Jump to ratings and reviews
Rate this book

Young Adult GPU

A untuk Amanda

Rate this book
Amanda punya satu masalah kecil: dia yakin bahwa dia tidak sepandai kesan yang ditampilkannya. Rapor yang semua berisi nilai A, dia yakini karena keberuntungan berpihak padanya. Tampaknya para guru hanya menanyakan pertanyaan yang kebetulan dia tahu jawabannya.

Namun tentunya, tidak mungkin ada orang yang bisa beruntung setiap saat, kan?

Setelah dipikir-pikir, sepertinya itu bukan masalah kecil. Apalagi mengingat hidupnya diisi dengan serangkaian perjanjian psikoterapi. Ketika pulang dengan resep antidepresan, Amanda tahu masalahnya lebih pelik daripada yang siap diakuinya.

Di tengah kerumitan dengan pacar, keluarga, dan sekolahnya, Amanda harus menerima bahwa dia tidak bisa mendapatkan nilai A untuk segalanya.

264 pages, Paperback

First published March 24, 2016

96 people are currently reading
890 people want to read

About the author

Annisa Ihsani

6 books180 followers

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
500 (36%)
4 stars
672 (48%)
3 stars
185 (13%)
2 stars
15 (1%)
1 star
6 (<1%)
Displaying 1 - 30 of 395 reviews
Profile Image for mollusskka.
250 reviews160 followers
June 23, 2016
"Aku lupa menghargai kenyataan bahwa atom-atom yang menyusun tubuhku berasal dari bintang-bintang. Dan setelah 13,8 miliar tahun, aku beruntung bisa hidup di sini. Alam semesta tidak punya kewajiban untuk membuatku merasa berharga; aku yang harus melakukannya untuk diriku sendiri."


Dari sekian novel young adult asli Indonesia (which is belom aku baca semuanya, tentunya), baru kali ini aku nemu novel yang mengangkat tema depresi. Dan yang menderitanya adalah anak remaja SMA. Jarang banget, kan?! Jadi aku surprise banget waktu baca blurb novel ini. Apalagi gaya berceritanya yang enak banget. Dan memang sih kayak baca novel terjemahan, tapi aku tetep enjoy bacanya.

Awalnya aku nggak menyangka kalau Amanda akan menderita depresi. Karena di bab-bab awal itu Amanda terlihat sebagai karakter yang pemberani, kuat, dan vokal. Terlihat dari keputusan dia untuk menjadi seorang agnostik dan feminis. Jadi masa sih cewek setangguh Amanda bisa didera depresi?

Namun justru inilah yang coba diangkat oleh penulis. Bahwa seseorang, seperti apa pun kepribadiannya, tetap memiliki kemungkinan untuk menderita depresi. Dari buku ini, aku bisa melihat bagaimana perlahan-lahan depresi itu menyerang Amanda. Dan aku pikir sindrom yang diderita Amanda ini cukup unik/aneh. Dia itu pintar, tapi setiap dapat pujian dia merasa terbebani dan menganggap dirinya cuma lagi beruntung. Tapi begitu dia menjawab salah atau dapat nilai jelek, dia juga terbebani. Nah, aneh kan? Jadi dia itu maunya apa, coba? Ingin jadi pusat perhatian, namun di sisi lain dia nggak mau kecerdasan dia digembar-gembor karena mungkin dia orang yang rendah diri? Sumpah, aku baru tahu dari buku ini mengenai jenis depresi seperti ini. Dan kata buku ini, jenis depresi ini menyerang banyak orang-orang pintar. Thank God I'm average. HAHAHA. Eh, tapi kan depresi bisa terjadi pada siapa pun?

Dari karakter Amanda yang diceritakan sebagai seorang agnostik, penulis sepertinya mencoba memberikan pandangannya tentang depresi yang banyak diduga orang karena orang tersebut tidak dekat dengan Tuhan. Padahal menurut karakter Amanda, itu semua tidak ada hubungannya dengan paham yang dia anut. Dan pandangan dangkal tersebut digambarkan lewat dialog Tante Vera dan ibunya Amanda.

Lalu begini nih tanggapan Amanda soal agnostiknya dan apa itu spiritualisme, di mana aku pribadi setuju banget sama pendapat Amanda:

"Beberapa orang pernah menyebutku arogan karena memilih untuk menjadi agnostik dan sebagainya, tapi aku tahu seseorang tidak bisa memandangi langit tanpa merasa diberi pelajaran akan kerendahan hati-bahwa seseorang hanyalah bagian kecil dari skema kosmos yang jauh lebih agung. Bukankah itu inti dari spiritualisme? Menyadari ada sesuatu yang lebih besar di luar sana?"


Novel ini bener-bener istimewa bagiku. Nggak cuma membahas soal depresi, tapi juga membahas soal spiritual. Kaya banget. Terus aku suka banget sama bagian waktu Amanda pergi ke psikiater. Bagian ini berasa banget nyatanya. Kerasa riset penulis soal kunjungan Amanda ke psikiater dan tahap-tahap apa yang dilalui sebelum seseorang dinyatakan positif depresi. Mantap!

Aku sebenernya bisa ngoceh lebih banyak lagi soal Tommy yang sempat nyebelin dalam menghadapi Amanda (padahal ada twist di sini), juga adanya ketidakkonsistenan waktu Amanda mau pergi pesta piyama di rumah Helena, lalu soal setting yang nggak jelas apakah ini di Indonesia atau di luar negeri, di mana pula itu IGG dan UON, tapi aku terlalu menikmati novel ini. Jadi hal remeh tersebut dengan mudahnya bisa dikesampingkan. Dan dengan yakin pula aku memberikan lima bintang untuk novel ini.

Pokoknya buku ini bener-bener RECOMMENDED banget buat kalian yang ingin tahu soal depresi dan betapa pentingnya mengenal tubuh dan emosi kita sendiri. Sehingga kita bisa segera melakukan tindakan sebelum semuanya terlambat. : )
Profile Image for Daniel.
1,179 reviews851 followers
April 14, 2016
Annisa Ihsani
A untuk Amanda
Gramedia Pustaka Utama
264 halaman
8.2 (Best New Book)

Ada apa, sih, remaja-remaja zaman sekarang dan Vampire Weekend? Sebelumnya saya membaca The Beginning of Everything yang juga menyebutkan band Ezra Koenig dan kawan-kawan ini, dan ketika saya menemukan hal yang serupa di A untuk Amanda, saya menduga pasti ada konspirasi di sini. Saya jadi ingat beberapa tahun yang lalu saya dan beberapa teman saya yang snob dan pongah sempat membahas sejumlah musisi yang hipster sekaligus mainstream, seperti Vampire Weekend atau Arctic Monkeys, dan kami dengan pongahnya menertawakan jukstaposisi itu seakan-akan itu hal yang lucu. Tapi, tentu saja saya tidak akan membahas Vampire Weekend dalam review ini.

But boy, what a read. Setelah saya selesai membaca A untuk Amanda ini saya jujur saja merasa dilanda konflik. Di satu sisi, saya suka sekali dengan A untuk Amanda ini karena mengangkat sejumlah isu-isu dan nilai-nilai remaja yang saya junjung, seperti feminisme, depresi-adalah-penyakit-betulan-dan-tidak-boleh-dihakimi, dan kalau boleh saya rentangkan lagi sampai ke topik agnositisme dan pilihan kepercayaan seorang remaja. Tapi di sisi lain, saya merasa A untuk Amanda ini terasa sedikit berantakan, terutama dari segi latar, dan saya entah kenapa merasa beberapa bagian terasa cringeworthy. Tapi, sama seperti Vampire Weekend, sepertinya A untuk Amanda juga perlu dibahas dan dikaji dengan jukstaposisi--dan jelas, A untuk Amanda sangat menarik untuk dikaji dan didiskusikan bersama. Di dunia alternatif yang sempurna, A untuk Amanda mungkin menjadi bacaan wajib untuk remaja SMA di Indonesia karena kurikulum bahasa Indonesia di dunia alternatif yang sempurna akan lebih banyak diisi dengan membaca sastra--tidak, jangan berdebat dengan saya, menurut saya buku ini (dan semua buku di muka bumi) termasuk sastra--dan menuliskan bagaimana buku tersebut berhubungan dengan kehidupan murid-murid secara pribadi.

Tapi, pertama saya mau membahas soal latarnya, yang menurut saya jadi salah satu unsur intrinsik terkuat, tapi juga menjadi batu sandungan di buku ini. Membuat kota fiksi--atau negara fiksi--sebetulnya menyenangkan karena percaya atau tidak, saya menganggap kota fiksi adalah salah satu bentuk dari low fantasy dan saya bisa menyebut A untuk Amanda ini sebagai buku fantasi, in a way. Selain itu, membuat kota fiksi sejujurnya membuat penulis jadi lebih fleksibel dalam mengeksplorasi latar tempatnya. A untuk Amanda tidak mengambil latar di negara Indonesia karena: 1) tahun ajaran baru dimulai bulan September dan 2) orang-orang pada sibuk usrek soal SAT. Tapi juga tidak mengambil latar di negara Amerika karena: 1) beberapa nama karakternya lokal dan 2) letaknya di daerah tropis. Lihat di mana masalahnya? Kota tempat tinggal A untuk Amanda ini jadi enggak believable. "Yee, lo kali aja yang minim imajinasi! Ini, kan, fantasi," kata seorang pembaca yang nyinyir. Mungkin memang benar, tetapi saya lebih menikmati latar tempat yang walaupun fiksional, tetapi tetap dapat dipercaya, karena itu lebih gampang membuat saya terhubung sama ceritanya. Oleh karena itu, saya mau seenaknya dan memutuskan untuk menyebut kota (dan negara) latar tempat ini sebagai Hanttula, sebuah teritorial kepulauan Amerika Serikat yang letaknya tidak jauh dari Guam di Samudra Pasifik. Saya sebetulnya menduga kalau Hanttula ini seperti semacam kota utopis yang dipikirkan oleh Ihsani, tempat remaja-remaja cerdas dan remaja-remaja cool bisa berdampingan satu sama lain, tempat remaja-remaja bebas memilih kepercayaan yang dianutnya tanpa ada celaan dari orang tuanya, tempat remaja-remaja memiliki orang dewasa yang menyayangi mereka.

