Kau mengalir seperti air sungai, dari sebuah mata air, menuruni bukit, masuk ke selokan, bergabung dengan aliran yang lebih besar, menjadi banjir yang mematikan––dan mungkin juga menyuburkan––menderu sampai ke muara, tanpa pernah melihat ke belakang, tanpa pernah mengingat mata air yang menjadi titik awalmu.
Seperti ketika terdampar di lautan dengan hanya ditemani sebatang kayu, Jimmy pun merasakan kehidupannya terombang-ambing. Apa yang dia yakini saat masih kecil berbenturan dengan kenyataan yang dia lihat, dengar, dan rasakan sepanjang tumbuh dewasa. Membuatnya bak bulir air yang mencari jati diri di tengah lautan yang menyesatkan.
Sampai suatu ketika dia menemukan angin dan arus yang menggerakkan gelombang dalam kehidupannya pada sosok atasannya––Lembayung, Pemimpin Redaksi Harian Express yang juga mantan aktivis yang pernah diculik dan disiksa penguasa.
Lalu peristiwa itu terjadi. Dua pengeroyokan berbeda yang menimpa Jimmy dan seorang bapak yang hanya ingin membelikan sepatu baru untuk anaknya. Membuat angin bersilir kian lesat, menciptakan pusaran amuk yang menyeret segala hal di sekelilingnya ke dalam kisarannya.
Zaky Yamani was born in Bandung City, July 27th 1978. He worked as a journalist and editor for the Pikiran Rakyat daily from 2002 until 2016. He graduated with an MA in Journalism from Ateneo de Manila University assisted by a scholarship from the Konrad Adenauer Asian Center for Journalism (2006 - 2008). Zaky also writes fiction, in the form of novels and short-stories.
Books published include Johnny Mushroom and Other Stories (2011), Thirst in the Water Field (2012), Coffee-bitter Comedy (2013), Bandar: Family, Blood, and Inherited Sins (2014), and Running Amok (2016). All of his books were written in Indonesian language
In 2008, Zaky received the Developing Asia Journalism Award in Tokyo, Japan, for his investigative report about water in Bandung City. Then in 2009 he received the Adiwarta Award (Indonesia’s journalism award) for his investigative reports on Indonesia’s foreign debts. In 2010 he received a Mochtar Lubis Fellowship to write about water. The book was published with the title Thirst in Water Fields. Again in 2012 he received the Adiwarta Award for his in-depth article about graffiti.
His first novel, Bandar: Family, Blood and Inherited Sins, was long-listed for the 2014’s Kusala Sastra Khatulistiwa (a national award for fictional works in Indonesia). In 2015 he was invited to the Ubud Writers and Readers Festival in Bali. Zaky will publish a collection of novelletes titled Kepada Assad Aku Menitip Diri (To Assad I Entrusted Myself) in 2017.
Zaky is also working on a new novel, a historical romance with fifteenth century Indonesia and Portugal as background. For this novel, Zaky joined the residency program organized by National Book Committee. He will be conducting research in Portugal.
Sebagai seorang pembaca yang jarang nemu novel lokal bertema politik di masa sekarang ini (atau emang akunya yang kudet), ya beginilah perasaan aku pas baca buku ini:
Seru! Itu singkatnya. Aku jadi bertanya-tanya apakah ini beneran kejadian di dunia nyata. Tapi sedikit banyak kasus di sini mengingatkanku sama kasus Cicak versus Buaya, kasus Kancil dan banyak kasus lainnya yang sempat heboh di media. Dan aku yakin konflik awal soal pelecehan seksual yang di angkutan umum pun memang benar pernah terjadi di dunia nyata. Yah, kasihan aja sih Pak Mahmud yang nasibnya apes banget. Niatnya mau ambil uang recehan di saku malah dikira melakukan pelecehan seksual sama cewek disebelahnya. Sial!
Lewat buku ini, kita bisa tahu gambaran sekilas kehidupan di dunia kepolisian, jurnalistik, politik dan bisnis. Bagaimana sistem kerja mereka dan borok-borok apa saja yang mereka lakukan dibalik sikap sok idealis mereka dan dampak dari pilihan mereka untuk bersikap idealis. Termasuk kelakuan mereka orang-perorangan dalam bekerja. Semoga apa yang diceritain di buku ini bukan omong-kosong belaka. Meski aku berharap untuk beberapa bagian yang bikin geleng-geleng kepala karena sebel itu nggak bener. Ya iyalah! Jadi sampai kapan negeri Indonesia ini akan membaik?!
