Humor dalam kisah Gunawan, dengan demikian, adalah nama lain bagi obat. Ia menyembuhkan kita dari penyakit dengki, iri hati, sok kuasa, dan menganggap orang lain sebagai biang kesalahan. –Triyanto Triwikromo, sastrawan
“Jadi slimicinguk ini adalah umpatan karangan Anda sendiri?” “Betul Pak. Seratus persen karangan saya sendiri.” “Pantas saya cari artinya di internet tak ketemu. Coba Anda lafalkan umpatan ini dengan nada dan intonasi yang Anda yakini kebenarannya sebanyak 33 kali. Saya ingin mendengarnya.” “Slimicinguk, slimicinguk, slimicinguk ….” Slimicinguk
“Apakah persamaan antara imam ketiga dan kiper ketiga?” “Keduanya sama-sama cadangan dan jarang diturunkan.” Imam Ketiga
Cerpen-cerpen Gunawan menyentil dengan jenaka fenomena yang terjadi di sekitar kita. Ketika tertawa setelah membaca tulisannya, mungkin kita sedang menertawakan diri sendiri. Demikian pula jika yang hadir adalah aneka perasaan marah atau sedih. Dan jika pembaca sekalian bahagia setelah menikmati suguhannya, silakan disimpan sendiri. Karena….
Cerpen dan puisi jebolan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta ini sudah dipublikasikan di berbagai media massa baik lokal maupun nasional.
Memenangkan beberapa kali lomba penulisan sastra diantaranya Pemenang II Pena Islami 2004, Pemenang II Bulan Bahasa FKIP UNS 2004 dan cerpen Terbaik Majalah Horison 2004 untuk cerpen berjudul Gerimis Bermata Batu.
Karya-karyanya juga tergabung dalam sejumlah antologi sastra seperti Kisah Cinta Plastik (2004), Dian Sastro for President: End of Trilogy (2004), Risalah yang Dikalahkan (2005), dan Soliloqui Sketsa Nurani (2005), Antologi Penyair Jawa Tengah (2005). Kumpulan puisinya bersama Agus Bakar berjudul Agitasi Menjelang Diam (Taman Budaya Jawa Tengah, 2005).
Pengalaman membaca cerpen yang baru, menyenangkan, dan bikin tergelak, namun juga penuh pesan tersirat. Apakah ini yang disebut dengan sastra humor?
"Kalender, Undangan Nikah, dan Puisi": Hal menarik terjadi menjelang akhir ketika sang pengusaha mendapati puisinya yang tertempel pada undangan pernikahan buatannya diminati oleh seseorang bernama Sapardi. Sampai di situ aku begitu semringah; berharap nasib sang pengusaha menjadi lebih baik karena dilirik setidaknya oleh seseorang yang mungkin saja memang seorang penyair kondang. Hal konyol pun dimunculkan lagi. Bagaimana sang pemeran utama dibuat bodoh dengan pengharapan sesaatnya itu.
Woow... Aku gak menyangka buku ini begitu menyenangkan dibaca. Kumpulan cerpen tentang kehidupan disajikan dengan humor satir yang bikin ketawa ngakak dan miris. Betul. Aku serius. Beberapa cerita membuatku spontan tertawa. Beberapa cerita malah terasa miris dan terasa suram.
Sungguh buku ini menawarkan pengalaman membaca yang menyenangkan. Saking menyenangkannya, niat awal membaca tiga cerpen awal malah keterusan hingga 2/3 jumlah cerita pendek buku ini.
Oh iya, sekali lagi aku ingatkan untuk membaca Kata Pengantar buku ini setelah semua cerpen kamu baca habis. Kata Pengantar buku ini membunuh kejutan yang bakal kamu temukan dalam setiap cerpen.
Sebuah pengalaman membaca buku yang luar biasa, tidak tahu apakah harus tertawa atau mangkel ketika tahu-tahu semua cerita di buku ini habis terbaca.
