Belajar Mencintai Kambing merupakan kumpulan cerpen pertama Mahfud ikhwan. Di dalamnya termuat empat belas cerpen yang kebanyakan mengambil latar desa. Suatu kawasan yang diakui oleh penulisnya ingin ia tinggalkan, tapi secara diam-diam justru sering didatanginya. Orang-orang dan kisah-kisah khas desa yang bersahaja. Bahkan seringkali tidak masuk akal. Dikisahkan secara apik dan tak berlebihan dalam kumpulan cerpen ini.
Mahfud Ikhwan lahir di Lamongan, 7 Mei 1980. Lulus dari Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Gadjah Mada, tahun 2003 dengan skripsi tentang cerpen-cerpen Kuntowijoyo. Menulis sejak kuliah, pernah menerbitkan cerpennya di Annida, Jawa Pos, Minggu Pagi, dan di beberapa buku antologi cerpen independen.
Bekerja di penerbitan buku sekolah antara 2005–2009 dan menghasilkan serial Sejarah Kebudayaan Islam untuk siswa MI berjudul Bertualang Bersama Tarikh (4 jilid, 2006) dan menulis cergam Seri Peperangan pada Zaman Nabi (3 jilid, 2008). Novelnya yang sudah terbit adalah Ulid Tak Ingin ke Malaysia (2009) dan Lari Gung! Lari! (2011). Novelnya yang ketiga, Kambing dan Hujan, memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014.
Selain menulis dan menjadi editor, sehari-harinya menulis ulasan sepakbola di belakang gawangdan ulasan film India di dushman duniya ka, serta menjadi fasilitator dalam Bengkel Menulis Gerakan Literasi Indonesia (GLI).
Dinamika kehidupan warga desa terutama di Jawa memang sudah jadi spesialisasi penulis yang satu ini. Di buku ini, berbagai cerita tentang TKI Malaysia, kenyataan perihal pembangunan dan pertambangan, serta kisah hidup antara cinta dan bola diramu menjadi sajian yang apik.
Tiga cerita favoritku yaitu "Jeritan Tengah Malam", "Belajar Mencintai Kambing", dan "Iwan".
Apa yang membuat kumpulan cerpen ini memikat adalah bagaimana penulis menangkap apa yang terjadi di sekitarnya yaitu pedesaan dan hal lainnya dengan tidak berlebihan dan tidak menjual catatan kaki yang kerap kali memenuhi teks seperti cerpen-cerpen lokalitas lainnya.
"Kalau aku terima gaji pertama, aku akan beli Kambing dan Hujan. Kalau kamu beli kumcernya, Belajar Mencintai Kambing, bagaimana? Nanti kita tukeran." Itu, saya ucapkan beberapa bulan lalu, kepada seorang teman yang juga pejuang part timer. Bedanya, pekerjaan saya membuat saya menghabiskan banyak waktu di dalam ruangan berpendingin, di depan komputer. Sementara teman saya itu harus menghabiskan sore sampai tengah malamnya membuat kopi dan makan. Kami kemudian jarang berjumpa, sibuk dengan hidup masing-masing. Saya masih kepingin sekali membaca Kambing dan Hujan, sebab setahu saya tema-nya menarik, tapi saya harus mennggu dua bulan lebih sampai gaji pertama saya akhirnya saya terima. Saya pergi ke toko buku yang kebetulan sedang diskon lumayan besar. Tidak sabar, saya mencari Kambing dan Hujan di komputer toko buku yang bersangkutan. Stok kosong. Demi memenuhi rasa penasaran, "Kayak apa sih, tulisan orang yang disenangi sama editornya Marjin Kiri?" akhirnya saya beli (dan baca) kumpulan cerpen ini. Tetap saja masih penasaran dengan Kambing dan Hujan. Sementara itu, cerpen-cerpen dalam kumcer ini bervariasi. Cerpen-cerpen awal memang tidak begitu rapi, barangkali karena ditulis pada masa awal proses kepenulisan Mahfud Ikhwan. Namun begitu sampai di Iwan, saya turut sedih dan marah dan kepingin masuk ke dalam cerita, memeluk Iwan.
Rusjan meninggal. Katak besar bernasib baik kini tinggal berdua dengan istri Rusjan. Katak besar yang sangat beruntung. Wak wak wak gung. "Sini sayang..." Keduanya kemudian dikaruniai anak yang banyak dan hidup bahagia sampai akhir hayatnya. - Mahfud Ikhwan, dalam Wak Wak Gung.
