Rara Mendut, budak rampasan yang menolak diperistri oleh Tumenggung Wiraguna demi cintanya kepada Pranacitra. Dibesarkan di kampung nelayan pantai utara Jawa, ia tumbuh menjadi gadis yang trengginas dan tak pernah ragu menyuarakan isi pikirannya. Sosoknya dianggap nyebal tatanan di lingkungan istana di mana perempuan diharuskan bersikap serba halus dan serba patuh. Tetapi ia tak gentar. Baginya, lebih baik menyambut ajal di ujung keris Sang Tumenggung daripada dipaksa melayani nafsu panglima tua itu.
Genduk Duku, sahabat Rara Mendut yang membantunya menerobos benteng Keraton Mataram dan melarikan diri dari kejaran Tumenggung Wiraguna. Setelah kematian Rara Mendut dan Pranacitra, Genduk Duku menjadi saksi perseteruan diam-diam antara Wiraguna dan Pangeran Aria Mataram, putra mahkota yang kelak bergelar Sunan Amangkurat I dan sesungguhnya juga jatuh hati kepada Rara Mendut - perempuan rampasan yang oleh ayahnya dihadiahkan kepada panglimanya yang berjasa.
Lusi Lindri, anak Genduk Duku dipilih menjadi anggota pasukan pengawal Sunan Amangkurat I oleh Ibu Suri. Lusi Lindri menjalani kehidupan penuh warna di balik dinding-dinding istana yang menyimpan ribuan rahasia dan intrik-intrik jahat. Sebagai istri perwira mata-mata Mataram, ia tahu banyak... Bahkan terlalu banyak... Semakin lama nuraninya semakin terusik melihat kezaliman junjungannya. Tiada pilihan lain! Bulat sudah tekadnya, baginya lebih baik mati sebagai pemberontak penentang kezaliman daripada hidup nyaman bergelimang kemewahan.
Yusuf Bilyarta Mangunwijaya was an architect, writer, Catholic priest, and activist. Romo Mangun (Father Mangun) was publicly known by his novel "Burung-Burung Manyar" which was awarded Ramon Magsaysay Award for South-East Asia Writings on 1996.
Not only active in the fiction genre, Romo Mangun also wrote many non-fiction and architectural works such as "Sastra dan Religiositas" [tr.: Literature and Religiosity] which won The Best Non-Fiction prize in 1982.
Bibliography: * Balada Becak, novel, 1985 * Balada dara-dara Mendut, novel, 1993 * Burung-Burung Rantau, novel, 1992 * Burung-Burung Manyar, novel, 1981 * Di Bawah Bayang-Bayang Adikuasa, 1987 * Durga Umayi, novel, 1985 * Esei-esei orang Republik, 1987 * Fisika Bangunan, buku Arsitektur, 1980 * Gereja Diaspora, 1999 * Gerundelan Orang Republik, 1995 * Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa, novel, 1983 * Impian Dari Yogyakarta, 2003 * Kita Lebih Bodoh dari Generasi Soekarno-Hatta, 2000 * Manusia Pascamodern, Semesta, dan Tuhan: renungan filsafat hidup, manusia modern, 1999 * Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia, 1999 * Menjadi generasi pasca-Indonesia: kegelisahan Y.B. Mangunwijaya, 1999 * Menuju Indonesia Serba Baru, 1998 * Menuju Republik Indonesia Serikat, 1998 * Merintis RI Yang Manusiawi: Republik yang adil dan beradab, 1999 * Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein, 1999 * Pemasyarakatan susastra dipandang dari sudut budaya, 1986 * Pohon-Pohon Sesawi, novel, 1999 * Politik Hati Nurani * Puntung-Puntung Roro Mendut, 1978 * Putri duyung yang mendamba: renungan filsafat hidup manusia modern * Ragawidya, 1986 * Romo Rahadi, novel, 1981 (he used alias as Y. Wastu Wijaya) * Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri, novel trilogi, 1983-1987 * Rumah Bambu, 2000 * Sastra dan Religiositas, 1982 * Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat, 1999 * Soeharto dalam Cerpen Indonesia, 2001 * Spiritualitas Baru * Tentara dan Kaum Bersenjata, 1999 * Tumbal: kumpulan tulisan tentang kebudayaan, perikemanusiaan dan kemasyarakatan, 1994 * Wastu Citra, buku Arsitektur, 1988
Inilah analogi yang paling tersirat dalam kisah ini. Keris bagi orang Jawa adalah simbol kehormatan dan kesaktian. Dirawat khusus, dibelai khusus, denganpenuh penghormatan, dan sekaligus diperalat. Begitu pulalah kondisi perempuan yang dianggap cantik di masa menjelang redupnya kekuasaan Mataram. Perempuan adalah simbol kehormatan. Karenanya, ketika perempuan milik seorang penguasa diganggu, maka sama saja dengan menghancurkan kehormatan si penguasa. Seperti keris, yang dikoleksi karena keampuhan dan kesaktiannya, perempuan juga di koleksi. Dijadikan deretan benda yang bisa digunakan kapan saja. Dipamerkan saat ingin dikagumi. Perempuan...persis seperti Keris. tanpa mampu memiliki kehendaknya sendiri.
Buku Rara Mendut adalah novel trilogi. Terdiri dari riwayat hidup Rara Mendut, Genduk duku dan Lusi Indri. Ketiganya adalah perempuan, tiga generasi dengan kondisi sosial yang sama terhadap perempuan. Rara Mendut, adalah gadis pantai yang diperistri penguasa. Berteman dengan Genduk Duku yang kemudian mengagumi keteguhannya dalam lingkungan Istana memasung kebebasan. Lusi Indri adalah anak Genduk Duku. ketiganya hidup diantara penguasa Mataram yang menjadikan mereka dan kaum perempuan ibarat Keris.