"Yu Kariyem mengeluhkan mata kanannya yang terasa mengganjal dan agak perih. Kuminta ia tenang. Aku membuka mata kanannya perlahan-lahan dengan kemampuan terhalus yang dimiliki jari-jariku. Dan, betapa kagetnya aku ketika melihat ada benda hitam sebesar biji semangka menempel di bola mata kanannya. Ya Tuhan, ternyata Yu Kariyem kelilipan tahi lalatnya sendiri." (Perjalanan ke Pacitan)
"Trijoko menikah beberapa saat setelah seorang perempuan muda bernama Sundari jadi bulan-bulanan di media sosial karena menginjak-injak bunga amaryllis demi sebuah foto yang menurutnya artistik. Beberapa saat kemudian kejadian itu telah dilupakan termasuk oleh para penghujatnya. Konon Sundari telah memperbaiki sikap dan lantas sukses menjadi pelatih bulu tangkis." (Ramalan)
Saya sudah berusaha membaca buku ini dengan mimik serius, laiknya membaca sebuah karya sastra bermutu tinggi. Tapi, ternyata saya tidak bisa, maafkan saya wakakakakakak
Ulasan lumayan panjang bisa dibaca di basabasi.co /
Tidaklah berlebihan bila buku kumpulan cerita ini saya beri empat bintang karena saya suka dengan mayoritas ceritanya. Pak Gunawan memiliki pembendaharaan kata yang berlimpah sehingga beberapa kali saya mesti menengok KBBI untuk mengetahui secara akurat makna dari suatu kata yang dipilih.
Selain itu, kalimat yang beliau susun juga terasa indah dan menggelitik. Metafora yang beliau kenakan begitu mengena dan tepat sasaran. Nyaris tak ada cela dalam pemakaian bahasa.
Kemudian mengenai konten, saya juga demen dengan humor maupun satire lembut yang beliau sisipkan dalam setiap ceritanya. Mulai dari Anak Jaranan (ngomong-ngomong saya juga gak suka sama sinetronnya), Imam Ketiga (yang ini bagus banget, ada pesan moral yang kuat yang hendak disampaikan), Ramalan (ide cerita yang unik), Kalender, Undangan Nikah, dan Puisi (kalau saya sendiri dihubungi penulis favorit saya, saya rasa saya juga bisa seperti tokoh yang ada dalam cerita ini), dan delapan cerita lain yang sungguh mengesankan yang tak mungkin saya deskripsikan satu demi satu disini karena khawatir nanti review saya jadi kepanjangan.
Anyway, buku kumpulan cerita ini betul-betul bagus dan patut direkomendasikan. Kamu pasti akan tertawa, tapi tawamu tak akan terbahak atau terkakak, melainkan tawa getir, atau tawa ironi. Ha-ha-ha...
Ketawa-ketawa baca kumcer ini dan juga merinding pas baca cerpen terakhir. Mungkin kata pengantar dari Pak Triyanto Triwikromo harusnya di baca terakhir ya biar ga kena spoiler. Jadi pas jokes nya keluar ada unsur terkejut dan ketawa lebih kenceng.
Sesaat setelah mendengar kabar penyair asal Solo, Gunawan Tri Atmodjo akan merilis buku terbarunya saya seolah tidak ingin ketinggalan untuk segera membaca. Namun selang beberapa bulan setelah terbit, kumcer dengan sampul yang menggugah iman dan penasaran ini baru meluncur ke Ambon dengan ditemani Cinta Semanis Racun (calon penghuni rubrik buku di media nasional, ramal saya) & sebuah kumcer milik Hamsad Rangkuti (sampulnya juga agak nyentrik elektrik). Upaya berhemat karena ongkos kirim yang terbilang lumayan.
Buku bagus dan terlebih cerita-cerita yang memikat ini tidak tunggu lama untuk tandas tuntas dalam beberapa kali duduk sahaja.