Tak mungkin bisa menemukan akhir yang bahagia dalam cerita-cerita Makhfud Ikhwan di Belajar Mencintai Kambing. Tiap cerita yang ia gambarkan adalah bentuk keliaran imajinasinya, bagaimana ia mengawinkan antara realitas sosial dengan fiksi imajinatif. Mahfud Ikhwan mungkin adalah sastrawan yang cerdas sekaligus iseng. Judulnya sendiri, Belajar Mencintai Kambing adalah bentuk pembelaannya sendiri terhadap karyanya, bahwa bayi yang lahir menangis karena tidak memiliki seseorangpun yang ia cintai. Begitu juga dalam hal kambing, pun karya sastra.
Entah mungkin karena pengaruh Ulid, saya lebih suka Mahfud menuliskan seputar desa dan buruh migran. Ceritanya tentang kedua hal tersebut terasa hidup, dan mengharukan. Namun, seperti dijelaskan dalam epilognya, buku ini merupakan perjalanan 17 tahun kepenulisannya. Jadi, wajar sekali jika kita menemukan cerpen-cerpen yang "serius" atau bahkan terasa "muda" sekali sebagai bagian dari perjalanan tersebut.
Memang banyak cerita-cerita yang membingungkan. Tapi semakin akhir, ada banyak kisah-kisah yang menghangatkan dan membahas isu-isu penting seperti sepakbola, migrasi ilegal dan hewan-hewan yang justru lebih baik daripada manusia.
Sepuluh judul dengan kisah berbeda dalam buku kumcer ini sungguh menggugah hati dan pikiran. Gimana bisa penulisnya sangat pandai mengisahkan cerita sosok-sosok yang nggak pernah aku bayangkan sebelumnya. Buku ini seolah memberi bukti bahwa setiap orang memiliki kisah luar biasa saat dipandang dari sudut yang tepat, dan ditulis oleh penulis yang tingkat imajinasi dan kepekaan sosialnya sangat tinggi.
Dibuka dengan kisah seorang penulis yang dulunya rajin menyuarakan soal idealisme dan isu sosial, perlahan berubah menjadi penulis yang mengejar materi dengan menyuguhkan tulisan yang membuatnya malah kehilangan jati diri. Ini semacam cermin kondisi literasi belakangan ini. Banyak tulisan yang hanya menawarkan imajinasi dibanding mengedepankan makna dan isi.
Kemudian, cerita-cerita lain akan membawa kita ke kehidupan desa dengan kehidupan yang sederhana, tapi dengan kisah tak terduga. Para petani yang gagal panen jagung, seorang penebang kayu yang kehilangan kucing kesayangan, perantau yang nggak diketahui bagaimana nasibnya, kyai dan bangsa jin yang saling berkomunikasi, anak kecil yang diajari mencintai kambing untuk mendewasakan diri, misteri kematian ayah dan anak dalam selang waktu dua puluhan tahun di bawah tebing batu, bocah yang ditinggal ibunya merantau ke negeri seberang, nggak jadi ikut kurban di hari Idul Adha karena embek-nya nggak memenuhi syarat, sampai atlet berbakat yang gagal mewujudkan cita-cita karena ulah suporter anarkis.
Semua kisah itu selalu bikin kaget dengan alur ataupun akhir ceritanya. Seringkali diri ini bilang, “Kok, bisa?” atau sekadar “Hah?”
Aku jadi bertanya-tanya, jangan-jangan penulisnya ‘makan’ kamus karena banyaaaaaaaaak banget kosakata (yang nggak aku tahu ternyata ada kata itu di dunia ini) atau penggunaan kalimat yang kerasa pas, padahal mungkin kita nggak pernah membayangkan kalau padanan kata itu bisa punya suatu arti. Contohnya : film-film dan gambar ‘lucah’, ‘terlongong-longong’, ‘bersilang-tunjang’, ‘ngelesot’ di pematang, ia lari ‘lintang-pukang’, ‘sekerak’ rasa muak, ‘menjumput’ dagu, dll.
Akan ada banyak kejutan dan pelajaran dari buku ini. Bahkan di beberapa cerita, kita akan merasa terharu dan perjuangan tokohnya, atau dibuat bersyukur karena nggak harus mengalami apa yang mereka alami. Saking bagusnya, menurutku, aku berani memberi buku ini label ‘Kumcer Terbaik’ yang pernah aku baca.
Kadang aku punya kebiasaan aneh menyamakan buku dengan makanan.
Untuk buku yang satu ini, walaupun ada unsur kambing pada judulnya, aku nggak akan mengandaikannya seperti sate kambing. Alih-alih, Belajar Mencintai Kambing itu ibarat gado-gado. Tiap cerpen di sini punya rasa "tersendiri" yang saling berpadu.
