Jump to ratings and reviews
Rate this book

Doa untuk Anak Cucu

Rate this book
Amarah dan duka
menjadi jeladri dendam
bola-bola api ta terkendali
yang membentur diri sendiri
dan memperlemah perlawanan.
Sebab seharusnya perlawanan
membuatkan perbaikan,
bukan sekadar penghancuran.

120 pages, Paperback

First published April 1, 2013

41 people are currently reading
389 people want to read

About the author

W.S. Rendra

46 books175 followers
Willibrordus Surendra Broto Rendra (b. November 7 1935) is a famous Indonesian poet who often called by his friends and fans as "The Peacock".

He established the Teater Workshop in Yogyakarta during 1967 but also the Teater Rendra Workshop in Depok.

His photo here shown Rendra in his room at 1969.


Theatres:
* Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
* SEKDA (1977)
* Mastodon dan Burung Kondor (1972)
* Hamlet (Translated from Hamlet by William Shakespeare)
* Macbeth (Translated from Macbeth from William Shakespeare)
* Oedipus Sang Raja (Translated from Oedipus Rex by Sophokles)
* Kasidah Barzanji
* Perang Troya Tidak Akan Meletus (Translated from La Guerre de Troie n'aura pas lieu by Jean Giraudoux)

Poems:
* Jangan Takut Ibu
* Balada Orang-Orang Tercinta
* Empat Kumpulan Sajak
* Rick dari Corona
* Potret Pembangunan Dalam Puisi
* Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta!
* Nyanyian Angsa
* Pesan Pencopet kepada Pacarnya
* Rendra: Ballads and Blues Poem
* Perjuangan Suku Naga
* Blues untuk Bonnie
* Pamphleten van een Dichter
* State of Emergency
* Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api
* Mencari Bapak
* Rumpun Alang-alang
* Surat Cinta
* Sajak Rajawali
* Sajak Seonggok Jagung

Short Stories:
* Pacar Seorang Seniman

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
118 (36%)
4 stars
113 (35%)
3 stars
72 (22%)
2 stars
13 (4%)
1 star
4 (1%)
Displaying 1 - 30 of 49 reviews
Profile Image for Arief Bakhtiar D..
134 reviews82 followers
November 26, 2017
MASTODON

KALAU kita percaya kepada W. S. Rendra, kita akan setuju bahwa Indonesia hanya terbagi antara mastodon dan bukan mastodon.

Mastodon—bisa jadi ia sebelumnya berupa gajah yang “angker dan perkasa”. Atau, menurut Rendra, mastodon itu bisa jadi pejabat dan pegawai negara yang “bersekutu dengan cukong asing”. Rendra memakai kata “melahap” untuk menunjukkan betapa rakusnya mastodon-mastodon itu. Mereka melahap kita. Bahkan kalau mereka punya hati, mastodon tetap mastodon: mereka saling melotot. Kita tak bisa menyembunyikan prasangka bahwa dunia mereka adalah dunia saling memakan satu sama lain.

Dalam buku Rendra yang terbaru (setelah buku kumpulan puisi terakhirnya sebelum ini, Perjalanan Bu Aminah, terbit pada tahun 1997), Doa untuk Anak Cucu terbitan Bentang Pustaka, sajak-sajak lama Rendra memang lebih sering melihat gelap.

Dalam puisi Kesaksian tentang Mastodon-Mastodon yang selesai ditulis pada bulan November tahun 1973, Rendra menggambarkan hukum di Indonesia sebagai “hukum yang ditulis di atas air”. Dan korban permanen dari hukum yang seperti itu: kita-kita. Hukum dari masa ke masa yang semacam itu tentu hukum yang aneh. Waktu berjalan, pemimpin berganti, tapi legitimasi hukum tetap tidak tinggi-tinggi. Padahal di zaman ini kita tak lagi mendengar rakyat yang bisu, kenyataan yang dikekang dengan bimbingan dan pedoman resmi, atau nalar yang dicurigai dan diawasi. Kita hidup lebih bebas. Kita tidak lagi hidup di suatu peradaban di mana “filsafat”, upaya untuk menguliti hal-hal di sekitar, mati.

