Buku dengan judul Dunia Forensik Itu Lucu: Sebuah Rekam Jejak dr. Abdul Mun’im Idries, Sp.F merupakan buku yang men- jelaskan berbagai cerita tentang kiprah dokter forensik terkemuka Indonesia dr. Mun’im Idries dalam rentang waktu 40 tahun pengab- diannya. Buku ini mengisahkan banyak cerita yang belum pernah diungkapkan ke publik. Buku yang bergenre semibiografi ini memiliki mutu yang tinggi karena ditulis sebelum dr. Mun’im Idries menghadap sang Khalik. Terdiri atas delapan bab, buku ini mampu menggali informasi dari dr. Mun’im dalam menjawab rasa kepenasaran publik tentang dunia forensik, terutama yang berka- itan dengan kasus pembunuhan atau kematian. Dengan gaya yang jernih, penulis mampu menyajikan penjelasan mengenai kiprah dr. Mun’im dalam menangani berbagai kasus forensik yang ternyata berkaitan erat dengan kepribadian beliau sebagai seorang Muslim. Selain itu, latar belakang pendidikan yang diberikan oleh orang tua terutama ayahnya yang memiliki pangkat sebagai seorang letnan kolonel yang taat telah memberikan banyak karakter positif terhadap pembentukan kepri- badian dr. Mun’im. Latar belakang penulisan buku ini pun dilandasi ajaran ayahnya untuk selalu mem- buka dan mengabarkan kebenaran dalam setiap segi kehidupan dr. Mun’im terutama hal-hal yang menyangkut kasus yang dita-ngani olehnya. Walaupun begitu, demi mem- pertimbangkan situasi dan melindungi ma- syarakat lebih luas, dr. Mun’im sempat memilih untuk menyimpan hal tersebut dalam waktu yang lama. Hingga pada akhirnya, besarnya rasa tanggung jawab kepada masyarakat untuk me- ngungkap kebenaran serta didorong saran- saran dari seorang kolega, dua buku yang menceritakan situasi dan kondisi belakang layar dari aktivitas dunia forensik yang dige- lutinya dapat terungkap juga ke tengah khalayak. Buku yang pertama ditulis sendiri oleh dr. Mun’im Idries dengan judul Indonesia X- Files, Mengungkap Fakta dari Kematian Bung Karno sampai Kematian Munir, dan buku kedua dengan judul Dunia Forensik Itu Lucu: Sebuah Rekam Jejak dr Abdul Mun’im Idries, Sp.F, ditulis oleh Tofik Pram ber-dasarkan cerita dari dr Mun’im. Dari kisah dalam buku, terungkap bah- wa dalam menangani kasus-kasus kematian dr. Mun’im sering harus berhadapan dengan situasi dilematis untuk menjelaskan hasil pemeriksaan forensiknya kepada masyarakat. Anggapan umum masyarakat tentang logika keliru yang menyangkut apa yang disebut etis atau merasa tidak enak hati sering terjadi. Saat ini etika sering diartikan sebagai tak enak hati. dr. Mun’im selalu menjunjung tinggi keyakinan bahwa penjelasan yang diberikan mengenai hasil pemeriksaannya harus disampaikan secara benar dan beretika. Menurut dr Mun’im beretika adalah me- lakukan segala sesuatu berdasarkan peraturan dan menerapkannya dengan jujur. Jika salah harus dikatakan salah dan jika benar harus dikatakan benar. Sering karena tidak enak hati atau sering disebut sungkan kepada seseorang, sebuah fakta harus dikaburkan bahkan dihilangkan. Dr. Mun’im mengungkapkan bahwa beretika adalah ketika dia mampu menyam- paikan hasil pemeriksaan dengan apa adanya sesuai dengan hasil pemeriksaan dan obser- vasi ilmiah, meskipun hal tersebut harus melibatkan nama-nama besar seperti pejabat. Ketika keterangan forensik memperkuat indi- kasi keterlibatan si pejabat, hasil yang diperoleh harus disampaikan sejujurnya. Apa- bila kebenaran ditutupi karena merasa takut atau tak enak hati, itulah yang menurut dr. Mun’im justru yang dikategorikan