Sang penulis membuka kumcernya dengan apik lewat kisah "Cara Mati yang Tak Baik bagi Revolusi" sungguh kisah yang slimicinguk. Kemudian menutupnya dengan kesederhanaan lewat "Sebentar Lagi Mati". Mengingatkan pembaca kalau hidup ini kadang tak dapat dimengerti. Tak terkendali.
Membaca cerita dalam kumcer "Tuhan Tidak Makan Ikan" seolah memberikan pengalaman tersendiri. Tidak sedikit setelah terhibur oleh humor yang disajikan, kita merenggut kesal sembari kembali mawas diri atas kisah tragis yang dinarasikan oleh pengarang.
Sang pengarang mampu menghidupkan kisah keseharian menjadi sesuatu yang renyah dan dengan luwes menceritakannya kepada pembaca. Nafsu dan impian manusia secara terang-terangan dibuka dan menjadi unsur kental yang membalut para tokoh dalam cerita gubahan Gunawan. Saya menduga cerita-cerita rekaan Gunawan dimaksudkan untuk mengajak pembacanya bercermin pada diri sendiri. Yang paling terasa saat menandaskan "Imam Ketiga".
Akhirnya, kumcer terbitan Diva ini seolah mempertegas eksistensi Gunawan sebagai pengarang yang memiliki gaya bercerita yang unik. Memberikan sebuah perhentian bagi kehidupan yang lekat dengan riuh rendah politik, ketidakadilan, dan kepentingan diri sendiri.
Membaca kumcer ini, berkali-kali saya dibuat senang karena menemukan diksi-diksi bagus atau kalimat menggelitik seperti dalam cerpen Istri Pengarang: Terkadang aku menduga bahwa dia hanya menyalin mimpinya semalam ke dalam tulisan.
Atau di cerpen Slimincinguk: Dirinya merasa lumayan lega setelah memaki sebuah umpatan.
Saya sepakat dengan pengantar buku ini bahwa Gunawan Tri Atmodjo memiliki selera humor yang bagus. Di awal hingga ke dua pertiga buku saya merasa begitu dimanjakan oleh kisah-kisahnya, tapi dari sana saya mulai bosan dengan bahasan yang terasa tak berkembang. Mungkin juga ini persoalan penempatan urutan cerpen, hingga saya merasa di akhir begitu mirip. Bisa jadi perasaan itu tak pernah muncul jika urutannya diubah, hingga ada gelombang. Itulah yang membuat saya tak memberi 4 bintang bulat. Namun akhirnya saya bulatkan karena 4 bintang layak disematkan untuk karya yang telah berhasil mematik gairah menulis.
Cerpen-cerpen favorit saya: 1. Imam Ketiga 2.Cara Mati yang Tak Baik Bagi Revolusi 3. Bukan Kawan 4. Tuhan Tidak Makan Ikan 5. Peduli Setan dengan Hujan
Selama membaca kumpulan cerita ini, saya sering cengar-cengir sendiri. Benar kata penulisnya, cerita di dalamnya lucu-lucu. Seperti yang ditulis dalam coret-coretannya untuk saya, cerita-cerita ini adalah upayanya menjadi manusia modern yang melawan kesedihannya sendiri. Saya suka diksi-diksi yang digunakan Mas Gun. Remaja celaka, kekasih ganas, dan lainnya. Juga tokoh-tokoh dengan nama-nama yang unik dan menggelitik. Misal di cerita pertama, saya kok ya iseng membalik huruf-huruf si tokoh dan memang ternyata Mas Gun menyisipkan guyon di sana. Ciri khas Trijoko, Sundari, dan sempak juga masih muncul di beberapa cerita. Nampaknya, Mas Gun perlu membuat kumpulan cerita atau novel yang memang bercerita tentang mereka. Saya beri 4 bintang karena ada beberapa kalimat yang menurut saya luput dari kejelian editor dalam memeriksa tanda baca. Covernya menurut saya juga kurang menyatu dengan tema cerita yang lucu-lucu. Ilustrasi di dalamnya saya suka, tapi beberapa ditempatkan sebelum hal yang digambarkan itu terjadi sehingga sayang sekali malah jadi spoiler. Overall, njancuki!