Apa yang diperjuangkan oleh ketiganya hanyalah satu hal: kebebasan berkehendak. Dalam kisah novel ini, contoh kehendak klasik yaitu: memilih pasangan hidup. Bukan ditentukan oleh orang tua, di tundukkan oleh penguasa, ataupun pada maut sekalipun.
Setiap manusia (perempuan/laki-laki) memimiliki kehendak dan cita-cita. Apapun itu... layak diperjuangkan. Meski sesederhana apapun cita-cita itu. Bagi Rara Mendut, Genduk Duku dan Lusi Indri... kehendak mereka memberi pengaruh bagi sekitarnya, bahwa perempuan bukanlah keris...tapi Manusia. Yang bisa memilih dan bukannya dipilih.
hmm...nasib perempuan Istana di jaman ini benar-benar bikin miriiiis. :(
Akhirnya selesai juga baca buku ini. Gara-gara ketebelan dan males dibawa2, akhirnya susah nyari waktu buat bacanya.
Ini buku keren banget. Kalau aja gue udah baca buku ini waktu sekolah dulu, mungkin gue bakal lebih semangat belajar sejarah atau antropologi.
Ga ada yang gue ga suka dari buku ini, menurut gue: 1. cara nulisnya unik, jawa banget (untung ada translation nya) 2. Semua karakter punya pribadi kuat bukan cuma peran utamanya (misalnya si peparing, slamet, wiraguna, putri arumardi, mangkurat, etc) 3. Isi cerita yang ga umum (ada necrophilia segala lagi) 4. Unsur budaya yang jelas banget jadi background cerita ini (bikin gue terpesona sama keindahan budaya jawa nya, adat istiadat, sudut pandang, andaikan budaya Indonesia dibikin jadi sesuatu yang dibanggakan kayak di cina) 5. Semua bagian cerita melengkapi satu sama lain menjadi satu kesatuan, ga ada satupun bagian yang percuma atau sengaja ditambah2in biar nebel-nebelin buku (ga kayak sinetron indonesia yang sengaja ditambah2in ceritanya biar panjang).
Salut banget sama Romo Mangun, ga ada unsur katolik sedikitpun di bukunya, bisa banget cerita tentang kebudayaan yang mayoritas mulai memeluk agama islam tanpa tergoda untuk memasukan pendapat pribadi.
Ini adalah buku pertama dari Y.B Mangunwijaya yang kubaca. Buku sastra bukan genre utamaku, jadi di sini aku tidak akan mengulas dari sisi sastranya tapi dari mata seorang pembaca awam yang menyukai genre historical fiction terutama yang asli Indonesia. Buku tebal epic ini adalah sebuah trilogi dan review terpisah dari masing-masing buku kulampirkan di bawah ini ya..
Akhirnya selesai sudah perjalanan panjangku membaca buku yang puitis dan penuh perlambang ini. Aku pribadi membutuhkan kisah HF yang punya alur lebih sistematis, storyline lebih fokus, gaya bahasa yang lebih mudah di pahami dan karakter yang lebih konsisten dan di galo mendalam. Walau belum berhasil menyetrum hatiku, tapi buku ini memberikan sedikit gambaran tentang kekayaan sejarah Indonesia yang bisa diangkat sebagai literatur. Buku ini akan lebih mudah dipahami oleh teman-teman pembaca yang memahami sedikit bahasa Jawa dan menyukai genre sastra sejarah.
Sebenarnya saya membaca buku karangan Romo Mangun ini sudah beberapa tahun yang lalu. Namun sayang, pada saat itu, saya masih belum terlalu akrab dengan Goodreads. Oleh karenanya, saya putuskan untuk membaca ulang buku ini sekedar me"refresh" memori saya.
Buku ini sebenarnya terbagi dalam tiga bagian. Bagian pertama menceritakan tentang Rara Mendut. Bagian kedua menceritakan tentang Genduk Duku, dan yang terakhir menceritakan tentang Lusi Lindri. Ketiganya bagi saya merupakan gambaran perempuan super yang "nyleneh." Saya ingat dulu, kakung saya selalu berkata bahwa jika pria memiliki 5 hal untuk membuat dia sempurna: wisma, wanita, cukila, turangga, curiga. Maka wanita harus mampu melakukan 5 M untuk membuatnya sempurna: Macak, masak, mlumah, manak dan mbasuh. Kasarannya, seorang wanita Jawa harusnya "nurut" dan "nunut" Namun hal tersebut tidak terlihat dalam diri ketiga perempuan super ini. Mereka memperjuangkan apa yang mereka ingini.
Hal menarik lainnya dari buku ini adalah bahasa Romo Mangun yang selalu lugas dan juga familiar. Ah, buku ini memang pantas menjadi buku koleksian di rumah karena kebagusannya.
ANJRIT, kesel gak sih lo, lagi asyik-asyik nulis review hape pakai mati segala padahal udah masuk paragraf keempat. Padahal buat nyelesain buku ini butuh perjuangan karena tebelnya 806 halaman dengan tema cerita klasik abad 17 yang harus dihayati kalimat perkalimat sementara besok buku udah harus saya balikin supaya bisa minjem yang lain, padahal kesempatan baca buku saya makin dikit karena kesibukan, kebetulan aja ini lagi sakit, diare, karena makan pedes & gak teratur, jadilah gak bisa kemana-mana cuma kasur-wc-baca buku, lemes. Semua jadwal & rencana yang saya susun berantakan. Hh. Tapi besok kudu sembuh. Harus. Padahal perut masih krucuk-krucuk.
Yah, baca buku ini saya merasa bersyukur lahir di jaman sekarang. Bukan di Jawa masa raja-raja. Hii. Kata siapa dipimpin raja itu enak? Monarki? Noes. Bahkan Raja Jawa sekalipun.
Again, saya pernah nulis, war have no mercy.
Dari dulu saya kepo siapa sih Mendut? Rara Mendut. Kenapa sampai detik ini dia masih terkenal padahal dia perempuan tahun 1600an, sekarang 2015 dan namanya masih melekat.
