Bagaikan sebuah kekuatan terpendam, high heels bukanlah sekadar makna dan benda konkret karena wanita mendapatkan kepercayaan diri yang dapat membius siapa pun di sekitarnya. Keragaman makna high heels bagi wanita membentuk konsep diri masing-masing yang berbeda secara diamentral. Artinya tidak semua wanita terpengaruh dengan pemaknaan fashion sebagai citra diri dalam pergaulan masyarakat.
Buku ini merupakan pengembangan dari penelitian dan karya ilmiah penulis. Berangkat dari ketertarikan mendalam mengenai high heels dan dengan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang tajam, penulis mengimplementasikan studi fenomenologi yang merupakan tradisi komunikasi paling subjektif dan mendalam untuk membuka tirai makna di balik perilaku para wanita pekerja pengguna high heels. Dengan berpijak pada teori-teori yang relevan, seperti tindakan sosial, interaksional simbolik dan fenomenologi itu sendiri sehingga membuahkan penemuan-penemuan fresh serta insights yang sangat menarik sehingga mendorong penulis untuk berbagi cerita kepada pembaca. Buku ini menyajikan adaptasi sebuah studi akademik yang komprehensif untuk dapat dikonsumsi oleh siapapa pun yang tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai cantiknya hubungan wanita pekerja dengan high heels.
Suatu hari saya menerima email dari Ika Noorharini yang meminta kesediaan saya untuk mereview bukunya ini. Membaca kata high heels pada judulnya membuat saya kaget. Ndak salah nih? Saya bukan penggemar high heels. Sehari-hari saya berangkat kerja pakai flat shoes yang nyaman di kaki saya. Sepatu saya yang tumitnya tinggi hanya ada satu, itupun saya beli gara-gara mau wisuda kemarin :D Tapi (juga karena) judulnya yang memuat kata fenomenologi, saya jadi tertarik untuk membacanya. Read more...
Fenomenologi merupakan sebuah studi yang mempelajari manusia sebagai suatu fenomena. Seperti pada judulnya, salah satu perilaku manusia (baca: wanita) adalah mengikuti perkembangan fashion. Salah satu atribut fashion yang penting bagi seorang wanita adalah sepatu. Dan buku ini membahas fenomena wanita dengan high heels-nya.
Siapa yang tidak kenal high heels? Bahkan wanita pekerja menjadi identik dengan high heels (hlmn. 10). Sepatu dengan tumpuan tumit (heels) yang tinggi ini membuat wanita yang menggunakannya akan mengalami peningkatan kepercayaan diri yang signifikan. Sewaktu saya masih kecil, saya terkadang diam-diam mencoba high heels milik mama saya, hanya sekadar ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi wanita dewasa.
Di dalam buku ini, pembaca akan menjumpai ulasan tentang high heels melalui beberapa bab. Bab pertama yang diberi judul Sepasang Kaki Cantik berisi pengantar mengenai pentingnya sebuah sepatu bagi seorang wanita yang ingin tampil cantik. Bab kedua berjudul Marlyn Monroe bukan berisi koleksi sepatu artis yang terkenal itu, melainkan bagaimana sepasang high heels menjadi brandng bagi wanita. Sejarah lahirnya high heels dibahas dalam bab ketiga yang berjudul The Chopines. Tahu nggak, kalau yang pertama kali menggunakan high heels justru seorang pria?
Bab keempat, Talon Hauts, menjelaskan bahwa high heels dengan berbagai tipe, ukuran, warna, dan model juga menjadi alat komunikasi bagi wanita untuk menyampaikan sesuatu pada dunia. Sementara bab kelima, Jimmy Choo v Louboutin, dan bab keenam, Stiletto, memuat pendapat 15 orang wanita yang menjadi nara sumber penulis untuk mengungkap perilaku wanita berkenaan dengan high heelsnya. Kesimpulan dari semuanya itu terangkum dengan apik pada bab terakhir berjudul Merah.