Berhasil bikin saya ngakak berkali-kali, tapi juga ngilu plus gemas saat baca cerpen Tuhan Tidak Makan Ikan. Gaya menulisnya memikat hati saya. Aww. Resensi selengkapnya bisa dibaca di https://kimfricung.blogspot.co.id/201...
Judul: Tuhan Tidak Makan Ikan. Penulis: Gunawan Tri Atmodjo. Penerbit: Diva Press. ** Salah satu hal yang menarik dari membaca sastra adalah kemampuan para penulis menyampaikan sebuah humor jenaka yang membungkus ironi kenyataan hidup. Singkatnya, terkadang cerita yang disampaikan bertujuan untuk menertawakan kesedihan atau tragedi hidup sendiri. Salah satu yang sukses memperlihatkan cerita humor satir adalah Gunawan Tri Atmodjo. Penulis asli Solo ini, yang baru saya kenal, ternyata punya 21 cerita pendek yang cerdas menyindir masalah sosial sehari-hari. . Sedari membaca judul bukunya saja sudah membuat saya penasaran: Tuhan Tidak Makan Ikan. Siapa coba yang kepikiran kalo Tuhan suka makan ikan? Kalo suka, ikan apa ya? Atau Tuhan hanya makan sayur-sayuran? Pun di dalamnya banyak juga judul-judul yang bikin pembaca ngikik sungguh-sungguh, kayak: "Riwayat Sempak" dan "Cabe-cabean Berkalung Tasbih". . Tapi, cerita-cerita di dalam buku ini kadang butuh digali lebih dalam untuk dapetin di mana sih lucunya? Nah, untuk itu penting banget baca kata pengantar yang ada di bagian awal buku. Lumayan untuk ngasih pencerahan supaya pembaca bisa komen "Ooh ini toh maksud sindirannya" hahaha. Tapi, ada beberapa juga yang lucu secara eksplisit, seperti dalam cerita "Ceker Ayam" yang mempertanyakan apakah ceker itu tangan ayam atau kaki ayam? Kalau itu kaki, kenapa ayam kalo garuk-garuk pake ceker? Berarti ceker itu tangan dong? Kalo ceker itu tangan, berarti ayam adalah hewan sirkus paling hebat karena bisa terus-terusan berdiri pake tangan! . Selain cerita-cerita konyol, ada juga yang memperlihatkan ironi cukup dalam, seperti di cerita "Imam Ketiga", tokoh yang bernama Sanusi sangat berambisi untuk menjadi imam di mesjid kampungnya, sampai Ia menjadi arogan dan sombong. Pada akhirnya, ketika ada kesempatan menjadi imam shalat Jumat, Sanusi malah lupa beberapa ayat dari surat yang sudah seringkali dibaca. Atau di lain cerita berjudul "Paloma", seorang istri yang setia membabi buta pada suaminya walaupun sang suami setiap hari membawa perempuan lain ke rumah mereka untuk diajak bermesraan. Ya, ironi hidup yang amat sangat dekat dengan kehidupan sosial memang menjadi inti dari semua tulisan Gunawan. . Saya sangat menikmati tiap ceritanya. Semua narasinya sederhana tapi ngena di hati, bahkan beberapa kalimat bisa dikutip untuk dipasang di beberapa sosmed milik pembaca, seperti "Kebahagiaan itu seperti sempak yang kamu pakai. Orang lain hanya bisa menebak model dan warnanya. Tapi hanya kamu, Tuhan, dan kekasih ganasmu yang mengetahui wujud aslinya", nah, walaupun kesannya vulgar dan norak, tapi setuju kan dengan kutipan tadi? Hahaha. Yaa siapa tau pada bosen sama kutipan Tere Liye yang banyak puitisnya, bisa coba baca buku ini untuk mengutip humor satirnya Gunawan. ***
Cukup lama untuk menyelesaikan baca kumcer yang ini, berbeda dari kumcer Gunawan Tri Atmodjo sebelumnya, Dongeng dari Sebelah Telinga. Maklum saja, buku sebelumnya saya diminta mereview sekaligus menjadi blog host giveaway hehehe... Tapi memang sih, yang ketika membaca buku satu ini, saya sedang sibuk ini dan itu. Jadi, yah butuh berminggu-minggu untuk menyelesaikan kumcer ini. Ahzeeekkk...
