Jump to ratings and reviews
Rate this book

Bound

Rate this book
Does free will truly exist? Does man truly exist?

Okky Madasari explores the seminal questions of mankind and humanity in her latest novel.

A struggle arises between the two main characters, Sasana and Jaka Wani, in the search for freedom from all restraints - from those of the mind and body, to restraints imposed by tradition and family, society and religion, to economic domination and the shackles of authority.

273 pages, Paperback

First published May 1, 2013

136 people are currently reading
1344 people want to read

About the author

Okky Madasari

23 books440 followers
Okky Madasari is an Indonesian novelist. She is well-known for her social criticism with her fiction highlighting social issues, such as injustice and discrimination, and above all, about humanity. In academic field, her main interest is on literature, censorship and freedom of expression, and sociology of knowledge.

Since 2010 Okky has published 10 books, comprising of five novels, one short-story collection, three children’s novels and one non-fiction book. Her newest book (2019) is Genealogi Sastra Indonesia: Kapitalisme, Islam dan Sastra Perlawanan or “Genealogy of Indonesian Literature: Capitalism, Islam and Critical Literature”, which is published online and can be freely downloaded from her website www.okkymadasari.net. Okky’s novels have been translated into English, Germany and Arabic.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
476 (28%)
4 stars
730 (43%)
3 stars
386 (23%)
2 stars
64 (3%)
1 star
11 (<1%)
Displaying 1 - 30 of 355 reviews
Profile Image for mollusskka.
250 reviews160 followers
September 12, 2016
"Tak ada jiwa yang bermasalah. Yang bermasalah adalah hal-hal yang ada di luar jiwa itu."


Pasung Jiwa adalah perkenalan pertamaku dengan karya Okky Madasari dan aku sukaaaaaa banget. Habis temanya keren banget dan menambah pengetahuan juga. Dan aku yakin isu-isu yang diangkat dalam novel ini pasti sudah melalui riset yang gak main-main. Ya masa sih berani-beraninya ngomongin polisi, jenderal dan FPI dengan cuma mengandalkan imajinasi dan asumsi?

Tokoh sentral dalam novel ini adalah Sasana/Sasa dan Cak Jek/Jaka Wani/Jaka Baru. Sasana digambarkan sebagai seorang berjiwa perempuan yang terkungkung dalam tubuh lelaki. Dia lahir dari keluarga berada dan terpandang yang senantiasa mempersiapkan Sasana untuk menjadi seorang yang membanggakan kedua orangtuanya. Sementara Cak Jek digambarkan sebagai seorang lelaki yang pandai bicara model motivator/provokator gitu. Masa kecilnya sih gak diceritakan. Tapi kayaknya dia datang dari keluarga kelas bawah. Berdua mereka dipertemukan di sebuah warung kopi milik Cak Man dan di sinilah awal perjalanan mereka dalam menemukan kebebasan jiwa mereka, yaitu melalui mengamen. Sebuah perjalanan yang tak hanya berisikan tawa, tapi juga dipenuhi luka. Dari mulai luka fisik sampai luka batin.

Aku suka cara Okky menuliskan ceritanya dari sudut pandang Sasana dan Cak Jek secara bergantian. Dan aura yang keluar dari setiap rangkaian kata yang kubaca memang berbeda. Terasa seperti hal tersebut memang diungkapkan oleh Sasana atau Cak Jek sendiri. Kadang aku ikutan ketawa setiap Sasa ngomongin betapa bangganya dia karena banyak orang yang mengagumi goyangannya. Atau merasa ngeri ketika Cak Wani melihat darah hasil aborsi. Singkatnya, kerenlah. Belum lagi settingnya tempatnya nyata, gak pake inisial-inisialan. Ras juga disebutin secara terang-terangan di sini.

Isu yang diangkat di buku ini seputar Orde Baru, ketenagakerjaan, pelacuran, laskar agama dan proses keadilan yang masih pandang bulu. Untuk beberapa isu gak begitu mendalam, tapi setidaknya sekarang aku jadi tahu kenapa FPI bisa begitu bebas menlancarkan aksinya. Haha, ternyata direstui sama polisi juga, to. Mereka dapat orderan dari polisi juga. Huh! Polisi gak mau tangannya kotor nih kayaknya.

Eh, sebenernya Okky gak secara gamblang menyebut FPI, sih. Tapi ya kayaknya udah jadi rahasia umum juga soal siapa yang suka razia bar dan menyerang sebuah aliran sesat hingga membabi buta seperti disebutkan di buku ini. Adegan ini bikin mules, loh. Oh iya, terus ada adegan dewasanya juga dan dialog cabul juga sih, Jadi ya hati-hati aja kalo gak terbiasa.

Isu yang melekat dengan tokoh sentral tentu saja soal pencarian jati diri. Bagaimana pergulatan seorang Sasana dalam menerima sisi lain dirinya yang kemayu yang bernama Sasa dan reaksi keluarganya mengenai pilihannya. Dan aku tersentuh sekali sama pilihan ibu Sasa yang mau menerima keputusan anak sulungnya tersebut. Bahkan sampai dia memilih berpisah dengan suami dan anak perempuannya. Kasih ibu memang sepanjang masa. Kalau Cak Jek? Dia bergulat dengan menjadi apa dirinya, profesi apa dirinya, karena dia selalu mengoceh soal profesionalisme. Dan tentunya untuk memenuhi mimipinya membela pihak yang tertindas. Karena berulang kali lelaki ini selalu bertingkah bak pengecut.

Akhirnya? Cukup memuaskan aja sih karena bagiku kurang panjang dikit lagiiii aja. Kependekan. :(

Ada satu "keyakinan" Sasa yang begitu ironis dengan kondisi sesungguhnya kini:

"Pada hari ketika kami sama-sama meneriakkan kemenangan, aku meloncat-loncat kegirangan. Aku merasakan sebagai bagian kemenangan itu. Tubuhku bergoyang di tengah-tengah ribuan orang. Tak akan ada lagi ketakutan, tak akan ada lagi orang-orang berlagak preman. Tak akan ada lagi anak SMA sok jagoan yang berlindung di balik jabatan bapaknya. Tak ada lagi tentara yang bisa menyekap dan menyiksaku seenak mereka. Lebih dari itu, ini adalah kemenangan atas ketakutan. Ini adalah hari di mana impian akan kebebasan itu benar-benar datang."


Dan buku ini membuatku berpikiran bahwa jiwa kita selamanya akan tetap TERPASUNG, sebebas apa pun kita merasa. Kecuali ketika kita MATI.
Profile Image for Nana.
405 reviews27 followers
May 29, 2015
Walau tidak seekstrem kasus Sasa dan Jaka Wani, saya rasa setiap orang memiliki Pasung Jiwa-nya masing-masing. "Be Yourself" is such a bullshit. Siapa coba yang bebas menerapkan "Be Yourself" kalau setiap hari berhadapan dengan orang-orang sekitar yang siap menilai kita? Siapa juga yang berani menerapkan "Be Yourself" dengan resiko dikucilkan atau dianggap gila?

Ini novel Okky Madasari ketiga yang saya baca setelah Maryam dan 86, tapi menurut saya novel ini yang terkaya dari segi isi. Selain membahas mengenai kebebasan mengekspresikan diri--yang bisa sangat dekat dengan pembaca, Okky Madasari juga membalutnya dengan isu-isu sosial seperti perburuhan dan juga kekerasan berkedok agama, dengan latar belakang reformasi 1998-1999.