Dan itu juga yang membuat A untuk Amanda ini menjadi wahana roller coaster yang menyenangkan. Ihsani memutuskan untuk mengangkat topik feminisme--yang menurut saya harus lebih banyak diangkat dalam novel fiksi remaja, mengingat sasaran novel fiksi remaja memang kebanyakan gadis-gadis remaja. Saya termasuk orang yang percaya kalau feminisme bukan berarti hanya wanita berhak mendapat perlakuan dan kesempatan yang sama dengan lelaki, tetapi juga berarti bahwa lelaki berhak lepas dari sterotipe kalau lelaki harus kuat, lelaki harus berpikir dan tidak boleh berperasaan, lelaki tidak boleh menangis. Memangnya kami robot tak berperasaan? Dan A untuk Amanda ini menyerempet sekali dengan nilai-nilai yang saya anut, meski hanya sedikit. But, I guess it's a good start, huh?

Topik mengenai depresi yang menjadi inti utama dari masalah ini pulalah yang membuat saya merasa kalau buku A untuk Amanda ini menjadi salah satu bacaan wajib buat remaja SMA di Indonesia di semesta lain yang utopis, karena saya percaya remaja tak berani mengakui kalau mereka menderita depresi, dan orang tua juga kadang tidak terlalu memedulikan masalah mental. Tapi ini masalah yang nyata, dan saya percaya ada Amanda-Amanda di luar sana yang menderita dan berteriak dalam hati, sementara orang tua mereka hanya melengos dan bilang kalau mereka baik-baik saja dan berhenti mengarang-ngarang penyakit. Membaca A untuk Amanda mungkin bisa membantu mereka untuk mengakui bahwa mereka menderita penyakit dan untuk memberikan mereka keberanian untuk mengatakan kalau mereka sakit pada orang tua mereka. Percaya atau tidak, saya cukup merasakan apa yang Amanda rasakan karena, percaya atau tidak, saya dulu seperti Amanda sewaktu SMA. You know, belajar effortlessly dan ongkang-ongkang saja di kelas, tetapi dapat nilai yang bagus, tetapi merasa kalau saya beruntung dan guru memberi saya nilai yang bagus karena memang reputasi saya, langsung luar biasa insecure kalau nilai saya turun. Saya ingat pernah nangis waktu dapat nilai 75 di Fisika. Saya selalu berkeringat dingin setiap kali ujian dan mau muntah, meskipun pada akhirnya yang saya dapatkan tidak seburuk yang saya bayangkan. Saya mengakui saya memang memiliki masalah mental--mungkin anxiety disorder?--tetapi saya tidak seberani Amanda untuk mengakuinya ke muka dunia. Jadi, sekarang kenapa A untuk Amanda jadi sangat penting untuk remaja di sana. Saya pikir memang remaja SMA zaman sekarang harus dituntut untuk lebih banyak membaca di bahasa Indonesia. Saya terkadang sedih kalau membaca tajuk mengenai minat baca Indonesia yang rendah. Don't they know what they're missing in this short life if they're not reading? Oh, dan remaja perlu menonton lebih banyak film--bukan hanya film blockbuster yang tayang di bioskop, tetapi juga film-film sederhana yang bisa membuat mereka berpikir dan menangis dan tertawa.

Oke, sebelum saya mengoceh lebih banyak mengenai bagaimana kurikulum bahasa Indonesia seharusnya, saya harus bilang kalau A untuk Amanda ini mungkin salah satu young adult lokal terbaik yang pernah saya baca. Keluhan saya terakhir mungkin banyaknya referensi fisika yang lumayan banyak dipakai, yang terkadang dipakai secara tidak wajar, tetapi saya tahu bagaimana susahnya menyelipkan referensi-referensi tanpa terdengar pretentious dan Ihsani sudah melakukannya dengan sangat baik. Gaya terjemahannya, meskipun kesukaaan saya, terasa kaku karena dialognya jadi terasa kaku juga, dan saya bisa membayangkan kalau sang penulis ter-influence dari dialog-dialog remaja berbahasa Inggris.

Tapi, kan, saya sudah bilang kalau latarnya di kota fiksi bernama Hulatta Hanttula--sepertinya memberi nama ke kota fiksi di buku ini memang ide yang buruk--jadi saya enggak boleh nyinyir terlalu banyak. Sementara itu, biarkan saya menangis dan depresi karena mendadak merasa inferior setelah membandingkan tulisan sendiri dengn tulisan Ihsani.

Ulasan ini juga bisa dibaca di sini.
Profile Image for Utha.
824 reviews398 followers
May 11, 2023
http://www.tsaputrasakti.com/2016/04/...

*

Sudah suka dengan tulisan Annisa Ihsani di novel Teka-Teki Terakhir. Kebetulan pula kenal editor novel ini, terus proofreader novel ini yang notabene temen kuliah, bilang: "Ini novel lo banget deh." Jadinya penasaran dong sama novel ini. Pas ditawarin blog tour, ya langsung angguk-angguk tanpa basa-basi.

Pas baca... aku paham kenapa temen bilang novel ini "aku" banget. Karena Amanda punya kepanikan dan pertanyaan yang mirip banget sama benak gue dulu waktu kuliah. Tapi bedanya Amanda kan emang pinter, kalau aku mah bloon... :))

Lebih asyiknya lagi, penulis menggunakan gaya terjemahan. Dan yang unik, beberapa aspek "suburban" dalam novel ini Indonesia banget.
Profile Image for Rido Arbain.
Author 6 books98 followers
May 25, 2016
Selain dirinya sendiri, membaca kisah Amanda pun rupanya berpotensi bikin depresi. Aku berapa kali harus menyelipkan pembatas demi memberi jeda untuk merenung, 'Rasanya aku pernah menjadi superobsesi kayak Amanda.'

Waktu kelas 2 SMA, aku pernah divonis 'membodoh' oleh wali kelas cuma karena peringkatku turun dari rangking 2 ke rangking 3 dari tiga puluhan murid di kelas.
"Do, kamu kok kalah dari Beti? Kamu membodoh."
"Mungkin bukan aku yang membodoh, Bu. Tapi Beti yang makin pintar."
Ibu wali kelas melengos, tapi aku yang malah kepikiran. Kalau semua orang dituntut menjadi nomor satu, lalu nomor lain buat siapa? Bisa gila.

Amanda bisa dibilang refleksi dari realitas seperti di atas. Aku suka (oke, sangat suka) bagaimana penulis mengemas kisah Amanda dengan konflik-konfliknya. Maksudku, aku suka temanya, gaya bahasanya, semua tokohnya, sampai latar ceritanya yang bahkan nggak eksplisit.

Kalau beberapa reviewer lain mengomparasi kesukaan mereka terhadap Teka-Teki Terakhir dan novel ini, aku mau bilang kalau aku suka keduanya dengan cara yang berbeda. Apa aku pernah bilang Annisa Ihsani itu salah satu penulis favoritku sejak buku pertamanya?
Profile Image for raafi.
926 reviews448 followers
March 23, 2016
Novel yang cerdas. Aku selalu suka percakapan Amanda dengan psikiaternya. Seperti percakapan antara Sherlock dan Dr. Watson. Percakapan panjang yang kau harus mengikutinya dengan saksama atau kau dipaksa mengulang dari awal bila terjeda di tengah-tengah. Salut dengan penulis!

Aku juga bisa berhubungan dengan Amanda. Bukan, bukan tentang nilai sempurnanya. Aku mah apa atuh nilai Bahasa Indonesia aja cuma mentok di angka 75. Tapi perihal ketakutannya pada pemikiran orang lain tentangnya. Kau tahu, ketika kau melakukan sesuatu lalu kau melirik sekitar untuk mengecek apakah ada orang yang memperhatikanmu dan berakhir menilaimu. Amanda semacam itu. Dan, aku juga semacam itu. Tapi pada akhirnya, siapa yang peduli? Hanya kau dan Tuhan saja.

Aku suka bagaimana Amanda menceritakan segalanya. Sudut pandang orang pertama--yang adalah Amanda--sangat "remaja". Dengan gaya sarkasme dan pemikiran labilnya, Amanda bisa merepresentasikan buku berlabel "Young Adult" ini.

Ditilik dari pengalaman membacamu di atas, sepertinya semuanya sempurna. Tapi, tapi, kenapa tiga bintang, Raaf?

Sebentar, maksudmu tiga bintang itu buruk?

Nantikan ulasan beserta blog tour-nya 28 Maret nanti.
Profile Image for Sulis Peri Hutan.
1,056 reviews295 followers
April 18, 2016
Review + Giveaway >> http://www.kubikelromance.com/2016/04...


Amanda mengira hidupnya baik-baik saja, tinggal di daerah suburban dan memiliki sahabat masa kecil sekaligus pacarnya yang tidak menyukai permen M&M's warna kuning dan sangat mengerti dirinya, Tommy. Memiliki orangtua single parent yang selalu yakin Amanda adalah kebanggaan, ibunya yakin kalau dirinya mewarisi otak ayahnya. Amanda selalu mendapatkan nilai sempurna, selalu menjadi pertama yang mengacungkan jari di kelas untuk menjawab pertanyaan dari guru, nilainya selalu A. Amanda juga bergaul di dua kubu yang berseberangan, bersama Tommy, dia memiliki teman-teman populer di sekolah, bersama Klub Komputer yang dia ikuti, Amanda juga memiliki teman-teman jenius dan nerd lainnya. Hidupnya sempurna, bukan?

Namun, ada satu kejadian yang membuat Amanda merasa dirinya adalah pembohong besar, tidak sesempurna orang-orang lihat, Amanda memiliki topeng. Suatu ketika seorang guru memberikan pertanyaan, tentu Amanda tahu jawabannya. Alih-alih memilih Amanda, sang guru memilih murid lain. Amanda mengira jawaban temannya itu salah, jawaban dialah yang benar. Ternyata, jawaban temannya benar, Amanda langsung mengecek sendiri dan memang jawabannya yang salah. Sejak itu Amanda merasa kalau dirinya hanyalah beruntung mendapatkan nilai-nilai bagus, sejak itu Amanda selalu mengalami episode Tidak Bisa Berhenti Berpikir.

Aku tidak punya hak untuk depresi karena aku Gadis yang Memiliki Segalanya, dan Segalanya tidak mencakup Hak untuk Menderita Depresi.


