Ini antara lain membuktikan regenerasi dalam dunia kepenulisan tanah air terus berlangsung. Nama-nama besar seperti Budi Darma, Ahmad Tohari, Putu Wijaya, dan Martin Aleida terus menulis dan menghasilkan karya-karya yang tetap bernas. Lalu ada nama besar lainnya: Seno Gumira Ajidarma, Jujur Prananto, Gde Aryantha Soethama, Indra Tranggono, disusul nama-nama yang lebih muda seperti Agus Noor, Triyanto Triwikromo, Gus tf Sakai, Warih Wisatsana, Djenar Maesa Ayu, Oka Rusmini, dan Joko Pinurbo. Mereka generasi kedua dan ketiga yang menulis dengan penuh kegairahan. Generasi keempat muncul penulis-penulis muda penuh bakat seperti Faisal Oddang, Anggun Prameswari, Ni Komang Ariani, dan Miranda Seftiana. Mereka menulis dengan penuh daya jelajah, seperti siap melampaui batas imajinasi yang mampu kita bayangkan. Buku ini ibarat membentang lanskap dunia kepenulisan di tanah air, dari waktu ke waktu. Tidak mustahil bahkan menjadi catatan sejarah kesusastraan di negeri ini.
Standar karya dalam buku Cerpen Pilihan Kompas selalu di atas rata-rata karena disaring dari cerpen-cerpen yang dimuat Kompas Minggu. Ini merupakan bentuk kepedulian Kompas dalam memajukan dan mengembangkan kesusastraan Indonesia. Kompas adalah tolok ukur di bidang sastra. Buku ini menjadi salah satu buktinya. (Yanusa Nugroho, cerpenis)
"Anak ini Mau Mengencingi Jakarta?" karya Ahmad Tohari menjadi metafor yang sangat kuat dan produktif untuk menggambarkan warga masyarakat miskin yang tersisih dan tidak mendapatkan kesempatan di ibu kota. Di situ bercampur-campur antara harapan dan kenyataan di dalam satu helaan napas. "Mengencingi" di dalam cerpen ini tumbuh menjadi pelambang dari kemarahan terselubung dari kalangan wong cilik yang sadar akan posisinya, sadar akan kemampuan yang sangat terbatas dibanding pihak-pihak yang menjadi alamat kemarahannya. (Efix Mulyadi, juri)
Ahmad Tohari is Indonesia well-knowned writer who can picture a typical village scenery very well in his writings. He has been everywhere, writings for magazines. He attended Fellowship International Writers Program at Iowa, United State on 1990 and received Southeast Asian Writers Award on 1995.
His famous works are trilogy of Srintil, a traditional dancer (ronggeng) of Paruk Village: "Ronggeng Dukuh Paruk", "Lintang Kemukus Dini Hari", and "Jantera Bianglala"
On 2007, he releases again "Ronggeng Dukuh Paruk" in Java-Banyumasan language which is claimed to be the first novel using Java-Banyumasan. Toward his effort, he receives Rancage Award 2007. The book is only printed 1,500 editions and sold out directly in the book launch.
Bibliography: * Kubah (novel, 1980) * Ronggeng Dukuh Paruk (novel, 1982) * Lintang Kemukus Dini Hari (novel, 1985) * Jantera Bianglala (novel, 1986) * Di Kaki Bukit Cibalak (novel, 1986) * Senyum Karyamin (short stories, 1989) * Bekisar Merah (novel, 1993) * Lingkar Tanah Lingkar Air (novel, 1995) * Nyanyian Malam (short stories, 2000) * Belantik (novel, 2001) * Orang Orang Proyek (novel, 2002) * Rusmi Ingin Pulang (kumpulan cerpen, 2004) * Mata yang Enak Dipandang (short stories, 2013)
Banyak cerpen-cerpen di dalamnya yang hanya sekadar bagus di mata saya, tak sedikit pula yang istimewa. Sulit untuk menentukan cerpen yang mana yang paling saya favoritkan, tapi kalau harus dipaksa memilih, pilihan saya jatuh pada cerpen berjudul “Basa-Basi” karya Jujur Prananto. Cerpen ini satirnya yang paling ngena, bercerita tentang seorang karyawan BUMN yang sangat benci berbasa-basi, tapi keadaan menuntut sebaliknya.