Barangkali Rendra benar: kita harus lebih sering melihat gelap. Rendra, meminjam kalimat Asrul Sani tatkala mengomentari puisi-puisi Sutan Takdir Alisyahbana, tidak menganggit makna di mana “gambar-gambar dilukiskan dengan pertolongan mistar hingga segala-galanya lurus”.

Sebab sampai saat ini, dalam sistem yang lebih luas, Indonesia “seperti dadu/ terperangkap di dalam kaleng utang/ yang dikocok-kocok oleh bangsa adikuasa”. Bumi Indonesia dirayah ramai-ramai tanpa henti oleh para mastodon seperti, sejak tahun 1967 Rendra berkata, “lonte yang merdeka”. Sebagaimana tercantum pada bagian biografi yang ditulis Edi Haryono, sikap melihat masalah politik-ekonomi secara struktural mulai terlihat dari diri Rendra setelah tahun 1971. Max Lane menulis bahwa Rendra, dengan puisi-puisinya, menjadi oposisi yang tegas terhadap ide kapitalis asing yang menghisap dan mendominasi ekonomi Indonesia. Juga oposisi terhadap pemerintah yang otoriter Orde Baru. Kritik yang hanya boleh melalui saluran resmi, menurut Rendra dalam Aku Tulis Pamplet Ini tertanggal 27 April 1978, seperti “sayur tanpa garam”. Ia, seorang penyair, melakukan kritik dalam bentuk “pamplet” dan bahkan menginginkan bentuk yang tak terbatas: “merpati pos”, “bendera-bendera semaphore”, atau “isyarat asap kaum Indian”. Oleh karena itu, tulis Max Lane, Rendra bisa dekat dengan gerakan mahasiswa anti-kediktatoran yang bergelora pada kurun waktu 1973-1974 dan 1978 dan sempat dipenjara karena puisi-puisi kritisnya.

Meski sering melihat gelap, di posisi itu, akal sehat “keras bertahan”. Kita tak bisa menampik: ia sempat membuat sajak di Rick dari Corona kalau “hidup di bulan/ lebih baik dari hidup di bumi”, tapi ia memegang teguh bahwa “Ratu Adil”, yang mirip mitos itu, bukan jawabannya.

Janganlah kita menunggu Ratu Adil
Ratu Adil bukanlah orang.
Ratu Adil bukanlah lembaga.
Ratu Adil adalah keadaan
di mana ada keseimbangan
antara roh dan badan.


Sajak itu menghimbau seperti pidato. Ia menarik untuk dipentaskan dengan gelora berapi-api—apalagi oleh Rendra, pengarangnya sendiri. Dalam penggalan-penggalan Rakyat adalah Sumber Ilmu itu “roh” dan “badan”, menurut Rendra, tepat untuk memisalkan relasi pujangga dan pemerintah. Tanpa pujangga, “negara adalah robot”, dan tanpa pemerintah, “negara adalah hantu”. Maka pujangga dan pemerintah bukanlah peran-peran yang saling memusuhi. Rendra tak menghendaki perubahan kekuasaan (hal ini pernah dikatakannya saat pidato penghargaan di Akademi Jakarta tahun 1975). Puisi-puisinya sebatas goro-goro buat mengguncang. Ia pernah tulis: “kawan dan lawan adalah saudara”. Ia hanya ingin “secara wajar kita bertukar kabar” dan “duduk berdebat” tanpa satu pihak yang jumawa.

Menghadapi situasi yang ruwet itu, mungkin karena sadar ia tak punya kuasa, Rendra tidak berusaha mencari jawab sendiri. Ia bertanya: di mana para ksatria, tentara, polisi, dan para politisi yang hanya “suka hari cerah, suka khalayak ramai, dan bendera-bendera”. Tapi pertanyaan-pertanyaan itu (yang akhirnya hanya gema terus-menerus) tak memuaskan. Ia sekedar menggapai-gapai soal. Agaknya ada sedikit sikap putus asa, sekaligus menyesal, bahwa seakan-akan ia mengetahui apa yang terjadi tapi “tidak mampu membuat rencana/ menghadapi masa depan”. “Aku tak tahu cara seketika untuk membelamu,” tulis Rendra dalam Perempuan yang Tergusur, “Tetapi aku memihak kepadamu.”