Tadinya kukira orang mengalami depresi ketika ada sesuatu yang salah dengan hidup mereka. Tapi bagiku, depresi datang ketika segala hal dalam hidupku berjalan dengan sempurna.


Apa pun yang saya dan orang lain pikirkan, itu tidak penting. Satu-satunya hal yang berpengaruh adalah apa yang kaupikirkan tentang dirimu sendiri.


Kali pertama membaca tulisan Annisa Ihsani, sebelumnya saya sudah mendengar kalau karya debutnya, Teka Teki Terakhir mendapatkan respon yang sangat baik, tulisannya diibaratkan John Green versi perempuan, sarkas tapi cerdas. Saya membuktikan sendiri di buku A Untuk Amanda ini, saya menyukai baik narasi maupun dialog yang disuguhkan, bahkan penulis membuat 'dunia' sendiri dalam buku ini, sama sekali jauh dari kata membosankan. Tema buku ini terbilang berat sebenarnya, tapi penulis mengemasnya secara ringan, pembaca akan mudah menangkap apa pesan di balik kisah Amanda.

A Untuk Amanda memukau sejak lembar pertama, penulis langsung membocorkan isi buku ini, apa yang sebenarnya dialami Amanda, yaitu tentang dirinya yang mengalami depresi, kalau ingin spesifik yang diderita Amanda adalah impostor syndrome atau sindrom penipu. Amanda selalu merasa dirinya tidak sepintar orang-orang kira, dia selalu merasa bahwa orang-orang telah salah menilai dirinya, hal tersebut selalu memenuhi pikiran yang kemudian membuatnya menarik diri dari orang-orang sekitar. Membuatnya merasa tidak pantas mendapatkan nilai A.

Biasanya 'kunci' tersebut akan disuguhkan di akhir, tapi penulis membuat berbeda, membuat pembaca bertanya-tanya kenapa Amanda bisa mengalami hal tersebut? Penulis lebih fokus akan prosesnya, akan tanda-tanda awal Amanda merasa dirinya depresi sampai dengan solusi atau cara penyelesaianya. Hal tersebut tentu menjadi penting karena pembaca jauh bisa memahami apa yang dialami Amanda, selalu berpikir macam-macam, kalau dirinya hanyalah pecundang yang beruntung, dia berhasil memperdaya semua orang dengan meninggalkan kesan bawah dirinya lebih pintar dari kenyataan dan cemas kalau topeng yang dipakai akan lepas sewaktu-waktu, sampai akhirnya membuat Amanda tidak percaya diri dan mengambil langkah yang akan disesali kemudian hari.

Penulis menunjukkan realitas, banyak Amanda lain di luar sana, banyak remaja yang mengalami hal seperti Amanda, bahwa sebenarnya dirinya pandai dan mampu tapi di sisi lain merasa pencapaian tersebut didapat karena keberuntungan semata. Kadang ada yang menyadari, kadang hanya dipendam sendiri. Amanda salah satu contoh bahwa dirinya tidak baik-baik saja, ada yang salah dengan dirinya, dan yang saya sukai adalah dia mau membuka diri, memang awalnya dia menjadi orang yang sangat menjengkelkan, tapi lambat laun dia tahu kalau dirinya butuh orang lain, untuk berbagi pikiran. Tokoh lain yang menjadi favorit saya adalah Erwin, dia juga tidak sempurna, walau kehadirannya tidak sebanyak Tommy, dia sosok yang menyadarkan Amanda kalau akan ada harapan, akan ada masa yang lebih baik lagi, nggak pa-pa kok kalau saat ini kita butuh bantuan Zoloft, tidak selamanya hal tersebut buruk. Dan ibu Amanda adalah ibu impian semua orang!

Tidak ada yang bisa berhasil sepanjang waktu. Di sisi lain, tidak ada yang bisa gagal dalam segala hal. Setiap orang punya jatah kesuksesan dan kegagalan.


A Untuk Amanda adalah salah satu young adult dalam negeri yang sangat recommended, semua remaja bahkan siapa saja sangat saya sarankan membacanya. Buku ini bercerita tentang permasalahan yang sering terjadi di sekolah atau sekitar kita tapi jarang sekali terdeteksi, tentang impian, tentang makna pencapaian. Bahwa ketika mendapatkan nilai jelek atau merah bukan akhir dari segalanya, kita masih bisa bertahan hidup. Kita pernah tersandung, tapi kita bisa berdiri tegak dan meneruskan perjalanan.

4.5 sayap untuk madeofdetritus.
Profile Image for Putri Review.
74 reviews13 followers
May 19, 2016
Actual score : 4,4 from 5 Stars

Baca lebih lengkap review novel ini di blog Putri Review : Beban Siswi Teladan dalam "A untuk Amanda" by Anissa Ihsani

A untuk Amanda adalah novel lini Young Adult GPU saya yang kedua setelah A Week-Long Journey karya Altami N.D. yang pernah saya review sebelumnya.

Saya harus katakan, novel young-adult GPU saya yang kali ini pun berhasil melebihi dugaan awal saya. Saya benar-benar suka dengan plot yang ditawarkan oleh Anissa Ihsani, karakterisasi dan pesan moralnya pun sangat kuat, belum lagi pengetahuan2 baru tentang psikologi maupun fakta-fakta menarik tentang sains yang terkandung di dalamnya.

Kisah A untuk Amanda yang memang melibatkan psikologi sebagai tema utama mengingatkan saya akan novel Rust in Pieces karya Nel Falisha. Perbedaannya, jika Nel Falisha membahas kleptomania, Anissa mengupas tentang imposter syndrome yang konon memang kerap menyerang individu yang terhitung berprestasi/dihormati. Persamaannya, Anissa juga memberikan info2 penting seputar terapi kognitif dan metode lainnya yang biasa diterapkan untuk pasien dengan kasus serupa.

Lewat kepiawaiannya berkisah, Anissa memperkenalkan dan memperlihatkan retak pada hidup seorang Amanda dengan sangat rapi dan halus. Karenanya, kerapuhan Amanda tidak membuat saya kesal, malahan simpati. Saya bisa melihat rasa frustrasi karakter Amanda atas tubuh dan pikirannya yang tidak stabil, pun reaksi orang-orang di sekitarnya yang tidak selalu memberi Amanda tanggapan yang dia butuhkan.

Kenyataannya, kondisi abnormal mental memang masih menjadi momok bagi siapapun yang mendengarnya, maupun yang terjebak di dalamnya. Sebagian besar orang2 masih menganggap depresi, suicidal thoughts, maupun kasus2 mental yang lebih berat menjadi aib, sesuatu yang tabu untuk dibicarakan. Berbeda jika penyakitnya merupakan sesuatu yang bisa dilihat, sesuatu yang bersifat fisik seperti diabetes, kelainan jantung, bahkan kanker--orang2 akan lebih mudah bersimpati dan mengerti. Padahal sama seperti penyakit2 lainnya, kondisi kelainan mental akan lebih mudah ditangani saat pasien bisa dengan terbuka mencari pertolongan dan mendapat dukungan yang dia butuhkan. Novel A untuk Amanda ini membahas bahayanya fenomena sosial tersebut dengan cukup lantang.

Meskipun saya sedikit merasa novel A untuk Amanda tidak menyediakan klimaks yang cukup menjelang ending, saya sangat suka dengan karya Anissa Ihsani yang satu ini. Saya suka dengan bagaimana Anissa meramu karakter Amanda dan karakter2 lainnya dengan sangat detail, terutama hubungan Amanda dan Tommy yang begitu hangat, mengingatkan saya akan film2 barat bertema coming-of-age yang pernah saya tonton sebelumnya.

Bicara soal film barat, sama seperti Almost 10 Years Ago karya TRINI, gaya menulis Anissa Ihsani masih sangat terasa seperti novel terjemahan asing. Bukan hanya diksi2nya, namun beberapa elemen cerita terasa bercampur antara Indonesia dan barat, sehingga sedikit membuat saya bingung tentang latar setting kisah tersebut berlangsung. Memang, sedari awal Anissa tidak menyertakan info perihal kota tempat tinggal Amanda, beberapa lokasi sepertinya memang kreasi fiktif belaka. Nama 'Amanda', 'Helena', 'Tommy', memang somehow terdengar universal, namun dari beberapa nama pemeran lainnya dan lokasi (Rashid, Pak Mahmud, Bakso Arif) saya sempat yakin bahwa Amanda mungkin menuntut ilmu di sekolah swasta mahal yang biasa memberikan bimbingan murid2nya untuk masuk universitas ivy league taraf internasional--tapi masih di Indonesia. Namun kemudian, ada fakta bahwa Amanda masih bersekolah di SMA dan menggunakan indeks prestasi (yang mana buat saya sangat luar negeri--CMIIW), ditambah gaya bercerita yang seperti terjemahan yang sudah saya sebutkan sebelumnya (tanpa ada singgungan tentang suku, atau dialek dalam dialog2 karakter), jadilah saya ragu lagi tentang apa tepatnya nationality dan lokasi Amanda.

Anyway, novel A untuk Amanda karya Anissa Ihsani sukses menjadi salah satu novel terbaik yang saya baca tahun ini. A must read, terutama untuk remaja-remaja berprestasi yang ambisius--A untuk Amanda bisa menjadi inspirasi untuk memaafkan diri sendiri saat lelah, atau nilai sempurna yang selalu kalian nantikan itu sedang absen hadir di daftar nilai kalian.
Profile Image for Ayesa.
69 reviews3 followers
April 21, 2022
***
Buku yang sangat jarang ditemukan yang menilik lebih dalam terkait permasalahan yang dihadapi oleh anak cerdas. Saya sangat bersyukur dapat membacanya di iPusnas. Antriannya panjang sekali 🤧.

***
Amanda ialah sosok yang cerdas. Semua nilainya ingin terlihat sempurna. Karena keperfeksionisan inilah yang mengantarkan Amanda pada keraguan yang menjadi permasalahannya yang kemudian menyebabkan penurunan nilai pada beberapa mata pelajaran. Amanda juga mulai Berpikir terlalu banyak hingga ia berpikir bahwa ia selalu mendapat nilai A karena keberuntungan semata. Mungkin inilah yang menjadi awal mula atas kegelisahan hatinya.