Buku ini sebenarnya merupakan transformasi dari sebuah karya ilmiah berupa tesis yang disusun oleh penulis. Sehingga tidak heran, jika berbagai fakta ilmiah disajikan dalam buku ini. Tapi jangan kuatir, tidak akan membosankan. Saya sendiri membaca buku ini hanya dalam sekali duduk saja. Tetapi, sayangnya di dalam buku ini tidak dilengkapi dengan gambar jenis-jenis high heels dengan keterangan gambar di bawahnya. Ketika penulis menggambarkan tentang platform pump, Mary Jane platform atau Kitten Heels secara deskriptif, saya yang notabene orang awam di dunia high heels, seakan "meraba-raba" dalam imajinasi seperti apa bentuk sepatunya. Ada sih ilustrasi gambar beberapa high heels, hanya saya aja yang nggak tahu apa-yang mana. Kemudian penggunaan kata "penulis" sebagai kata ganti orang pertama, dan bukannya "saya", membuat buku ini masih berasa sedikit kaku layaknya karya ilmiah.
Namun, membaca buku ini membuat saya menjadi tercerahkan. Sebagai seorang yang bukan penggemar high heels, saya jadi memahami makna pentingnya sebuah high heels bagi para fans-nya. Saya rasa setiap wanita harus membaca buku ini, atau juga para lelaki yang ingin memahami pasangannya. Dan sepertinya saya akan menambah minimal satu pasang high heels di rak sepatu saya.
Bagi seorang wanita, pasti tidak asing lagi dengan alas kaki yang satu ini, sepatu berhak tinggi atau lebih dikenal dengan nama high heels. Banyak wanita yang rela menahan sakit agar bisa memakai high heels, yang disinyalir bisa menunjang penampilan, menambah rasa percaya diri dan membuat si pemakai merasa seksi. Sekarang high heels tidak hanya identik di dunia fashion, tapi dalam keseharian pun tidak jarang para wanita memakainya, misalkan saja untuk bekerja, acara khusus, belanja, travelling, bahkan tetap dipakai ketika kondisi sedang hamil. Katanya kalau tidak memakai high heels rasanya tak berdaya atau powerless.
Dalam buku pertama yang awal mula adalah tesis pascasarjana penulis, Fenomenologi Wanita Ber-high heels bercerita tentang hubungan wanita dengan high heels, mengupas habis kenapa para wanita sangat tergila-gila dengan sepatu bertumit tinggi ini. Terdengar sangat ilmiah atau sangat berbau akademis memang, tapi dalam buku ini penulis mencoba membuatnya lebih sederhana dan bisa dinikmati oleh segala kalangan, baik para wanita maupun pria. Penulis yang mengaku sangat mencintai high heel ini memberikan pandangan yang objektif berdasarkan 15 narasumber dari berbagai latar belakang profesi yang dia wawancara secara langsung akan alasan kenapa mereka memakai high heels, sehingga apa yang dikemukakan akan terasa realistis.
Studi yang menjadi dasar buku ini berfokus pada fenomenologi yang artinya fokus pada struktur kesadaran. Argumentasi lebih jauh tentu dapat dinyatakan, bahwa kondisi psikologis sangat menentukan keberadaan. Mind over body! Ketika itu terjadi, yang akan ada adalah kebahagiaan. Secara unik, high heels dapat meningkatkan kebahagiaan dengan memberikan konstruksi identitas diri yang kuat.
Buku Fenomena Wanita Ber-high heels terdiri dari 7 bab utama; Sepasang Kaki Cantik, Marilyn Monroe, The Chopines, Talons Hauts, Jimmy Choo v Louboutin, Stiletto, dan Merah. Dimulai dari fakta bahwa sepatu tidak hanya sebagai alas kaki tapi sudah meningkat sebagai instrumen untuk menyempurnakan kecantikan para wanita, kemudian fakta bahwa wanita pekerja identik dengan high heels. Tidak ketinggalan sejarah high heels juga dibeberkan penulis, yang telah ada sejak tahun 3500-an SM atau zaman Mesir Kuno, dipakai pertama kali oleh para pria dan kaum bangsawan, para tentara kuda Persia, sampai penyebaran pertama kali di Eropa pada masa kontemporer. Tak ketinggalan disebutkan juga beberapa jenis high heels dan statement yang ingin ditunjukkan kepada dunia bahwa high heels bisa menunjang identitas diri. Lewat 15 klarifikasi narasumber yang dihadirkan, akan ada komponen utama dalam kepala dan hati pengguna high heels; motif, makna, status diri dan perilaku.