Dalam ketidakmampuan itu ia membuat puisi Pertemuan Malam. Sajak-sajaknya merindukan “segenap barisan orang-orang tercinta”, segala orang-orang yang tak diberi perhatian penguasa: pada suatu malam tanggal pertama, di antara “cahaya bulan dan bintang-bintang” yang “jatuh ke pohon-pohon yang sekedar pohon”, ia seperti bermimpi menemui golongan yang “berbaju compang-camping”, “para pemulung dan perempuan bunga malam”, Atmo Karpo, Joko Pandan, Fatima, Suto, Maria Zaitun—mereka yang tersisih dalam sajak-sajak Rendra yang lalu-lalu. Kesan saya puisi Pertemuan Malam, yang selesai tahun 2003, mengisyaratkan suara rindu karena keadaan rupanya tidak beranjak lebih baik ketimbang dulu. Kita dibawanya pada kesimpulan bahwa dalam bersama kita masih tak mampu, tapi setidaknya kuat bertahan. Rendra, kita, selalu kagum dengan daya tahan orang-orang Indonesia. Pada Perempuan yang Tergusur:

Tapi aku kagum pada daya tahanmu,
Pada caramu menikmati setiap kesempatan,
Pada kemampuanmu berdamai dengan dunia,
Pada kemampuanmu berdamai dengan diri sendiri,
Dan caramu merawat selimut dengan hati-hati


Sajak-sajak itu, sekali lagi, adalah suara-suara dari udara tentang “keindahan perjuangan hidup manusia” di bawah hiruk pikuk kaki-kaki “mastodon”. Rendra telah lama menolak “mengarang tentang pemandangan alam/ dan misteri embun di atas kelopak melati”. Sajak-sajak itu juga bukan “seni demi pertumbuhan seni itu sendiri”. Bagi Rendra bahasa yang tak puitis tidak terlalu menjadi soal. Profesor A. Teeuw pernah sampai menyebut puisi-puisi Rendra tahun 1970-an hampir antipuitis, “seperti koran” (hal itu masih tampak pada puisi-puisi Rendra yang muncul belakangan seperti Perempuan yang Cemburu yang bertanggal 4 Februari 2007).

Barangkali ada maksudnya kenapa Rendra mencipta puisi-puisi balada yang bertenaga, bukan lirisisme yang cerewet: agar puisi-puisi itu selalu bisa kita tengok kembali. Sebab, terutama di zaman ini, kita agaknya mulai tenang. Badai tak cukup terasa. Persoalan penting mengkeret. Problem seperti bukan problem lagi di pikiran kita. Puisi-puisi itu menolak lupa cerita-cerita serupa Marsinah, Udin, Moses, dan “di Trisakti 4 orang mahasiswa”.

Juga, seperti yang telah saya terakan di awal, meski Rendra mengatakan yang indah-indah tentang Indonesia (tentang pohon jambu yang berkembang di samping sumur, tentang “ikan cakalang dan lumba-lumba” di laut kita), sajak-sajaknya adalah suara kekal yang menegur kita untuk menyadari keberadaan mastodon.

Lalu mastodon-mastodon akan menyerbu kota.
Mereka akan menghabiskan semua beras dan jagung.
Mereka akan makan anak-anak kecil.
Mereka akan makan gedung dan jembatan.
Toko-toko, pasar-pasar, sekolah-sekolah,
masjid-masjid, gereja-gereja,
semuanya akan hancur.
Dan mastodon-mastodon masih tetap merasa lapar,
selalu waswas,
tak bisa tidur,
yang satu mengawasi yang lain.
Profile Image for Nike Andaru.
1,634 reviews111 followers
December 21, 2021
97 - 2021

Kumpulan puisi di sini lebih banyak tentang kegelisahan Rendra atas negara, atas keadaan, atas apapun yang terjadi saat-saat buku ini ditulis.
Bagus, terasa sekali ungkapan kegelisahannya, daripada disebut doa untuk anak cucu. Ya, walaupun memang terselip doa di antara semua kegelisahan yang ada.