melanggar etika. Dalam sebuah cerita, pemahaman tentang etika yang salah menyebabkan dr. Mun’im pernah dituntut sebesar dua miliyar rupiah. Ketika itu dr. Mun’im harus membuka hasil pemeriksaan forensik kematian seorang aktivis yang awalnya diduga dibunuh karena kepentingan politis. Hasil visum yang dilaku- kan dr. Mun’im bersama juniornya yang disi- arkan kepada pers menunjukkan fakta yang dipandang keluarga korban sebagai aib yaitu kondisi dubur dan vagina korban sudah rusak sejak lama, jauh sebelum terbunuh. Publikasi tersebut dianggap oleh keluarga korban seba- gai upaya menyebarkan aib. Akan tetapi, dr. Mun’im memiliki pen- dirian bahwa penyiaran fakta itu adalah untuk kepentingan umum dan tidak bermaksud untuk mencemarkan nama baik siapa pun. Dr. Mun’im merasa benar karena dengan menyiarkannya ke publik ia hanya berupaya untuk meluruskan berita yang sebelumnya beredar bahwa si gadis adalah seorang sukare- lawan yang membela korban kekerasan Mei 1998, kemudian diteror, diperkosa, dan di- bunuh. Pemeriksaan dr Mun’im dan koleganya justru tidak menemukan fakta-fakta forensik bahwa pembunuhan itu dilatarbelakangi permasalahan politik. Namun, menurut orang tua korban keterangan visum dr. Mun’im sama saja dengan mengatakan korban yang masih duduk di bangku SMA itu telah melakukan aktivitas seks bebas dan bahkan melakukan anal seks. Berdasarkan hal itu dr Mun’im dituntut sebesar dua miliar rupiah. Untu...
Ada beberapa cerita menarik dalam buku semibiografi ini, misalnya ketika dr. Munim bertemu dengan pentolan salah satu ormas besar negeri ini di RSCM karena sebuah peristiwa sampai dengan kasus yang menimpa mantan Ketua KPK Antasari Azhar...tentunya saya gak mau spoiler...
Tak harus membaca karya agatha cristie buat merasakan trilernya, tak perlu membaca fiksi ngerinya tere liye buat ngerasa kejamnya negeri di ujung tanduk dan pulang. yang keduannya merupakan fiksi. Cukup buku kenyataan dan keaslian tulisan dari almarhum dr. Mun'im bisa menggetarkan nurani dan memporak - porandakan perasaan, dari kedokteran forensik.
Membahas kasus hukum dengan bahasa yang ringan serta melihat hukum dari sisi lain, yaitu dari seorang dokter forensik. Buku yang sangat menarik, terutama bagi orang yang senang dengan cerita kasus-kasus hukum
"Ia, di mata saya, terlihat ingin menguras habis kepintarannya dengan membagikannya ke siapa saja." (Tulisan Reza Indragiri Amriel, Akademisi Psikologi Forensik tentang dr. Abdul Mun'im Idries, Sp. F, untuk kata pengantar)
Nyesel sumpah baru tahu sosok dr. Abdul Mun'im Idries jauh setelah beliau meninggal. Dari dulu aku enggak terlalu perhatian sama berita kriminal, sih. Terlalu mengerikan buatku. Siapa sangka sekarang malah "terpaksa" belajar genre crime fiction? Yah, terpaksa melakukan hal yang menyenangkan meski tentu saja yang diriset lebih banyak.
Buku ini awalnya kubeli secara tak sengaja di tahun 2015. Saat itu aku jalan-jalan sore dengan seorang teman yang kuliah di Jurusan Kimia ke Togamas. Buku ini diobral dan aku langsung tertarik. Koleksi bukuku memang sangat random. Aku sering beli buku hanya dengan intuisi "sepertinya menarik" atau "sepertinya aku bakal butuh buku ini buat referensi cerita di masa depan."
Temanku itu sering bercanda soal betapa awamnya aku dengan bidang sains. Dia langsung ngakak kampret saat aku bingung mau beli buku ini atau buku lain (maklum saat itu duit yang dibawa terbatas, malah memang gak ada rencana beli buku kalau saja gak lihat obralan).