Wanita ingin menjadi individu yang dihargai utuh dengan pribadi dan karakternya masing-masing. Kekuatan cinta yang ditunjukkan seorang wanita merupakan cermin kepribadian dalam semangatnya menjalani peran dalam keluarga dan sosial. Wanita memiliki sebuah kelebihan yaitu mampu menggabungkan kelembutan dan kekuatan menjadi sebuah potensi besar dalam dirinya.
Tema utama dalam Fenomenologi Wanita Ber-high heels sangat unik karena sebelumnya saya belum pernah menemukan buku yang khusus membahas tentang high heels, kebanyakan buku bertema fashion hanya menyisipkan sedikit atau sebagai aspek pelengkap penampilan, tidak ada yang membahas seberapa besar hubungan sepatu bertumit tinggi tersebut dengan para pemakainya. Ika Noorharini mencoba membahas lebih dalam lewat tesis yang dia buat, kemudian mengadaptasi menjadi buku dan menerbitkannya agar pemahaman tentang high heels bisa dikomsumsi banyak orang. Bahkan di bagian akhir ada daftar bibliografi sebagai bukti bahwa apa yang dikemukakan penulis yang sekarang bermukim di London ini bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, ada dasarnya.
Buku ini memang pangsa pasarnya adalah para wanita, tapi melalui kata pengantar dari dua pria yang sudah membaca, terbukti buku ini bisa dinikmati oleh siapa saja, ditujukan kepada siapa saja yang ingin memahami kecintaan wanita terhadap high heels. Buku ini juga fullcolor, bahkan ada beberapa ilustrasi cantik yang melengkapi sehingga sangat nyaman ketika membaca. Bagian favorit saya adalah ketika penulis membahas sejarah awal mula high heels tercipta, sangat informatif sekali terlebih ada fakta bahwa pemakai sepatu high hels pertama adalah pria!
Sedikit kekurangan buku ini, penulis mencoba memaparkan risetnya secara sederhana, tapi saya merasa masih sedikit terlalu ilmiah, ada beberapa yang sulit saya pahami, bahasanya masih berbau akademis. Kemudian saya berharap akan ada jenis-jenis high heels secara lengkap beserta gambarnya, sekaligus cocok digunakan dalam rangka apa saja atau sesuai dengan karakterisasi penggunanya. Namun demikian, saya tetap bisa menikmati buku ini, saya bisa menangkap alasan kenapa para wanita sangat menyukai memakai high heels walau bisa mencederai kakinya.
Buku ini recommended bagi para wanita yang menyukai high heels, yang ingin beralih dari flat shoes ke high heels, bagi para pria yang ingin memahami pasangannya :D. Buku ini sudah dijual di Gramedia dan Kinokuniya, serta beberapa online book store seperti Getscoop.com, Bukupedia dan Kutukutubuku.com.
Life is flat! Spike it white your heels ladies!
3.5 sayap untuk wedges! Salah satu jenis high heels yang saya suka :D
Apa yang terlintas dalam benak saya ketika mendengar kata high heels? Cewek cantik. Saya pikir, banyak pula yang akan memikirkan hal yang sama. Setiap perempuan menginginkan dirinya terlihat cantik, ini adalah sebuah kodrat alam yang dengannya terkadang perempuan menepiskan efek samping dari proses "cantik" tersebut. Sebagai seorang perempuan (yang tentu saja ingin terlihat cantik), saya tidak bisa tidak setuju dengan slogan: "Beauty is Pain". Terkadang, demi terlihat cantik (menurut standar orang Indonesia, yeah, karena cantik itu tergantung sudut pandang kalau menurut saya), orang akan melakukan apa saja yang tidak jarang menyiksa dirinya. Salah satunya adalah dengan menggunakan high heels.