Tokoh di buku ini banyak banget, tapi kayaknya yang jadi tokoh utama sih si Jimmy karena dia yang paling banyak diceritain. Penulis juga banyak menciptakan kebetulan dalam buku ini. Tapi ya gapapa lah karena temanya politik jadi ya seru-seru aja haha. Intinya, buku ini ingin menunjukkan konflik kepentingan di antara tokoh-tokohnya. Betapa manusia itu sesungguhnya hidup untuk membayar utang terhadap satu sama lain dan mencari tempat yang aman untuk dirinya sendiri. Egois, ya kan? Di akhir buku, udah cukup jelas nasib semua tokohnya. Cuma sayang nasib Pak Mahmud gak diceritain di akhir buku. Tapi please, semoga lelaki buta yang dipukul preman itu bukan beliau... Kasihan banget kan... T_T
Dan karena aku suka sama ceritanya (meski di awal agak garing), maka aku kasih novel ini 4 bintang. Mungkin berlebihan jika melihat rating yang lainnya. Tapi yah, suka-suka aku, kan? :P
"Di dunia ini hanya ada satu hal yang diikhlaskan orang untuk dibuang, dan tak akan pernah diingat lagi: hajat!"
Merupakan novel yang mengusung tema perpaduan antara asmara dan politik, yang entah bagaimana saling mengikat dan mengerat. Bercerita tentang imbas panjang atas kejadian "salah tangkap" atas tuduhan pelecehan seksual yang tak berbukti terhadap salah satu wartawan koran Harian Express bernama Jimmy dan sahabatnya Doddy serta seorang buruh pabrik bernama Mahmud oleh beberapa anggota polisi yang diluar dugaan mengusik dan mengancam posisi para petinggi yang punya kepentingan terselubung. Disisi lain, skandal asmara turut menambah semrawutnya penyelesaian perkara, ada skandal antara Jimmy si wartawan dengan Lembayung yang notabene merupakan atasannya. Kemudian hubungan antara Lembayung dengan kekasih gelapnya David yang merupakan anggota polisi. Ditambah lagi hubungan antara Jimmy dengan Christina seorang janda muda beranak satu putri dari anggota DPR bernama Sujatmoko, seorang politikus korup yang sudah lama menjadi incaran petinggi polisi.
Cerita berjalan dengan sangat kompleks, setiap tokoh diberikan porsi yang cukup bahkan beberapa tokoh cukup berlebih, sehingga bisa didapati sudut pandang yang lebih beragam dan kompleks. Meskipun pada akhirnya ada hal yg kemudian sy sayangkan, yaitu perihal kisah pembuka yang menurut sy kuat dan menarik untuk diberikan penyelesaian yang sepatutnya yaitu tentang kisah Mahmud si buruh pabrik. Karena ditengah cerita kisahnya seperti dipaksa dihilangkan dan ditenggelamkan oleh penulis,esensi pembuka yang kuat tentang kisah Mahmud menjadi sia-sia belaka. Sy menunggu kelanjutan kisahnya di sepanjang cerita, namun yang sy temukan adalah kemelut asmara para tokoh dan politik antara koran Harian Express dan para pejabat kepolisian yang beberapa kali membuat mual karena sikap dan tingkahnya yang menjijikan.
Pada akhirnya, dalam hidup kita tidak akan pernah bisa lepas dari pola struktural yang suka tidak suka akan terus membersamai proses perjalanannya. Saling kait dan mengikat meskipun tanpa sepakat. Setiap irisannya saling bersinggungan, penuh pertaruhan, negosiasi dan adu keberuntungan. Selamat berjuang, semoga bertahan 🙏
Premis awal novel ini sangat menjanjikan. Tiga laki-laki yang jadi korban salah tangkap polisi. Dari sana, permasalahan menjadi pelik dan merembet ke mana-mana.
Menurutku ide utama novel ini keren, tapi penceritaannya terlalu melebar. Sederhananya, di novel ini, semua-semua diceritain. Padahal kan nggak semua hal harus diceritain, terutama yang nggak menyumbang apa-apa ke plot dan karakter (contoh: kisah cinta Doddy, kisah cinta Brahmaji). Banyak tokoh yang diceritakan dalam porsi besar di awal terus hilang gitu aja (contoh: itu Pak Mahmud gimana akhirnya? Bisa beliin sepatu anaknya nggak? Padahal kisah Pak Mahmud ini diceritakan dengan sangat bombastis di awal). Terus, porsi Jimmy dengan Lembayung yang disebut-sebut di blurb itu malah terasa kecil menurutku.