Btw, saya kasihan sama Sasa, tapi sama sekali nggak simpati sama Jaka Wani. Jaka Wani pengecut. Huh!

Profile Image for Darnia.
769 reviews113 followers
February 22, 2016
3.5/5 bintang

While we are free to choose our actions,
we are not free to choose the consequences of it
(Stephen R. Covey)


Quote di atas sudah menggambarkan keseluruhan isi buku ini. Kebebasan yg diinginkan Sasana, yg sejak orok sudah diperdengarkan musik klasik, untuk menekuni lagu dangdut, namun terhalang keinginan dan gengsi orang tua. Kebebasan yg diinginkan Jaka Wani, buruh pengelap layar televisi, untuk kembali menghidupkan jiwanya yg dilumpuhkan oleh rutinitas. Keinginan yg digambarkan sangat indah. Namun, apakah kebebasan itu gratis dan tanpa syarat? Okky Madasari memberikan gambaran ketidakadilan dunia (terutama negara ini, pada masa itu) terhadap kebebasan.

Seperti buku sebelumnya (yg gw baca) Entrok Okky Madasari kembali menghadirkan karya yg padat. Buku ini adalah buku pertama Okky, sehingga menurut gw, Entrok lebih unggul. Tapi, tema yg diangkat masih sama, nggak jauh-jauh dari ketidakadilan. Banyak kejadian yg "disenggol" Okky di sini (meski nggak terlalu vulgar menyampaikannya), seperti kasus Marsini (pelesetan nama Marsinah sepertinya), kemudian lengsernya Presiden Soeharto (yg ini hanya sekilas aja), Laskar Tuhan (kayaknya sih nyindir FPI) dan yg terakhir Ahmadiyah (yg ini disamarkan). Menurut gw ya...bisa aja yg lain pendapatnya beda, Okky dalam buku ini secara halus memberikan gambaran hitam putih terhadap suatu peristiwa. Gak pake area abu-abu, sepertinya Okky menggiring pembacanya untuk melihat bahwa si A ini jahat, si B ini baik, dengan berbagai alasan yg ada. Di situ saya kadang merasa sed...eh, di situ gw agak enggak setuju. Tapi memang itu hak penulis. Jadi, bintang gw untuk buku ini murni untuk gaya penulisan dan plot yg mengalir lancar bak arus sungai brantas saat musim hujan, meskipun gw gak 100% setuju dengan opini Okky terhadap peristiwa-peristiwa yg diangkat.

Despite of all, I think her message is clear:

"Sulit bagi seseorang untuk menciptakan hidup dan kebebasan mereka sendiri (Chris Cornell), namun menjadi diri sendiri pada dunia yang menuntut kita menjadi orang lain adalah prestasi yang luar biasa (Ralph Waldo Emerson)"

Terima kasih iJak atas peminjaman bukunya
Profile Image for Crowdstroia Crowdstroia.
Author 11 books649 followers
February 10, 2017
premis idenya gila banget.

it's... i really like the life's questions in here. Tiap tokoh kayak merepresentasikan pertanyaan2. tapi, idk apa ini cuma aku aja, aku merasa tiap abis baca novel-novel yang menang lomba Dewan Kesenian Jakarta itu meski premisnya gila dengan pertanyaan terkait kebatinan manusia dan isu sosial yang mendalam, aku merasa kosong setelah bacanya. Ini cerita dewasa, ada adegan penyiksaan yang bikin aku mual pas bacanya. This book is a page turner bcs aku juga penasaran jawaban atas pertanyaan2 hidup para tokoh itu apa. Gak ngerti lagi gimana cara ngungkapin apa yg kurasain pas baca cerita ini.
Profile Image for Silvia Iskandar.
Author 7 books29 followers
October 17, 2013
3.5

Saya gagal connect dengan tokoh Sasa di awal2, kenapa ya, dia kok kayaknya agak susah dipercaya. Pada wkt dia gila, dia masih sempat berdialog2 susah tingkat tinggi tentang kebebasan jiwa dll, kayaknya, bikin ragu, apa masih sanggup dia mikir pas dlm keadaan begitu. Menurut saya ini agak risky, mengambil sudut pandang org gila, krn well..kita gak pernah gila dan gak pernah tahu sebenernya org gila mikirnya gimana.

Satu buku yg pernah saya baca ttg org gila dan kesimpulannya percissss bgt sama buku ini tentang, sebenernya siapa sih yg gila, apa org gila itu yg gila atau org2 yg memaksa dan me-label org2 ini gila-lah yg gila, itu di buku Gabriel Garcia Marquez, Of Love and Other Demons. Ini cerita ttg anak perempuan rabies gila yg diasuh dan diperhatikan sama priest atau penjaganya..aduh sorry deh udah lama banget bacanya, tapi dia jg sampai pada titik pemikiran spt itu dan pada saat itu buatku sangat amat mengejutkan krn aku disadarkan. Iya ya..yg gila tuh sebenernya siapa ya? Lah org2 gila itu lebi bahagia kok hidupnya dr kita?

Bedanya dg novel Pasung Jiwa, di Of Love and Other Demons yg membawakan narasi ini org waras, jadi saya bisa lebih connect, krn saya bukan org 'gila' (menurut saya sih..hahaa)

Sebaliknya bagian Jaka saya sukaaaaaaaaaa bgt sama dialog dia dengan si pelacur, bebas apanya? Toh kamu juga masih jadi budak uang, sementara Jaka budak pabrik. Jangan sok bilang bebas lah, kalau kamu melacurkan diri demi uang.

Saya juga sukaaa banget bagian Sasa tinggal berdua sama ibunya dan berdialog macam2, so beautiful ya...anak dan ibu yg terpisah oleh tembok tata krama dunia bisa saling buka2an ngomongnya. Trenyuh.

Nah, tapi kemudian saya bingung juga, ini Sasa gampang amat dari gila bisa jadi waras lagi..kok gak ada trauma2nya sama sekali?

Saya juga setuju dengan review lain yg bilang terlalu banyak yg mau disampaikan. Agak penuh-nuh juga sih, walau saya gak terganggu dan itu bukan deciding factor saya dalam memberi review.

Menurut saya bagian penggambaran Sasa agak cheesy. Kurang elegan. Bagian awal2, aku begini, aku begitu. Kalau yg saya suka penggambaran dr point pertama itu buku Water for Elephants

Page 9
They part for me, these old ladies. These are the vital ones, the ones who can either move on their own steam or have friend to wheel them around. These old girls still have their marbles, and they're good to me. I'm a rarity here. An old man among a sea of widows whose hearts still ache for their lost men.
"Oh here," clucks Hazel. "Let's give Jacob a look"

Page10
My ticker lurches so hard I clutch a fist to my chest."Jacob!Oh Jacob!" cries Hazel. "Oh dear!"Oh dear!" Her hands flutter in confusion and she turns toward the hall "Nurse! Nurse! Hurry! It's Mr Jankowski!"

Page17
Age is a terrible thief. Just when you're getting the hang of life, it knocks your legs out from under you and stoops your back. It makes you ache and muddles your head and silently spread cancer throughout your spouse. Metastatic, the doctor said. A matter of weeks or months. But my darling was as frail as a bird. She died nine days later. After sixty one years together, she simply clutched my hand and exhaled.

Sepanjang cerita dr awal gak pernah ada kalimat, My name is Jacob Jankwoski and I live in nuersery home, and I lost my wife to cancer. Gak! Gak ada! Can you see how elegant it is? Semuanya kita dapat dr membaca deskripsi tidak langsung ini.

