the CPM was). When I look back to my secondary school days, I realise that our history books are written in a very matter-of-fact manner, lacking a "human" aspect to it.

Which is why I'm glad I picked up this book some months back at a Gerak Budaya stall at the Freedom Film Festival 2018.

This book is a collection of oral interviews- conducted, compiled and largely edited by Agnes Khoo- of former female members of the CPM from Malaysia, Singapore and China. The interviews detail the motivations of these women behind joining the CPM, what life was like as a member hiding in the tropical forests of Malaysia and, life after the Peace Agreements were signed. I appreciated how much detail there was in this book especially in regards to how medical procedures were carried out in the jungles, how food was planted and, what the British guards of the New Villages were like.

While I generally found it hard to focus at times because the writing was almost exactly as how the women spoke, I also appreciated this aspect of the book because it made their stories sound more believable and added the human touch missing in our public school history syllabus. Most of the interviews were conducted in Mandarin but Khoo did an excellent job translating the interviews in English; I say this because I could still sense the humanity behind the words of this book. I guess the fact that Khoo didn't miss out on talking to these women about their feelings also helped immensely.

I would recommend you pick up this book if you're interested in untold colonial history and CPM activities during the pre-independence and early post-independence years of Malaysia. If you do plan to pick up this book, I suggest you do it soon as well. Unfortunately, the English version of Khoo's book is no longer in print.
Profile Image for Irfan Muhaimin.
93 reviews3 followers
February 9, 2023
Sebuah buku yang mengumpulkan perbualan para wanita yang terlibat dalam era Malayan Anti Colonial.
Buku ini sebuah perhargaan but para pejuang wanita yang biasa kita dnegar nama lelaki saja. Untuk membaca buku ini, kita perlu lebih terbuka dan menganggap perjanjian damai 1989 sebuah jalan terakhir ke arah kestabilan politik. Secara logik, susah tidak ada pergusaran berlaku. Kebanyakan mereka datang dari Tanah Besar China atas arahan parti melawan Jepun. British dan CPM bergabung tenaga melawan Jepun dan berdasarkan perbualan British dilihat "coward" kerana mahu melarikan diri. Ahli Komrad mempunyai sistem yang terperinci sebagai
sebuah parti berteraskan militer, ada banyak cawangan yang memudahkan mereka. Para wanita dilihat sama rata berdasarkan konsep sosialis. Mereka diberikan elaun, kemudahan dan latihan cukup untuk berperang. Apa menarik di sana, komrad digalakkan berkahwin bahkan camp tidak terlalu besar. Rata rata terpaksa meninggalkan anak dan bergodok gadai demi merealisasikan impian. Ada juga berperang selaam 40 tahun. Hasil perjanjian damai, mereka menerima rumah, tanah, elaun daripada kerajaan Thai sebahagian dari Terma. Kebanyakan mereka enggan pulang ke Malaya dan rela tinggal di Thailand.
Displaying 1 - 5 of 5 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.