Judul favorit: Perempuan yang Tergusur
Profile Image for Yuli Hasmaliah.
71 reviews1 follower
July 24, 2019
Saya belum pernah membaca karya-karya Rendra, tentu Do'a Untuk Anak Cucu ini adalah kumpulan karya terakhirnya yang pertama kali saya baca, jadinya. Saya cukup puas dan terhanyut; puisinya yang berkaitan dengan agama -Do'a, ini memang dapat dengan mudah menyentuh hati pembacanya, menurut saya.

"Allah menatap hati
Manusia menatap rasa
Hamba bersujud kepadamu, ya Allah
Karena hidupku, karena hatiku.

Allah Yang Maha Benar
Hamba Mohon Karunia dari kebenaran yang telah paduka sebarkan
Jauhkanlah hamba daru hal-hal buruk menurut paduka dan dengan begitu akan buruk pula bagi hamba
Dekatkanlah hamba kepada hal-hal baik menurut paduka dan dengan begitu akan baik pula bagi hamba.

Ya Allah, ampunilah dosa-dosa hamba supaya bersih jiwa hamba
Sehingga dengan begitu mata hamba bisa melihat cahaya-Mu
Telinga hamba bisa mendengar bisikan-Mu
Dan nafas-Mu membimbing kelakuanku

Amin, ya robbal alamin."
Profile Image for Luthfi Amri.
22 reviews8 followers
July 23, 2016
Sajaknya adalah saksi betapa membabi buta cintanya terhadap rakyat dan mereka yang terpinggirkan.

Lalu ada politisi berkata kepada saya:
"Mas willy, sajakmu seperti prosa,
Tidak mengandung harapan,
Tidak mengandung misteri.
Cobalah mengarang tentang pemandangan alam dan misteri embun di atas kelopak melati."
(Politisi Itu Adalah)

"Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi.
Air mata mengalir dari sajakku ini."
(Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia
Profile Image for ukuklele.
462 reviews19 followers
June 7, 2025
Ini buku kumpulan puisi Rendra pertama yang saya baca. Sebelumnya saya membaca puisi Rendra hanya yang kebetulan ada di buku-buku apresiasi dan antologi yang sedang dibaca, salah satunya yaitu Teori dan Apresiasi Puisi . Di buku itu, Rendra mendapat porsi pembahasan yang cukup banyak. Oh, dan saya juga pernah mendengarkan album grup Kantata Takwa yang mana Rendra termasuk personilnya; saya rasa lagu-lagunya menggetarkan.

Buku Doa untuk Anak Cucu ini terbit pada 2013, sekitar 4 tahun setelah Rendra meninggal (6 Agustus 2009). Puisi-puisi di dalamnya sepertinya yang belum sempat dibukukan sampai Rendra meninggal, yang diserahkan kepada istrinya untuk disimpan maupun yang dititipkan langung kepada editor. Ada 22 puisi, selebihnya biografi Rendra. Keseluruhannya kurang lebih 100 halaman, dapat lekas dituntaskan.

Perkembangan gaya puisi Rendra telah diuraikan dalam Teori dan Apresiasi Puisi. Dalam biografi di buku ini, soal tersebut diungkit pula sembari dijelaskan bahwa itu karena Rendra telah memperhatikan masalah sosial-ekonomi-politik, sehingga beralih dari membuat puisi-puisi yang "mementingkan kata-kata sastra yang indah, atau tenggelam dalam berbagai macam eksperimen simbolistis, imagistis dan surealistis, yang menghasilkan suasana penuh misteri dan ambiguitas" menjadi puisi-puisi "dengan bahasa yang transparan ... kurang kadar puitisnya ... 'seperti koran' ... menulis untuk dimengerti, bukan untuk menghidangkan teka-teki" (halaman 80-83). Karena saya baru tamat membaca Poem-Making: Ways to Begin Writing Poetry , yang menyinggung tentang bagaimana orang menulis prosa yang dipotong-potong lalu menyebutnya sebagai puisi, terus terang saya merasa puisi-puisi dalam buku ini seperti itu. Malah Rendra sendiri tahu hal itu. Katanya, dalam "Politisi Itu Adalah" (halaman 29):

Lalu ada politisi berkata kepada saya:
"Mas Willy, sajakmu seperti prosa.
Tidak mengandung harapan,
tidak mengandung misteri.
....