Alasannya sederhana, dia simbol perlawanan, jiwa-jiwa yang gak mau diikat pakem yang gak sesuai hati-nurani hanya karena dipraktekan umum dan dipatuhi umum, mayoritas belum tentu benar.
Saya gak tahu sih, seberapa banyak kisah ini difiksikan sama Romo Mangun. Tapi karakter Mendut emang sesuatu. Saya suka cewek-cewek tangguh kayak gini yang menolak dirinya dijadikan budak kaum laki-laki.
Seorang gadis pantai yang merdeka, ayu, kerjaannya nguntit Siwa ke laut di Teluk Cikal, sementara perempuan-perempuan lain di dapur, dia berlayar, yang kecantikannya akhirnya didengar pembesar Pati, Adipati Pragola, dan dia (bukan atas kemauannya) diboyong. Di sana lah Mendut ketemu Ni Semangka (anak dalang yang jadi Mbok Embannya) & Genduk Duku, pelayan juga tapi lincah naik kuda karena ayahnya orang Bima, yatim piatu. Belum sempet diangkat jadi selir resmi istana, Adipati Pragola kalah perang melawan Mataram, Pati akhirnya dihancurkan, dijarah, perempuan-perempuannya diambil. Pas Pati lagi chaos-chaosnya rupanya Mendut tetep berusaha kabur, melawan, gak mau tunduk sama sekali, prajurit gak bisa ngapain-ngapain karena perempuan rampasan gak boleh dilukain, mereka main kucing-kucingan dan gak sengajalah Mendut ketemu Wiraguna, si Pemimpin Bala Tentara yang langsung jatuh hati seketika karena lihat keliarannya Mendut. Di Mataram sebagai hadiah dia minta Mendut ke Raja sebagai hadiah karena rampasan termasuk wanita dibagi-bagi. Wiraguna cuma minta Mendut yang akhirnya bikin iri permaisuri & selir-selir raja yang lain. Dia jadi bahan gunjingan karena sikapnya yang gak sehalus puteri-puteri keraton, termasuk melawan gak mau sama Wiraguna sampai akhirnya harus bayar pajak dari 5 ringgit, ke 10, ke 20. Akhirnya dia boleh jualan rokok dengan syarat pembeli & penjual dibatasi kerai. Dibalik kelir itulah Roro Mendut jualan lintingan rokok yang basah air ludahnya, dan banyak yang beli karena disuguhi tari-tarian yang menggoda sekaligus jenaka. Hari pertama, kedua, ketiga, dari rakyat jelata sampai pembesar antri, terus terjadi keributan, di tengah keributan itu dia diculik Pranacitra, anak Nyai Singabarong, pelaut perempuan di pantai utara, saudagar kaya, yang tertarik ke Rara Mendut dan diam-diam bisa masuk bilik tokonya karena dia dan abdi-abdinya cerdik. Tapi di tengah jalan Mendut yang juga gandrung ke Pranacitra karena doi mirip cem-cemannya pas di Teluk Cikal dulu dia minta balik karena inget ke shabatnya di Puri Wiraguna Arumdadi yang merasa terharu karena Mendut gak egois nyari enaknya sendiri. Akhirnya pelarian babak dua Pranacitra pura-pura jadi pengurus kuda, ngelamar kerja di Puri dan suatu malam akhirnya bawa kabur Mendut dibantu Putri Arumdadi dan diem-diem Raden Ajeng bikin skenario (niatnya ngebantu musuhnya karena sebagai perempuan dia salut ke Mendut) dia pengen bikin mata suaminya terbuka supaya relain aja Mendut, Wiraguna udah tua, kudunya sadar diri gak dikekang ego lagi buat nakhlukin perempuan, tapi ternyata Wiraguna egonya tinggi dan dikirimlah pasukan buat ngeburu Pranacitra-Mendut sampai akhirnya mereka gelut & Rara Mendut & Pranacitra terbunuh dikeris Wiraguna di tepi pantai. Genduk Duku & 2 abdinya Pranacitra kabur ke Pekalongan.
Setelah itu buku 2 berkisah soal Genduk Duku ketemu Slamet, pemuda Teluk Cikal yang berguru ke Siwa-nya Rara Mendut, sayang Siwanya meninggal karena sedih ditinggal Mendut yang gak ada kabarnya pasca Pati luluh-lantah. Akhirnya mereka menikah terus dimulailah petualangan mereka sampai anak mereka lahir, Lusi (Lusi Lindri) yang akhirnya jadi abdi dalem keraton (pas dia udah gede tapi setelah dititipin ibunya di Puri Jagakarsa, dibawah perlindungan Adipati Singaranu yang bijaksana). Slamet terbunuh karena ngelindungin Putri Arumdadi pas Wiraguna ngamuk mau ngebunuh Tejarukmi (selirnya yang ayu yang diculik Putera Mahkota). Lika-liku mereka panjang. Dari berlayar kemana malah kemana dan ketangkep suruh bawa perbekalan ke Mataram karena tawanan VOC yang diperbudak masih kurang, sampai akhirnya mereka ditinggal dan ditolong tawanan belanda & anaknya, pelaut. Pas mereka ketemu lagi bertahun kemudian pas Lusi udah lahir, dan ayah-anak ini merencanakan melarikan diri yang ditolong Slamet tapi kabarnya Karel si anak ditemuin tewas, sayang Genduk Duku gak lihat lagi mayatnya.