***
Sebenarnya kenapa sih Amanda bersikap dan berpikir seperti itu? Mengutip dari pendefinisian menurut Renzuli terkait syarat anak berbakat yaitu above averange ability (Kemampuan akademis diatas rata-rata), creative, dan task commitment (Tanggung jawab terhadap tugas). Amanda, ia memiliki intelegensi yang cukup tinggi. Untuk tugas-tugas sekolah ia selalu menanggapi dengan sungguh-sungguh bahkan ia sampai meragukan jawabannya sendiri, selain itu pula Amanda juga memiliki kreativitas yang tinggi. Hal ini terlihat pada ketidakpuasannya atas jawaban tugasnya. Ia selalu merasa tugasnya hanyalah omong kosong dan penilaian guru terhadap tugasnya sebagai bentuk kasihan karna ia merupakan siswa terpandai di kelas. Hal ini menarik, mengingat pemikiran Amanda serupa dengan pemikiran anak berbakat. Anak berbakat cenderung mengalami regulasi emosi yang buruk. Seperti kesulitan berteman, Amanda juga seperti itu. Untungnya ia memiliki sahabat dari kecil. Pemikiran anak-anak cerdas itu biasanya sangat rumit. Ia selalu memikirkan hal-hal kelewat serius untuk hal-hal akademiknya. Oleh karena itu, Amanda mengatur boundaries yang sangat tinggi pada pencapaian akademiknya di kelas. Pemberian judul 'A Untuk Amanda' ini sangat bagus karena jarang sekali buku yang mengungkap kesulitan yang dialami oleh anak berbakat . Tugasnya pun dikerjakan dengan sempurna. Ketimbang dengan anak-anak lain yang mengerjakan tugas agar cepat selesai, pada anak-anak berbakat tidak. Ia harus mengerjakan tugas dengan sempurna. Pernah Amanda ingin mengulangi tugasnya karena ia rasa tidak begitu total dalam mengerjakan tugas. Padahal sang guru juga sangat mengapresiasi sekali kerja keras Amanda dalam mengerjakan tugas. Meski begitu ada juga guru yang mengabaikan jawaban Amanda karena dirasa sudah pintar dari teman yang lain.
***
🌟🌟🌟🌟🌟
Profile Image for Nay.
Author 4 books86 followers
May 3, 2016
Udah suka gaya bercerita penulis sejak di Teka-teki Terakhir. Jelas sekali kalau novel ini ditulis oleh seorang penulis yang cerdas. Aku tertarik dengan gejala impostor syndrome atau sindrom penipu yang diangkat penulis di sini. Mungkin Amanda memang terkesan egois dan berlebihan, tepat seperti apa yang dipikirkan Tommy. Tapi rasanya hal itu mungkin saja terjadi pada orang-orang genius, selalu merasa dirinya tak cukup pintar dan hanya bergantung pada keberuntungan-keberuntungan yang melekat pada diri mereka.

Bacaan yang menarik. 3.75 bintang, aku nurunin 0,25 karena sebuah alasan yang nggak akan aku ungkapin di sini, tapi rasanya bisa ditebak oleh orang-orang yang udah baca A untuk Amanda (sok misterius :D).
Profile Image for Mia Prasetya.
403 reviews268 followers
March 30, 2016
Depresi, perempuan feminis, agnostik, vampire weekend hell yeah! Semua itu berpadu dengan apik, curhatan Amanda yang tentunya bisa dirasakan oleh setiap gadis remaja pada umumnya. Karena tema novel dan tentunya kenyataan hidup abg tidak hanya seputar lelaki dan instagram.

Mirip Finding Audrey tapi Amanda terkesan lebih berani, meledak-ledak dan smart. Sama seperti bayangan saya mengenai Annisa Ihsani. I'm your big fans, Mbak!
Profile Image for ABO.
419 reviews47 followers
April 4, 2016
Awalnya mau ngasih 4 bintang aja. Tapi... endingnya yang keren mengubah segalanya.


p.s.: bahkan kata "keren" pun tak cukup mampu menggambarkan kekerenan endingnya itu ;))
p.p.s: selengkapnya nanti, pas jadwal blog tour x)

***UPDATE: 4/4/16***
Alih-alih bikin review, saya bikin curhatan ke penulisnya x)
Yang mau baca silakan di sini. Ada giveaway-nya juga!
Profile Image for Nidos.
299 reviews77 followers
August 20, 2019
Sempat dibaca ulang juga minggu lalu dalam rangka menunggu kehadiran Mencari Simetri. Saya jadi ingat betapa buku ini membantu saya memahami keadaan teman saya yang, menurut saya, mengalami sindrom impostor seperti Amanda: satu bukti penting untuk menyanggah mereka yang memandang sebelah mata karya fiksi populer, apalagi yang target pasarnya jelas-jelas remaja. Fiksi populer (remaja) itu penting dan nggak kalah berpengaruh dibandingkan bacaan lain yang diklaim lebih tinggi kelasnya.

Ergo, read more YA and be proud of it, y'all!

===

The expectation is fckn high: it's time for Annisa Ihsani to prove herself. Disappoint me not, Amanda!

===

What's written above shows my excitement on this book. I cannot lie, I loved the author's debut so bad that I both waited for her next writings and worried if her next writings would be as badass as Teka Teki Terakhir.

Comparison is the thief of joy, I know, but I couldn't help comparing Amanda to Laura.

A untuk Amanda is indeed deeper and more complicated than Teka Teki Terakhir. And, sorry-not-sorry for comparing again, it is more believable and tidier than Sylvia's Letter--another GPU's Young Adult with a depressed, toughtful high-schooled heroine. I am still in awe when Ms Ihsani put a lot of smartypants references here and there without sounding like she's bragging about how smart she really is. I've read enough books to confirm that many other authors failed at doing this. And while I was reading this, I got some "standing ovation moment" for her bravery and well-crafted words in writing such a topic rather easily. I don't remember reading books, especially those written by local authors, whose heroine says out loud about being feminist and agnostic.

I frowned a bit at some stereotypical characters, tho.

But almost every chapter and subchapter were closed with a punchline, and the ending satisfied me. That's enough.

Overall, A untuk Amanda is a good one. No. It's a really good one that I liked it very much. I just loved Teka Teki Terakhir way too much.

One question: Amanda-and-Tommy reminds me of Shug by Jenny Han, to which Ms Ihsani gave pretty generous amount of stars. I wonder: Is Shug where Ms Author got her inspiration from?

Four stars and I am still a fan of yours, Ms Ihsani. Third book, please!

Ps: The last four books I read are all about people with mental disorder. So much for being normal, eh?
Profile Image for Nisa Rahmah.
Author 3 books105 followers
April 23, 2016
Kubayangkan diriku berada di pegunungan, tidak ambil pusing apa itu IGG, satu-satunya astronomi yang kutahu hanyalah memandangi langit malam dari atas bukit berumput, tidak ada polusi cahaya, hanya ada hidup yang sederhana, memerah susu sapi, dan menggembala domba... --- halaman 105


Gimana ya? Hahahaha. Sakit kepala baca novel ini. Sensasinya sama seperti saat nonton drama Korea It's Oke That's Love, yang memang sama-sama mengambil kisah seputar penyakit kejiwaan.

Sebagai orang yang akhir-akhir ini mengalami masalah kejiwaan yang rada-rada mirip dengan Amanda--bedanya, kalau Amanda tidak mampu mengatasi permasalahan dirinya sendiri sampai butuh pihak ketiga untuk membantunya, saya rasa saya masih dapat berdiri tegar :p no, tidak ada curhat dalam review ini, no! Hahahaha--saya merasakan banyak sekali perasaan yang sama dengan apa yang dialami Amanda. (Trust me, bahkan saat membaca bagian Amanda yang kalau stress berlebihan rasanya pengin muntah itu..., refleks saya mual-mual juga #dzig.)

Entah apakah novel ini bagus untuk dibaca orang-orang yang merasa sedang banyak mengalami beban jiwa (atau justru dianjurkan, hm?), tapi membacanya membuat saya pusing sekaligus tercerahkan dalam waktu yang berdekatan.

Bercerita tentang Amanda yang kepintarannya melebihi rata-rata, well, kepintaran Amanda di sini tidak hanya sekadar apakah dia tahu rumus percobaan celah ganda yang dirumuskan: (dp/l) = nλ, tapi juga paham bahwa percobaan ini membuktikan tentang cahaya tidak hanya bisa bertindak sebagai gelombang namun juga partikel. Lalu, pada momen depresinya, bahkan dia bisa dipancing untuk mengetahui bagaimana sin 225 itu bukan 1. Dia adalah sin 180 derajat ditambah dengan 45 derajat yang berada di kuadran tiga (dan nilai sin di kuadran tiga itu adalah negatif!).

Sudah bisa mendapatkan gambaran tentang Amanda? Ya, dia adalah seorang yang pandai memahami sains semudah kita membaca novel. Amanda mengalami gejala depresi akut, bukan karena dia adalah korban broken home, korban bullying, atau hal-hal yang barangkali tebersit dalam benak kita tentang penyebab seseorang mengalami depresi. Amanda mengalami stress karena dia merasa dirinya adalah seorang penipu. Bahwa nilai yang selama ini dia dapat bukan benar-benar penilaian objektif yang pantas didapatnya melainkan karena dia hanya mengalami keberuntungan. Apabila suatu saat nanti keberuntungannya akan hilang, dia mengalami kekhawatiran bahwa orang-orang akan mengetahui bahwa dia selama ini menipu mereka.

Jika dibilang bahwa Amanda yang super-duper pintar ini tidak memiliki kehidupan remaja yang sarat dengan cinta-cintaan, kau salah. Amanda bahkan memiliki hubungan dengan Tommy, teman yang bersama dengan dirinya sejak kecil. Meskipun keluarganya tidak utuh karena sang ayah meninggal ketika ia berumur delapan tahun, percayalah, depresi yang ia alami tidak ada hubungannya dengan itu.