Kenapa high heels? Sederhana saja, sepatu hak tinggi bisa membantu perempuan yang memiliki tinggi standar atau di bawah rata-rata. Bayangkan saja, dengan cara instan, tinggi kita bisa bertambah 5 sampai 15 cm hanya dengan mengenakan high heels. Apakah high heels menunjang penampilan? Sebagai satu dari pengguna high heels, saya harus mengatakan "ya". Entah apakah ini sifatnya sugestif atau memang demikian adanya, namun harus saya akui dengan mengenakan sepatu hak tinggi, penampilan dan percaya diri kita akan meningkat sekian puluh persen. Namun, harus diakui bahwa dengan menggunakan sepatu hak tinggi, akan muncul ketidaknyamanan (apalagi bagi yang tidak biasa memakainya) saat berjalan maupun beraktivitas. Kalau misalnya harus tampil di muka umum yang hanya memakan waktu satu hingga dua jam, mungkin tidak akan terasa. Tapi coba bayangkan jika harus bekerja atau beraktivitas dengan high heels selama setengah hari penuh? Pegal dan sakit, tentu saja akan terasa.
Sebenarnya, saya bukan salah satu perempuan yang maniak dengan sepatu hak tinggi. Dikaruniai tinggi di atas rata-rata (TB: 167 cm dan BB: 50 kg), membuat saya bersyukur tidak harus menjadikan high heels sebagai barang wajib untuk dikenakan sehari-hari. Tapi bukan berarti saya tidak punya sepatu/sandal hak tinggi, saya punya beberapa. Ada yang untuk menghadiri acara resmi, ada pula sepatu kerja. Biasanya, kalau saya pakai untuk kerja, setelah beberapa jam (kalau sudah balik ke meja) saya switch penggunaannya dengan sandal jepit. Kenapa? Soalnya pegeeeel. Apalagi saat naik-turun tangga.
Buku yang saya baca ini berjudul "Fenomenologi Wanita Ber-high heels". Fenomenologi sendiri adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomonologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini. Fenomena apa yang dibahas? Dari judul dan pengantar saya yang panjang kali lebar ini tentu saja pertanyaan itu sudah terjawab. Ya, tentang wanita dan high heels-nya.
Buku ini diangkat dari penelitian penulis yang telah dibuktikan secara empiris tentang fenomena high heels di kalangan wanita. Terbagi menjadi beberapa bagian di mana bagian-bagian tersebut menjadi satu kesatuan yang berhasil menangkap intisari dari fenomena tentang high heels bagi perempuan. Yang saya suka dari buku ini adalah tentang sejarah high heels yang bahkan sudah bermula sejak zaman Mesir Kuno 3500 SM. Ini dibuktikan dengan adanya gambar pada mural di dinding gua sebagai bukti eksistensi high heels pada zamannya. Seiring perkembangan waktu, high heels pun turut mewarnai perpindahan sejarah dari masa ke masa. Sebuah informasi yang menarik yang jarang ditemui di buku mana pun. Saya mengikuti tren mode teruama zaman Renaissance (karena ikut main di role playing fiction yang bersetting di zaman itu), namun sepatu terutama high heels tidak pernah menjadi fokus saya saat itu. Padahal, sebagai salah satu penunjang dalam berpenampilan kaum bangsawan, sepatu hak tinggi mendapat peran yang signifikan. Informasi tentang pria bersepatu hak tinggi juga menjadi pengetahuan yang menarik (apalagi dikatakan di buku ini bahwa high heels membantu banyaknya kemenangan yang didapatkan oleh tentara Persia).
Semakin modern, penggunaan high heels sudah memiliki batasnya tersendiri dan hanya dikenakan oleh wanita, meskipun tidak jarang pria bertubuh pendek menggunakan heels (dalam wujud sepatu pria) untuk menunjang tinggi badan mereka. Saya pernah mendengar berita di infoainment bahwa ada artis pria yang menggunakan sepatu khusus yang bisa membantu agar ia terlihat tinggi sekian centimeter dari aslinya. Namun, bentuk dan jenis high heels yang dikhususkan bagi wanita itu sendiri sangat banyak. (PS: Saya malah baru tahu ada yang namanya stiletto, meskipun bentuknya cukup familiar.) Penggunaan high heels tersebut juga selain karena faktor kebutuhan tadi, juga tidak lepas dari yang dinamakan dengan fashion. Industri fashion yang bergerak secara dinamis, terkadang menuntut perempuan untuk selalu up to date dengan perkembangannya. Stigma bahwa yang tidak mengikuti arus fashion adalah seorang yang ketinggalan zaman menuntut sebagian wanita untuk terbawa arus di dalamnya. Ini tentu berkaitan dengan pergaulan dan eksistensi diri dalam bermasyarakat. Terlepas dari apa pun motif yang digunakan oleh perempuan dalam mengenakan high heels, tentu saja harus dibarengi dengan kesadaran untuk tidak menyiksa diri (entah dalam bentuk fisik maupun material).