Selanjutnya diikuti oleh “Anak ini Mau Mengencingi Jakarta?” karya Ahmad Tohari “Orang-orang dari Selatan Harus Mati Malam Itu” karya Faisal Oddang di posisi yang sama, sedikit di bawah “Basa-Basi”.
Yang paling saya suka dari “Anak ini Mau Mengencingi Jakarta?” adalah adegan per adegannya yang berhasil memotret sepenggal kehidupan orang pinggiran, terutama adegan makan mi instan. Didukung pula dengan dialog yang kuat. Terlalu bagus untuk jadi cerpen pembuka.
Sedangkan “Orang-orang dari Selatan Harus Mati Malam Itu” sudah membuat saya takjub sejak kalimat pembukanya: “Kami dipaksa menganut agama resmi, mencantumkannya di KTP, dan dipaksa menjauhi Tuhan kami—Dewata Sewwae, tentu kami tidak berdaya lantas harus menerimanya dengan dada lapang yang perih.” Cerpen ini sekaligus berhasil membuat saya ngefans lagi pada Faisal Oddang setelah sempat kecewa dengan salah satu karyanya yang baru-baru ini saya baca. Sepanjang saya membaca cerpen ini, yang ada di benak saya adalah rasa kagum, kok bisa ya kepikiran ide cerita sekeren ini?
“’Kenapa kamu kesal? Kenapa harus marah?’ tanya Ratih. ‘Mendoakan orang yang sakit kan bagus.’ ‘Bukan cuma bagus, tapi harus. Masalahnya, apakah yang mereka ucapkan itu benar-benar mereka jalani? Apa pernah kegiatan berdoa untuk kesembuhan bu Siska itu benar-benar mereka lakukan, entah itu di rumah, di masjid, di gereja, di wihara atau di mana pun mereka berada? Atau mereka sekadar mengetikkan kata-kata keyboard smartphone dan memencet tombol send untuk menyenang-nyenangkan bu Siska? Aku yakin yang mereka lakukan basa-basi belaka!!!’ ‘Jangan suka curiga....’ ‘Mereka sendiri yang bicara.’” (Basa-Basi – Jujur Prananto)
"Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta?" merupakan buku Cerpen Pilihan Kompas 2015, kumpulan cerpen Kompas keempat yang saya baca. Buku ini memuat 23 cerita pendek yang beberapa penulisnya telah saya kenal, entah melalui karya-karya yang mereka buat, sekadar saya ikuti di sosial media, mau pun bertemu langsung seperti Djenar Maesa Ayu dan Seno Gumira Ajidarma. Kesan yang saya dapat setelah membaca buku yang terbit di tahun 2016 ini tentunya berbeda dengan ketiga buku sebelumnya (Smokol (Cerpen Pilihan Kompas 2008), Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian (Cerpen Pilihan Kompas 2009), dan Dodolitdodolitdodolibret (Cerpen Pilihan Kompas 2010)). Yang saya sukai dari buku ini terutama ialah pengangkatan tema mengenai kaum 'tertindas dan tersingkir'atau minoritas yang diperlebar, bahkan ke kaum LGBT--yang tentu masih sangat tabu di Indonesia.
Berikut review dari cerita favorit saya:
1."Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta?" - Ahmad Tohari Ide yang disampaikan oleh penulis Ronggeng Dukuh Paruk ini ringan namun berkesan di hati saya dengan sedemikian rupa. Ia memotret kehidupan kalangan bawah dengan rinci, meskipun ide utamanya sangat sederhana. Ada tiga tokoh di sini, sang Anak, Ayah, dan perempuan berbedak dan bergincu--sang istri atau entah apa dari Ayah. Anak gelandangan yang mengencingi Jakarta dijadikan metafora serta diambil sebagai judul yang menurut saya sangat kuat dan menarik. Harapan dan kenyataan bercampur baur dari dialog antara si Anak dan Bapak. Yang saya heran dan agak mengganggu hanyalah di pertengahan cerita, panggilan anaknya kepada si Bapak yang semula 'Bapa' berubah menjadi 'Ayah'.
