Jump to ratings and reviews
Rate this book

The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855

Rate this book
National hero, Javanese mystic, pious Muslim, and leader of the "holy war" against the Dutch between 1825 and 1830, the Yogyakarta prince, Dipanagara, is pre-eminent in the pantheon of modern Indonesian historical figures. This is the first full biography based on Dutch and Javanese sources. The Power of Prophecy sets Dipanagara's life against the context of the turbulent events of the late eighteenth and early nineteenth centuries when European imperialsm reached Indonesi, destroying forever Java's old order and propelling the twin forces of Islam and Javanese national identity into a fatal confrontation with the Dutch. This confrontation known as the Java War, in which Dipanagara was defeated and exiled, marked the beginning of the modern colonial period in Indonesia.

The book presents a detailed analysis of Dipanagara's pre-war visions and aspirations as a Javanese Ratu Adil ("Just King") based on his autobiography, the Babad Dipanagara, and other Javanese sources, as well as Dutch and British records. The book is concerned with the rise of Western colonial rule in Indonesia, the fate of indigenous cultures in an age of imperialism, and the role of Javanese Islam in modern Indonesian history.

970 pages, Hardcover

First published January 1, 2007

32 people are currently reading
285 people want to read

About the author

Peter Carey

42 books78 followers
Librarian Note: There is more than one author in the GoodReads database with this name. See this thread for more information.

Laithwaite Fellow and Tutor in Modern History at Trinity College, Oxford. Peter Carey works on the history, contemporary politics and socio-economic development of Southeast Asia, specialising on Indonesia, East Timor, Cambodia and Burma.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
55 (59%)
4 stars
28 (30%)
3 stars
5 (5%)
2 stars
2 (2%)
1 star
2 (2%)
Displaying 1 - 15 of 15 reviews
Profile Image for Nanto.
702 reviews102 followers
December 4, 2014
Sudah ditangan bukunya. Ditimang dan diskimming saja dahulu. Membaca karya yang disusunnya puluhan tahun. Thx Aldo dan Ronny yang bikin gue bisa punya buku ini. Tadi sempat mikir, berapa lama kelar baca buku ini? 3 bulan? Lebih cepat?

Review yang lain liat aja di sini

Hasil skimming:

Benarkah Perang Jawa semata sebuah perang melawan Belanda (perang nasional)? atau lebih kepada perang sabil seperti yang digunakan dalam jargon pengikut Dipanegara? Atau perang itu hanya semata sebuah kulminasi dari ketersingkiran Dipanegara dari istana dan resistensi budaya orang Jawa?

Bagaimana Dipanegara membangun mitos dirinya sebagai ratu adil? bagaimana ia mengembangkan massa yang terdiri dari kaum santri, rakyat kecil dan bangsawan istana? Untuk pengikut yang terakhir, sejauh mana perselisihan antara Sultan Sepuh dan Sultan III menjadi bagian penting bagi peta dukungan bagi Dipanegara? Bagaimana dukungan itu juga datang dari wilayah di luar kutanegara, baik dari Mancanegara Barat dan Mancanegara Timur? Bagaimana Peranan pihak keraton yang lain, Pakualam, Mangkunegara, dan Kasunanan? Bagaimana kemudian Perang Jawa juga dikaitkan dengan pengasingan Pakubuwono VI ke Ambon? Raja Surakarta yang dibuang karena "diduga" mendukung P. Dipanegara dalam Perang Jawa dan mengikuti pola asketisme yang mirip dengan yang dilakukan oleh Dipanegara? Benarkah Sunan VI yang diangkat pada usia 17 tahun itu menjadi lebih mudah dikendalikan oleh Belanda? Apakah sentimen anti Belanda di keraton Kasunanan itu disebabkan hal yang sama dengan yang dialami Dipanegara?