Buku ketiga bercerita soal Lusi Lindri sampai kematian Genduk Duku pasca hancurnya Mataram di bawah pemerintahan Amangkurat yang dulu terkenal sebagai Pangeran Jibus, Rangkah, dll karena dari muda seneng main perempuan dan sewenang-wenang termasuk ngincer Genduk Duku yang dia temuin dijalan tapi berkat Pahitmadu (kakaknya Wiraguna yang sayang banget ke Genduk Duku & respek ke Rara Mendut meskipun belum pernah ketemu) mereka cerdik & akhirnya Jibus kalah tapi tetep aja ngejar-ngejar perempuan lain lagi termasuk Tejarukmi yang entah dia cinta sampai mati, sampai setelah Tejarukmi mati dia gak selera sama perempuan lagi sampai ketemu janda Dalang (dalangnya mereka bunuh) dan jandanya dia ambil. Iya, kesultanan emang bobrok banget. Banyak kejadian model "red wedding" di sini, satu keluarga digorok karena kesalahan sepele, si raja seneng musuhin rakyatnya sendiri, pengikutnya, sampai jadi parno dll.
Buku ini ironi parah sih. Mau itu di Betawi sana atau di tanah Mataram. Untung masih ada orang-orang oke model Ni Semangka, Putri Arumdadi, Genduk Duku, Pahitmadu, Lusi Lindri, Mendut, Pranacitra, Slamet, Singaranu, Pangeran Selarong, Peparing (yang akhirnya dibunuh di jalan pas mau ngelamar Genduk Duku, termasuk anaknya Lusi Lindri & Peparing si Wibisana jadi korban). Endingnya semua anaknya Lusi Lindri & Peparing ada 5 mati semua, anak sulungnya, perempuan, yang janda setelah perceraian diambil buat pendamping raja tapi malah diperkosa lalu dibunuh di jalan. Yang anak tirinya (karena Peparing duda anak satu pas nikahin Lusi Lindri) anaknya mati pas cari sarang burung walet di gua, yang 2 mati karena sakit, yang terakhir tinggal Wibisana yang juga mati.
Banyak yang dirampas dijadiin budak, entah VOC yang ketangkep di Mataram atau pribumi di perbatasan Kerawang sana (yang dirantai di Batavia & suruh bersihin saluran air). Yah, pribumi di negeri sendiri juga diperas, pajak tinggi, disuruh kerja bakti bikin waduk supaya raja senang, dll, dll.
Bahkan pemberontak-pemberontaknya pun haus kuasa semua, mereka punya kepentingan sampai tahap santri-santri (yang pernah dibantai-digorok sama Amangkurat karena dendam disindir mulu) mereka juga punya kepentingan berkuasa. Disini cuma kaum Gunung Kidul (yang akhirnya gak mau ikut pihak manapun yang kelihatan berdaulat dan pro rakyat kecil karena mereka sendiri kalangan bawah, mereka pemberontak sekaligus pengamat). Tepat keputusan mereka buat berdiri dilingkaran luar meskipun 3x dapet kesempatan buat menggorok leher raja & merampas harta kerajaan, pas semuanya sibuk perang, mereka tinggal menjarah puri, tapi akhirnya mereka putuskan itu gak bijaksana karena harta bakalan megubah naluri mereka.
Pokoknya kehidupan Jawa dari rakyat sampai pengede-pengedenya dikupas di sini, dan kita bisa berkaca.
Rasanya di Jawa, Zaman makin enak, dan saya bersyukur, nggak hidup di zaman serba tunduk macem itu.
gimana mindahin Mendut saya ke sini? secara saya salah naro review dari awal. He he he ra popo wis kadung.
Sampul edisi trilogi ini keren. Gambar wanita duduk mengulum rokok lintingan dilatari dengan prajurit berkuda. Ilustrasi pasukan berkuda itu merupakan gambaran prajurit berkuda Mataram yang dikagumi oleh Kapiten Jambi ketika mengunjungi istana Amangkurat I.
Judul: Rara Mendut Penulis: Y.B Mangunwijaya Penerbit: PT Gramedia Jumlah halaman: 338 hlm Tahun terbit: Cetakan kelima, Oktober 2019
"Rambut-rambut wanita panjang, kanjeng Tumenggung. Daya rabanya pun panjang dan lembut. Wanita di dalamku merasa; Paduka nencintai gengsi kaum pria. Paduka mencintai kewibaan panglima yang jaya. Bukan si Mendut yang si Mendut. Mendut bagi paduka hanyalah lambang peneguhan kejayaan senjata dan kewibawaan Mataram"
Kata mendut penuh hormat kepada Tumenggung Wiragunan yang begitu berambisi kepadanya. Raden Rara Mendut, gadis pantai utara yang dijemput perwira dan prajurit-prajurit untuk diperistri Adipati Pragola penguasa wilayah Pati. Sayang seribu sayang, Adipati Pragola kalah dalam perang melawan Mataram dibawah pimpinan Kanjeng Raden Tumenggung Wiragunan sebelum meminang Rara Mendut. Seluruh kekayaan serta harta benda dan para penghuninya termasuk Rara Mendut dan dayangnya; Ni Semangka (Sri Wahyuni) dan Genduk Duku dirampas oleh Mataram.