2. Orang-orang dari Selatan Harus Mati Malam Itu - Faisal Oddang Cerpen ini merupakan tulisan pertama dari Faisal Oddang yang saya baca. Saya langsung penasaran dan mencari tulisan-tulisan Faisal yang lain setelah terpukau dengan ide yang ia ambil di sini. Faisal Oddang mengangkat kisah mengenai penganut kepercayaan Tolotang yang tidak diakui di negeri ini sehingga mereka harus diuber oleh tentara. Tuturan Faisal Oddang yang begitu lancar memungkinkan kisah yang sebetulnya cukup sensitif ini dapat dinikmati oleh pembaca koran umum. Ada pesan yang begitu dalam mengenai hubungan antar-manusia serta hak yang melekat dalam manusia bermartabat di cerpen ini. Saya yang biasanya jatuh cinta pada kalimat pembuka suatu tulisan pun langsung terpikat dan takjub oleh kalimat menusuk: Kami dipaksa menganut agama resmi, mencantumkannya di KTP, dan dipaksa menjauhi Tuhan kami--Dewata Sewwae...
3. Hakim Sarmin - Agus Noor Saya selalu suka dengan cara Agus Noor bertutur, termasuk tuturan beliau di dalam cerpen Hakim Sarmin ini. Hakim Sarmin telah menjabat posisi tertinggi di pengadilan selama 22 tahun hidupnya. Kali ini, ia dihadapkan dengan kasus yang ia pikir akan menjadi kasus terberat selama masa kehakimannya. Ia dihadapkan dengan wanita berumur 36 tahun, berkulit langsat, berambut ikal sebahu dan berparas tidak berdosa yang telah menjalankan pembunuhan terhadap lima orang lelaki dengan detail rencana yang nyaris sempurna selama dua tahun terakhir. Cerita ini termasuk salah satu cerita favorit saya dalam buku ini, terlebih lagi karena ditutup dengan twist yang sangat pas dan sempurna oleh Agus Noor.
4. Basa-Basi - Jujur Prananto Basa-basi, dalam kamus bahasa Indonesia mengandung pengertian adat sopan-santun atau pun tata krama pergaulan, yang pastinya memiliki konotasi maupun denotasi yang serba positif. Namun bagi Jumardi, formula dua kata itu ternyata bermakna sebaliknya. Segala basa-basi bagi Jumardi tak lebih dari ucapan basi! Cerita yang satirnya cukup mengena ke saya ini mengisahkan tentang kemuakan Jumardi kepada orang-orang yang terlalu sering berbasa-basi, terlebih kepada bosnya, Bu Siska. Digambarkan dengan kronologis oleh Jujur Prananto sejak Jumardi masih karyawan biasa sampai menjadi tenaga ahli lokal salah satu oil company di Canada, cerpen ini tetap konsisten dengan ide utamanya sampai di akhir cerita: basa-basi.
5. Sebotol Hujan untuk Sapardi - Joko Pinurbo Ah, Joko Pinurbo berhasil mengobati rindu saya akan hujan dan senja melalui Sebotol Hujan untuk Sapardi. Judulnya mengingatkan saya akan cerita Sepotong Senja untuk Pacarku karya Seno Gumira, yang ternyata turut menjadi tokoh di dalam cerpen ini.