Salah apabila kita menilai bahwa masalah yang dialami orang lain--yang dari sudut pandang kita--seolah adalah masalah remeh, dan menganggap bahwa masalah yang dialami kita merupakan masalah besar. Setiap orang punya porsi masalah yang harus dihadapinya dengan sepenuh hati. Barangkali, orang akan berpikir skeptis dengan apa yang dihadapi oleh Amanda. Kecemasan saat mendapatkan nilai 93 (bayangkan, sembilan puluh tiga! Sementara orang lain, berupaya menyentuh KKM a.k.a. kriteria ketuntatasan minimum saja susah) setelah sebelumnya mendapat 98, mengerjakan tugas selama tiga jam, yang mana hanya dibutuhkan tiga puluh menit untuk dikerjakan orang lain, berjam-jam memeriksa tanda baca sebelum mengumpulkan esai dan menilai apakah kutipan yang digunakan memiliki korelasi atau tidak. [Ya Tuhan, apa saya punya sindrom perfeksionis yang akut juga saat saya memilih untuk menuliskan "korelasi" alih-alih "berhubungan" dan mencari sinonimnya saat menulis ini? Huahuahua.]

Kau tahu? Percaya atau tidak, saya benar-benar paham dan pernah berada dalam posisi seperti Amanda. Meskipun, dalam tingkatan yang berbeda. Bisa dibilang, saya mengetahui apa yang diperbincangkan Amanda di sini saat dia membahas sains atau matematika di sini (kecuali pemrograman komputer yang saya buta sama sekali), sehingga untuk mengenakan sepatu yang sama dengan Amanda, tidaklah susah. Ketakutannya, perfeksionisnya, pikiran-pikiran yang menari-nari dalam benaknya, kecemasan-kecemasan yang dirasakannya, bisa dibilang saya cukup mengerti dengan itu. Entahlah, apakah dengan berbagai macam kesamaan serta pengalaman mengalami depresi ini membuat saya lebih baik atau tidak selama maupun setelah membaca buku ini. Ahahaha, benar-benar deh, separuh buku ini bikin saya tambah sakit kepala bacanya xD. TAPI..., saat bertemu dengan Dokter Eli adalah saat-saat yang mengesankan. Seolah-olah, bukan hanya Amanda saja yang mengalami sesi psikoterapi, tapi saya juga. Hahahaha. Pengalaman yang menyenangkan bukan? Saya suka sekali bagian yang itu karena, toh pada akhirnya, pembaca akan becermin dan mengalami sensasi perang pemikiran yang sama dengan yang dialami Amanda.

Bagian lain yang mengejutkan adalah..., "Erwin S." Saya diam lama waktu tahu bahwa tidak hanya saya di dunia ini yang berpikir tentang nama Erwin S. di sini. (Saat ini kondisinya adalah, saya lagi buat naskah yang tokohnya namanya Erwin S., dan kau tahu? Betapa senang (dan awkward)-nya saya karena tidak hanya saya yang terpikir untuk mencomot nama Erwin Schrödinger di sini xD.

Lalu, hm, begini. Kalau dikatakan senang atau tidak senang dengan Amanda, skala satu sampai lima, kesukaan saya dengan Amanda ada di angka dua (dengan lima nilai maksimalnya). Tunggu. Apa menurutmu ini tidak bagus? Nah, jangan salah. Karena kenapa? Ketidaksukaan saya dengan satu karakter itu menandakan bahwa karakternya dikemas dengan baik. Di sini Amanda jujur, meskipun menyebalkan dan arogan. Oleh karenanya, berkebalikan dengan ketidaksukaan saya dengan karakter ini, membuat saya mengangkat topi dengan menjatuhkan angka empat untuk penulisnya. Jika kau bermain di komunitas role playing game, kau akan jauh lebih mengerti, bahwa untuk menyukai karakter atau membencinya, kau harus melepaskan diri dari siapa di belakang pencipta karakternya. Dan di sini, semakin menyebalkannya si Amanda, semakin bertambah nilai kesukaan saya pada siapa di balik keyboard kisah ini.

Lalu..., dengan memasukkan nilai-nilai sains, psikologi, dan banyak hal yang dituangkan penulisnya dalam kisah ini, mengapa tidak membuat saya memberikan bintang lima pada novel ini? Karena, ada beberapa konten yang dibahas di sini dan itu terlalu sensitif. Tentang agnostik dan feminisme itu?

Ehm, katakanlah saya kolot atau apa (atau picik?), atau arogan seperti yang dikatakan penulisnya melalui Amanda di sini:

Beberapa orang pernah menyebutku arogan karena memilih untuk menjadi agnostik dan sebagainya..., --- halaman 262


Percayalah, saya tidak berniat untuk arogan. Namun, melabeli Amanda dengan karakter yang agnostik menurut saya pribadi agak riskan. Bukan berarti saya menutup mata dengan realitas remaja sekarang yang masih banyak jauh dengan nilai-nilai spiritual. Amanda saya tahu dia mempunyai nilai spiritual yang dia sendiri mampu mengisinya dengan hal-hal seputar kehidupan yang dia jelaskan melalui pemahamannya terhadap alam kosmos, dunia makroskopis yang sensasinya pun saya mengalami sendiri. Memahami tentang ini memang seperti dua mata uang. Saya sendiri, setelah mempelajari alam makroskopis, justru berada di kutub yang berbeda dengan Amanda: saya menemukan kebesaran dan keMahakuasaan Tuhan dari sana. Tapi, tidak semua orang seperti Amanda, tidak semua remaja mampu menyelami kehidupan yang seperti itu. Dan di luar itu semua..., saya yakin dan memercayai bahwa manusia membutuhkan Tuhan dan sudah seharusnya menyadari itu karena kebutuhan spiritual semacam ini merupakan pertanyaan filosofis yang bukan hanya saat sekarang saja muncul, atau saat-saat di mana nabi dan rasul diutus ke muka bumi ini, melainkan jauh sebelum itu.

Karena menyadari bahwa ini adalah isu penting dan dekat dengan yang namanya perdebatan, maka saya hanya akan menyampaikan ini, sebuah tulisan yang langsung terpikir oleh saya saat membaca pengakuan Amanda di halaman-halaman awal tentang dirinya yang agnostik. Tulisannya ada di sini. Kalau tentang feminisme, saya rasa saya sendiri pun sebelum membaca novel ini sudah memiliki pergeseran makna tentang feminisme yang mulanya saya mengira seperti apa namun ternyata isu yang diusung meleset jauh dengan doktrinasi awal itu. Dan menurut saya, yang dikemukakan Amanda di sini cukup relevan, selain karena kalau saya ikutan bahas di sini akan memakan waktu yang lama dan panjang juga (dan jangan-jangan malas juga yang baca karena kepanjangan, hehehe).

Jadi, untuk pengalaman yang mengerikan sekaligus menyenangkan ini, terlebih untuk Dokter Eli yang hadir sebagai problem solver (atau lebih tepatnya orang yang mengarahkan jalan bahwa penyelesai masalah dalam diri kita yang sebenarnya adalah diri kita sendiri), untuk pertanyaan-pertanyaannya seperti di bawah ini:

"Kau cemas semua orang akan tahu siapa kau sebenarnya. Andaikan itu terjadi, apa yang akan terjadi?" --- halaman 154

"Misalnya orang-orang memandang rendah padamu, kenapa kau harus membiarkan apa yang mereka pikirkan memengaruhi kebahagiaanmu?" --- halaman 155


Saya memberikan bintang empat untuk Amanda dan Annisa (penulisnya, yang namanya sama dengan nama saya #semacampentinguntukdituliskan).
Profile Image for Pauline Destinugrainy.
Author 1 book265 followers
July 17, 2016
"Katakan pada saya, Amanda," kata Dokter Eli, "apa kau pernah mendengar tentang impostor syndrome atau sindrom penipu?"

Aku menggeleng. (Hal. 149)


Jangankan Amanda, saya pun baru saja mendengar atau mengetahui tentang sindrom penipu saat membaca novel YA ini. Novel yang disebut-sebut sebagai YA lokal rasa luar negeri memang merebut perhatian saya sejak pertama kali terbit. Karena rate-nya cukup tinggi di GR (3.98 dari 87 rating) saya sengaja menyimpannya untuk dibaca saat santai. Dan keputusan saya tepat untuk membaca novel ini di kala liburan. Karena percayalah saat saya mengatakan novel ini membuat kening saya berkerut. Dalam arti baik tentu saja.

Amanda adalah seorang siswi SMA swasta terbaik di sebuah kota. Prestasinya mengagumkan. Dia selalu dipastikan akan mengangkat tangan saat guru-guru bertanya di kelas. Nilainya selalu sempurna, dengan indeks prestasi 4.00. Dia yakin suatu saat akan menjadi ilmuwan di bidang science, khususnya ilmu Fisika sejak mendiang ayahnya menjelaskan tentang proses terbentuknya pelangi di saat usianya 8 tahun. Dia punya pacar, Tommy, yang adalah sahabatnya sendiri - orang yang dengannya dia bayangkan akan menjalani hidup bersama dengan dua orang anak.

Tapi semuanya mulai berubah ketika Amanda berpikir bahwa semua nilai A yang diperolehnya selama ini hanya karena dia beruntung. Bahwa sebenarnya dia tidak pandai. Dia mulai ketakutan "rahasia" keberuntungannya akan terbongkar. Ketika Helena, gadis pesolek di kelasnya, bisa menjawab soal dengan jawaban yang sama dengannya, Amanda sangat kuatir. Apalagi saat gurunya menyuruhnya mendaftar ke universitas ternama di luar negeri, Amanda bertambah kuatir dia akan menjalani hari-hari tanpa Tommy.

Saat pertama kali membaca novel YA ini saya langsung sadar kalau YA yang satu ini sangat berbeda dengan YA terbitan GPU lainnya. Depresi yang dihadapi oleh Amanda mungkin tidak umum dialami oleh remaja kebanyakan di Indonesia. Malah kalau boleh saya mengatakan hanya klik tertentu yang mengalami kasus ini. Meski demikian pemikiran Amanda bukan hal yang baru bagi saya (hanya saja seperti Amanda, saya juga baru tahu kalau pemikiran/perasaan seperti itu punya nama). Merasa bahwa kali ini bisa lulus dalam suatu ujian bukan semata-mata karena kemampuan kita tetapi lebih karena faktor keberuntungan, dan sangat tidak yakin bisa mendapat keberuntungan itu lagi, benar-benar suck. Tapi saya bersyukur tidak seperti Amanda yang tenggelam dalam sindrom penipu sampai membutuhkan bantuan seorang psikiater. Btw, saya sempat merasa sebel lho sama karakter Amanda ini. Tapi semakin ke belakang saya mulai bisa memahami apa yang dirasakan Amanda.