Saya suka sama temanya Pasung Jiwa, jadi udah pasti 3 bintang dong.
Ragu2 kasih 4, krn saya gagal connect sama Sasa di bagian2 tertentu.
Gak bisa kasih bintang 5 karena gak ada hal baru yg saya pelajari spt di Entrok (bahwa wanita2 dibayar pake ubi) atau di 68 (kehidupan di penjara).

Tapi saya seneng banget Okky kembali menaburkan bahasa Jawa di mana2, tidak spt Maryam yg gersang, Pasung Jiwa rasanya spt bumbu ketoprak...gurih!

Biarlah kalau buku2 Okky diterjemahkan ke Inggris, bahasa2 Jawa itu tetap tidak diterjemahkan dan jadi se-terkenal Mon Ami, Mon cherie atau Tres bien-nya Hercule Poirot. Biarlah org luar negeri juga belajar kata2 spt "sakpenake udele" hehehe...that was my fave!

Profile Image for Askell.
81 reviews68 followers
February 13, 2019
Buat saya, struktur metafisikal yang dibangun oleh penulis sedari halaman awal hingga akhir dan penyandingannya dengan kata "bebas" adalah ide yang "berbahaya". Karena, bila di kepala orang-orang kata bebas berarti lepas, maka jiwa yang dilukiskan oleh penulis sebagai "diri yang sejati" bila ingin bebas berarti mesti terpisah dari tubuh yang menjadi belenggu (baca; mati). Inilah contoh yang terjadi dengan karakter Banua dalam buku ini, yang menganggap dirinya bebas ketika dia bunuh diri.

Memang di bagian-bagian akhir ada sedikit pencerahan, menjadi bebas artinya menerima belenggu-belenggu kita, karena menjadi manusia artinya kita hidup dalam lingkungan yang terbatas, dan menjadi bebas artinya menerima keterbatasan kita, menerima hidup kita, seperti kesimpulan akhir yang dipahami oleh Sasa. Namun, tetap saja, kesan bahwa "diri yang sejati" adalah jiwa dan tubuh hanya merupakan belenggu atau tempat numpang jiwa begitu kuat terbangun dalam buku ini. Sasa misalnya, digambarkan seperti seolah perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki-laki. Sungguh pelukisan yang buat saya delusional. Bila ingin memberontak dengan belenggu-belenggu (seperti comot ide Camus) maka berontaklah dengan total, tidak perlu pake "pola" gender yang dibentuk oleh masyarakat, jadikan Sasa "genderless". Dia unik dengan kediriannya sendiri, lebih tepatnya Sasa adalah "seorang manusia yang memiliki penis namun berjiwa feminin", itu lebih cocok. Sekalipun Sasa memang menolak dioperasi, tapi kebebasan yang digambarkan dalam buku ini begitu melempem. Bebas artinya penerimaan total atas hidup, berserah diri, amor fati kalau kata Nietzsche, begitukan yang berusaha dikatakan penulis, ini semestinya bisa ditulis dengan lebih baik.

Lebih dari itu, saya suka semuanya. Topik dan isu yang luas, mulai dari keindividuan manusia hingga kehidupan bermasyarkat dan bernegara. Kesemua pakem dibongkar, masyarakat ditelanjangi hingga yang tersisa hanya kemunafikan. Good point! satu yang begitu baik dilukiskan, yaitu mereka yang disebut "gila" atau tidak waras sesungguhnya adalah mereka yang terlalu sadar (seperti yang dikatakan Dostoyevsky) hingga mereka mampu melihat kebobrokan dalam kehidupan masyarakat, sesuatu yang tidak mampu dilihat oleh mereka yang kita sebut "manusia normal".
Profile Image for raafi.
926 reviews448 followers
July 27, 2020
Ini buku bikin mikir terutama tentang makna kebebasan. Di akhir, kupikir akan berakhir tragis tapi malah bikin meringis. Semoga Sasa dan Jaka betul-betul menemukan kebebasan mereka. Entah akan dibuat ulasan lengkap atau tidak. Intinya, ini kisah yang bagus dan begitu dekat. Karya pertama pengarang yang kubaca.
Profile Image for Zahro.
162 reviews2 followers
August 31, 2025
Gak bisa membela siapa-siapa. Gila.

“Tak ada yang bisa melarang apa yang kami lakukan. Tak ada yang bisa mengatur apa yang harus kami lakukan. Ini hidup kami. Ini kebebasan kami.”
Profile Image for Septian Hung.
Author 1 book9 followers
October 9, 2016
Buku ini saya peroleh dari obral buku yang diselenggarakan Gramedia di pusat perbelanjaan Teras Kota, BSD City. Saya juga cuma perlu merogoh kocek sebanyak Rp 20.000,- untuk buku yang pada akhirnya memukau saya dengan segenap keberanian dan kekritisan penulisnya dalam mengangkat tema seputar kebobrokan sosial yang sebetulnya selalu ada di sekitar kita. Saya merasa keberanian dan kekritisan semacam inilah yang sepertinya telah membawa sang penulis menjadi pemenang Khatulistiwa Literary Award di Tahun 2012 silam.

Buku ini mengenakan sudut pandang orang pertama, dengan dua tokoh sentral yakni Sasana dan Jaka Wani, yang diceritakan dengan kehidupan masing-masing meski di titik-titik tertentu mereka sempat bersinggungan sebelum kemudian dipersatukan kembali di penghujung kisah dengan konflik utama yang berkutat seputar pertanyaan ontologis mengenai kebebasan itu sendiri. Sasana yang merasa terperangkap dalam tubuh dan pikirannya, dengan Jaka wani yang merasa dirinya bagai mesin pabrik sampai ia memperoleh kebebasan semu dengan menjadi pemimpin Laskar Malang yang tanpa diduga malah semakin menjerumuskannya ke dalam pola pikir yang keliru. Kebebasan yang didamba-damba dengan kekuasaan yang sewenang-wenang kini menjadi lamur hingga menyesatkan pikiran sang Jaka Wani.

Saya sangat mengapresiasi sang penulis yang memaparkan dengan apa adanya serta tanpa tedeng aling-aling rasa takut terhadap pihak-pihak tertentu bagaimana pola pikir yang keliru mengenai agama atau Tuhan sekalipun, mampu membuat seorang manusia bertindak tidak manusiawi terhadap sesamanya. Tindakan tidak manusiawi ini semata-mata hanya berdasar pada keyakinan buta atau kepercayaan bahwa ia telah melakukan kebenaran mutlak dengan membela sesuatu yang sebetulnya tak perlu dibela-bela. Bagaimana manusia-manusia dengan pola pikir yang keliru telah menjelma biang dari kemunafikan.

Selain itu, sang penulis juga peka terhadap kasus-kasus ketidakadilan yang kerap menimpa mereka yang mencari nafkah sebagai buruh pabrik. Dimana di buku ini dikisahkan seorang buruh yang hanya ingin meminta haknya untuk naik upah sesuai ketetapan peraturan negara tetapi pada akhirnya malah dibasmi dan dilenyapkan entah ke mana. Unsur totalitarian begitu kentara dalam kasus ini. Siapa membangkang, ia binasa. Siapa menantang, ia musnah.