Ada empat cerpen dalam buku ini yang saya harus akui sebagai favorit dari sekian banyak cerpen dalam buku ini: 1. Anak ini Ingin Mengencingi Jakarta? karna serasa nostalgia dengan cerpen-cerpen Ahmad Tohari yang halus dan filmis dalam menggambarkan suasana. Saya terngiang-ngiang bagaimana Pak Tohari menggambarkan makan mi instan di dalam bungkusnya sekaligus. Itu epik, karena aku pernah melakukannya. 2. Jemari Kiri, di cerpen ini Djenar punya rasa yang beda. Kalau biasanya mengeksplor soal tubuh dan seks, sekarang Djenar memainkan simbolisasi yang manis. 3. Dua Penyanyi aku selalu suka dengan dunia aneh dan ajaib milik Budi Darma. 4. Hakim Sarmin milik Agus Noor. Entah mengapa aku lebih menyukai cerpen-cerpen Agus Noor yang demikian. Memberi tikungan di akhir.
Favorit saya cuma satu, cerpen Sebotol Hujan Untuk Sapardi yang dibuat sm Jokpin. Saya rasa ini cara paling menarik membuat cerita pendek yang dibuat seorang pembaca pada. penyair idolanya. Kumpulan cerpen lainnya selalu menarik tetapi tidak jika dirangkum dalam sebuah buku, atau ini hanya persepsi saya yang salah dan kurang serius memakai semuanya?
Buku ini termasuk kumcer Kompas favorit saya. Beberapa cerpen meninggalkan perasaan dalam.
Cerpen-cerpen favorit saya: 1. Orang-orang dari Selatan Harus Mati Malam Itu 2. Anak ini Mau Mengencingi Jakarta? 3. Hakim Sarmin 4. Jenggo 5. Surat Nurlan Daulay Kepada Junjungan Jiwanya
Selesai dalam waktu 3 malam--karena bacanya cuma pas malam doang.
Beberapa cerpen aku suka. Saat membaca bikin trenyuh, jengkel, dan teringat fakta bahwa ketidakadilan di masa silam masih belum terungkap hingga sekarang--merujuk ke pembantaian orang-orang yang dianggap PKI.
Setiap sehabis baca buku sastra--ini sastra bukan? Aku selalu berpikir sebenarnya ide-ide cerita di dalamnya tuh simpel, ada di sekitar kita. Semisal: para gelandangan yang tidurnya di emperan toko, korban gempa, orang-orang yang orientasi seksualnya menyimpang, dan lain sebagainya. Tapi karena terlalu banyak memikirkan/mengimajinasikan cerita yang spektakuler ala-ala drama, hal-hal sehari-hari justru luput diamati. Jadilah, ide-ide yang muncul tidak 'merakyat' seperti yang ditulis dalam cerpen-cerpen ini.
Tapi emang sih. Yang sederhana justru yang sulit diraih.
Saya menyukai gaya bahasa cerpenis Kompas dari dulu. Beberapa cerpen dalam kompilasi ini sangat seru dan sederhana tanpa kehilangan bumbu satir yang dikemas menarik ala Kompas. Namun saya merasa bahwa cerita politik yang disajikan kerap terlalu eksplisit sehingga menurut saya pribadi agak klise. Secara keseluruhan buku ini menarik bila padanan politik adalah kegemaran pembaca. Kasus seperti korupsi dan kolusi dalam wujud negara fiktif maupun sindiran nyata melengkapi kompilasi kisah-kisah ini. Oh tambahan, pada edisi ini Kompas juga fokus pada isu gender, sehingga topik ini juga menjadi oase baru bagi pembaca setia cerpen cerpen Kompas.
Menemukan banyak ragam tema dan lokalitas di kumcer ini, latar asing sepertinya hanya satu-dua. Lokalitas paling menarik sepertinya cerpen-cerpen berlatar Bali (ada 4) dengan kisah yang terasa ringan menyegarkan tapi ternyata mengangkat problem berat kemasyarakatan. Cerpen paling berkesan tentu saja "Sebotol Hujan untuk Sapardi" dari Jokpin (yang saya baca sampai dua kali). Ini adalah puisi yang direnggangkan hingga terbentuk cerpen dengan efek yang serupa di endingnya. Cerpen-cerpen di buku ini sepertinya diurutkan dari nyaman ke tragedi dan diselang-selingi tema rada absurd di antaranya. Tetapi, sebagian besar terasa enak dibaca, penuh warna. Sampulnya bagus.