Ada banyak hal yang bisa diambil dari YA ini. Salah satunya adalah menghadapi ketakutan. Hidup Amanda selalu diwarnai ketakutan akan masa depannya. Tapi seperti kata Dokter Eli, apa hal terburuk yang bisa terjadi ketika kau menghadapi ketakutanmu? Jawabannya ada saat kau menjalaninya.

Satu-satunya hal yang membuat saya bingung saat membaca novel ini adalah lokasi kotanya. Kalau melihat sistem pendidikan di dalam novel ini sepertinya berlokasi di luar negeri (yang pasti bukan di Indonesia). Tapi nama karakter-karakternya seperti orang Indonesia. Saya sempat mengalami kesulitan membentuk khayal di kepala saya untuk bisa "masuk" ke dalam kisah di novel ini, tapi kemudian coba saya abaikan soal lokasinya barulah saya bisa nyambung dengan ceritanya. Mungkin ini bisa jadi sekadar tips buat kamu yang ingin membaca novel ini.

Profile Image for Biondy.
Author 9 books234 followers
August 21, 2019
Sejak dulu Amanda adalah si gadis dengan nilai sempurna. Mata pelajaran apa pun bukan masalah baginya. Nilai rata-rata A adalah sesuatu yang lumrah bagi Amanda. Saat SMA dimulai, segalanya tampak berjalan lancar bagi gadis itu. Nilai yang gemilang, pacar idaman, masa depan yang cerah. Kebahagiaan seolah berada di genggaman Amanda. Sampai suatu hari dia merasa ada yang salah dengan dirinya.

Tadinya kukira orang mengalami depresi ketika ada sesuatu yang salah dengan hidup mereka. Tapi bagiku, depresi datang ketika segala hal dalam hidupku berjalan dengan sempurna. (hal. 9-10)


Ya, ampun. Akhirnya saya membaca buku yang sempat ngehits pada saat terbitnya dan sampai hari ini masih sering dibicarakan orang. Saya bisa paham kenapa buku ini ngehits. Selain gaya penulisan dan ceritanya yang bagus, tema yang diangkat juga masih tergolong tidak lazim untuk genre Young Adult Indonesia. Kesehatan mental, agnostisme, dan feminisme jelas bukan topik yang populer di negara ini. Walau topiknya terdengar berat, cara berceritanya yang ringan (dengan sedikit sentuhan muram) mampu menolong pembaca untuk bisa menikmati ceritanya dan menyelami topik yang disajikan.

Lain kali seorang guru akan menunjukku dan aku akan salah menjawab. Semua orang akan tahu siapa aku sebenarnya. Pembohong besar. (hal. 74)


Satu hal yang membuat saya kurang nyaman dengan buku ini datang dari latarnya. A Untuk Amanda mengambil tempat di sebuah kota yang terasa berada di Amerika sana, tapi beberapa bagiannya terasa sangat lokal. Ini hal kecil saja, sih, dan tidak mengganggu jalan ceritanya.

Secara keseluruhan, A Untuk Amanda adalah novel yang bagus dengan cara penulisan yang baik. Tema yang diangkat tidak lazim untuk novel remaja lokal, tapi mampu diramu dengan baik sehingga tidak terasa menggurui atau sekadar ditulis demi mendorong suatu pandangan tertentu.
Profile Image for nur'aini  tri wahyuni.
894 reviews30 followers
September 16, 2017
beginilah seharusnya Young Adult Indonesia dibuat. bukan ceritacerita macam cewe miskin-baik hati-polos-pintar ketemu bad boy CEO padahal umur masih awal 20an ((yes, i'm being sarcastic)).

kisahnya secara garis besar sudah dijelaskan disinopsis belakang bukunya. yang menyenangkan adalah bagaimana semua keadaan 'sempurna' milik Amanda bisa berubah. proses menuju depresinya. orang yang non-empati bisa saja punya pemikiran, "halah, gitu doang, depresi" dll dsb, tapi kita ga pernah tau apa yang sebenarnya begejolak dalam pikirannya.

suka dengan konseling Amanda dan dr. Elly. ngingetin sama sesinya Hannibal dan para pasiennya. #lah #jauh

anakanak muda, bacalah novel remaja yang seperti ini. yang ada pesan moralnya, memperlihatkan kamu kalau yang harus kamu lakukan di dunia ini bukan cuma mikirin feed instagram #soktau #punyaIGjugaengga
Profile Image for Shinta Amelia.
49 reviews19 followers
June 23, 2016
Tadinya kukira orang mengalami depresi ketika ada sesuatu yang salah dengan hidup mereka. Tapi bagiku, depresi datang ketika segala hal dalam hidupku berjalan dengan sempurna

Ini karya pertama Annisa Ihsani yang kubaca, dan menurutku dia adalah penulis yang jenius. Jenius dalam artian, doi pandai sekali menciptakan karakter atau tokoh yang sanggup memberikan kesan mendalam bagi pembacanya. Cara Amanda atau, well, Annisa bertutur dalam setiap narasi itu begitu polos namun compelling dan believable sekali. Doi menuangkan segala pikiran dan cara pandangnya terhadap dunia, Tuhan, kehidupan bahkan alam semesta melalui tokoh Amanda dengan cara yang begitu natural dan khas remaja. Menurutku remaja memang seperti itu, penuh dengan kegelisahan, konflik batin dan pertanyaan-pertanyaan naif seputar kehidupan dan masa depan baik kepada dirinya sendiri maupun Tuhan. Amanda, tak diragukan lagi, bagiku adalah sosok remaja yang punya pemikiran cerdas, seorang feminis, berprinsip, punya karakter kuat dan sarkastik---terlepas dari Sindrom Penipu yang sedang dideritanya.

Ah ya, Sindrom Penipu atau Impostor Syndrome yang Amanda derita dan menjadi isu utama di dalam novel ini merupakan salah satu jenis gangguan mental, yang ngomong-ngomong baru kuketahui eksistensinya setelah membaca A untuk Amanda

Jika kau membaca novel ini, kau akan menemukan banyak fakta serta pengetahuan tentang bagaimana caranya depresi memengaruhi kepercayaan diri serta menurunkan kualitas hidup seseorang. Terutama, Annisa Ihsani ingin menegaskan bahwa Depresi adalah Hak Semua Orang dan Semua Orang berpotensi menderita Depresi tanpa terkecuali. Selain penggambaran mengenai situasi yang dialami Amanda, Annisa juga memberikan gambaran bagaimana sesi konseling bagi penderita gangguan mental bersama dengan terapisnya. Hal itu membuatku terharu, karena di luar sana, aku yakin banyak sekali Amanda-Amanda lain yang juga menanggung penderitaan yang sama akibat gangguan mental. Namun belum berani untuk menerima kenyataan/mengakui bahwa pada dirinya memang terdapat sesuatu yang salah. Dan sebagaimana penyakit lain juga diobati dan ditangani oleh pihak professional dibidangnya, penyakit mental juga perlu. Semoga saja novel ini bisa memberikan motivasi bagi mereka yang sedang mengalami hal yang sama untuk segera mencari bantuan dan menemui psikiater.

Kalau ngomongin penyakit mental pastinya enggak akan jauh-jauh dari stigma. Begitupun A untuk Amanda, di sini tokoh Tommy dan keluarganya yang menjadi contoh sempurna dari betapa dangkal dan apatisnya pemikiran kita kalau menyangkut sesuatu yang berhubungan dengan penyakit mental dan begitu takutnya kita untuk menerima hal-hal yang tidak kita pahami dan tidak masuk logika---kenyataan bahwa penyakit itu memang nyata dan bisa dialami oleh siapa saja. Daripada pusing mencoba mengerti hal-hal yang tak akan pernah bisa kita pahami, instan, terkadang kita lebih memilih menyalahkan segalanya pada kepribadian seseorang yang mengalami depresilah yang lemah, tidak pernah bersyukur dan tidak punya iman. Padahal, penyakit mental sesungguhnya berada di luar kontrol diri dan sangat jauh dari semua stigma yang menyakitkan itu.

Seperti sindiran keras Annisa di halaman 191, 208 dan 220 tentang bagaimana berbedanya penderita penyakit mental dan penyakit fisik diperlakukan, kuharap siapapun mulai sekarang bisa membuka mata selebar-selebarnya bahwa penyakit mental juga sama nyatanya seperti diabetes dan sama-sama memerlukan obat agar bisa terus bertahan dan meredakan rasa sakitnya, untuk kemudian bisa kembali menjalani kehidupan dengan normal lagi. Dan tentu saja, penyakit mental---seperti penyakit lainnya---tidak akan bisa sembuh hanya dengan mendekatkan diri kepada Tuhan.

Selain isu depresi, A untuk Amanda juga mengangkat isu sensitif lainnya seperti feminisme dan spiritualisme. Aku belum pernah membaca novel remaja yang sefrontal ini dalam menyampaikan pandangannya mengenai sesuatu. Dan menurutku, itu adalah hal yang sangat bagus, karena novel ini jadi banyak membuat aku berpikir dan merenung dan tidak menelan segala hal yang diajarkan kepadaku bulat-bulat, begitu saja. Dan juga menjadi kemajuan tersendiri bagi variasi bacaan anak muda yang sekarang ini lebih didominasi oleh isu isu pacaran dan tentang kegalauan mengenai cinta pertama saja. Huh, fiksi remaja semacam itu sungguh melelahkan.

Setting tempat imajiner yang tidak pasti berada dimana lokasi tepatnya sempat menjadi perbincangan yang menjadikan A untuk Amanda begitu menarik untuk dibaca. Yah, tentu saja menjadi bahasan menarik karena ini novel kontemporer dan bukan fantasi. Tapi hal yang paling menarik perhatianku sesungguhnya justru terletak pada pemakaian berbagai istilah sains yang hebatnya tidak mengganggu keasyikan membaca, terkesan ingin pamer pengetahuan atau sebagai tempelan semata. Istilah sains yang hampir menghiasi seluruh bagian buku ini menurutku membuat narasi di novel ini jadi terkesan unik banget (sedikit mengingatkanku pada John Green) dan tidak membosakan. Malahan juga semakin memperkuat karakter Amanda yang digambarkan sebagai siswa yang cerdas, mempunyai cita-cita menjadi seorang Ilmuwan dan sangat tertarik dengan tetek bengek fisika dan bagaimana alam semesta ini bekerja.