Buku ini dibuka dengan kata pengantar dari sastrawan Triyanto Triwikromo, tapi karena saya sudah punya stigma kurang suka dengan nama itu, jadi, ya skip saja bagian pengantarnya. Takutnya, saya sudah siap ngikik dengan kisah-kisah di dalam kumcer ini, tapi baca tulisan dari Triyanto malah bikin saya pusing :D
Ada 23 cerpen dalam buku ini. Dibuka dengan Cara Mati yang Tidak Baik bagi Revolusi sudah membuat saya merinding kesenangan dengan ending yang bikin ngakak. Umbel oh umbel... Istri Pengarang juga sangat menghibur dengan latar belakang seorang penulis dengan tulisan menyerempet eue. Saya jadi berpikir beberapa kali jika nanti saya jadi membuka semacam mini library di rumah, untuk memasang buku ini di rak atau tidak. Dan topik 17+ tidak hanya di satu cerita itu saja. Legenda Sepasang Pria dan Riwayat Sempak bikin saya geleng-geleng akan ide liar penulis. Sayangnya membuat saya kurang nyaman. Dua yang lainnya mungkin sedikit berhubungan, atau paling tidak diambil dari ide yang sama, Tentang Prawiro Oetomo dan Palonthen dan Cabe-cabean Berkalung Tasbih.
Cerpen yang menjadi judul buku ini justru menurut saya kurang menggigit, sama seperti kumcer Dongeng dari Sebelah Telinga. Judulnya memang sangat menjual, sayangnya saya kurang menikmati kisahnya. Dari sekian puluh cerpennya, saya justru menikmati Sliciminguk, Imam Ketiga, dan Kalender, Undangan Nikah dan Puisi. Dari ketiga cerpen itu, saya yakin itu bisa jadi pengalaman pribadi si penulis karena Sliciminguk dan Kalender blablabla itu berlatar belakang tentang kepenulisan. Seorang penulis pasti sedikit banyak menulis tentang dirinya sendiri.
Secara keseluruhan, saya masih sangat menikmati cerpen-cerpen karya Gunawan Tri Atmodjo, dan masih mau untuk menikmati karyanya yang lain.
Buku yang berisi 21 cerita pendek dan 90% lucuuuu! Cerita pertama je dah buat aku terkekek kekek. Mana datang idea seorang pejuang revolusi akhirnya mati tergelincir sebab terpijak hingus sendiri.
Ceritanya agak bercampur campur tapi sekitar kehidupan seharian. Ada tentang lelaki yang berangan menjadi imam masjid sampai iri dengan imam imam senior. Akhirnya mengumpat di dalam hati sampai akhirnya insaf sebab imam senior tu mati dalam sujud solatnya.
Kesemua ending setiap cerita ada elemen surprise nya. Contoh, ada seorang lelaki yang amat mencintai isterinya. Dia pergi jumpa bomoh untuk lihat masa depan. Masa jumpa bomoh, dia lihat dalam air yang dia dah tak bersama isteri dia lagi lalu dia bunuh bomoh tu sebab takut ramalan tu jadi kenyataan. Endingnya rupanya isteridia buat plastic surgery kat Singapore and perempuan dalam air yang dia tengok di rumah bomoh tu memang isteri dia.
Topik setiap juga agak random, ada cerita tentang kekasih yang hobi nya tukar tukar spender. Ada sepasang kekasih yang memilih cinta over membaca, tapi bila dah hujung memilih membaca sebab dah impoten. Lol.