Beragam cerita dari beragam penulis dengan beragam penuturannya. Sepertinya tidak ada spesifik tema tertentu yang menjadi benang merahnya. Cara bercerita masing-masing penulis sangat khas, bahkan dibeberapa cerita menggunakan cara bercerita sesuai daerah asal dan bahasanya. Tapi itulah yang menjadi kesulitan (saya). Sulit memahami beberapa cerita karena tidak terbiasa dengan penuturan suatu daerah tertentu.
Bagus, meskipun ada beberapa cerpen yang saya nggak mudeng blas isi dan maksudnya (eh, tapi ini murni karena pikiran saya yg nggak nyampe, kok). Cerpen favorit saya? Hakim Sarmin, Lidah Ketut Rapti, Sebatang Lengkeng yang Bercerita, dan Sebotol Hujan untuk Sapardi. Ending-nya mengejutkan, tak terduga, dan sukses bikin saya bersorak girang, "Ini baru namanya cerpen!"
Ternyata saya sudah baca hampir semua cerpen di buku ini melalui sebuah akun FB. Cerpen yang paling saya suka: Hakim Sarmin karya Agus Noor. Twisted endingnya dapet banget, isu yang diangkat pun penting. Lalu cerpen Sebotol Senja untuk Sapardi karya Jokpin menurut saya ringan dan menghibur sekali. Lumayan bikin senyum-senyum sendiri, semacam menyimak ceng-cengan antar para penyair ini.
Ahmad Tohari dengan pendeskripsian ceritanya selalu jadi yang menarik. Sebotol Hujan untuk Sapardi dari Joko Pinurbo adalah kehangatan yang aku terima dengan senang. Serta Linuwih Aroma Jarik Baru dari Anggun Prameswari adalah cerita tentang kematian yang membuatku merindu pada ibu.
Dari keseluruhan cerpen-cerpen di buku ini, cerita yang paling berkesan dan favoritku adalah cerpen karya Agus Noor "Hakim Sarmin" dan tentu saja highlight dari buku ini "Anak ini mau mengencingi Jakarta?" karya Ahmad Tohari
Banyak cerita cerita pendek yang ditulis oleh penulis penulis ternama yang meyajikan tema yang berbeda dengan akhir cerita yang mengejutkan pembacanya.
Basa-Basi menjadi cerpen favorit dalam buku ini. Beberapa cerpen terkesan menggantung dan misterius. Beberapa lainnya bertemakan LGBT -yang terkesan dianggap wajar dan jauh dari ketidak normalan.
I know Ahmad Tohari’s story was great but A.K. Basuki’s Sepasang Kekasih di Bawah Reruntuhan was really, really good. I almost cried, reading it like 5 times.
Akhirnya selesai juga membaca kumpulan cerpen pilihan Kompas 2015 ini. Jumlah semua cerpen sebanyak 25. Tidak ada karya yang terlalu usang untuk dibaca. Hampir semua cerpen dalam kumcer ini menarik. Cerpen favorit saya adalah 'Sebatang Lengkeng yang Bercerita' karya Miranda Seftiana.
'Sebotol Hujan untuk Sapardi' karya Joko Pinurbo membuat saya tersenyum geli, karena seperti karya Pak Joko dalam bentuk puisi, cerpen tersebut begitu jenaka.