Yah, pokoknya novel ini recommended banget deh.
Profile Image for Wardah.
925 reviews171 followers
August 26, 2016
Suka judulnya, pakai Bahasa Indonesia. Lebih suka lagi karena buku sebelumnya dari penulis pun pakai Bahasa Indonesia. Keren. Buku yang ditujukan buat remaja dan judulnya Bahasa Indonesia itu masih jarang banget sih.

Secara keseluruhan bagus. Tulisannya rapi, apik, mengingatkan pada terjemahan. Tema yang diangkat soal depresi, khas banget sama novel-novel YA yang belakangan menjamur. Meski banyak YA lokal maupun nonlokal yang nulis soal depresi, baru A Untuk Amanda yang dieksekusi kayak gini.

A Untuk Amanda ini semacam paket lengkap. Ada cerita persahabatan, keluarga, percintaan, juga tentang sekolah.

Karakternya Amanda cerdas. Berhubung cerita ditunjukkan dari sudut pandang Amanda, yang selalu mendapat nilai A dan menjadi juara kelas, ceritanya pun jadi cerdas. Banyak hal seputar ilmu pengetahuan, khususnya fisika, yang sangat disukai Amanda ini. Karakter Tommy juga menggemaskan. Serius, Tommy manis banget. Meski Tommy jelas menyebalkan ketika Amanda bilang dia depresi dan Tommy malah....

Oya, karakter ibu Amanda juga keren. Suka banget pas Amanda dibela saat ada Tante Vera itu. Terus ada Helena, yang semacam menjadi protes penulis soal "gadis cantik nggak bisa pintar" gitu ya. Kasian Helena. :( Selain itu paling ada Erwin, yang nggak kalah lucu dari Tommy. Btw, Kenny serius brengsek. Setuju sama Amanda.

Well, terlepas dari eksekusi yang rapi, karakter yang bagus, cerita yang bergulir, dan perjuangan Amanda melawan depresi yang ditulis dengan baik, saya nggak bisa kasih bintang lebih dari 3 buat buku ini. Ada isu agnostik, yang saya nggak tahu kalau usia saya bukan 20 something (misal belasan tahun) bakal saya tanggapi kayak gimana. Skor final saya 3,5 bintang.

Novel ini bakal jadi bacaan yang menyenangkan buat pecinta YA. Review lengkap bisa dibaca di sini.
Profile Image for Muhammad Rajab Al-mukarrom.
Author 1 book28 followers
February 20, 2017
Pernah ngerasain jadi Amanda. Sulit. Sulit sekali bertahan untuk terus berprestasi di sekolah. Tidak hanya di bidang akademis, tetapi juga non akademis.

Beruntungnya aku tidak sampai depresi seperti Amanda, hanya sering menangis dan merasa tolol kalau tidak sukses mengerjakan ujian. Atau PR dan tugas yang hanya mendapat nilai B.

Belum lagi ada yang namanya "remedial". Rasa khawatir, malu, dan sedih berkumpul jadi satu gara-gara harus mengulang ujian demi mencapai nilai standar.

Dan di akhir, ketika menerima rapor, hanya mendapat peringkat dua atau tiga!

Masa ketika SD yang selalu menjadi juara kelas seolah begitu jauh, dan ke mana semua kepintaran sewaktu kanak-kanak dulu? Begitu sulitkah bersaing dengan siswa lain? Atau memang yang didapat waktu SD dulu hanyalah semata-mata keberuntungan?

Hal ini sangat menyiksa ketika menjadi seorang siswa sekolah. Dan Amanda, tokoh dalam novel ini, sudah menjalani hidup yang pelik betulan. Kalau aku jadi dia, entah akan bagaimana akhirnya. Namun, kisah milik Amanda adalah kisah yang mengatakan: Bagaimana jika hidupmu benar-benar kelabu dan satu-satunya jalan adalah memahami dirimu sendiri untuk mencari kebebasan/mencari jalan keluar yang paling baik, dan itu dimulai dengan menerima hidupmu bahwa "Pada akhirnya, semua akan baik. Semua akan baik adanya".
Profile Image for Kursi Seimbang.
175 reviews23 followers
August 12, 2021
Aku sering melihat A untuk Amanda direkomendasikan oleh teman-teman di Twitter, aku juga sudah lama penasaran, tapi baru hari ini bisa menggapai kesempatan untuk baca novel karya Annisa Ihsani ini.

Mengisahkan Amanda yang selalu bersanding dengan predikat 'A', nyatanya, hidup tidak seindah itu. Ia depresi. Stigma dari orang-orang di sekitar yang mencekam hingga pemikiran-pemikiran yang menguasai Amanda disajikan dengan apik, rapi, dan konsisten. Perkembangannya pelan, tetapi sangat sangat sangat terasa perubahan dan perkembangannya di bagian akhir cerita.

Penokohan di buku ini juga memberi kesan yang dalam. Apalagi, karena disampaikan dengan sudut pandang orang pertama, aku sebagai pembaca bisa mengenal karakter-karakter pendukung lain dari kacamata yang dikenakan Amanda. Namun, hal-hal yang dilakukan oleh karakter-karakter pendukung tersebut dan didukung oleh ucapan-ucapan psikiater yang menangani Amanda membuat aku sadar, teman adalah teman. Terkadang, yang kita butuhkan adalah sosok teman.

Yang paling aku suka dari A untuk Amanda adalah: keberanian pengarang untuk menuliskan hal-hal yang dianggap tabu dengan lantang dan berani, plot yang disusun sedemikian rupa sehingga mudah dipahami pembaca, dan karakter-karakter kuat yang menyelesaikan peran mereka masing-masing.

Aku mengerti kenapa orang terus merekomendasikan A untuk Amanda.

Tadinya kukira orang mengalami depresi ketika ada sesuatu yang salah dengan hidup mereka. Tapi bagiku, depresi datang ketika segala hal dalam hidupku berjalan dengan sempurna.


Membaca A untuk Amanda bukan sesuatu yang mudah untuk aku. Butuh ketenangan dan pikiran yang tidak berawan. Topik yang diangkat cukup berat, tetapi dikemas sedemikian rupa hingga cocok dibaca untuk remaja. Buku ini menyajikan hal-hal penting yang perlu kita ketahui. Beberapa hal mungkin akan memicu hal-hal negatif, jangan dipaksakan jika topik tersebut membuat kamu tidak nyaman, ya.

Pada akhirnya, bukan predikat 'A' yang menentukan hidup seseorang.
Profile Image for Op.
373 reviews125 followers
July 31, 2016
review nanti ya, saya kerja dulu #heh

Update:
Duh udah lama banget saya nunda review. Baiklah mari mengingat-ingat perasaan saya saat membacanya.

A untuk Amanda punya review yang boleh dibilang sangat bagus di GR dan bikin saya juga penasaran. Tentu saja saya ogah baca review atau resensi atau apalah namanya agar tidak merusak momen #halah.

Penulisannya bagus dan menarik. Rapi. Dan benar apa yg dikatakan review2 lainnya seperti "bahasa penerjemahan". Dan seperti review2 lainnya pula memang kesannya agak wagu dengan model penceritaan yg begitu tapi namanya selera lokal (((BURGER ARIF))). Teman saya pernah nulis di GR (sebut saja namanya Mama Yobel) ini daerah mana sih? Ya ya dapat dipahami dengan setting penuh imaji dan nama selera lokal pasti agak agak kepiye ngono. Tapi kalau mau membela penulis saya akan menjawab "Mungkin saja dunia ini seperti yg ditulis dlm bukunya, adalah sebuah dunia paralel. Mungkin saja di dunia lain itu ada kita yg lain dan tinggal di tempat yg berbeda dengan lingkungan berbeda."

Walaupun tidak menimbulkan kesan mendalam, menurut saya penulis cermat memilih kata (yah sesuai selera saya kali ya) dan menampilkan kesan cerdas tanpa direka-reka. Mungkin saya akan kasih 3 bintang tapi harus saya tambahin dong SOALNYA DOCTOR WHO DISEBUT DI SANA OMG SO I AM A NERD?????

(Biasa aja kali pat)
Profile Image for Marina.
2,035 reviews359 followers
October 30, 2016
** Books 281 - 2016 **

3,6 dari 5 bintang!

Saya tidak menyangka setelah membaca buku Annisa Ihsani yang berjudul Teka-Teki Terakhir berhasil disuguhkan novel young adult berbobot yang saya temukan di buku A untuk Amanda. Tema ceritanya sebenarnya sederhana dimana Amanda ini termasuk siswi yang pintar di sekolahnya tetapi ia memiliki kecemasan berlebihan akan apabila ia tidak mendapatkan nilai A untuk seluruh mata pelajaran. Ia juga merasa dirinya menipu semua orang akan nilai yang ia dapat karena sebenarnya ia merasa dirinya tidak pintar-pintar amat. Saya sukanya novel ini dikemas dengan cara menarik. Jika Teka Teki Terakhir memberikan informasi akan matematika kalau dibuku ini memaparkan informasi-informasi yang menarik mengenai sains (tentang pelangi, bigbang, chicken nugget, dsbnya).