Mau cerpen yang getir bercampur manis? Ada.Yang bikin sesak dan ngelus-ngelus dada? Ada. Cerpen yang menyerempet batas kewarasan dan kesintingan? Ada. Beberapa cerita malah meninggalkan tanda tanya dan membuatku bereaksi, "Woalah, kambing. Barusan aku baca apa?"
Satu buku, sejuta rasa. HAHAHA, semoga aku gak terkesan hiperbolik.
Belajar Mencintai Kambing ini tipe buku kesukaanku. Jenis bacaan sekali duduk yang kubutuhkan saat malas berpikir, tapi juga sedang ingin dibuat terpacu oleh berbagai emosi.
Gaya menulis Pak Mahfud sederhana dan mudah dipahami. Di sisi lain, kepiawaian beliau sebagai sastrawan juga terpancar melalui kelincahaannya memainkan kata-kata bahasa Indonesia yang bisa beralih-alih rupa dari menggelitik jadi menggigit.
Walau temanya beraneka ragam, kebanyakan cerpen di buku ini membingkai dinamika tokoh-tokoh yang erat kaitannya dengan masyarakat pedesaan; agamis, sederhana, naif, tapi juga tidak lepas dari sifat-sifat manusia seperti keegoisan dan kebejatan.
Semesta yang diciptakan Pak Mahfud sangat membumi dan tidak serba neka-neko. Bukan jenis cerita yang memaksa otak kejang-kejang, melainkan lebih pada menarik kita untuk melihat realita “Ini lhooo, 'pesona' masyarakat kampung”. Dari Pak kyai yang puyeng mengurus drama kaum jin, bapak yang berambisi untuk kurban kambing, mas-mas penulis idealis yang jadi sesat, sampai kenyataan buruh TKI yang pelik. Ringan, tapi juga sarat dengan isu sosial tersirat.
Belajar Mencintai Kambing adalah buku yang sekalinya 'nyemplung' ke halaman pertama akan berujung membuat kamu terombang-ambing (atau terkambing-kambing?) hingga mencapai tanda titik terakhir.
Pengalaman pertamaku membaca karya Mahfud Ikhwan justru membuat aku kebelet untuk mencicipi karya-karya beliau yang lain. Mungkin ini pertanda aku harus segeara membaca Kambing dan Hujan. Omong-omong, Pak Mahfud punya sentimen apa sih dengan kambing?
Salah satu buku pertama yang mengenalkan saya ke membaca (karena baru tahu nyatanya ada buku-buku bagus) adalah kumpulan cerpen Kuntowijoyo berjudul Hampir Sebuah Subversi. Tokoh maupun latar Kuntowijoyo sangat 'Jawa' - sebuah kota atau desa kecil di Jawa Tengah atau Timur, dengan tokoh-tokoh sederhana tapi nasib luar biasa. Mau saya berkelana ke Neil Gaiman atau Marquez dan Murakami sekalipun, kisah-kisah sederhana seperti yang ditulis oleh Kuntowijoyo selalu mendapat tempat yang abadi bagi saya.
Mahfud Ikhwan tak sungkan menyatakan hutangnya ke Kuntowijoyo, dan bagi saya buku ini adalah pelepas rindu yang bagus. Setelah membaca beberapa karya sastra lokal yang mendobrak konvensionalitas - seperti yang ditulis Ziggy Zezyazeoviennazabriskie ataupun Sabda Armandio - kembali ke realitas yang aneh dari orang-orang biasa dengan semua kemalangan mereka (lebih tepatnya: kita) dalam Belajar Mencintai Kambing, adalah hal yang menyenangkan bagi saya.
Cerpen pertama karya Mahfud Ikhwan tidak mengecewakan dari 10 cerpen yang di tulisnya, Melati, Jin-Jin itu tak lagi sekolah dan Mufsidin di makan kucing menjadi favorit.
cerita yang di angkat menarik untuk bahan refleksi diri, tentang ke ambisiusan seorang penulis, pembangunan lahan terbarukan yang terus menggerus tanah pedesaan, tentang cinta halu pada binatang, kesetaraan hak pendidikan terhadap semua makhluk gaib,serta kesederhanaan dalam menggembala kambing, dan banyak hal hal yang bisa di ambil dari cerpen ini.
Untuk belajar mencintai kambing, kita terlebih dulu harus mencintai diri kita sendiri.