Tapi, bukannya tanpa bermain rima serta figure of speech sama sekali. Contohnya:

"Kuman di seberang lautan harus tampak,
sebab kita harus selalu waspada.
Gajah di pelupuk mata ditembak saja,
sebab ia mengganggu pemandangan."

("Politisi Itu Adalah", halaman 27)


Manusia sekadar semak belukar
yang gampang dikacau dan dibakar.
Paket-paket pikiran murah dijajakan.
Penalaran amarah yang salah
mendorong rakyat terpecah belah.

("Kesaksian Akhir Abad", halaman 38)


Selain itu, ada puisi yang seperti bercerita (entah disebutnya balada atau sekadar menggunakan the narrative voice wkwk), contohnya "Perempuan yang Cemburu" (halaman 43) dan "Perempuan yang Tergusur" (halaman 52).

Dari judul buku, timbul kesan bahwa isinya religius. Memang ada puisi-puisi yang seperti mendoa. Tapi ada juga yang saru, yang "Perempuan yang Cemburu" itu. Sensualitas itu juga disasarkan pada sosok ibu.

Aku cium tanganmu, Ibu!
Rahim dan susumu adalah persemaian harapan
Kekuatan ajaib insan
dari zaman ke zaman

("Jangan Takut, Ibu!", halaman 42)


Tampak ibunda turun dari langit
berdiri di puncak pohon yang paling tinggi.
Bau kulit susu dan kulit kuduknya
memenuhi dadaku.

("Pertemuan Malam", halaman 50)


Timbul kesan ganjil membayangkan pria dewasa menyimpan kerinduan akan susu ibunya. Penggalan dari "Jangan Takut, Ibu!" itu pun mengingatkan pada The Grapes of Wrath karangan John Steinbeck, di mana cerita diakhiri dengan adegan seorang perempuan yang bayinya mati menyusui seorang kakek yang hampir mati. Episode S01E01 anime The Laughing Salesman menampilkan tokoh seorang pria yang selalu diandalkan oleh siapa saja, berujung ditemukan sedang dipangku dan bermain-main dengan susu seorang wanita raksasa. Gagasan-gagasan ini sepintas tampak saru, tapi sepertinya ada yang lebih daripada sekadar saru. Mungkinkah itu justru ungkapan ketidakberdayaan laki-laki--setua apa pun, kadang-kadang merasa ingin kembali ke masa ia masih dikeloni, dilindungi, menyerahkan diri dalam buaian ibu.

Menurut biografi, Rendra dibesarkan oleh pasangan tipikal ayah keras - ibu lembut. Rendra amat memuja ibunya, tapi selalu memberontak dan melawan ayahnya. Barangkali ada penjelasannya dalam psikologi, jangan-jangan relasi anak dengan ayah pada masa awal kehidupannya membentuk pandangan dunia si anak sampai dewasa. Contohnya, semangat pemberontakan dan perlawanan Rendra dalam puisi-puisinya berakar dari pola hubungan dengan ayahnya.

Mengenai hubungan Rendra dengan ayahnya dan bagaimana Rendra sendiri sebagai ayah, serta sangkut-pautnya dengan peran beliau dalam keluarga, baik keluarga tempat beliau dibesarkan maupun keluarga yang beliau bentuk kemudian, tercakup dalam biografi ini. Topik ini menarik karena belakangan kelihatannya lagi naik isu tentang krisis ayah.
Profile Image for Noep.
49 reviews28 followers
July 22, 2018
Buku puisi kedua yang saya baca dari Rendra. "Doa untuk Anak Cucu" kemudian membuat saya banyak berpikir bagaimana puisi-puisi bukan melulu refleksi tentang diri, tetapi lebih banyak menjelajahi refleksi hal-hal di luar kita, terlebih-lebih seputar kemanusiaan, sejarah dan Indonesia secara general. Dalam buku ini, Rendra banyak membahas hal-hal seputar ke-Indonesia-aan, tetapi dalam bentuk kegetiran dan renungan "untuk tidak menjejak kesalahan yang sama". Apalagi dalam isu-isu pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. Puisinya begitu frontal, garang dan lugas tetapi membuat saya mengusap air mata. Begitulah sepantasnya "Doa untuk Anak Cucu".