Jimmy sebagai tokoh utama, terlihat berusaha digambarkan sebagai lelaki problematik dan lovable. Tapi aku cuma dapat bagian problematiknya, lovable-nya enggak. Aku malah merasa Jimmy nih "ditimang-timang" oleh plot. Kayak gampang aja gitu penyelesaian masalahnya (dan nggak diselesaikan oleh dua tokoh utama sendiri pula -_-). Di saat koran tempat dia bekerja disatronin polisi, di saat reporternya diancam-ancam tapi tetap lanjut nulis, Jimmy malah sibuk ena-ena di Bali. Huft. Aku jadi bertanya-tanya, setelah melempar masalah di awal, terus sumbangsih Jimmy ini apa dalam konflik dan penyelesaiannya?
Tapi aku jadi berpikir, mungkin tujuan novel ini bukan ke situ. Bukan perkara siapa dan bagaimana tokoh utama menyelesaikan masalah, melainkan gimana satu masalah bisa merembet ke mana-mana (sebagaimana judulnya: Pusaran Amuk).
Di awal hingga pertengahan aku lumayan enjoy bacanya. Plotnya nih lumayan cepet dan seru diikuti. Bagian awal-awal, ngenesnya juga terasa. Aku lumayan terkesan dengan penciptaan karakter yang abu-abu. Semua tokoh di sini punya sisi gelap dan terang masing-masing, nggak ada yang malaikat banget ataupun setan banget. Hal lain yang aku suka adalah gambaran tentang hierarki dan sistem dalam polisi yang begitu ... ah, sudahlah. Bikin aku ikut-ikutan bingung wkwk btw, aku malah lebih suka tokoh Widiyanto, yang meskipun jahat, tapi karakternya abu-abunya ini sangat kuat.
Dan yang paling bikin ilfil itu endingnya. Atuhlah ... gak paham lagi aku sama mereka bertiga. Yah ... mungkin buku ini bukan seleraku. BTW, covernya bagus banget!
This entire review has been hidden because of spoilers.
Saya membaca buku ini dalam perjalanan kereta Jogja-Jakarta. Saya memang menyukai pilihan tema Zaky Yamani sejak buku Bandar, yang lebih spesifik pada bentuk-bentuk kekerasan manusia modern. Dan buku Pusaran Amuk mau tidak mau mengingatkan beberapa serial drama Korea soal kongkalilong antara media-penguasa-aparat. Ada Pinochio!
Dalam novel dikisahkanlah bahwa antara media-pengusaha-pejabat-aparat mereka saling menunggangi dan memanfaatkan. Di setiap pihak punya kartu as yang disimpan oleh lawan untuk dijadikan senjata untuk memeras. Jadilah kelindan sebuah kasus 'salah tangkap' oleh polisi kepaa Jimmy, Robby, dan Mahmud merembet pada kasus-kasus besar di atasnya.
Tapi, saya sendiri kurang sreg pada tokoh bernama Mahmud, yang mendadak menghilang di tengah,.Padahal dia bisa jadi kunci untuk mengorek humanisme dan menyayat-nyayat perasaan pembaca. Namun penulis lebih suka pada intrik-intrik politik di sebalik pemberitaan, yang memang mencekam.
Niatnya mau kasih 3 bintang sih, tapi karena ilfil sama endingnya jadi kasih 2 bintang. Sebenernya political thriller nya menarik dan berpotensi buat jadi seru, tapi terlalu banyak yang ingin dibahas, plot dan karakater yang juga tumpang tindih. konflik yang dipanjang-panjangkan dan banyak kebetulan-kebetulan ala sinetron dan drama ga penting yang lebay. But the good thing is temponya cepet jadi ya ga ngebosenin untuk dibaca dan ohiya, cover nya bagus!
Menceritakan tentang kasus salah tangkap seorang wartawan di Harian Express bernama Jimmy. Karena kasus itu menjadi pusaran yang menyeret banyak pihak dan membongkar banyak kasus lainnya.
Novel ini diceritakan dengan apik dan dramatis, terlebih bagian di mana Pak Mahmud yang ingin membelikan sepatu anaknya. Sayangnya semakin berjalannya cerita eksistensi Pak Mahmud hilang. Alurnya seru banget! Aku sampai bertanya-tanya ada kah kasus serupa di kehidupan nyata? Tapi kalau kasus salah tangkap pasti ada sih.