28/35 Dari kisah kucing jadi haiwan peliharaan kemudiannya dianggap anak ke cerita kambing dibela untuk korban akhirnya tahu kambing buta ke anak buah yang ditinggal ibu sebab kena kerja di Malaysia ke cerita incest ibu dan anak (?) ke cerita dapat kambing sebagai hadiah harijadi instead of basikal ke cerita pemain sepakbola yang jadi kurang upaya sebab cacat sebelah mata. Akhirnya, dah tahu kenapa kena belajar mencintai kambing. Sebab manusia punya akal, tapi manusia bisa membunuh. Kambing tidak punya akal, maka dia tidak bisa membunuh. Saya suka lenggok bahasa Mahfud Ikhwan, simple dan menyentuh hati. Mengingatkan saya pada penulis kesukaan saya, Ruhaini Mat Darin.
Sebagian besar latar tempat di kumcer ini adalah di pedesaan. Membaca kumcer ini, membuat saya jadi teringat masa kecil ketika masih suka bermain di sawah, lapangan, dan perbukitan. Selain itu, dua cerita favorit saya adalah 'Moh. Anas Abdullah dan Mesin Ketiknya' serta 'Belajar Mencintai Kambing'. Cerita pertama tentang seorang penulis yang harus mengorbankan idealismenya untuk mendapatkan uang yang layak. Sedangkan, yang kedua adalah tentang seorang anak yang menginginkan sepeda, tetapi malah dibelikan seekor kambing oleh ayahnya.
Rating saya naik satu angka karena cerpen berjudul 'Belajar Mencintai Kambing' dalam buku ini menurut saya sangat mengesankan. Saya baru pertama kali membaca bukunya Mas Mahfud, dan ini adalah kumpulan cerpen yang diambilnya secara acak. Satu judul saja yang menarik bagi saya, selebihnya biasa saja.
Seharusnya saya mengawali membaca karyanya yang berjudul Dawuk, belum kesampaian dan masih menjadi reading list.
Untuk tipe kumpulan cerpen buku ini terbilang bagus. Detail ceritanya memukau. Alur dan tema yang diciptakan membuat saya teringat kepada catatan-catatan etnografis dari para antropolog di pedesaan Jawa. Saya kira, jika cerita ini bukan kumpulan fiksi, sang penulis layak mendapat beasiswa untuk belajar antropologi pada salah satu universitas negeri di Indonesia
Ini buku perdana Mahfud Ikhwan yang saya baca. Dan yang bisa saya tangkap di beberapa cerpennya, ia menyuguhkan cerita yang non-rasional seperti seorang Ayah yang mempunyai anak seekor kucing dan katak.
Di bagian akhir, ia bercerita perihal proses kreatif bagaimana latar belakang ia membuat cerpen-cerpen tersebut.
Paling suka dari buku ini adalah bahasa yang mudah dipahami oleh banyak orang. Ga muluk2 tp ringan. Selain itu adanya penjelasan dari penulis mengenai latar belakang penulisan masing2 cerpen akan sangat membantu pembaca
Kumpulan cerpen yg saya habiskan ketika berkunjung ke perpus Mojok di Sleman.
Cerita Belajar Mencintai Kambing jadi satu cerita yg paling nonfiktif dibanding cerpen lainnya. Kisah lainnya tentang buahdada, tentang mesin ketik yg membuat gila, tentang manusia yg mengangkat katak jd anaknya, dsb. lebih kepada fiksi absurd.
Ada beberapa tema kesehatan jiwa yang diangkat dalam sebagian cerita di kumpulan cerpen ini. Yang paling menarik tapi juga bikin nelangsa adalah cerpen berjudul "Mufsidin Dimakan Kucing". Menarik karena penuturannya yang mengalir membuat sensasi membacanya seperti sedang nonton film pendek, tetapi nelangsa juga karena sebenarnya ada banyak "Mufsidin" lain di dunia nyata ini; yang mengalami nasib serupa, dan dibiarkan begitu saja seolah nyawa seseorang tak berarti apa-apa.
mungkin kudu jadi "pembaca cerpen" dulu ya biar bisa menikmati cerpen-cerpen di dalam buku ini. cuma aku ngerasa cerpen yang cakep-cakep ditaruh di tengah-tengah, bukan di awal buku. ya kalau bukan pembaca cerpen, dijamin keburu bosan dan bakal mikir berat duluan. hahaha
cerpen ini ciamik banget lah. gak salah kalau penulisnya sukses menyabet juara di sayembara novel DKJ 2014.
nggak mencoba untuk keren, tapi justru jadinya keren cuk. bacalah!
kumpulan cerpen yang hampir menceritakan manusia dengan binatang berlatar pedesaan. bacaan ringan, menghibur dan terselip beberapa nilai keharmonisan antara manusia dengan alam dan makhluk lainnya