Saya pribadi turut prihatin dengan kisah ini sebagaimana kisah tersebut juga nyata-nyata ada dalam realitas kita. Namun lagi-lagi, ketidakadilan semacam ini hanya akan meruap ke udara bersama angin lalu karena manusia memang sudah sangat piawai menyembunyikan borok dan hanya senang mencari aman untuk dirinya sendiri.

Meski epilog dari buku ini kurang memuaskan karena menurut saya kurang gereget dan seperti dipaksakan untuk selesai, lima bintang tetaplah pantas untuk buku fiksi yang berani mengusung tema kritik sosial seperti ini. Saya menikmati membacanya, dan saya pun berpikir untuk segera membaca buku-buku lain karya sang penulis, yang kelihatannya juga akan mengupas mengenai kritik-kritik sosial yang lain.
Profile Image for Sadam Faisal.
125 reviews19 followers
April 3, 2017
Konflik batin yang berkepanjangan, emosi naik turun, benturan kepentingan. Ah gila lah ini.

Kejadian Sasa di akhir2 mirip sama apa yang lagi kejadian di Ibukota
Profile Image for Biondy.
Author 9 books234 followers
July 26, 2013
Ketidakwarasan yang Waras

Judul: Pasung Jiwa
Penulis: Okky Madasari
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 328 halaman
Terbitan: Mei 2013

Apakah kehendak bebas benar-benar ada?
Apakah manusia bebas benar-benar ada?

Okky Madasari mengemukakan pertanyaan-pertanyaan besar dari manusia dan kemanusiaan dalam novel ini.

Melalui dua tokoh utama, Sasana dan Jaka Wani, dihadirkan pergulatan manusia dalam mencari kebebasan dan melepaskan diri dari segala kungkungan. Mulai dari kungkungan tubuh dan pikiran, kungkungan tradisi dan keluarga, kungkungan norma dan agama, hingga dominasi ekonomi dan belenggu kekuasaan.

Review
Rating sebenarnya sih 4,5 bintang. Saya rasa Goodreads ini harus mulai mempertimbangkan penggunaan sistem setengah bintang pada sistem penilaiannya. Biar orang-orang yang galau karena suatu buku itu bagus banget, tapi juga gak sampai "it was amazing", bisa kasih bintang di antara 4 dan 5.

"Pasung Jiwa" bercerita tentang Sasana, seorang anak laki-laki yang merasa dirinya selalu terkekang. Dimulai dari orang tua yang memaksanya untuk bermain piano klasik (padahal dia lebih suka dangdut), hingga preman-preman di sekolahnya yang membuatnya babak belur tapi tidak dapat dihukum karena mereka anak pejabat.

Rasa terkekang itu terus dia bawa hingga dia dewasa dan berkuliah di Malang. Di sana dia bertemu dengan Cak Jek, seorang seniman jalanan (alias pengamen), yang menyadarkan dirinya akan Sasa, sisi feminin yang bersembunyi dalam dirinya selama ini.

Ya, saudara-saudari. Buku ini mengangkat tema transeksual. Kalau Anda perhatikan baik-baik kover buku ini, Anda pasti akan sadar kalau wanita yang jadi model sampul memiliki jakun.

Sasa dan Cak Jek serta Memed dan Leman, dua anak jalanan yang bergabung dengan mereka, kemudian membentuk sebuah kelompok musik dangdut dengan Sasa sebagai biduanitanya. Kehidupan mereka berjalan dengan cukup baik, sampai mereka memutuskan untuk menolong Cak Man, pemilik warung tempat Sasa dan Cak Jek bertemu, yang anaknya menghilang setelah menuntut kenaikan gaji di tempatnya bekerja.

Sebuah usaha protes yang mendapat perlawanan membuat formasi mereka pecah. Sasa terpaksa pulang ke rumah orang tuanya, sementara Cak Jek berakhir sebagai seorang buruh pabrik di Batam, lalu akhirnya menjadi pelaut.

Di rumah orang tuanya, Sasa berusaha untuk menjadi Sasana. Dia memasung Sasa dan berusaha untuk hidup senormal mungkin. Senormal yang lingkungannya inginkan. Sayangnya hal ini membuatnya tertekan hingga mengalami gangguan jiwa. Rumah Sakit Jiwa pun menjadi rumah baru bagi Sasana.

Sampai sini saya mengacungkan dua jempol untuk novel ini. Kenapa? Karena saya merasa semuanya berjalan dengan sangat alami. Mulai dari Sasana yang menjadi Sasa, kenapa dia semakin merasa jauh dari orang tuanya, kenapa dia bisa gila, sampai ke apa yang dia pikirkan dalam kegilaannya itu terasa masuk akal. Yup, kegilaan yang masuk akal. Menarik.

Saya jadi teringat sama buku The Bell Jar yang mengangkat tema sama. Ketidakwarasan yang waras. Cuma, kalau boleh jujur, menurutku buku ini lebih menarik ketimbang "The Bell Jar".

Cerita kemudian berlanjut dengan Cak Jek, yang kini bernama Jaka Wani, yang bergabung dengan sebuah Laskar, sebuah ormas yang bersikap penuh kekerasan dengan mengatasnamakan Allah. Terdengar familiar? You bet.

Jaka Wani yang semula merasa tertekan akan dirinya sendiri yang pengecut dan miskin mulai menemukan "jati dirinya" pada Laskar. Jaka Wani yang sempat "belajar" pada Laskar di Jakarta, dielu-elukan ketika dia pulang ke Malang. Orang-orang Laskar Malang menjadikannya pemimpin karena dia dianggap paling "berpengalaman" karena telah berguru pada Laskar Jakarta. Jaka Wani yang semula bukan siapa-siapa, kini memiliki dukungan massa, uang, dan pengaruh politik.

Sampai sini kembali saya acungi dua jempol. Lagi-lagi runutannya terasa masuk akal. Oke, tidak juga sih. Saya merasa bagian ini sebenarnya agak terlalu "lebay" untuk Jaka Wani, tapi setidaknya saya masih bisa terima perubahan yang terjadi pada Jaka Wani.

Pada suatu hari Jaka Wani melakukan pembersihan acara dangdut porno. Dia menghancurkan acara itu dan menangkap si biduanita karena menganggapnya telah menistakan agama. Jaka Wani yang telah menguatkan imannya, dan berkali-kali berkata pada dirinya sendiri bahwa dia melakukan ini untuk Allah, pada akhirnya tetap goyah ketika melihat amarah pada diri si biduanita. Amarah pada diri Sasa. Apalagi Jaka Wani adalah orang yang membangkitkan Sasa pada diri Sasana. Dialah "ayah" dari Sasa.

Tunggu, tadi si Sasa alias Sasana kan di RSJ. Kok bisa ada di dangdutan? Pada salah satu episode, ada bagian ketika Sasa dan para orang gila kabur dari RSJ dengan bantuan salah seorang dokter. Kenapa si dokter membantu pelarian itu? Bagaimana Sasa bisa tiba-tiba jadi bintang dangdut? Bisa baca sendiri deh.

Lalu apa yang terjadi? Hng... Baca sendiri aja yah X3

Secara keseluruhan saya puas dengan buku ini. Cuma akhir ceritanya yang agak kurang greget buat saya dan membuat bintang buku ini turun setengah.

Membaca buku ini membuat saya ingin membaca karya Okky Madasari yang lainnya. Khususnya "Maryam" yang memenangkan Khatulistiwa Literature Award 2012.