Ada dua puisi yang sangat saya suka, yaitu "Pertanyaan Penting" dan Hak Oposisi". Puisi yang saya sebutkan pertama adalah yang paling saya sukai; tentang "Marsinah" dan refleksi kekejaman terhadap perjuangan kaum buruh. Berikut puisinya:

Pertanyaan Penting

Indonesia indah melimpah.
Di samping sumur pohon jambu berkembang.
Di laut ikan cakalang dan lumba-lumba.
Lalu kenapa kamu bunuh Marsinah?
Kenapa kamu bunuh para petani di Sampang, Madura?
Apakah tak kamu lihat kupu-kupu menari?
Ayam berkotek dan burung bernyanyi?

Wahai kamu para ksatria yang perkasa!
Kenapa kamu bunuh Marsinah?
Apakah derita buruh-buruh mengganggu tidur siangmu?
Kenapa kamu bunuh para petani di Sampang?
Apakah kamu ksatria yang membela penindasan?

Apakah kamu tidak pernah membayangkan
dengus erang ibumu
waktu ia melahirkan kamu?
Apakah kamu tak pernah melihat adikmu menari,
dan mendengar nenekmu menembang?
Kenapa kamu jarah nyawa Marsinah?
kamu jarah nyawa para petani Sampang,
yang berjuang untuk hak nafkahnya
yang sesuai dengan undang-undang?
Sedang dengan garang kamu membela
Para cukong yang menjarah ekonomi bangsa.

Wahai para ksatria perkasa,
di mana kampung halamanmu?
Siapakah ibumu?
Siapa saudara dan saudarimu?
Waktu uang rakyat dibawa lari ke luar negeri,
waktu daulat hukum dikhianati,
dan daulat rakyat dijarah oleh tirani,
di mana kamu berdiri, ksatriaku?

Kenapa kamu bunuh Marsinah?
Kenapa kamu bunuh para petani di Sampang, Madura?
Kenapa kamu bunuh Udin, Moses,
dan di Trisakti 4 orang mahasiswa?
Siapakah ibumu, para ksatriaku?
Kenapa dengan berencana
kamu perkosa perempuan-perempuan Cina
yang tidak berdaya?
Siapakah yang melahirkan kamu, para ksatriaku?
Siapakah saudara-saudarimu?
Apakah ada putra-putrimu?

Dan kamu, para cukong, penjarah kekayaan bangsa,
kamu juga biang keladi dari anarki ini.
Kepada kamu aku bertanya:
mentang-mentang kamu bisa beli perlindungan,
apakah kamu merasa berada di atas undang-undang?

Wahai, candu kekuasaan!
Wahai, bius harta kekayaan!
Wahai, lengking mabuk nafiri kejayaan!
Wahai, para biang keladi anarki ini!
Lihatlah, telah kamu lukai dengan parah
sampai berdarah-darah
nurani bangsamu
dan juga nurani dirimu sendiri!
Profile Image for Gita Swasti.
322 reviews40 followers
July 31, 2018
Puisi Rendra wajib dibaca ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Percayalah,
Terdiri dari 23 puisi, berisikan kritik sosial dan konflik-konflik lain yang diceritakan dengan ‘tega’.

"Sebagai janda yang pelacur
kamu tinggal di gubuk di tepi kali
di batas kota.
Gubernur dan para anggota DPRD menggolongkan kamu sebagai tikus got
yang mengganggu peradaban.
Di dalam hukum positif tempatmu tidak ada.
Jadi kamu digusur." (hlm. 53)