Lebih dari itu, bagaimana latar belakang sosial ekonomi dan konstelasi kekuasaan pada jaman itu menjadi latar penting bagi kemunculan Dipanegara? Sejauh mana agama, xenophobi, dan kemelaratan rakyat kecil menjadi penguat bangkitnya "ratu adil"? Apakah layak Perang Jawa dikaji sebagai perang nasional? Karena menjadi salah satu pengembang identitas nasion Jawa pada masa awal sebelum kemudian berkembang pada paruh awal abad ke-20. Sejauh mana perang ini dapat disebut sebagai perang sabil ketika agama dan alasan keagamaan menjadi pemicu dan pemegang peran penting? atau Perang Jawa adalah sebuah pemberontakan petani yang menjadi salah satu sendi utama perang gerilya Dipanegara? Bagaimana kemudian perselisihan antara Dipanegara dan kedua pembantu utamanya, Kiai Maja dan Sentot Ali Basah menjadi salah satu kemunduran dan sebab penting berakhirnya Perang Jawa?

Xenophobie terjadi sebagai bagian dari resistensi kultural orang Jawa yang merasa tersingkir bahkan di istana yang dianggap "tiang utama" penjaga kebudayaannya. Perlakuan tawanan yang dipaksa berpakaian dan berbahasa kromo merupakan sebuah bagian dari balas dendam identitas ini? Sejauh mana sentimen anti-cina juga digunakan sebagai bagian dari identitas pengikut Dipanegara? Sesuatu yang menurut Carey tidak ditemukan dalam pengembangan identitas Kesultanan Yogya sendiri, meski ada sedikit catatan soal resistensi pengangkatan Kapitan Cina di Yogya sebagai Tumenggung. Bukankah ada juga pengikut Dipanegara dari Lasem dan Tuban yang merupakan peranakan?

Bagaimana Dipanegara mengembangkan logistik dan dana untuk menjalankan perangnya? Bagaaimana persenjataan mereka ini didapatkan? apakah senjatanya cukup seimbang dengan persenjataan Belanda? Bagaimana prajurit Dipanegara membiayai dirinya selama perang? Apakah kejadian yang dialami oleh Raden Sukur (anak Adipati Semarang) yang terpaksa menjual pakaian kebesarannya untuk membiayai hidup selama perang, merupakan hal umum terjadi atau hanya kasuistik saja? Bagaimana taktik dan strategi gerilya itu diterapkan? Gerilya, yang utamanya melebur bersama rakyat, seperti apa yang diterapkan Dipanegara dan pasukannya? Teknik penyergapan seperti apa saja yang dilakukan? Bagaimana penyamaran dan infiltrasi yang dikembangkan? Bagaimana caranya supaya kuda yang digunakan untuk menyergap tidak berisik dan memecah pendadakan penyergapan itu? Seru kan kalao diulasnya sampai sedetil itu berdasarkan laporan dan dokumen yang diterlusuri oleh Carey?

Yang jelas di awal buku ini ada kalimat yang menarik yang ditulis oleh Carey, ia mencemaskan perlakuan terhadap dokumen bersejarah di Indonesia. Perlakuan yang melalaikan catatan sejarah itu yang menurut Carey kemudian menjadi penyebab kesalahan sejarah. Seperti yang dilakukan terhadap Timor Timur. Meski buku ini merupakan kilasan cerita nun dahulu kala, ternyata dalam satu kalimat Carey mampu menampar kesalahan sejarah kemarin sore oleh Bangsa ini.

Masih lanjut skimming. Coretan pertanyaan di atas nerupakan skimming sampai bab X dan XI. Yang jelas Perang Jawa merupakan titik balik dari semakin derasnya arus kolonialisme dalam bentuk baru di tanah Jawa. Feodalisme istana akan berjumbuh dengan feodalisme (konon sih liberalisme) perkebunan kah? karena Belanda butuh dana segar untuk mengembalikan hutang akibat perang dengan Perancis?

*pemutakhiran 29 Mei 09*

Beberapa waktu lalu, Ronny memberi tahu,ia baru saja menguunggah sebuah proverb dari Pangeran Dipanegara. Barangkali saya menyukainya, begitu katanya. Benar saya tambahkan ke dalam rak kuotasi saya.

Ketika kemaren menskimming kali ke-dua, saya sampai pada sebuah sub-bab di halaman 650 (?) yang menggunakan kata, Dwifungsi. Di sub-bab itu saya menemukan proverb di bawah ini. Proverb yang sama yang disampaikan Ronny kepada saya.

"lamun tiyang nyepeng pedhang
dipunsambi nyepeng arta kadospundi
punapa tan kapiran

----

bila orang yang memegang pedang
juga diserahi untuk memegang uang, bagaimana jadinya?
tidakkah urusan akan telantar?"