Banyak tokoh pembantu yang konfliknya nggak kalah besar dari tokoh utama, even setara menurutku. Tapi nggak mengurangi serunya jalan cerita. Banyaknya tokoh ini sebenarnya bikin susah diingat apalagi ternyata signifikan juga.
Bagian yang paling kusuka adalah saat anggota DPR RI membawa Kepala Instansi kepolisian ke pemilik Harian Express untuk berunding agar kasusnya berhenti. Seru aja gitu lihat orang punya kuasa ngobrol hahaha.
Buku ini menjelaskan secara singkat praktik suap, perselingkuhan, perebutan kekuasaan, kerasnya dunia pers, kotornya politik, penegak hukum yang culas, dan penyesalan.
Moment rizz lainnya waktu Rosid bertemu Lembayung. Geez aura alpha Lembayung keren banget. Sayangnya Lembayung [sebagian teks dihilangkan]
Part ending memuaskan, aku suka kutipan penulis yang bilang, "pemenangnya adalah pemain yang awalnya penonton."
This entire review has been hidden because of spoilers.
Penulisnya sukses membangun emosi pembaca untuk gak berhenti melahap tuntas buku ini. Ceritanya sederhana dan realistis. Kita dibawa menelusuri bagaimana manusia satu sama lain, tersambung dengan segala kepentingan.
Latar belakang si penulis sebagai penggiat dunia media, membuat tiap dialog ini benar-benar punya ruh yang kuat dan mendalam. Penulisnya saya kira begitu ulung dalam mengemas cerita ini jadi sangatt mengalir dan jauh dari kesan menggurui. Apalagi faktanya, novel ini punya banyak sekali tokoh, tapi ya karena si penulisnya cerdik meramu, itu sama sekali bukan masalah.
Yang disayangkan memang, tokoh Mahmud yang di awal diceritakan sangat detail, di bagian selanjutnya malah memudar dan menghilang.
"Menulis berita itu jangan semata demi kebanggaan atau heroisme pribadi. Menulis berita itu harus demi kebaikan semua pihak. Jangan menyeret orang yang tidak memiliki kemampuan untuk membela diri ke dalam situasi yang akan menyerang mereka." -Hal. 266-
"Banyak sekali tokoh di novel ini, karakternya penuh kemunafikan dan saling terhubung satu sama lain. Ceritanya realistis nian bagi masyarakat Indonesia. Bobroknya sistem pada beberapa instansi & perusahaan karena egoisitas oknum jadi sorotan utama. Saling tumbuk-menumbuk, lindung-melindungi dan kongkalikong buat gambaran jelas betapa 'indahnya negeri ini'. Wah, aku semakin tercekat melihat fenomena yang ada. Oh iya, penulis juga begitu ulung dalam mengemas cerita hingga jauh dari kesan menggurui."
Berawal dari praduga, berlanjut salah tangkap dan berakhir dengan kisruh kepentingan yang dipolitisir. Sebuah premis menarik, namun gagal tereksekusi dengan baik.
Alurnya merembes kemana-mana, seolah hilang fokus dari pangkal ide awalnya, termasuk dengan melodrama percintaan picisan yang tidak memiki kontribusi signifikan terhadap aspek tematis cerita. Diniatkan liar (dengan kata "persetubuhan" yang mungkin ribuan kali dituliskan), tapi malah terkesan cengeng dan ditutup pula dengan klimaks yang sepertinya terinspirasi Ayat-ayat Cinta.
Karakter dengan basis cerita yang paling menarik malah terpinggirkan dan lantas menghilang tanpa jejak. Sementara kita tidak terlalu peduli dengan karakter lain, karena tidak disajikan secara bernas.
Baru baca novel yang menceritakan intrik kotor sebuah kekuasaan yang kebetulan terjadi di Indonesia. Meskipun fiksi tapi alur cerita, latar dan eksekusinya khas dilakukan secara nyata.
Kongkalikong, perjanjian jahat, konspirasi antar para pejabat tinggi rupanya memang mengerikan dan tak terbayangkan di mata rakyat jelata.
Ada satu plothole yang penasaran; si Mahmud bagaimana kabarnya? Sampai akhir cerita tetap tidak diungkap dan mungkin ini kekurangannya. Seandainya Mahmud diceritakan dengan detail, mungkin jadi bintang lima.
