Semakin aku berkelana ke kota-kota – Jakarta, Banjarmasin, Hanoi, Surabaya, Shenzhen, dan lain-lain – semakin ingatlah aku bahwa seberapa jauh pun aku berkelana, seberapa banyaknya ruas jalan yang ditempuh, jalan-jalan itu akan mengerucut ke satu ruas: kematian.
Aku juga bisa menyaksikan perubahan jalan-jalan itu sendiri. Di kampung aku terbiasa menyusuri tanah jalan setapak untuk ke hutan dan ke sawah. Lalu meninggalkan kampung saat jalan masih beraspal tipis berbatu. Di kota bertemu dengan berbagai jenis jalan: jalan aspal hot mix, trotoar, jalan lebar, jalan tol, jalan sempit, juga jalan berlubang. Pernah pulang ketika jalan di aspal bagus. Lalu pulang lagi ketika sudah jelek lagi. Jalan setapak di kampung dulu ada yang dibalut semen dan pasir, lalu ditimpah hujan jadi berlubang di sana-sini.
Jalan-jalan itu begitu tabah.
Tetapi apakah yang lebih humanis dari pulang melalui jalan yang sama saat kita pertama kali meninggalkannya?
Bukan penggemar berat puisi, tapi juga suka kalau baca puisi. Dulu pernah juara lho lomba baca puisi *jadicurcol*
Bingung mau review apa karena diriku tidak pandai untuk mereview buku puisi. Kalau pendapat pribadi buku ini lumayan untuk bisa dinikmati. Ada satu judul yang menarik perhatian (bacanya sampai beberapa kali). Judulnya: konstelasi. Yang saya suka akhir puisi tersebut "... tapi tahukah engkau, di setiap episode itu, seluruh bintang bertasbih memuji tuhannya...?"
saya sebenar bukan penikmat puisi tapi cukup banyak bergumul dengan puisi. buku ini bisa dikategori dalam puisi ringan. Sangat ringan dalam arti mudah dimengerti arti yang terkandung. Mungkin saya terbiasa menganalisis puisi tingkat menengah sampai berat untuk dianalisis artinya. buku ini cocok untuk saya berlatih menulis puisi.