"Saya ulurkan padanya sebuah botol besar berisi hujan bercampur senja. Ia mengucapkan terima kasih. Ia tempelkan botol itu di telinganya. Ia berbinar-binar mendengarkan suara hujan di dalam botol. Hujan yang hangat dan jingga oleh senja." (hlm. 130)
Terdapat kutipan lainnya yang menyentil sisi kemanusiaan, yang tertulis dalam cerpen 'Liang Liu' karya Dewi Ria Utari: "Tahukah kamu tak ada yang lebih menyedihkan ketika kita tak lebih seonggok jasad tanpa makna di hadapan orang yang kita sayangi. Bahkan kupikir-pikir, definisi cinta itu tak ada tanpa adanya ingatan. Dan mungkin Einstein ketika itu tidak sedang mencoba menemukan cara untuk melengkungkan ruang waktu, tapi ia ingin mencari jawab bagaimana mengabadikan ingatan." (hlm. 97)
Tanpa kawan, kebebasan hanyalah penjara besar dalam bentuk lain dengan tembok-tembok khayali yang menyiksa. Sesakit-sakitnya di dalam kamp, ada kemewahan komunal dari orang-orang yang memuja kekayaan batin di sana: kesetiakawanan. (Martin Aleida, hlm. 119)
Sebagian cerpen dalam antologi ini memuat kearifan lokal dan sebagian lainnya mengandung unsur surealis. Khas cerpen koran.
Cerpen terakhir adalah karya Seno Gumira Ajidarma berjudul 'Nomor'. Narasinya sangat menarik, namun juga cukup absurd jika dibayangkan terjadi di dunia nyata. Menceritakan tentang seseorang yang sudah meninggal dunia lalu wujudnya hanya sebentuk nomor telepon.
Membaca keseluruhan cerpen ini membuat saya semacam merasakan 'mabok sastra'. Haha, entah apa istilahnya. Terlalu banyak cerpen dengan kearifan budaya yang begitu penuh. Jadi memang harus dibaca perlahan, pada waktu senggang.
Sangat recommended dibaca siapa pun untuk sejenak mengasingkan diri dari riuhnya dunia. :D
Tiga bintang terlalu sedikit, lima bintang terlalu sempurna. Jadi 4 bintang saja. :D
Membaca Kumpulan Cerpen Kompas selalu mampu membuka jendela wawasan sekaligus memberikan tamparan atas ketakacuhan diri yang tak disadari.
Seperti yang ditulis dalam pengantarnya, benang merah cerita-cerita tahun ini adalah "Yang Tersisih dan Yang Dikorbankan", sebuah kritik atas masih minimnya penerimaan masyarakat negeri ini atas mereka yang minoritas, tidak berdaya, atau mereka yang dianggap tidak sesuai dengan 'kebenaran' yang diakui bersama.
Berenang melawan arus memang tidak mudah, jauh dari nyaman, namun yang menggelisahkan adalah sistem pemerintahan yang harusnya menaungi dan menerima perbedaan, dengan semboyan "Bhineka Tunggal Ika", malah menggunakan kekuasaan dan kekerasan untuk memaksa keseragaman dan kebenaran. Hidup sepertinya perlu lebih banyak saling merangkul, agar tak ada lagi yang merasa tersisih dan dikorbankan.
Cerita 'Orang-orang dari Selatan Harus Mati Malam Itu' karya Faisal Oddang teramat mengusik dan membuat hati ini merintih. Siapa diri kita ini sehingga merasa berhak untuk menunjuk orang lain 'salah' dan 'sesat' serta memberi legitimasi untuk memaksa dengan kekerasan untuk 'membenarkan'?
Kisah-kisah berbumbu sejarah merah dan upaya rekonsiliasi ingatan akan apa yang terjadi setelah 65 selalu mengganggu ketenangan pikiran, seperti hantu yang muncul hilang, tidak bisa tenang jika tidak benar-benar dibahas tuntas. 'Penguburan Kembali Sitaresmi' karya Triyanto Triwikromo dan 'Surat Nurlan Daulay Kepada Junjungan Jiwanya' karya Martin Aleida sukses menggentayangi di kumpulan cerpen ini.
Favorit saya, tentu saja yang manis-manis, yakni 'Sebotol Hujan untuk Sapardi' karya Joko Pinurbo. Menggabungkan hujan dan senja di dalam botol, dan menghadiahkannya untuk penyair kesayangan sambil berceloteh, "Tuan Tuhan, bukan?". Manis, hangat, dan merangkul, bukankah hidup harusnya seperti ini?
