Basa-basi sesungguhnya cuma ungkapan rasa, ala kadarnya, tak terlalu penting untuk diperhatikan, biarkan seadanya, silakan lewat begitu saja. Sesama orang Bali, basa basi adalah tata krama, sumber kebahagiaan, sejumput kewajiban, yang dijadikan ekspresi luapan rasa saling memperhatikan dan saling memiliki. Dalam industri turisme, basa basi Bali menjadi sesuatu yang sangat berharga, milik bersama, sopan santun yang amat dibutuhkan. Basa-basi Bali kemudian bergerak cepat menjadi mesin uang, sumber kemakmuran duniawi. Karena itu ia harus diurus, agar setiap saat berbiak gesit mendatangkan untung bertumpuk tumpuk.
Review nya ntar nyusul aja deh ya. Namanya juga baru mau baca. Tapi yang jelas Bali itu sebuah nama berkonotasi seni dan kebudayaan keseharian yang khas. Paduan warna warni apa aja. makanya terkenal keseantero dunia.
Wow, membaca ini lagi setelah membacanya pertama kali sekitar enam-tujuh tahun lalu (di Goodreads sih aku daftarin di tahun 2016). Rasanya jelas berbeda. Dulu, ketika SMA, aku cenderung menganggap esai-esai Pak Gde seperti sesuatu yang "Wah iya banget!" "Hmm ya juga ya?". Namun, setelah tujuh belas tahun berlalu semenjak buku ini diterbitkan (dan tentu usianya lebih dari itu sebab ini adalah kumpulan tulisan Pak Gde yang diterbitkan di media massa), aku tentu jadi banyak bertanya, "Lho masa iya?" "Hmm kayaknya nggak gitu deh?". Yaiyalah, zaman berubah, manusia juga turut berkembang membentuk dan dibentuk oleh konteks yang melingkupinya.
Ada banyak inkonsistensi dari bagaimana Pak Gde memandang karakter manusia-manusia Bali. Kadang mereka ditampilkan sebagai kaum yang manutan, kadang pemarah, kadang tanggap pada kaum pendatang, kadang begitu benci pada orang luar Bali. Tetapi tidak apa-apa juga sih, dari sini bisa terlihat bahwa manusia, entah Bali atau dimanapun, adalah makhluk yang kompleks. Nggak bisa tuh, manusia cuma punya satu atribut atau karakter aja. Manusia Bali nggak selalu berarti paham seni dan tidak suka berfilsafat. Ada juga kok, mereka yang menggemari hal yang sebaliknya. Itu sebabnya selain inkonsisten, beberapa esai Pak Gde cenderung menggeneralisir, bahkan memberi stereotip untuk manusia Bali.
Di luar itu, harus kuakui aku senang membaca tulisan-tulisan ini. Seperti mendengarkan kisah masa lalu dari seorang paman yang memperhatikan Bali dengan jeli. Lebih-lebih lagi, tentu tulisan tentang Bali yang ditulis oleh orang Bali sendiri akan terasa berbeda.
Dulu Pak Gde meledekku ketika tahu aku ingin kuliah filsafat karena ingin terus menulis. "Ya, kita lihat saja nanti, selama dan setelah kuliah, apakah kamu bisa bertahan menulis atau hanya 'masturbasi' saja," ujarnya dengan tawa. Sejujurnya, perkenalanku dengan tulisan-tulisan kritisnyalah yang memantikku untuk terus belajar menggunakan segala indraku dengan jeli dan tajam. Tulisannya yang membuatku yakin bahwa manusia Bali juga bisa menuliskan kisah diri dan tanah kelahirannya.
Seusai corona pergi, semoga kita bisa bersua lagi ya, Pak Gde. Hingga waktu itu tiba, semoga aku bisa membuktikan bahwa ledekanmu itu tidak (sepenuhnya) benar.
I found this to be a really comprehensive introduction on WHAT Photoshop can do and HOW to do it. The keyword is "comprehensive." It was well organized with lots of photographic examples. I'd love to see a much more advanced book by the same author to function as a companion to this one.
Because I was told this is a really handy book. And it does have some excellent bits to it. But I've rather come to the conclusion that there's really too much information for non-professional like me.