Ketika melihat keteguhan, pendirian dan kecantikan alami dari Rara Mendut, Tumenggung Wiragunan serta merta jatuh hati. Sebaliknya, tak ada sedikitpun rasa ketertarikan Rara Mendut terhadap sang tumenggung, semua wanita heran akan sikapnya yang menolak di peristri oleh sang panglima perang kesayangan raja Mataram. Bertambah penasaran tumenggung wiragunan melihat tingkah laku Mendut, gusar serta geram Wiragunan sehingga berbagai cara ia lakukan demi mendapatkan hati si Mendut. Wiragunan menarik pajak kepada Mendut sebesar 3 real perhari. Namun tak sedikitpun Mendut gentar, ia tak kehabisan akal. Menjual rokok di pasar ditemani Ni Semangka dan Genduk Duku adalah cara Mendut untuk membayar pajak tersebut, lebih tepatnya menjual rokok yang telah ia hisap sebelum, Rokok kenikmatan yang selalu di elu-elukan lelaki desa. Di sisi lain, Pranacitra, teman melaut Mendut waktu kecil, lebih tepatnya laki-laki yang Mendut suka sedang menuju Mataram dari pantai Utara lalu heran melihat keramaian yg ada. Dengan segala taktiknya, Pranacitra dapat menembus kerumunan dan mengintip dalam tirai berwarna merah jambu tempat Mendut berjualan. Heran, haru, bahagialah Mendut melihat Prancitra berada d Mataram, berharap Pramacitralah yang akan membawanya kabur dari Mataram. Dan benar Pranacitra berhasil membawa kabur Rara mendut serta dayangnya Genduk Duku ke pantai selatan. Gusarlah bahkan hampir gila Wiragunan mendengar kabar tersebut, ia bersikeras mencarinya walaupun telah dihalangi oleh istri dan para selirnya. Sampailah Wiragunan ke pantai selatan, menemukan Pranacitra dan Rara Mendut. Karna Rara Mendut lebih memilih Pranacitra, terjadilah peperangan sengit antara Pranacitra dan Wiragunan. Ketika Wiragunan akam menghunuskan kerisnya tepat ke dada Pranacitra, Mendut maju spontan membela kekasihnya. Dada Mendut terhunus keris. Mereka mati berangkulan pasang surut terbawa oleh gelombang laut.
Pemberontakkan jiwa seorang perempuan terhadap adat istiadat yang ada. Keberanian yang tabu menentang kemauan seorang laki-laki banhsawan demi membela dan mempertahankan kebebasannya untuk memilih kekasih hatinya sendiri. Karna memang tak seharusnya seorang perempuan selalu menurut perintah laki-laki. Kisah feminisme yang terbungkus dengan sejarah zaman kerajaan dapat menbuka cakrawala kita betapa pentingnya membela hak-hak seorang wanita.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Rara Mendut adalah novel pertama dari trilogi Rara Mendut karya Romo Mangun. Berkisah tentang gadis pesisir pantai Utara Jawa bernama Rara Mendut. Mendut dikenal sebagai gadis yang cekatan dan gesit, sehingga dirasa cocok untuk menjadi nahkoda. Suatu petang, gerombolan pasukan berkuda datang menghampirinya dengan maksud memboyong Mendut ke kadipaten sebagai pendamping Adipati Pragola, pemimpin Pati. Di kadipaten, Mendut diberikan dua dayang yaitu Genduk Duku dan Nyai Semangka. Berlatar di kerajaan Pati yang ketika itu harus mengakui kekalahan setelah berselisih dengan kerajaan Mataram. Roro Mangun dengan cekatan menceritakan perjuangan Rara Mendut yang dijadikan hadiah kemenangan dari Raja Mataram untuk Temenggung Wiraguna, penakluk Mataram. Rara Mendut menolak keras penyerah terimaan harga diri itu, karena dianggapnya suatu bentuk ketidakadilan. Dari dalam belahan hatinya yang terdalam, kala itu ditumbuhi benih cinta untuk yang terkasih, Pranacitra. Sakit hati disebabkannya, Wiraguna memutuskan menerapkan pembayaran pajak untuk membuat Rara Mendut jera. Untuk membayar pajak harian sebesar 3 real yang kemudian naik menjadi 10 real hingga 20 real, Rara Mendut menghalalkan segala cara dibantu dengan Genduk Duku dan Nyai semangka sang dayang setia untuk mengumpulkan uang tersebut, bagaimanapun caranya, dimanapun tempatnya. Hingga puncaknya, Mendut bersamaan dengan Pranacitra memutuskan untuk lari demi kemerdekaan perjuangan harga diri mereka. Wiraguna naik pitam dan mengirim pasukan khusus seolah menghadapi musuh besar. Sangat disayangkan, Wiraguna menemukan Mendut dan Pranacitra di muara sungai Opak yang menjadi tempat terakhir kebersamaan Rara Mendut dan Pranacitra di bumi sebelum akhirnya bersamaan di alam yang abadi, selamanya. "Sebab asmara dapat padam, tetapi kesetiaan mengatasi maut, dan sanggup melagukan gendhing mistika yang berwarta, bahwa Yang Maha Pencipta adalah Mahakuasa sekaligus Mahacinta. Dan cinta berarti setia." (hal 273)
Kelas! Epic! You named it! Akhirnya selesai juga membaca novel kolosal ini. Rara Mendut definitely becomes my favorite book since I woke up from reading slump. Cerita sejarah yg dibumbui fiksi mengharu biru. Menceritakan tentang perempuan pantai, Rara Mendut, yg terpaksa menjadi rampasan perang oleh Tumenggung Wiraguna yang nantinya akan dijadikan istri olehnya. Rara Mendut walaupun ia adalah seorang perempuan tapi memiliki jiwa ksatria dalam dirinya. Jika perempuan lain tidak punya pilihan lain selain menuruti keinginan Wiraguna, Mendut sebaliknya. Sampai mati dia berjuang untuk terbebas dari kungkungan istana demi bersama dengan kekasihnya, Pranacitra. Saya suka sekali bagaimana Romo Mangun mendeskripsikan betapa beraninya Rara Mendut sebagai perempuan ketika melawan Wiraguna. Sampai diri ini dibuat berkobar mambaca keberanian Mendut. Overall novel klasik ini sangat-sangat saya rekomendasikan bagi yg suka sejarah kerajaan Indonesia klasik. Karena banyak sekali ilmu pengetahuan yang tidak diketahui sebelumnya. Apalagi sebagai Wong Jowo aslinya kok malu rasanya baru tahu sekarang 😁✌🏻 Namun pastikan jika ingin membaca buku ini mempunyai waktu yg banyak dan konsentrasi tinggi. Karna yah itu, butuh perjuangan menyelesaikannya 😭 apakah saya akan lenjut ke sekuelnya, Genduk Duku? Sepertinya nanti dulu 😌
Jujur nggak terlalu kena emosionalnya, paling agak kesel-kesel dikit sama Tumenggungnya yang obsesi banget sama Rara Mendut ini, padahal istrinya udah banyak. Agak kesel juga dengan citra perempuan di masa itu yang istilahnya hanya sumur-dapur-kasur. Dan mungkin Rara Mendut di sini sebagai simbol bahwa perempuan pun mampu berdikari, mampu memberontak, mampu menyuarakan haknya memilih apalagi soal pasangan hidup. Tapi untuk era modern sekarang mungkin beberapa netizen akan berkomentar “di kasih yang mapan, penguasa, punya segalanya kok milih pengangguran?” Hahaha ada betulnta juga. Dan ini juga sempat dikatakan Tumenggung kalau dara muda masih suka berkelana. Dari novel ini juga jadi melihat sedikit-sedikit mengenai sejarah Mataram.