Lastly, cerita di tajuk buku yang membuatkan aku beli buku ni di kedai si wawa di Blok M, Jakarta. Tuhan tidak makan ikan. Cerita ini sahaja yang tidak ada lucunya. Tentang anak kecil yang melihat kesusahan ayahnya menghidupi keluarga dengan pendapatan sebagai nelayan. Akhirnya setelah mendapat jalan keluar dari kemiskinan, ayahnya pula percaya benda tahyul dan akhirnya kena tipu. Cerita diakhiri dengan pertanyaan anak kecil tu ke ayahnya, apa Tuhan tidak makan ikan ya?
Boleh cari lagi koleksi cerita Gunawan ni. Aku approved.
3,5 BINTANG Salah satu resolusi membaca ku tahun ini adalah lebih banyak membaca buku dari pengarang lokal. Tuhan Tidak Makan Ikan adalah buku dengan pengarang Indonesia pertama yang aku baca tahun ini. Rasanya cukup menyenangkan membaca buku yang kental dengan budaya dan Adat orang Indonesia setelah sebulan penuh dijejali buku berbahasa Inggris.
Kembali ke review : Tuhan tidak makan Ikan merupakan kumpulan cerita pendek yang segar, menggelitik, mengkeritik, dan sarat akan pesan. Aku pribadi, lebih menganggap buku ini karya sastra ketimbang kumpulan cerpen ringan. Setiap Kata terangkai dengan unik, meskipun cerita nya merupakan kehidupan sehari2, namun karena gaya bercerita nya menarik, membuat tidak bisa berenti membaca. Beberapa judul favorite ku dari buku ini adalah: Cara Mati yang Tidak Baik untuk Revolusi, Istri Pengarang, Tuhan Tidak Makan Ikan, dan anak jaranan.
Ngomong-ngomong, Karena kebanyakan tokoh dalam cerita adalah sook yang begitu dekat dengan dunia sastra, setelah membaca buku ini, rasanya ingin Baca lebih banyak karya sastra pengarang dalam negri seperti karya Bapak Sapardi Djoko Damono.
Saya mengagumi kosakata-kosakata yang Gunawan pilih. Beberapa di antaranya sungguh di luar dugaan, dan berani. Yang paling menarik adalah kata sempak dalam cerita berjudul “Riwayat Sempak”. Siapa sangka Gunawan bisa meracik kisah tentang sepasang sejoli yang bertukar sempak?
“Kebahagiaan itu seperti sempak yang kamu pakai. Orang lain hanya bisa menebak-nebak model dan warnanya. Tetapi hanya kamu, Tuhan, dan kekasih ganasmu yang mengetahui wujud aslinya.” tulis Gunawan.
Orang lain akan mengasosiasikan kebahagiaan dengan angin, langit, pelangi, dan hal yang enak didengar. Namun Gunawan tidak demikian. Kebahagiaan disejajarkan dengan sempak. Betapa jenaka dan tentu saja satire.
Sempat jeda membaca buku ini sampai sebelum bab Tuhan Tidak Makan Ikan. Menariknya, Triyanto dalam kata pengantarnya menyebut bahwa bab itu ibarat gara-gara yang menjadi selingan suluk dalam "pementasan" cerita Gunawan (penulis). Pantas saja cerita separuh kedua terasa berbeda—makin liar humor maupun ironinya, haha.
Sepakat dengan pesan kurator; membaca tiga cerita saja bisa memancing tawa "ha ha ha"—bukan "awokwowk"—yang tulus tapi sarat perenungan.