Buku ini untuk tantangan:
- 2013 New Authors Reading Challenge
- 2013 Monthly Key Words Reading Challenge
Profile Image for Alexandra.
2,061 reviews122 followers
May 15, 2025
Ini adalah buku kedua yang aku baca dari penulis dan aku menyukainya. Walaupun tema utama tentang kebebasan disini juga dilengkapi dengan pembahasan tentang issue sosial politik, keadilan, dan kebebasan.

Melalui mata karakter Sasana yang transgender dan Jaka Wani yang lelah kalah dan memilih bergabung dalam golongan penindas, penulis mencoba eksplorasi tema kebebasan sejati. Bagaimana manusia bisa bertahan ditengah gempuran aturan dan norma sosial.
Gambaran kasusnya lebih dramatik dan hitam putih karena kedua POV dasarnya ada di pihak yang sama.

Buku ini tetap kuat dan menyentuh emosi walau membungungkan karena tidak fokus.

IPN RI
Profile Image for Anindyta.
168 reviews20 followers
December 3, 2017
Bingung mau menulis review seperti apa. Buku ini bercerita tentang Sasa dan Jaka Wani. Sasa dan Jaka Waninya kenapa ? Sasa dan Jaka Wani mencari kebebasan ? Sasa dan Jaka Wani mencari keadilan ? Sasa dan Jaka Wani mencari kebenaran ? Saya rasa semuanya dicari oleh Sasa dan Jaka Wani.

Saya mendapatkan Okky Madasari memiliki kemampuan menulis yang baik sekali. Pemilihan kata dan cara bercerita yang lugas terhadap berbagai macam karakter manusia di sini menunjukkan kalau Okky adalah penulis yang patut diperhitungkan. Namun, entah kenapa terlalu banyak hal – hal yang membuat saya bingung. Yang pertama, mungkin isu utama dari buku ini. Kalau dilihat dari bukunya, isu yang ditonjolkan adalah kebebasan. Namun, entah kenapa di dalam buku ini banyak hal – hal lainnya, misalnya kebenaran, keadilan, dan isu politik. Tentunya tidak salah untuk menuangkan semuanya ke dalam satu buku, tetapi saking banyaknya masalah dan isu yang ditunjukkan oleh penulis, malahan membuat buku ini kurang unsur nyatanya. Bayangkan, Sasa dan Jaka Wani harus menghadapi peristiwa bertubi - tubi yang menunjukkan isu - isu tersebut. Sedikit tampak mendramatisir menurut saya. Mungkin akan lebih baik bila buku ini fokus terhadap kebebasan, misalkan cerita Sasa yang ingin bebas dari kungkungan orang tua dan norma sosial yang sudah dikenalkan sejak awal novel ini dimulai.

Kedua, buku ini sarat dengan yang namanya opini. Kelihatan sekali bahwa penulis menggiring pembaca untuk melihat ini loh yang dirugikan, ini loh yang jahat. Tokoh ini yang selalu menjadi korban, dan lain sebagainya. Tidak salah, namun saya lebih suka bila tokoh Sasa dan Jaka Wani tidak dari sisi yang sama, sehingga pembaca bisa melihat bahwa dunia ini tidak hanya satu sisi saja. Capek juga melihat Sasa dan Jaka Wani yang selalu dirugikan dan “tertindas”. Membaca buku ini saya malah berpikir, jangan – jangan di dunia ini tidak ada orang yang baik.

Tetap, Okky Madasari meyakinkan saya bahwa beliau bisa bercerita. Saya tetap suka dengan tutur kata penulis. Saya tetap menikmatinya, walaupun buku ini sangat membingungkan dengan banyaknya isu yang dihadirkan. Ini juga merupakan buku yang mudah sekali diselesaikan saking lugasnya penulis dalam bercerita. Namun ada bagian yang sedikit tidak bisa saya nikmati saking banyaknya kata – kata vulgar yang dikeluarkan.
Profile Image for Nastiti.
Author 5 books5 followers
June 7, 2013
Sejak membaca novel Okky Madasari yang pertama, yaitu Entrok, saya sudah terpesona dengan gaya penceritaan Okky yang 'straight to the point' namun tetap mampu mengaduk-aduk emosi pembacanya. Pasung Jiwa kali ini tidak jauh berbeda. Mengangkat issue LGBT, Okky berusaha mengetengahkan konflik internal pada tokoh utama yaitu Sasana/Sasa dengan jernih. Plot yang rapi juga menjadi kekuatan novel ke-4 Okky ini.
Pengalaman membaca novel2 Okky sebelumnya, saya tidak berharap sama sekali untuk mendapatkan ending yang happy pada cerita ini. Mental sudah saya persiapkan untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan diletakkan sebagai penutup cerita. Dan ternyata...surprise! Endingnya bisa dibilang 'bitter sweet'.Tidak muram sama sekali. Sangat suka. Pemikiran-pemikiran jernih sang pengarang berhasil menempatkan dua orang tokoh utama meraih apa yang mereka inginkan selama ini. Tanpa terlihat diselamatkan begitu saja nasibnya oleh pengarang. Sukses buat Okky Madasari. Maju terus menyuarakan segala sesuatu yang terpendam di lorong paling gelap dari kehidupan manusia. Bravo!
Profile Image for htanzil.
379 reviews149 followers
July 3, 2013
da dua tokoh utama dalam novel ini yaitu Sasana (Sasa) dan Jaka (Cak Jak). Sasana terlahir sebagai seorang pria dari pasangan orang tua yang mapan. Walau kedua orang tuanya bukan pemusik mereka menginginkan Sasana untuk menjadi anak yang mahir dalam memainkan piano. Sejak dalam kandungan suara piano telah diperdengarkan untuknya, ketika memasuki usia sekolah seorang guru didatangkan untuk melatih kemampuan pianonya. Sasana memang akhirnya mahir bermain piano dan mendapat sejumlah penghargaan namun sebenarnya ia tidak menyukai bermain piano.

Aliah-alih mengembangkan bakatnya dalam berpiano Sasana lebih menyukai musik dangdut, tubuh dan jiwanya terasa bebas saat dia mendengar musik dangdut sambil bernyanyi dan meliuk-liukkan tubuhnya. Kesukaannya ini tentu saja dilarang oleh kedua orang tuanya. Karena ia tidak mau mengecewakan kedua orang tuanya, Sasana tetap menjadi anak yang patuh dan mengikuti kemauan orang tuanya walau jiwanya merasa terkurung.

Setelah lulus SMA Sasana melanjutkan kuliahnya di Malang, di sana ia berkenalan dengan Cak Jak (Jaka) di sebuah warung kopi. Cak Jak yang mahir bermain gitar dalam alunan lagu-lagu dangdut membuat Sasana betah nongkrong di warung kopi itu sampai akhirnya Sasana ikut menyanyi dan bergoyang.

Kemarihan Sasana bernyanyi dan bergoyang membuat Cak Jak mengajak Sasana untuk mengamen. Sasana yang seolah menemukan dunianya menerima ajakan Cak Jak, lambat laun ia mulai meninggalkan kuliah dan tempat kosnya dan menghilang dari jangkauan teman kuliah dan keluarganya di Jakarta.

Untuk membuat lebih menarik Cak Jak mendandani Sasana dengan pakaian wanita dan mereka mulai mengamen dan mentas dari satu panggung hajatan ke panggung hajatan lainnya. Dan semenjak itu Sasana merubah namanya menjadi Sasa. Ia menikmati perubahan penampilan dirinya dari seorang pria menjadi wanita sexy dengan goyangan mautnya. Dengan menjadi Sasa ia merasa nyaman dan bebas menjadi apa yang dia inginkan.