Cerita pendek adalah sebuah kisah dan karya sastra yang akan anda selesaikan dalam sekali duduk, kata - kata yang diucapkan oleh Poe Allen, salah satu cerpenis terbaik yang dimiliki dunia. Koran Kompas dalam edisi setiap hari minggu yang menampilkan cerpen dari para pengarang terbaik indonesia menjadi sebuah kitab dan pedoman, serta tolak ukur sebuah karya sastra yang berkualitas dipilh dan diterbitkan, dan ketika karya anda telah berhasil diterbitkan melalui koran ini maka sebuah tanda telah baik jugalah karya sastra anda. Dalam edisinya kali ini kumpulan cerpen dari edisi ini menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Setiap kisah memiliki ciri khasnya masing - masing yang akan membawa pembaca untuk larut dan tenggelam dalam imajinasi dari para penulis, dari setiap generasi yang mewakili prestise tertinggi karya sastra cerpen yang dimiliki Indonesia
Yang paling bikin bergeming tentu Ahmad Tohari, saya tidak habis pikir bahwa bungkus mie instan bisa jadi begitu menusuk. Yang mengagetkan Liang Liu lewat simbol, yang membuat senyum Joko Pinurbo dalam nostalgia, dan yang nggemesake tentu Seno dan Budi Darma melalui dongeng surealis.
Dari beberapa kompilasi cerpen kompas yang telah saya baca, edisi ini terasa ceria walaupun dominan dengan tema penindasan dan rasa takut. Ada beberapa cerita yang terasa asing karena kurangnya pengetahuan budaya lokal (iya, saya rabun dekat), tetapi begitu dimengerti, kisahnya terasa mengenyangkan, terutama karya Triyanto T dan Faisal Oddang. Banyak nama yang baru saya ketahui, dan hendak saya telusuri kembali.
Cerpen pilihan Kompas 2015 diramaikan oleh karya-karya penulis Indonesia lintas generasi. Nama-nama yang tidak asing lagi seperti Seno Gumira Ajidarma, Budi Darma, Ahmad Tohari, Martin Aleida saling berbaur dengan karya penulis-penulis muda yang segar seperti Faisal Oddang, Miranda Seftiana, Tawakal M Iqbal.
Tema-tema yg diangkat seputar orang-orang yang tersisih, tertindas, tersingkir, dan dikorbankan cukup menyita perhatian saya untuk terus menelanjangi keseluruhan cerita.
Lalu, klimaks saya dapatkan pada karya Putu Wijaya (Jenggo), Guntur Alam (Upacara Hoe), Ahmad Tohari ("Anak ini Mau Mengencingi Jakarta?"), Gus TF Sakai (Batu Lumut Kapas), dan Miranda Seftiana (Sebatang Lengkeng yang Bercerita).
Akhirnya, tiga bintang saya rasa cukup untuk kumpulan cerpen ini.
Sebelumnya saya bertanya-tanya, kenapa cerpen "Anak ini Mau Mengencingi Jakarta?" menjadi cerpeb terbaik tahun 2015? Setelah membaca buku ini secara keseluruhan, saya mengerti. Cerpen ini memang lain dari yang lain. Sebab hanya dalam cerpen ini saya menemukan cerita dengan setting yang memotret satu kejadian tanpa sedikit petunjuk masa lalu ataupun masa depan. Cerpen ini sukses menjadi cerpen kesukaan saya dalam buku Cerpen Pilihan Kompas 2015.
Cerpen lain yang menjadi favorit saya adalah: 1. Orang-orang dari Selatan Harus Mati Malam Itu 2. Basa-Basi 3. Liang Liu 4. Jenggo
mind blowing. Tiap habis baca satu cerpen pasti saya nutup buku, lalu berfikir: "ini tentang apa?". Kagum dengan cara penuturan dan bercerita tiap penulis. Ahmad Tohari, cerpen yang memberikan kesan paling mendalam dan 'movie like'