"Wakakaka. Gak bakalan kepake! Udahlah, ga usah buang-buang duit!" gelaknya kurang asem.
Akhirnya aku tetap beli buku ini, mengetahui keberadaan buku Indonesian X-Files 1 dan 2, lalu membelinya dari Mizanstore beberapa tahun kemudian.
Dan sekarang beneran kepake, Bro! Huh! #Mangkel wkwkw.
Diminta garap genre misteri buat project partnership. Aslinya disuruh bikin thriller-gore malah. Tapi cerita Blood on Your Eyes-ku ternyata masuk genre misteri karena penjahatnya enggak ketahuan dari awal.
***
Yah itu sekelumit kisah bagaimana awalnya aku berkenalan dengan buku ini dan sosok yang dibahasnya, dr. Mun'im Idries. Ah... prinsip-prinsip beliau yang menjunjung logika tanpa emosi, etika, dan pengungkapan kebenaran tanpa menciptakan keresahan pada masyarakat... masyaallah, dah.
Nanti kalau udah bisa ngetik di laptop mungkin reviewnya kutambahin lagi. Beberapa quote menarik udah kucatat di reading progress-ku.
***
Banyak bagian di dalamnya yang merupakan pengulangan dan penambahan penjelasan dari kasus-kasus yang sudah dibahas di Indonesian X-Files 1 dan 2. Kasus pembunuhan Ditje misalnya. Juga Marsinah. Tapi aku sama sekali enggak terganggu dengan pengulangan-pengulangan di tiga buku ini. Sebagai orang awam, repetisi dengan variasi akan sangat membantu pemahamanku ketika belajar dari awal.
Waktu baca judul buku ini, dan membaca separuh isi bukunya aku berpikir, "Tuh, kan. Lucunya di manaaaa?"
Saraf humorku bagai tertantang. Keningku kebanyakan berkerut terus saat membacanya. Akhirnya aku nangkep juga bagian yang dibilang lucu di sana. Bagian yang "lucu" itu adalah soal fakta yang dibentuk demi kepentingan bersama, asas supremasi hukum Indonesia yang berdasarkan ada oportunitas, bukannya legalitas, kecerobohan dan kelambatan polisi dalam merespons beberapa kasus penting, dan banyak lagi. Sepanjang 40 tahun masa karier sang dokter, ia acap mengalami hal-hal nyeleneh gara-gara ketidakpahaman orang-orang terhadap konsep etika yang sering dicampuradukkan dengan kesungkanan. Misalnya saat media berlomba memberitakannya sebagai "dokter matre" karena terang-terangan minta dibayar setelah bersaksi dalam sidang. Padahal, itu adalah hak saksi ahli yang sudah diatur dalam KUHAP tapi sering dengan seenaknya diabaikan pengacara dan jaksa.
***
Di bangku kuliah kedokteran itu juga, Mun'im bertemu sosok yang sangat dikaguminya, setelah sosok ayahnya. Dia adalah Profesor Slamet Imam Santoso.
"Profesor Slamet mengajarkan banyak nilai luhur keilmuan pada saya. Dialah yang selalu berpesan pada saya agar mengamalkan ilmu pengetahuan untuk kebenaran dan memberi manfaat pada semua golongan manusia.
"Dia selalu berpesan pada saya, sampaikanlah ilmu yang saya miliki dengan cara yang sederhana.
"Ilmu pengetahuan itu untuk mencerahkan kehidupan, ada di dalam kehidupan, dan semua orang punya hak untuk mendapatkan pencerahan. Termasuk orang awam.
"Karena itu, sampaikanlah ilmu pengetahuan dengan bahasa sederhana agar orang-orang awam itu mengerti dan bisa merasakan manfaat ilmu pengetahuan kita."
"Profesor Slamet selalu mengingatkan saya, tugas utama ilmuwan adalah membuat masalah besar menjadi lebih kecil, atau masalah rumit jadi sederhana, dan masalah kecil atau sederhana itu kemudian dihilangkan. Ilmuwan harus bisa memberikan solusi dengan ilmunya."