Petualangan Sasa dan Cak Jak membawa mereka pada berbagai perisiwa yang mungkin tidak pernah mereka duga, sebuah peristiwa membuat keduanya ditangkap polisi. Ketika ditangkap dan dipenjara sebagai seorang waria Sasa menerima perlakuan tidak seonoh, ia diperkosa dan dipaksa melayani nafsu bejat dari para tentara dan komandan yang menangkapnya. Sasa begitu terpukul sehingga ketika keluar dari penjara Sasa memutuskan untuk menata hidupnya dan kembali pada kedua orang tuanya.

Sayangnya kembalinya Sasa pada keluarganya tak berlangsung lama. Jiwanya terus menerus dibayangi rasa sakit dan terhina atas ulah bejat tantara-tentara yang menangkap dan memperkosanya sehingga akhirnya Sasa harus dirawat di rumah sakit gila. Sasa kembali terkukung, kali ini tidak hanya jiwanya saja melainkan secara fisik dia kembali terpenjara dalam rumah sakit jiwa dengan aturan-atruan yang harus ia patuhi

Bagaimana dengan Jaka (Cak Jak)? selepas dari penjara Cak Jak bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik elektronik, ketika dirinya mendapat perlakuan yang tidak adil oleh majikannya ia mengalang aksi mogok kerja sehingga dirinya dikejar-kejar aparat, melarikan diri hingga ke Jakarta dan akhirnya bergabung dalam sebuah laskar berjubah putih untuk ikut berjuang bagi Agama dan Tuhan.

Lewat kedua tokoh utama dalam novel ini Okky benar-benar hendak mengetengahkan sosok yang berjuang untuk memperoleh kebebasan sejati. Sasana atau Sasa adalah tokoh yang semenjak kecil merasa bahwa dirinya terperangkap dalam tubuh prianya dan dia harus melakukan apa yang sebenarnya tidak mau ia lakukan.

Sementara itu Jaka atau Cak Jak hidupnya selalu terbelenggu oleh kemiskinan, namun setelah ia mengatasi kemiskinannya ternyata itupun tidak membebaskannya karena jiwanya terus dihantui oleh masa lalunya dan keadaannya kelak yang berlawanan seratus delapan puluh derajat

Selain Sasa dan Jaka sebenarnya masih ada tokoh lain yang muncul yaitu seorang pelacur bernama Elis yang memilih menjadi pelacur kelas bawah daripada hidup terkukung bersama suaminya, dan Karlina yang dipecat sebagai buruh karena hamil padahal yang menghamilinya adalah mandornya sendiri. Lewat dialog-dialog antar tokoh maupun dialiog batin dari masing-masing tokohnya novel ini mencoba membangun kesadaran kita semua akan apa artinya kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan

Yang tidak kalah menarik adalah ketika Sasa berada di rumah sakit jiwa terjadi dialog tentang jiwa yang bermasalah dan kebebasan menarik antara Sasa dengan seorang psikiater yang saat itu sedang melakukan penelitian.

"Tak ada jiwa yang bermasalah, yang bermasalah adalah hal-hal yang ada di luar jiwa itu. Yang bermasalah itu kebiasaan, aturan, orang-orang yang mau menjaga tatanan. Kalian semua harus dikeluarkan dari lingkungan mereka, hanya karena kalian berbeda"
(hlm 146)

"Aku tak melihat ada masalah dalam jiwa-jiwa kalian. Orang-orang diluar kalianlah yang punya masalah. Menganggap kalian harus disingkirkan karena kalian merusak tatanan"

Tempat ini justru membunuh kalian," kata Marsita.
Bukankah di luar sana juga sama" tanyaku. "Di sini kami dikungkung teralis dan tembok-tembok tinggi. Di luar sana kami diikat oleh aturan dan moral.
"Setidaknya di luar sana kehendak bebas kalian bisa terus dihidupkan", jawabnya. "Di sini kehendak itu sengaja dimatikan. Agar kalian patuh, agar kalian tak berontak. Akhirnya, lihat hal yang dilakukan Banua dan Gembul. Mereka membunuh diri mereka sendiri. Sebab itu satu-satunya kehendak bebas yang masih bisa mereka ikuti"
(hlm 151)

Tidak hanya itu, lewat kisah para tokohnya novel ini dengan gamblang mengemukakan berbagai hal tentang ketidakadilan dan kekerasan yang dialami oleh orang-orang yang terpinggirkan baik yang dilakukan aparat negara maupun para laskar berjubah putih yang mengatasnamakan agama dan Tuhan.

Di novel ini terkisahkan bagaimana atas seizin aparat keamanan para laskar berjubah putih melakukan 'operasi' melawan kemaksiatan dengan cara kekerasan. Dengan berani Okky membeberkan bagaimana polisi memberikan daftar tempat-tempat mana yang boleh menjadi target operasi dan mana yang tidak. Terungkap juga bagaimana di akhir operasinya para laskar berjubah putih itu mabuk-mabukan dengan minuman keras yang mereka sita atau bagaimana mereka melampiaskan nafsu syahwat mereka setelah mereka melakukan operasi terhadap para waria. Selain itu terkisahkan juga sebuah tindakan keji seorang laskar yang dengan sadis mencincang tubuh seorang penganut aliran yang mereka anggap sesat.

Selain itu di novel ini juga Okky dengan cerdas menyelipkan kisah Marsinah seorang buruh yang berjuang melawan ketidakadilan namun harus membayar mahal perjuangannya dengan nyawanya sendiri. Semua yang terungkap dalam novel ini menggedor sisi kemanusiaan kita dan membuat kita gemas terhadap ketidakadilan dan tindak kekerasan yang dikisahkan novel ini.

Novel yang sarat dengan nuansa perlawanan terhadap ketidakadilan, kebebasan, dan kemanusiaan ini sangat baik untuk diapresiasi karena tema yang diangkat sangat relevan dengan keadaan kini dimana hingga kini masih banyak orang yang kehilangan kebebasan karena berbagai faktor seperti pandangan agama, sistem sosial, ekonomi, telebih politik.

Perjuangan orang-orang yang kehilangan kebebasan itu tercermin dalam karakter Sasa dan Jaka yang tereksplorasi dengan baik sehingga pembaca bisa ikut memahami pergulatan batin yang mereka rasakan. Kisah demi kisah yang dialami tokohya terangkai dengan baik tanpa mengada-ngada karena hampir semuanya merupakan pengisahan dari berbagai peristiwa yang pernah kita alami sebagai sebuah bangsa yang masih jatuh bangun dalam mengusung kebebasan dan keadilan ini.

Dari keseluruhan novel ini saya hanya menemukan satu ganjalan saja, yaitu bagaimana Banua, seorang pasien RS Jiwa melakukan bunuh diri.dengan cara menikam diri dengan pisau di dadanya. Saya rasa bunuh diri saya cara dengan menancapkan pisau ke dada adalah hal yang sulit dilakukan oleh orang awam karena membutuhkan tenaga ekstra dan lokasi yang tepat agar pisau itu menembus jantung dengan sempurna. Akan lebih wajar rasanya jika bunuh diri tersebut dilakukan dengan menggantung diri atau mengiris urat nadinya sendiri.

Terlepas dari itu dari jika saya bandingkan antara novel Okky sebelumnya yaitu antara Entrok dan Maryam (minus 86 karena saya belum membacanya) , maka saya berpendapat Pasung Jiwa adalah yang terbaik diantara dua novel sebelumnya.