Awalnya aku jujur aja bosen sama ritme bukunya yang terlalu lambat dan alurnya monoton (maju mundur dengan flashback terus) tapi di tengah-tengah buku, pace-nya lumayan dan ceritanya juga oke. Bukan tipe buku favoritku, tapi lumayan ringan sih kalo buat bacaan sekali duduk.
Aku kurang suka sama gaya dialog dan cara penulisnya menggambarkan latar ceritanya. Menurutku terlalu kaku dan kurang sesuai sama seleraku aja sih. Overall dari segi storyline aku rasa udah lumayan, karakternya pun punya background yang cukup beragam dan kuat. Sayang, endingnya seperti dipaksakan dan closed.
Tema yang sangat menyengat dan jarang diangkat ke dalam novel yang, ya...katakanlah sastra. Riset yang baik, menjadikan novel ini tidak gagap dalam menampilkan peristiwa demi peristiwa. Humor hitam cukup baik. Hanya terasa cerita tidak bulat, ada ruang-ruang yang masih belum terisi, kadang-kadang dialog terasa tidak nyata. Secara keseluruhan, tidak ada draf novel Kereta Semar Lembu, kalau tidak ada novel ini.....
Menarik sekali buku ini. Sebuah cerita yang akan membawa emosi kita diaduk-aduk dengan liar. Intrik-intrik di lembaga kepolisian dan dunia pers diulik dengan apik oleh penulisnya.
"Pusaran Amuk", sesuai dengan judulnya, sebuah kejadian sepele yang merembet kemana-mana. Seperti sebuah bola yang begitu liar, setiap pemain ingin menendang, menggiring, atau menangkapnya.
Asik, menarik.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Sukaaa banget dengan banyaknya POV yang ada dalam cerita ini, bikin novel ini terasa beda dari yang lain. Isu isu sosial apalagi tentang kepolisian korup juga bikin aku tambah suka
Abis baca ini aku males jadi jurnalis Banyak dark side ttg jurnalis sama isilop Mahmud ditampilin di sini Jimmy mulu ihh padahal yang masuk blurb Mahmud
This entire review has been hidden because of spoilers.
Buku kedua Zaky Yamani yang saya baca ini menyoroti pertemuan 3 titik kekuasaan besar: media, politik, dan hukum. Peristiwa salah tangkap menjadi satu pemantik, membuka jalinan rapi yang menyembunyikan carut-marutnya sistem keadilan di negeri ini. Sejujurnya cukup kaget mengetahui bahwa ini ditulis oleh orang yang sama dengan "Kereta Semar Lembu". Komposisinya mungkin senada, konflik terbangun konsisten naik, dan mereda sampai ending. Tapi dibandingkan dengan "Kereta Semar Lembu" ini terasa begitu 1 dimensi.
Sampai konflik mencapai klimaks, cerita masih terasa kuat dan berbobot. Tapi lumayan kaget saat kisah memasuki penyelesaian. Hawanya sungguh sangat 'sinetron'. Semua jalinan kerumitan dan konflik tiba-tiba berakhir sangat dramatis. Solusi seperti dijatuhkan dari langit dan semua karakter yang di awal berjibaku cukup kompleks dan natural dengan kehidupannya sendiri-sendiri mendadak begitu sederhana mengurai simpul-simpulnya. Sungguh, masih tidak percaya awal yang begitu bernas berubah seperti soap opera. Feel free to disagree.
A quick, fun and fast-paced read. Somehow, it just didn't meet my expectations.
The so-called political thriller genre is very engaging. I learned a lot from this novel; it gives a rough overview on 'dirty' jobs done by the police in Indonesia but sadly, it quickly diverted from the main gist of the story. One of the characters was somewhat 'gone' too. There was no further development with his plans after having been released from wrongful arrests conducted by the police, it just ended there. This was disappointing as he could've offered a much more distinguished perspective under such circumstance.
Oh, and I just can't with the romance. It was too much.
diawali dengan kisah yang bagus, berujung kecewa dengan akhirnya. tokoh mahmud yang muncul diawal tiba-tiba menghilang tanpa diketahui bagaimana akhir dari cerita hidupnya yang memilukan. secara keseluruhan tema yang diambil sangat menarik, perihal lika-liku yang penuh kekuasaan dan uang dalam dunia politik, sayangnya akhir dari buku ini kurang memuaskan