Seandainya oh seandainya saya punya edisi hardcover-nya, itu akan sangat menyenangkan. Tapi sudah dicari ke mana-mana, tetap tidak ketemu, jadi ya sudahlah. Karena buku ini pantas dikoleksi.
Mulanya agak jemu dengan gaya penceritaan Rama Mangun yang terkesan bertele-tele. Namun sesudah memasang perspektif bahwa tulisannya adalah omongan yang dituliskan, lama kelamaan saya pun terbiasa. Rasanya seperti mendengarkan bapak-bapak Jawa ekstrovert yang suka cerita dan disertai tiruan bunyi-bunyi binatang, tetembangan, dan guyon parikan, hahaha.
Hal-hal yang aku dapat maupun ngena dari buku ini adalah:
- Cara ngomong antara hamba dengan tuan/puan priyayi zaman Mataram ini mbulet sekali ya Allah, harus merendah diri dulu dan memuji-muji lawan bicara. Saya tidak tahu apakah penggambaran ini tepat pada masanya (mengingat novel ini diadaptasi dari sejarah), tapi setidaknya saya bisa memahami bagaimana sebagian orang Jogja-Jateng masa kini kalau ngomong suka mbulet juga--walaupun tidak separah buku ini.
- Raja adalah jelmaan dewa, oleh karena itu semua kehendaknya mutlak harus dituruti. Kekayaan alam, materi, dan rakyatnya adalah properti raja yang bisa diambil/digunakan kapan saja. Kalau rajanya bijaksana ya syukur alhamdulillah, tapi kalau rajanya lalim ya nyawa orang terasa murah sekali. Jika raja tidak berkenan pada panglimanya, terlepas dari derajat kesalahan yang diperbuat, raja bisa menjatuhkan hukuman mati pada panglima beserta istri, anak-anak, pengikut, dan serdadunya.
- Tidak hanya raja saja yang bisa lalim, panglima sebagai bawahannya juga bisa demikian walau kekuasaannya lebih terbatas. Saya selalu ngeri setiap membaca bagian pembunuhan tragis atas orang-orang tak bersalah dalam buku ini.
- Ambisi susuhunan Mataram untuk menaklukkan wilayah-wilayah di pulau Jawa ini besar sekali O.O
- Gengsi adalah salah satu bagian yang telah lama ada dalam masyarakat Jawa, terutama dalam kalangan priyayi (baik dalam konotasi lama dan baru).
- Perempuan dalam budaya Jawa dimuliakan dalam sifat-sifat keibuan yang lembut mengasihi, tetapi akhirnya terinjak-injak tak berdaya dalam hukum kerajaan yang didominasi laki-laki.
- Sifat ksatria yang dimaksud dalam budaya Jawa adalah gagah berani menghadapi tantangan namun memiliki ruh yang bijak bagai resi.
- Penggambaran Hanyakrakusuma masuk pelataran saja membutuhkan 1 halaman 2 paragraf. Gestur-gesturnya mengingatkan saya pada cerita-cerita presiden RI kedua yang karena tidak memahami esensi demokrasi maka memerintah seperti susuhunan keraton. Jengkel rasanya 30 tahun lebih Indonesia pernah diperintah oleh orang yang tidak kompeten seperti dia *lah, nyambung ngga nyambung*
- Kehidupan rohani Jawa yang bersifat sinkretis antara pengaruh Islam dan Hindu-Buddha. Orang-orang di buku digambarkan mengakui kuasa Gusti Allah, tetapi mereka melarung jenazah ke laut, membuat ruang khusus bagi Dewi Sri, dll seolah-olah itu hal yang wajar.
- Perihal ngelmu katuranggan (serba-serbi kuda), palintangan (perbintangan), dan mangsa bayu (musim dan angin) yang menarik buat dijadikan bahan fakta-fakta unik.
Di antara tiga buku (yang dijadikan satu) ini, saya lebih suka ceritanya Genduk Duku. Mungkin karena di samping ada unsur petualangan juga ada unsur keberuntungan berupa pertemuan dengan orang-orang yang senang hati mau membantu.
Selain itu, penggambaran unsur alamnya juga mengesankan. Saya sudah penat dengan suasana perkotaan ditambah dengan keharusan untuk jaga jarak selama pandemi, jadi kangen alam, hahaha.
5 bintang untuk cerita yang seru, menghibur, menyentuh, dan nyeni.
Masih adakah kini ksatria ningrat bertutur kata laksana syair nan indah bermakna dalam. Dimana kata adalah realisasi diri , pancaran murni dari kesucian hati , kebesaran jiwa dan kepedulian sosial yang teramat tinggi....
'Dan apabila keindahan selalu bersinar dalam matahari dan bulan, pantulan kecantikan gadis kan selalu diwartakan oleh angin dan awan'
Sementara ia si jejaka kan terus resah bermimpi dalam ayunan angan berfantasi soal kepemilikan gadis sekedar untuk melipur hati sembari menunggu geliat kuat keteguhan motivasi.