Akhir kata, menngutip pendapat Okky mengenai tugasya sebagai penulis seperti yang terungkap di awal review ini bahwa ia "menulis untuk menegakkan keadilan bagi kemanusiaan" saya rasa Okky telah membuktikannya lewat novel ini dan novel-novel sebelumnya.

Okky telah menunaikan tugasnya sebagai seorang penulis, sekarang tinggal berpulang pada pembacanya, apakah setelah membaca karya-karya Okky kita tergerak untuk berjuang melawan ketidakadilan dan mengakkan kemanusiaan? Jika tidak, perjuangan Okky akan sia-sia dan karya-karyanya hanya akan menjadi sebuah monumen yang tersimpan dengan baik di rak buku kita masing-masing.

@htanzil
Profile Image for putreads_.
43 reviews3 followers
June 29, 2023
Cerita menarik, kalau aku nggak baca ini mungkin aku gabakal mengerti dengan apa yg dirasakan orang-orang diluar sana, mereka yg bekerja untuk mencari kesenangan dan kebebasan, jg perjuangan mendapatkan pundi-pundi uang untuk menghidupi kehidupan.

Mungkin sebagian dari cerita ini ada yang nggak aku pahami kecuali aku merasakannya sendiri. Tapi pergelutan batin Sasana ketika hadirnya Sasa. Dan Jaka wani menjadi Cak Jek setelah mengenal Sasa kemudian lahir Jaka baru ketika ia merasa lemah dan butuh kuasa. Perasaan amarah, sedih, haru semua bercampur aduk menjadi satu hingga aku nggak tahu apa yang aku rasakan sekarang, kecuali gregetan kenapa endingnya begitu wkwkwk
____
Oh ya aku ingin bahas ini secara singkat aja, di blurb buku ini, ada dua pertanyaan dari semua pertanyaan yg melahirkan cerita Pasung Jiwa, yaitu.
1. Apakah kehendak bebas benar-benar ada?
2. Apakah manusia bebas benar-benar ada?

Aku akan menjawab dengan apa yg aku peroleh dan aku pahami setelah membaca buku ini. Sebenarnya kehendak untuk bebas itu ada kok, manusia bebas itu sebenarnya jg ada. Tapi masalahnya kalau emng bnr2 hidup bebas itu apakah ada? buat aku pribadi itu nggak ada. Karena apa? sebebas-bebasnya kamu, kamu akan dianggap merusak.

Seperti kata Masita hl 151
"Orang-orang di luar kalian lah yang punya masalah. Menganggap kalian harus disingkirkan karena kalian merusak tatanan."

Sasana dan Cak Jek untuk memperoleh 'kebebasan' itu pun harus mati-matian di kejar rasa takut. Terutama dari manusia2 yg memang nggak memikirkan yg dirasakan oleh orang lain 😪

Aku berharap Cak Jek dan Sasa kedepannya terutama Cak Jek dan Sasa dalam dunia nyata, aku berdoa semoga mereka senang dalam hidupnya, bisa mensyukuri apa yang mereka peroleh, dikelilingi orang-orang baik tanpa merubah hati nurani yang mereka punya.
Profile Image for Stef.
590 reviews190 followers
July 3, 2020
Pertama kali baca buku nya mbak Okky, salut dengan berani mengangkat isu-isu yang sampai sekarang pun masih di anggap tabu di masyarakat sini, mulai dengan isu Transgender, Kekuasaan semena-mena orang 'Berseragam', Kesehatan jiwa, hak-hak pekerja yang di sepelekan sampai dengan isu premanitas dan kekerasan mengatasnamakan 'AGAMA'.

Selain itu, tema utama soal pencarian jati diri dan kebebasan diri meliputi raga dan jiwa, lumayan dapat sih pesen nya. Bagaimana penyampaian nya di ambil dari PoV Sasana / Sasa dan Jaka Wani. Dan plot cerita yang lumayan menaik-turun kan emosi pembaca.

Untuk bahasa nya sendiri dan cara penulisan nya lumayan oke, cuman agak bosen di bagian 'goyangan nya sasa' yang aku ngerasa kayak banyak pengulangan nya. Aku baca 2 versi buku ini. Versi asli nya bahasa indonesia dan yang di terjemahkan ke bahasa inggris. Kalau di suruh milih lebih prefer bahasa asli nya, banyak ngerasa lost in translation di terjemahan nya, mulai dari ngga feel dari bahasa daerah di translate ke inggrisnya.

Dan sayang nya ending nya kurang memuaskan, padahal berharap dengan klimaks menegangkan ending nya bakalan lebih tak terduga, malah berakhir datar-datar saja kurang gigit.

" Tak ada jiwa-jiwa yang bermasalah, yang bermasalah adalah hal-hal di luar jiwa itu."
Profile Image for Safara.
413 reviews69 followers
November 22, 2020
Memutuskan DNF aja akhirnya karena ternyata membaca versi translate menghilangkan kesaktian Mbak Okky di bukunya.

Plus ga sanggup baca penderitaannya Sasa berkali-kali. 😭
Profile Image for Pradnya Paramitha.
Author 19 books459 followers
July 3, 2013
Aaaaaaaaaaaaaaaaarrrgghhh!!!!!

begitu menyelesaikan buku ini, rasanya aku pengen teriak keras-keras. emosi yang diaduk-aduk sejak halaman pertama rasanya kayak meledak. pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Okky Madasari lewat tokoh-tokohnya seperti mewakili beberapa pertanyaanku yang nggak pernah terselesaikan. hiks.

Apa itu kebebasan? Adakah kebebasan? Apa itu yang waras dan yang tidak waras? Siapa yang menentukan apakah seseorang waras atau tidak waras? apa itu kebenaran? adakah kebenaran? ataukah yang ada hanya sesuatu yang dianggap benar dan dibenar-benarkan?

kira-kira pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang coba dibagi oleh penulis. bercerita melalui sudut pandang dua tokohnya yang nggak biasa: Sasana/Sasa dan Jaka Wani.

Sasana, pria yang merasa berjiwa perempuan dan terperangkap dalam tubuh laki-laki. tuntutan untuk bertingkah laku, berpenampilan, berpikir, dan mencintai secara laki-laki membelenggu seumur hidup Sasana.
Sedangkan Jaka Wani seorang seniman yang terbelenggu pada 'realitas' (atau yang sering kita anggap realitas) kehidupan yang membuat manusia menjadi mesin.

Sasana dan Jaka Wani seperti ditakdirkan bertemu. Jaka Wani lah yang melahirkan Sasa dari tubuh Sasana, tapi pada akhirnya Jaka Wani juga yang menghancurkan Sasa.

Duh, hidup ya, hidup. Kadang nggak masuk akalnya kebangetan. Dan buku ini membuat segalanya yang nggak masuk akal menjadi masuk akal. aku yang tadinya nggak pernah paham dengan pemikiran orang yg ngebunuh atas nama agama, sedikit banyak bisa ngira-ngira pikiran mereka setelah baca buku ini.