— Pangeran Dipanagara--

Di sub-bab itu, dibahas persoalan bagaimana P. Dipanegara mengelola sumber pemasukan dalam membiayai perangnya. Dia memilah antara petugas administratif dan prajurit. petugas administratif biasanya berlatar belakang bangsawan isatana yang relatif dekat dengan persoalan adminisitratif sebelumnya. Pada bagian keprajuritan biasanya berlatar belakang keberanian, meski tidak menutup itu dari kalangan priyayi.

Sentot Ali Basah adalah salah satu panglima P. Dipanegara yang terkemuka. Ali Basah adalah kepangkatan yang setara dengan panglima dalam pasukan P. Dipanegara. Dibawahnya ada kepangkatan seperti tumenggung. Sentot yang panglima terkenal karena keahliannya dalam bertempur dan strategi, pada satu masa, (sesudah paruh pertama 1827<) meminta kepada P. Dipanegara untuk memberikannya wewengang untuk sekaligus memungut pajak langsung dari rakyat yang hidup di wilayah P. Dipanegara. Alasannya adalah kebutuhan logistiknya tidak bisa mengikuti kelambanan karena ada pemisahan tugas administratif dan keprajuritan. Awalnya P. Dipanegara tidak semudah itu menyetujui permintaan Sentot. Namun akhirnya P. Dipanegara memberikan ijin yang kemudian ia sesali.

Tugas "dwifungsi" itu membuka peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang. Ada rakyat yang ditarik pajak lebih dari semestinya. Sementara di pihak lain, Belanda dengan Bentheng Stelsel nya sudah mampu mengimbangi gerilya pasukan Dipanegara. Bahkan Belanda sudah bukan pada tahap bertahan lagi, Belanda sudah pada tahap memburu dan merebut simpati rakyat dengan iming-iming kemudahan ekonomi bila hidup di wilayah yang dikuasai Belanda. Perang gerilya adalah perang dengan rakyat sebagai bentheng utamanya. Perang Gerilya yang biasa digunakan dalam assymetrical conflict tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya simpati rakyat. Counterisurgency Belanda sudah selangkah lebih jauh dengan merayu rakyat untuk berpihak kepada mereka dengan adanya salah urus adminsitrasi perpajakan di pasukan Diponegoro.

Namun yang lebih menarik adalah, Carey memang sengaja menggunakan kata dwifungsi untuk membandingkan kebijakan P. Diponegoro dengan peran militer di Indonesia. Siapa bilang sejarah tak bisa berulang? ini sentilan lagi setelah Carey menyentil soal perawatan dokumen bersejarah di Indonesia di awal buku ini

Catatan saya soal membaca buku tebal segede gaban ini adalah:
1. Membacanya sebaiknya memegang kertas sebagai catatan.
2. tidak bisa sekali selesai. Ketika sudah sampai bab X-XI kita masih perlu merujuk kembali ke bab awal. entah itu uraian di tubuh naskah, atau tentang uraian pada catatan kaki. Contoh soal ke-santri-an P. Dipanegara yang diuraikan lagi di bab menjelang perang pecah. Pada catatan kaki yang menjelaskan kalimat itu, dirujuk kembali uraian ttg P. Buminata di bab awal yang menguraikan perkembangan P. Dipanegara di Tegalreja.
3. Buku ini cukup memberikan uraian mengenai faksi-faksi dalam pasukan Dipanegara. Latar belakang sosial politik dan ekonomi yang menjadi penyebab. (Untuk hal ini saya jadi teringat dua istilah dalam kausalitas: penyebab dan pemicu). Termasuk soal perubahan protokoler hubungan Residen Belanda Yogyakarta dan Surakarta dengan Sultan dan Sunan. Dalam hal ini Deandles terlalu meremehkan faktor indiosinkratik dan simbolik-kultural jawa.
Profile Image for Sigit Utomo.
11 reviews4 followers
June 13, 2016
Membaca buku ini sy tiba2 teringat dengan wanita2 hebat.
Dedes di Tumapel atas pengaruhnya pada Tunggul Ametung dan Ken Angrok yang kelak keturunanya menjadi raja-raja besar Jawa.
Gayatri di Majapahit atas pengaruhnya pada Raden Wijaya dan Gajahmada yang kelak melahirkan kekuatan besar pemersatu Nusantara.
Dan kali ini Ratu Ageng di Tegalrejo yang menginspirasi Dipanagara melakukan Perang Jawa. Sebuah perang yg menjadi titik awal keberanian bangsa Indonesia merebut kemerdekaannya.
Buku setebal hmpr 1000 hal, disusun sekitar 30 tahun dgn riset yg tdk berani sy bayangkan. Penulis bahkan menapak tilas perjalanan spiritual Dipanagara smp bermeditasi di gua Secang, Selarong.
Buku yang menangkap Dipanagara utuh, muslim yg taat, dan orang Jawa tulen yg paham kosmologi dan pewayangan.
Profile Image for Taaresauce.
11 reviews
December 28, 2024
This book explains well the transition of Java relation's with European Power(s), from (almost) equal sovereign partner to a subordination of Javanese Principalities to the Dutch's Colonial State through the eyes of Prince Diponegoro. The end of Java War (1825 - 1830) mark the era of high imperialism in Java and to some extent the Islands of Indonesia (haven't read much on "outer islands, please excuse my ignorance and if possible recommend me a book!)

