What do you think?
Rate this book


398 pages, Paperback
First published May 1, 2004
"Aku sendirilah yang melepaskan kebahagiaan yang berharga itu. Aku sama sekali tidak pernah memikirkan perasaannya yang sakit setiap kali ditolak olehku. Aku hanya ingin terus menikmati kebahagiaan yang dirasakan saat dia mengejarku, tapi tidak berani bergandengan dengannya menantang masa depan yang tidak pasti."Salah satu hal yang membuatku menyukai buku ini adalah karakternya yang beragam dan juga apa saja yang mereka lalui; oleh karena itu aku akan membahas beberapa yang berkesan untukku :) Yang pertama adalah kisah yang menyayat hati di balik 'Racikan Spesial Nyonya Bos'. Tentu saja aku tidak akan menceritakan semuanya dalam review ini karena nantinya jadi tidak seru bagi yang belum membaca. Yang jelas nama Cafe Waiting Love benar-benar merepresentasikan cerita masa lalu Nyonya Bos. Dan lewat ceritanya yang cukup bittersweet itu, aku belajar bahwa dalam menjalani sebuah hubungan, pasangan tidak boleh takut untuk melangkah. Pada waktu itu Nyonya Bos terlalu nyaman menikmati masa-masa indah saat lelaki yang ia sukai mengejarnya, namun malah tidak berani untuk meraih kebahagiaan itu bersama. Dan walaupun tidak sama persis, dalam cerita ini Siying pun juga melalui fase yang serupa.
"Semua orang jadi begitu sopan terhadapnya, membuat dia merasa semakin tidak leluasa. Keinginannya untuk berbaur dengan orang lain berubah menjadi tujuan terbesar di dalam perjalanan hidupnya."

"Sejak kecil aku sudah terbiasa menggunakan 'aku di sepuluh tahun kemudian' untuk melihat hal yang sedang terjadi, sehingga dalam banyak hal sebenarnya aku sama sekali tidak memedulikannya. Misalnya, petugas toko yang salah memberi uang kembalian ataupun pelayan yang salah mengantarkan pesanan makananku—hal-hal kecil seperti itu. 'Aku di sepuluh tahun kemudian' pasti tidak akan peduli, jadi kenapa 'aku yang sekarang' ini harus marah? Sangat memboroskan waktu dan pikiran."Seperti yang aku katakan sebelumnya, masih ada banyak karakter lain dengan kisah-kisah mereka sendiri dalam buku ini, jadi tentu saja aku tidak akan membahas semuanya satu-persatu agar tidak spoiler. Yang jelas buku ini berhasil menghiburku dengan setiap karakternya yang dikupas secara perlahan-lahan seiring berjalannya cerita. Keseluruhan setting serta alur ceritanya yang terasa seperti kehidupan nyata membuatku seolah benar-benar mengenal Siying, A Tuo, dan teman-teman mereka. Dan untuk buku Giddens Ko yang kali ini pun terjemahannya terasa sangat luwes sehingga aku bisa menikmatinya dengan sangat baik. Overall, mengikuti perjalanan hidup Siying selama beberapa tahun dalam buku ini sangat menyenangkan; dan yang paling aku suka adalah pesan-pesan bermakna yang bisa dipetik dari ceritanya :)
"Maaf," kataku.
"Tidak perlu minta maaf. Kau kan tidak pernah berjanji apa-apa padaku," hiburnya.
"Maaf..." Aku pun menangis.
"Tidak perlu minta maaf. Ada beberapa hal yang sejak dimulai sudah ditentukan akhirnya. Berusaha pun tidak ada gunanya," Dia bertahan sekuat tenaga untuk tidak meneteskan air mata.
"Maaf." Aku menutupi wajah dengan kedua tangan.
"Tidak perlu meminta maaf. Tapi kau harus tahu, ada beberapa hal yang walau sampai sepuluh ribu tahun pun tidak akan berubah." Lalu dia berkata dengan tenang, "Selamanya aku akan menunggumu untuk menjadi mempelai wanitaku."
- Cafe Waiting Love (hal 80) / Giddens Ko.
Sampai sekarang aku masih berpandangan bahwa kehidupan yang seperti saat ini sangatlah terencana, juga penuh gairah masa muda.
Sumatra ini baru akan buang air besar kira-kira tiga puluh menit lagi. Ditambah waktu untuk menyangrai kotorannya, tiga puluh menit juga. Lalu untuk menyeduhnya butuh waktu sepuluh menit. Totalnya satu jam sepuluh menit. Apakah Anda mau menunggu?