Pasung Jiwa ini buku penulis yang pertama kali aku baca. Katanya buku yang sebelumnya lebih bagus lagi.

buku ini berbicara tentang banyak hal. tentang LGBT, tentang kaum buruh, tentang seni, tetang tatanan sosial. penulis membawa pembaca masuk ke dalam pemikiran tokoh dengan gaya bahasanya yang sederhana tapi jleb banget. ide cerita ini cukup berat aku rasa. mengusung pemikiran-pemikiran filosofis. tapi dengan gaya penulisan yang mengalir, sederhana, bikin buku ini gampang banget diikuti.

salah satu yang agak mengganggu cuma dialog dalam kepala tokoh yang terkesan sering diulang-ulang. tapi nggak masalah sih. tetep asik dibaca.

ketika penulis membawa aku masuk ke dalam pikiran Sasana ketika sedang gila, aku ngerasa pikiran Sasana masuk akal-masuk akal saja. Aku seperti melihat kesinambungan dari setiap pemikiran Sasana yang gila. Aku merasa Sasana normal, karena aku bisa mengikuti cara berpikirnya yang disebut gila oleh masyarakat. etapi kalau begitu, apa berarti aku juga gila? nah loh.
Profile Image for Natasha Primaditta.
156 reviews25 followers
June 24, 2014
Saya belakangan membaca beberapa buku dengan tema kebebasan diri dan eksistensi, sangat berhubungan dengan tema yang diangkat oleh buku ini. Namun selama membaca buku ini tetapi, saya entah kenapa menjadi jengah.

Sasana dan Jaka Wani, tokoh sentral pada buku ini, mengalami pembebatan kebebasan hidup mereka oleh kungkungan hidup baik nyata maupun tidak nyata, oleh belenggu fisik dan juga jeratan ideologis. Saya menjadi jengah karena ikut terkungkung dengan kejadian yang menimpa mereka di buku ini. Karena ironisnya, keinginan Sasana dan Jaka Wani untuk terbebas dari semua belenggu yang ada di mata saya malah menjadi belenggu paling kuat dari semua yang tersirat.

Dalam buku ini banyak isu sosial yang diangkat, seperti bullying, prostitusi, kekerasan beragama, dan krisis identitas. Mungkin pernyataan saya sedikit bias karena daftar bacaan sastra Indonesia saya belum begitu luas, namun terangkatnya isu-isu ini menjadi angin baru untuk penyegaran minat saya membaca sastra Indonesia. Bagian yang saya sukai dalam buku ini adalah timeline Sasana, terutama interaksi antara Masita dan Sasana, karena mengupas lebih dalam tentang arti kebebasan dan eksistensi diri, serta distorsi yang dirasakan oleh Sasana.

Saya sendiri salut dengan Mbak Okky, sang penulis, karena semangatnya tampak tertuang di dalam buku ini, terlihat dengan gaya tulisan yang berapi-api dari awal hingga akhir. Walaupun saya tidak familiar dengan tulisannya (ini buku Mbak Okky yang pertama saya baca), membaca buku ini membuat saya ingin mengenal lebih lanjut karyanya yang lain.
Profile Image for Nadya Kurnia.
23 reviews3 followers
May 26, 2013
Ini buku ketiga Okky Madasari yang saya baca setelah 'Entrok' dan '86'. Seperti di ketiga buku sebelum 'Pasung Jiwa', Okky Madasari membahas isu sosial dalam novelnya. Kali ini dengan tema kebebasan dalam kisah LGBT. Gaya penceritaan Okky Madasari sangat baik, cara bertuturnya sangat ringkas, tidak bertele-tele, dan tepat sasaran. Narasi dan dialog pada novel keempatnya ini cukup baik. Mengapa saya bilang cukup baik? Karena dialog dan narasi pada novel ini tidak sebaik 'Entrok'. Well, menurut saya, sih. Namun secara keseluruhan, novel ini bagus. Sesuai dengan judulnya, novel ini berfokus mengenai topik kebebasan jiwa, kebebasan memilih, dan kebebasan untuk hidup sesuai dengan pilihan yang kita mau. Tanpa takut harus terinjak oleh norma kenormalan yang menjadi norma standar dalam masyarakat. Bravo, Mbak Okky! :)
Profile Image for Farah Fitria Sari.
228 reviews10 followers
February 6, 2017
Baca buku ini kek menghela nafas panjang-panjang setelah nahan lama. Wow.

Walaupun ada beberapa nilai yang kurang gue aminin, buku ini nawarin perspektif baru buat dipelajari; perspektif tentang gender fluidity, 'penyakit' jiwa, takdir buruh pabrik, oknum-oknum 'pembela' agama tertentu... sambil juga mempertanyakan batas antara keberanian dan kepecundangan atas nama kebebasan itu sendiri. Wow juga sih bisa nyampur semuanya jadi satu gitu.

Kek buku mb Okky yang 86, buku ini ngebuat gue setelah baca keluar dengan luka-luka yang kentara rasanya. Sakit. Kasihan. Kecewa (sama sistem). Ternyata ada orang yang hidup kek gini - dan mereka nggak jauh-jauh amat dari gue.

Kerenlah wkwkwk risetnya lama keknya. Worth it dibaca, apalagi buat orang-orang yang tinggal di negara cem Indonesia yang orang-orangnya masih jarang mau ngomongin hal-hal tabu.
Profile Image for Imas.
515 reviews1 follower
September 7, 2013
Kebebasan jiwa,nampak nya memang menjadi topik buku ini. Dengan tokoh utama Sasana dan Jaka, mereka berjuang mendapatkan kebebasan sesuai panggilan jiwa mereka.

Jika dibandingkan dengan novel-novel Okky sebelumnya, menurut saya Entrok dan 86 tetap lebih juara. Mungkin karena terlalu banyak cerita yang ingin disampaikan.Walaupun buku ini tetap bagus, tetap menarik. Sama seperti tiga buku sebelumnya,Okky tetap menyajikan masalah-masalah sosial dinegeri tercinta ini. Mulai dengan tragedi buruh wanita mirip kisah Marsinah, pemerkosaan terhadap tahanan oleh penegak hukum, sampai laskar-laskar berjanggut yang dilindungi bahkan dipelihara oleh penegak hukum.



Profile Image for Amal Bastian.
115 reviews4 followers
December 7, 2016
Ketika kebebasan bermanusia dan memanusiakan manusia masih menjadi hal langka di negeri ini. Meski rezim berubah, orde berganti, tapi seolah hanya sampul pemerintahan semata. Pasung pengekang kemerdekaan yang tertancap selama puluhan tahun tak serta merta hilang begitu saja. Mereka yang di atas, mereka yang berduit besar, tetap berperan sebagai pengontrol, penentu nasib, penindas bagi mereka yang beketerbatasan. Dan yang terbatas, entah sampai kapan, terus menggugat, kepada mereka, kepada Tuhannya, kapan mereka dapat menjadi manusia bebas? Tanpa harus meregang nyawa.
Profile Image for Qunny.
195 reviews9 followers
March 1, 2016
Saya suka sama penggambarannya. Kebebasan. Bagaimana kita bisa bebas, kalau orang-orang di sekeliling kita sendiri yang mengekang?

Dan itu yang saya impikan sejak dulu. Kebebasan. Yang akan saya raih entah kapan. Mungkin setelah saya cukup berani seperti tokoh-tokoh yang ada di sini.
Profile Image for Jefri S.
85 reviews2 followers
March 8, 2018
"Kebenaran ada ketika banyak orang yang mengatakannya. Keadilan diukur dari jumlah orang yang mendukung."
Profile Image for rawr.
155 reviews
November 9, 2024
no reason, i want to cry but i can't...
Profile Image for Nita.
5 reviews
October 10, 2014
One of the most overrated book I've read :(

1.5 stars
Displaying 1 - 30 of 355 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.