-------
Bilamana guratan nasib telah berkehendak , garis kehidupan tak ayal bermain kuat mendikte arah perjalanan. Tak peduli ia sosok yang lama-besar tumbuh dibangun dalam terpaan keras dan dinginnya sepoi angin pantai pun lelautan. Seumpama gelegar halilintar memamerkan daya dan kekuatan alam dengan sedahsyatnya , betapa kecil dan rapuhnya manusia menyadari kelemahannya dalam fitrah yang penuh keterbatasan.
Berupaya menikmati , mencerap lagi memahami serta menggerayangi lakon cerita dan karakter Mendut dalam bingkai sapuan sastra karya Mangunwijaya mengkhususkanku untuk memberikan curahan rasa ekstra yang jauh lebih peka. Disatu sisi terkesan gaya susun-rangkai kata yang berusia cukup 'tua' sehingga dibutuhkan penjajakan awal yang taklah kurasa cukup mudah manakala menjajaki citra level tulis yang kerap menyisipkan lagi menghidupkan kandungan nuansa bernafaskan serat begawan dan kidung ciamik ala pujangga bijak.
Mendut , sosok wanita bebas berkeras hati yang tak mudah takluk oleh keinginan luar. Dibesarkan oleh gemuruh ombak pantai dan cakrawala kebebasan. Dari bukan sesiapa hingga menjadi buah bibir dan pikir para petinggi mataram. Tangan kekuasaan memilihnya sebagai perlambang kecantikan dalam ketundukan. Menjerat kehidupan muda bebasnya dalam kungkung penjara raksasa berlapis angkuh jejaring kemewahan. 4 pria menarik-ulur nasib kewanitaannya. Namun segala amarah , cinta , serta perjuangan konflik getir kekuatan jiwa yang tengah bertumbuh sebagai proses pematangan dan pendewasaan dalam dirinya hanya memberi akhir cerita kehidupan asmara rapuh dalam tikam kematian keris Tumenggung Wiraguna saat memuaskan puncak egoisme pribadi ataupun kerumitan kedaulatan ningrat ala Mataram (jawani) dalam peluk maut bersama kecup setia lelaki pilihannya , Pranacitra. Rengkuh hangat nan liar riuh jerit ombak laut mengawali kemunculan ceritanya , dan melalui dingin serta ganasnya terkaman ombak laut yang getir pula yang mengakhiri tragis kisah cintanya.
Trilogi ini mungkin setebal bantal, tetapi ini "bantal" yang sulit ditutup lagi jika kita sudah membukanya. Trilogi Rara Mendut membawa kita menjelajahi kehidupan tiga generasi perempuan Jawa: Rara Mendut, Genduk Duku dan Lusi Lindri. Ketiganya digambarkan sebagai perempuan Jawa yang "nyebal tatanan," yaitu para perempuan yang tidak berlaku layaknya gambaran perempuan ideal. Rara Mendut, Genduk Duku dan Lusi Lindri adalah contoh feminis sejati. Mereka kuat, tangguh, cerdik, tak segan berontak terhadap tatanan budaya yang tak adil pada perempuan, tetapi di saat yang sama juga pengasih. Saya terutama paling suka pada adegan dimana Rara Mendut menunjukkan jiwa pemberontaknya pada orang yang hendak menjadikannya gundik lewat simbol tarian, serta membuka kios rokok "spesial" di pasar sebagai upaya melepaskan diri dari ancaman akan dijadikan gundik. Mangunwijaya dengan indah menggambarkan lika-liku kehidupan para perempuan ini lengkap dengan konflik batin dan aspek psikologis yang dijelajahi dengan baik, termasuk kisah romansa yang tidak klise (beliau bahkan dengan indah menggambarkan lembutnya cinta kasih yang sempat tumbuh antara Genduk Duku dan Rara Mendut, tanpa terjebak stereotip). Buku ini punya segalanya; karakter yang menarik, cerita yang mendalam, petualangan, romansa, humor, dan tragedi. Catatan-catatan kaki yang disertakan juga membantu pembaca memahami isi lirik-lirik syair dan lagu berbahasa Jawa yang menjadi bagian vital dari buku ini. Trilogi Rara Mendut adalah bacaan yang "lengkap," dengan tokoh perempuan-perempuan kuat yang menakjubkan dan sama sekali tidak klise.
Akhirnya ... setelah terpendam 3 tahun di lemari bukuku, terbacalah sudah Novel ini ...
Tertarik membaca buku ini karena genre "Sejarah"nya, yang berlatarbelakang akhir kekuasaan Sultan Agung hingga akhir kekuasaan Amangkurat I ..
Menarik dicermati adalah keteguhan dan kebesaran hati tokoh2 di dalam novel ini, keteguhan Mendut, Genduk Duku dan Lusi Lindri dalam menghadapi penguasa2 jaman itu, inilah cermin orang2 kecil yang tak bisa berbuat banyak terhadap tingkah polah penguasa di jaman sekarang, namun tetap menjaga harga diriya .., kebesaran hati Arumardi, Pahitmadu, Kanjeng Ratu Ibu serta Nyai Singabarong yang memang punya kuasa tapi justru dengan kuasanya itu selalu menolong sesama dan rakyat kecil yang tertindas walau dengan taruhan nyawanya.., ini juga cermin di masa sekarang bahwa tidak semua penguasa ataupun keluarganya memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan sendiri, tapi ada juga yang baik ...
Demikian juga karakter tokoh2 lain seperti Pangeran Purbaya, Pangeran Selarong, Nyai Gendhis dan Ki Legen, serta yg lainnya, dapat menjadi cermin bagi kita semua...
Satu hal yang agak mengganjal buat saya adalah adanya penggunaan kata "hansip" di masa itu, yang akan lebih baik bila menggunakan kata penjaga atau punggawa keraton .. Ah..tp itu kan suka2nya pengarangnya...he he he, yang penting maksud dari pengarang tersampaikan ...