Despite featuring Diponegoro as central cast, he only felt like one during the start of his father, Hamengkubuwono III reign up until his exile and passing away at Makassar in 1855. This, like other work of history can be excused due to lack of primary sources. If anything, it explains the background to the start of his uprising in 1825 that stretched from the reign of Hamengkubuwono II up to the return of Dutch rule in 1816 and the consequences of their (mostly) disastrous policies. If there's something lacking it's the military aspect of the war which the author admitted due to it not being his forte anyway

Highly recommended for those interested in Javanese History, or European Imperialism in general.
Profile Image for Anjar Priandoyo.
309 reviews16 followers
May 12, 2018
The longest book I ever read, very interesting with even 200+ pages appendix detailing about Diponegoro wives, follower, weapon, rice price etc. Peter Carey write, compile, analyze the Diponegoro story, the background, both from European and Javanese perspective. The book is written carefully, it is a story that average Indonesian never heard of on the human side of Diponegoro as an ordinary man. The book is relevant to understand the current situation in Indonesia, the conflict and how the resolution of this conflict would be.

The fate of Diponegoro is shaped by the age where he lived, as stated by Carey. So in 1715, 1815, 1915 or even in 2015 there will be a similar story of the people just like Diponegoro. Reading this book makes me sad, is a tragedy book, it's telling a bitter truth. However, it is a very important lesson for Indonesia to understand the forces that currently played. The same forces that can not be avoided just like steamship and globalization appear during Diponegoro's life.
Profile Image for S.
73 reviews
July 21, 2014
Akhirnya kelar juga, baca sejarah di luar sekedar hafalin tahun Perang Jawa 1825-1830. Perangnya sendiri tidak banyak dibahas, bagian paling banyak di masa sebelum perang, Daendels pun jadi lebih dari sekedar nama. Jadi inget di daerah Haren ada villa dengan tulisan Djogdja di temboknya; maksudnya villa tsb diongkosi dengan hasil kerja/ sewa tanah perkebunan di Jogja, atau dari hasil cultuurstelsel paska Perang Jawa? Tercatat cultuurstelstel menghasilkan 832 juta gulden untuk kas negara Belanda dalam jangka 40 tahun saja (1830-1870).
Profile Image for Ika Karunia Purnamasari.
27 reviews
July 9, 2012
kuasa ramalan judul in Bahasa nya, ahhh jd agak gimana gitu klo baca di kereta, terlihat lg membaca buku ramalan, pdhal isinya epik sejarah nyata banget, ckck :) *paket buku yg berhasil jebole dompet*
Profile Image for Wahyu Awaludin.
358 reviews10 followers
May 18, 2014
Buku ini luar biasa..menguak siapa sesungguhnya pangeran Diponegoro
4 reviews
April 1, 2016
buku 1 butuh perjuangan untuk nyelesaiinnya.. sedangkan buku 2 nyerah sampai pertengahan, buku 3 mutlak belum terbaca.... mungkin nanti di 2093 ngelanjutin baca buku ini.
Displaying 1 - 15 of 15 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.