High heels merupakan sarana bagi pelengkap cantik dan meningkatkan rasa percaya diri bagi kaum hawa. Untuk itu, selain mengetahui kebutuhannya terhadap penggunaan high heels, juga harus bijak dan tidak berlebihan.
“Sometimes people are beautiful. Not in looks. Not in what they say. Just in what they are.” (Markus Zusak)
Tadinya saya pikir kebanyakan high heel lover menyukai sepatu jinjit ini cuma untuk melengkapi penampilan aja. Kadang heran sih, kenapa segitunya rela membiarkan tumitnya sakit, betisnya terasa bengkak kadang sampai kebas atau ini nih, keluhan varises. Iyuck. Ga tersiksa apa, ya kalau pake setiap hari? Belum risiko lain macam terkilir, lah. Jatuh kepeleset yang bikin sakit iya, malu udah pasti.
Kalau yang badannya pendek alasan paling umum adalah menyamarkan kekurangan tubuh. Ya selain menampilkan efek percaya diri juga mendongkrak level. Paling tidak, lawan bicara enggak usah menundukkan kepala saat berbicara dengan kita. Duh ini sih saya banget, secara tinggi badan saya termasuk kategori petite hihi. Salut deh sama yang terbiasa pake high heel, stiletto,pump shoes dan model lainnya. Saya mah beraninya cuma sama wedges aja, lebih aman dan itu juga palingan 5 cm. Udah gitu ga tiap hari pula.
Nah, membaca bukunya Ika ini ternyata ada banyak hal lho yang bisa diulik. Bukan cuma soal matching ga matching dengan baju yang kita pakai, occassion, atau tuntutan karir. Kadang sepatu yang kita pakai itu menunjukan karakter kita, kepribadian kita. Termasauk ketika mengenakan sepatu high heel ini. Buat para high heel freak, yang hidupnya seakan udah separuh nafasnya berpasangan dengan high heels, sepatu ini juga cara mereka untuk bilang this is me! Terlepas dari risiko rasa sakit yang harus dirasakan mereka. Salut deh saya, menjura sama yang cuek dan ga ambil pusing soal ini.
Eh tapi rasa sakit itu ga ada apa-apanya kalau ternyata high heels yang dikenakan membuat mereka merasa nyaman, percaya diri, karakternya terwakli, dan mengekspresikan dirinya? Yang menarik, sejarah tentang high heels ini ternyata sangat panjang. Pernah jadi sepatu yang dipakai pria untuk status sosial pada masa pencerahan di Eropa, dan semakin ke belakang ternyata sepatu high heels alias sepatu berhak tinggi ini juga pernah menjadi salah satu simbol ritual para nenek moyang di beberapa belahan dunia. Hmmm menarik, bukan?
Kalau mau tau lebih banyak, suka ga suka dengan sepatu high heels, freak atau cuek, sering pake atau jarang, koleksinya bejibun atau cuma sepasang, terpaksa atau nyaman mengenakannya, ya udah baca aja buku ini. Meski redaksinya terasa ilmiah, tapi informasi yang disajikan di dalamnya menarik dan bikin kita manggut-manggut. Oh,gitu, ya?
Membaca buku ini sangat menyenangkan. Banyak fakta yang baru saya ketahui sesudah membaca buku ini. Saya baru tahu kalau dulu, laki-lakilah yang menggunakan high heels.
Melalui buku ini, saya juga memahami perasaan perempuan yang mencintai high heels. High heels juga dipakai karena dapat memberi kesan rapi pada perempuan. Terlihat rapi, berarti menghargai lawan bicaranya.