Saya suka dengan kemasan novel ini. Cantik. padat dan berisi. Jarang sekali saya menemukan buku Young Adult di Indonesia yang bisa memiliki bobot cerita seperti ini. Namun entah kenapa saya kurang begitu klik dengan pembahasan mengenai spiritual yang menurut saya buku ini terlalu riskan jika dibaca dengan remaja yang belum memiliki pemahaman akan keyakinan/agama yang cukup :)

Profile Image for Nina.
570 reviews53 followers
February 24, 2018
'Tadinya kukira orang mengalami depresi ketika ada sesuatu yang salah dalam hidup mereka. Tapi bagiku, depresi datang ketika segala hal dalam hidupku berjalan sempurna.'-- pg 10.
.
.
Barusan saya selesai baca buku ini. 263 halaman saya habiskan sesorean ini, saking menikmati ceritanya. Saya sulit mereview kisah Amanda, selain karena kisahnya unik dan... Susah pokoknya. Saya suka. Temanya beda, tidak biasa.
.
Seperti #middlegradebook dari penulis yg sama yg saya baca sebelumnya, #tekatekiterakhir, gaya penulisan #annisaihsani membuat saya seperti membaca buku terjemahan. Jika ingin mencari cerita #youngadult saya rekomendasikan buku ini, cocok dibaca siapa saja.
Profile Image for R.A.Y.
292 reviews47 followers
July 12, 2017
percaya atau tidak, walau tidak genius dan tidak mengidap impostor syndrome seperti Amanda, saya tahu benar rasanya dipandang terlalu tinggi oleh orang lain sampai ekspetasi mereka menjadi beban dan bikin saya depresi. i've been there before dan rasanya sangat tidak menyenangkan, setiap hari hanya bisa tiduran memikirkan segala hal yang seharusnya dilakukan tapi tak kunjung dilakukan karena pada saat yang sama saya juga tidak mau berpikir, ingin berhenti berpikir, dan kalau bisa tidak usah berpikir lagi selamanya. A Untuk Amanda kalau dikurangi dramatisasinya (termasuk keberadaan Tommy yang lucu tapi menyebalkan) bisa menggambarkan sekeping kecil kehidupan saya semasa SMA. sampai sekarang pun saya masih menjadi orang yang tanpa alasan yang jelas selalu kepengin mengejar nilai A (benar-benar bukan karena menarget nilai tertentu, tapi murni hanya keinginan iseng macam "kayaknya seru kalau nilaiku A semua"--apa ini adalah sindrom tersendiri?) dan merasa sangat terganggu kalau melihat daftar hasil studi dinodai beberapa nilai B, dan menganggap IP 3,5 itu biasa saja cenderung rendah padahal di luar sana jutaan mahasiswa harus berjuang keras untuk mendapatkannya. saya tidak tahu diri, seperti Amanda. tidak mengerti dan tidak menyadari perjuangan saya sendiri, dan hanya bisa mengeluh kalau orang lain mengharapkan sesuatu yang bagi saya terlalu tinggi tapi sebenarnya setara dengan kemampuan yang saya miliki. inti dari curhatan ini adalah bahwa lepas dari dramatisasi percintaan dan lingkungan hidupnya, A Untuk Amanda adalah novel paling relatable dengan diri saya yang pernah saya baca. selain itu, saya juga pencinta sains. astronomi, fisika, matematika, dan biologi adalah bidang-bidang yang saya harap bisa saya dalami namun tidak bisa karena otak saya tidak diciptakan untuk pandai ilmu alam. tapi saya selalu menikmati bacaan-bacaan yang berhubungan dengan bidang-bidang itu, maka tak heran kalau saya semakin mencintai novel ini.

Amanda genius, kocak, tapi kadang bego ketika menghadapi persoalan hidup seperti remaja kebanyakan. cerita disampaikan dengan gaya bahasa terjemahan yang sangat rapi (walau yah kadang terasa terlalu kaku). kemasan alur dan konflik mengingatkan saya pada novel-novel kontemporer remaja Amerika (sangat cocok untuk pembaca yang jenuh dengan novel lokal yang ceritanya itu-itu saja). banyaknya istilah sains dan nama tokoh asing tidak diberi penjelasan seperti footnote tapi malah secara tidak langsung mengarahkan pembaca untuk gooling dan baca-baca sendiri (menambah ilmu pengetahuan!). karakter-karakter yang muncul hampir selalu memiliki ciri khas, saya bahkan masih mengingat Sara-Tanpa-H padahal dia hanya muncul satu kali. bagian akhir cerita agak kurang nendang tapi apa lagi yang harus dibahas saat semua persoalan sudah menemukan titik terang? (nggak sih saya merasa ada sesuatu yang terlewat tapi entah apa itu) latar tempatnya memang aneh karena rasanya Indonesia tapi juga nggak Indonesia(?), tapi yasudahlah namanya juga kota fiksi. saya sering merasa pengin menulis cerita dengan kota fiksi seperti ini karena kalau pakai kota asli yang punya bahasa daerah maka saya harus memasukkan unsur-unsur bahasa daerah ke dalam cerita padahal saya tidak mau tapi kalau tidak memasukkan unsur-unsur bahasa daerah ke dalam cerita maka cerita saya akan terkesan tidak masuk akal dan kurang natural. jadi ya sedikit banyak saya bisa memahami pertimbangan penggunaan kota fiksi dalam novel-novel berlatar Indonesia-tapi-juga-nggak-Indonesia. mungkin salah satu alasannya adalah menghindari unsur-unsur bahasa atau budaya daerah yang tidak diinginkan.

bintang lima untuk novel cerdas ini. pengin baca lebih banyak karya Annisa Ihsani untuk meyakinkan diri kalau dia pantas saya jadikan idola baru.

Profile Image for fayza R.
227 reviews56 followers
February 2, 2017
emm emmm emmm sesungguhnya bingung banget mau mulai dari mana nge review bukunya ....
mmmm
baiklah bagaimana kalau mulai dari kalimat, "Should I go to psychiatrist too?", karena beberapa gejala yang digambarkan terjadi pada Amanda pernah dialamiiii, pernah, pernaaaah. Lalu bertanya2 apakah jika aku pergi ke psikiater terhitung sebagai orang gila ? Dan kalimat semacam "ah dasar iman lo aja yang lagi lemah" juga sering terlontar. HHHHH. //curhatnya udahan dulu deh ya, lanjut ke review.

Baru bab pertama, kusuka sama openingnya ,
Tapi bagiku, depresi datang ketika segala hal dalam hidupku berjalan dengan sempurna


Count me in sbg kelompok orang2 yang meragukan Young Adult dalam negeri, *ngacung tinggi*. Tapi buku ini beda, ngangkat isu kesehatan mental yang notabene YA Indonesia masih jarang (sok tau banget Faizah), dan ini cukup bikin puas. Karena konflik2 batinnya sesuai dengan permasalahan anak remaja SMA, ketika impian-love story-kenyataan-tuntutan dll bertemu. Seolah masa depan memang sangat dipertaruhkan saat duduk di bangku kelas 3 SMA.

Bahwa semua orang berhak depresi, dan beruntunglah kamu ketika orang tersebut mau ngaku bahwa dia menderita depresi. Karena dia pasti sudah mempertimbangkannya dengan sangat matang serta mempertaruhkan harga dirinya, dan gak heran kenapa Amanda pertama kali bilang keluhannya ke ibunya, bukan ke Tommy meskipun secara cerita terlihat Amanda lebih dekat sama Tommy ketimbang ibunya.

Di Indonesia sendiri kayaknya istilah 'mental disorder' disamaartikan dengan 'gila', padahal menurut Faizah, mental disorder juga sama penyakit yang butuh penanganan layaknya physical illness, tapi lagi-lagi sayangnya masih banyak yang belom aware sama hal-hal semacam ini.

Tapi inti dari pergi ke psikiater tuh emang cerita sejujur-jujurnya ya, bahkan hal-hal yang kita tidak mau Ibu kita tau karena takut kecewa heu. Pada akhirnya semua orang pengen diterima apa adanya, lengkap dengan kekurangannya.

Suka juga sama closingnya, bahwa depresi tidak bisa benar2 hilang layaknya penyakit fisik, mungkin ada waktu kita bakal ketemu lagi sama depresi, tinggal bagaimana kita mencari cara menangani diri kita sendiri (dan bergelut dengan diri sendiri).
.
.
.
.
but for me,
everything start with your shalat.
Tapi emang enggak ngejamin orang yg solatnya rajin terhindar dari depresi, ada garis tak terlihat antara makhluk sama Khalik nya sih yang bikin seseorang merasa tenang apapun yang terjadi pada dirinya. Ya jadi, tidak semua yang tampak bisa ditafsirkan sesuai yang tampak, yang terlihat memang jelas, tapi yang tidak terlihat lebih banyak.

Huft.
Profile Image for Qunny.
195 reviews9 followers
July 14, 2019
Buku ini mengenalkan saya akan psikoterapi yang selama ini hanya saya bayangkan prosesnya. Ternyata depresi memang seperti itu.

Saya suka ciri khas Amanda dan karakteristiknya yang cynical but smart sih. Ala-ala remaja barat juga settingnya, walaupun itu membuat setting novel ini menjadi tidak begitu jelas. (dan inilah kenapa ratingnya 4 buat saya, bukan 5. Tapi nyaris perfect sih)

Ada sempat bagian yang bikin bingung.

Saya suka sama karakter Helena di sini. Bukan tipikal cewek cantik yang bodoh, tetapi cewek cantik dan populer yang begitu perhatian dengan temannya dan tidak memberikan label buruk pada penyakit mental.

Banyak banget yang dibahas di sini. Bahkan feminisme dan agnostik yang jarang diangkat di novel-novel Indonesia pun dihadirkan dalam sosok Amanda. Hanya saja kekurangannya terletak di latar.

Welcome to my favorite shelf, 'A untuk Amanda'. Buku pertama di tahun 2019 yang masuk ke favorit bukan ya?
Profile Image for cindy.
1,981 reviews156 followers
March 30, 2016
*kl mau dibilang suka, sih suka.... tp lbh suka teka-teki terakhir*

suka ide ceritanya, suka gaya bertuturnya, suka konfliknya. gak terlalu suka settingnya yg kagok, mau dibilang lokal gak mungkin (tahun ajaran baru di sini bukan bln sept), mau dibilang di barat sono, nama2 tokoh n bbrp latar pendukung 'endonesha' sekali (nasi goreng n mie ayam). galau... segalau amanda.

ripiu lengkap ada di
http://readbetweenpages.blogspot.co.i...
Profile Image for Woro.
95 reviews3 followers
October 31, 2021
Saat membaca sinopsis di bagian halaman buku, aku kira novel ini bercerita bagaimana Amanda menghadapi rasa cemas dan ketakutan-ketakutannya, misal bagaimana jika tidak dapat nilai A pada saat ujian, ternyata novel ini menceritakan mengenai Amanda dan penyakit kesehatan mental yang dideritanya. Digambarkan pula dengan gamblang bagaimana stigma masyarakat kita terhadap kesehatan mental.
Displaying 1 - 30 of 395 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.