Trilogi ini mengagumkan juga. Aku membacanya hanya beberapa hari loh, sodara-sodara, gak sampe seminggu! Terdiri dari 3 bagian: Rara Mendut. Begitu lamban dan membosankan sehingga aku hampir-hampir memasukkan buku ini ke buku-mogok. Mungkin juga itu karena aku belum terbiasa dengan gaya menulisnya. Atau karena memang jalan ceritanya lamban. Mau kawin dengan Pranacitra saja susaaaaah... Genduk Duku. Ow, cewek keren dan gagah perkasa ini ada di ketiga bagian buku, dan sangat sangat mengagumkan. Bagian ini banyak actionnya, dijamin bisa dibaca sekali libas (itu kalau dirimu mampu membaca beratus-ratus halaman sekaligus). Lusi Lindri. Juga banyak actionnya, tetapi aku tetap lebih menyukai bagian kedua. Mungkin karena dari segi karakter, Lusi kalah jauh dibanding ibunya, Duku. Jadi buku ini adalah tentang kehebatan dan kebijakan wanita menghadapi segala situasi, girl power! Berlatar belakang jaman baheula dimana semua wanita adalah milik Raja. Raja yang membutuhkan banyak istri, huh! Tidak hanya Raja, juga semua laki-laki di Mataram, yang rupanya pikirannya tentang seks melulu. Ya anehnya kecuali si Pranacitra, Slamet, dan Peparing. Eh, benar gak ya namanya Peparing? Bukunya sudah ditaruh di rak, malas membongkar lagi hihihi...
It's such a thrilling, amazing book. I just can't stop reading it from the moment I open the first page.
Romo Mangun adalah pencerita yang sangat pandai. Beliau mampu mendeskripsikan peristiwa hingga ke titik yang paling detail, perasaan-perasaan manusia yang terlibat dalam ceritanya, bahkan setting tempat yang melatarbelakanginya. Semua membuat kita merasa masuk dalam lorong waktu sejarah klasik Jawa dan ikut menyaksikan peristiwa- peristiwa sejarah langsung dari tempat terjadinya.
It is such an amazing journey. You should try it.
Namun bahkan dalam peristiwa-peristiwa paling penting yang mampu mengubah sejarah Jawa sekalipun, Romo Mangun tetap menyelipkan humor-humor khasnya (atau khas rakyat) yang segar, lucu, menggoda, tapi tetap bisa sejalan dengan cerita. Mungkin hunor-hunor segar seperti ini pula yang membantu rakyat kita melewati masa-masa suram dalam perjalanan sebuah negeri, membuat mereka tetap sadar dan ingat.
trilogi ini terdiri dari : Kisah Rara Mendut, Genduk Duku & Lusi Lindri
gaya bahasa yang dipakai Romo Mangun, ga ruwet njelimet, biarpun seringkali ada tuturan dalam bhsa Jawa halus.. malah hampir seperti gaya bicara masa kini.. dan ada selipan2 humor-nya... seperti tayangan Ketoprak Humor di salah satu tv swasta kita beberapa tahun lalu.
tentang feminisme... ada banyak karakter feminisme yang ditampilkan dalam cerita ini... terutama mengingat bahwa cerita ini berlatar belakang kerajaan Mataram Jawa yaitu pada masa pemerintahan Ayahanda dari Amangkurat I dan Amangkurat I sendiri, dimana pada masa itu, wanita-wanita hasil rampasan perang banyak diambil jadi selir bagi Panglima Perang, atau para Tumenggung, atau yang diinginkan oleh raja sendiri (dalam hal ini Amangkurat I, yang dikenal sangat gila pada wanita).
Secara keseluruhan, ceritanya kereeen banget. Girls Power. Ya….kisah Rara Mendut bercerita tentang perjalanan hidup 3 perempuan hebat di masa itu, di masa ketika perempuan tidak ubahnya hanya dianggap sebagai barang yang hanya bisa dimiliki, dipajang, dipakai bahkan dibagikan. Rara Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri, berani mempertahankan prinsip mereka, biarpun harus merelakan kehilangan kesenangan , kenyaman bahkan orang yang sangat mereka cintai. Mereka juga cerdas dan penuh perhitungan dalam melakukan segala hal, contohnya ketika Rara Mendut dipaksa membayar pajak, atau ketika Genduk Duku memberi pelajaran kepada lelaki yang menggodanya, atau ketika Lusi Lindri harus melindungi kekasih hatinya.
novel trilogi sejarah yang hebat. romo mangun menuturkan dengan sederhana detail dan lucuuuu. ;-> bagaimana sebuah sejarah menjadi mudah kita pahami, sosialita yang tidak mbulet. dalam proses membacanya kita akan cungar cungir :) kadang ndomblong. malah kadang ikut koco koco (mata sembab) terikut merintih hati ini. dan harusnya sebelum membaca roro mendut di wajibkan atas kalian semua membaca dulu arok dedes nya pram. sejarah raja raja jawa yang mudah sekali memuntahkan anak panah, dan mengobarkan perang, mengujungkan pemikiran kita betapa para pemimpin di jawadwipa dari dulu hingga sekarang penuh tikam dan saling serang. salam budaya, salam sastra
Lebih ke topik emansipasi wanita daripada romannya. Peran Pranacitra di sini dikit bgt kok. Intinya memang tiga perempuan ini melawan dunia yang saat itu didominasi laki-laki, Wiraguna dan yang paling menyebalkan Amangkurat I. Banyak intrik politik: sudah pasti. Banyak pembunuhan: jelas (khas fiksi sejarah banget kalau banyak orang tewas di mana-mana). Miris banget bacanya, orang jaman dulu gampang banget cabut nyawa orang. Misalnya ini, ketika Amangkurat I lagi sensi sama ulama dia memerintahkan semua orang yang pake sorban di jalan buat dibunuhi. Dari segi cerita lebih bagus daripada Burung-Burung Manyar. Tapi penyampaiannya memang lebih luwes Burung-Burung Manyar.