Tapi seriusan, kalau memutuskan baca, nggak perlu (bahkan jangan) punya ekspektasi apa-apa. Nikmati perjalanannya dan semoga kalian suka dengan pengalamannya 😃
Saya membaca buku ini setelah Pelisaurus sekitaran tahun lalu. Dibandingkan Pelisaurus, buku ini terkesan lebih "halus" humor dan sindirannya. Juga cerpen-cerpen di buku ini tak seragam kualitasnya. Beberapa cukup mengena, seperti Riwayat Sempak dan Anak Jaranan --yang lagi-lagi memunculkan si tokoh Trijoko-- tapi sebagian tak terlalu jelas resolusinya (atau saya lah yang tak menangkap "halus"nya humor yang tersaji)
Saya jatuh cinta banget sama buku ini. Meskipun sudah diterbitkan 2 tahun yang lalu, tapi menurut saya novel ini masih sesuai untuk dibaca saat ini. Buat kamu yang suntuk, bosan dengan kefanaan hidup ini, high recommended buku ini.
Penulis menulis buku ini dengan gayanya yang khas. Apalagi cerita-cerita di dalamnya bikin kamu terhibur, ngakak, nyebelin bahkan pingin banting hape 😂
Seperti yang kubilang dan kuyakini; Mas Gun akan selalu membuat pengalaman menyenangkan bagi pembaca karya-karyanya. Mas Gun seperti mengingatkan kalau dunia ini emang cuma tempat bersenda gurau. heuheu
Kalau lagi pengin ketawa ngakak, baca buku ini. Juga kalau lagi pengin menyusuri makna-makna tersirat dalam kehidupan sehari-hari, baca buku ini. Tentu juga buku Mas Gun yang lain…
Satire terbalut humor. Realistis dengan analogi modern. Judul-judul jenaka yang menyajikan ironi: Slimicinguk; Imam Ketiga; Cabe-cabean Berkalung Tasbih; Anak Jaranan; Riwayat Sempak berhasil menghadirkan gelak tawa juga perenungan. Satu lagi kumpulan cerita pendek yang saya suka. ❤
Kumpulan cerpen yang ringan namun menimbulkan berbagai kekagetan, entah karena kemampuan penulisnya menggiring pembaca ke plot twist di akhir cerita maupun caranya menyentil isu sosial dengan cara jenaka. Senang membaca kisah-kisah di sini, semacam penyegaran mental tanpa membodohi pembacanya.
Kumpulan Cerpennya nendang! Menyenangkan untuk dibaca, mengenyangkan setelah usai membacanya. Penulisnya punya kadar usil yang di atas rata-rata tanpa mengorbankan kedalaman cerita. Sungguh paduan kualitas yang langka.
Ironi, satire, & kemuraman hidup dikemas dengan ketebalan imajinasi yang sendu tetapi humor. Sumpah ketawa terus bacanya, lumayan ngilangin kepenatan realitas.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Kumpulan cerpen yang lucu, mudah di pahami, di bagian akhir setiap cerita selalu di suguhkan dengan hal yang unik dan tidak tertebak. Dibagian mana yang paling favorit? semua !!
Lebih nakal dari AS Laksana, lebih nyinyir dari Eka Kurniawan. Sepintas seperti bahan-bahan yang disukai Yusi Pareanom. Kumpulan cerita yang menyegarkan, after tastenya bikin nyengir.
Lumayan lucu. Lucu-lucu yang satir. Tapi setelah membaca sepuluh cerpen pertama kusudah capek. Model cerpennya ya rata-rata sama. Cerpen favorit..... yang mana ya??
Lebih suka kumcer Gunawan yang Sundari Keranjingan Puisi dibanding yang ini, walaupun yang ini tidak jelek juga. Masih dengan gaya yang senafas dengan Sundari Keranjingan Puisi, tapi entah kenapa seingat saya cerpen-cerpen yang ada di Sundari Keranjingan Puisi lebih panjang dan runut penceritaannya, ditambah tema-tema ceritanya juga yang lebih asyik. Cerpen-cerpen di Tuhan Tidak Makan Ikan rasa-rasanya terlalu singkat dan kurang menohok, walaupun tetap seru juga cerita dan temanya. Tapi ya ini pendapat saya saja, berdasarkan ingatan dan kesan personal yang tidak terlalu bisa diandalkan.