Salah satu puisinya yang berjudul Perempuan yang Cemburu merupakan yang terpanjang, lima halaman. Buku ini dibagi menjadi dua bagian, pertama berisi puisi-puisi sedangkan bagian kedua berisi biografi W.S. Rendra.
Profile Image for Alfiyah.
10 reviews
December 5, 2021
ternyata kumpulan sajak yang belum pernah diterbitin, di dalamnya ada tulisan asli beliau gitu
aku yang awam ini butuh waktu untuk bacanya, baca sambil dengerin pembacaannya di yutub dapet banget feelnya
jadi ga heran banyak yang cinta dengan almarhum
dan aku telat.
buat newbie bener deh mending baca puisinya sambil dengerin orang yang bacain di yutub, karena bakal lempeng aja gitu kalau kita baca sendiri
cobain deh!
aku udah nyiapin playlistnya (berdasarkan yg udah aku tonton)
https://youtube.com/playlist?list=PLt...
Profile Image for Rose Diana.
Author 3 books1 follower
December 31, 2019
Puisi dari W.S. Rendra ini tidak melulu soal cinta, refleksi diri ataupun yang menyangkut soal diri sendiri, juga dapat tentang sekitar, seperti lingkungan, renungan, hak asasi dan lain sebagainya. Penyair bisa dibilang tajam dalam melihat situasi yang sedang terjadi lalu dituangkan ke dalam karyanya. Seperti judulnya, isi buku ini mengenai harapan untuk anak cucu dalam segala hal. Puisi favorit saya adalah Pertanyaan penting.
Profile Image for Rafik Nurf.
39 reviews4 followers
April 27, 2020
Berisi sajak-sajak alm Rendra yang belum pernah dipublikasikan. terdapat puisi beliau yg berjudul: "Tuhan, Aku Cinta Padamu". di mana puisi tersebut ditulis ketika tahun-tahun beliau menutupkan usianya (2009).
kutipan puisi yang terus menggema di kepalaku:
-
Hidup & segala usaha manusia
barulah bearti & nyata
bila ia menyadari batas kemampuannya
-
(Di mana Kamu, De,Na?)
Profile Image for Arystha.
322 reviews11 followers
December 9, 2023
22 puisi dalam buku ini, mengambil tema tentang negara, rakyat, dan Tuhan. Ada beberapa lembar pengantar di awal buku, dan beberapa lembar biografi Rendra di akhir buku.


Doa

Allah menatap hati.
Manusia menatap raga.
Hamba bersujud kepada-Mu, ya Allah!
Karena hidupku, karena matiku.

...

...

Depok, 7 November 2002
Profile Image for Safara.
413 reviews69 followers
June 21, 2018
Akhirnya saya membaca buku puisi karena meminjam dari aplikasi iPusnas.

Topik yang diangkat menarik, kebanyakan kritik terhadap pemerintahan baik dari segi hutang negara maupun pemerataan keadilan sosial.

Buku yang menarik untuk selingan bacaan ringan.
Profile Image for Afy Zia.
Author 1 book116 followers
November 24, 2018
Menilik dari judulnya, saya kira kumpulan puisi ini bakal agamais banget. Ternyata nggak juga. Malah cukup banyak puisi yang membicarakan (atau menyindir?) kekuasaan Orba. Mengingatkan saya kembali pada puisi-puisi Wiji Thukul.
Profile Image for Onie Siwi.
2 reviews
November 5, 2019
Buku ini saya baca saat pengerjaan skripsi. Makna dari buku inilah yang saya coba telaah. Pada proses pengerjaannya tanpa disadari saya terlalu terbawa suasana dalam setiap syair puisi W.S. Rendra sehingga mempengaruhi penulisan skripsi saya, tetapi saya menikmatinya. :) :):)
Profile Image for Randa Muhammad.
96 reviews4 followers
May 23, 2020
selain berisi doa, buku ini jg berisi gambaran sosial-politik pd masa akhir orde baru sampe awal reformasi. begitu menggugah. pengamatan dan rangkaian kata yg cerdas dr rendra. tak sulit memahami bahasa puisi rendra
Profile Image for Devi N..
49 reviews2 followers
December 24, 2021
Mengulas kembali puisi ciptaan WS Rendra—kembali tenggelam dalam kata-kata. Dalam buku ini banyak diutarakan kegelisahan beliau untuk negara dan pemerintahan. Kata yang terangkai dengan berapi-api mempertanyakan, kehadiran keadilan.
Profile Image for Bibin.
2 reviews
January 27, 2023
Salah satu buku yang mengubah pandangan saya bahwa puisi harus penuh kata teka-teki, tapi disini semua puisinya mudah dipahami. Bahkan bagi orang yang kurang begitu mengenal puisi, saya dapat dengan mudah terbawa emosi saat membaca bait demi baitnya. Keren.
Profile Image for svrhld.
105 reviews7 followers
February 4, 2017
His writings were so great. i mean it's easy to understand and there's a lot of meanings after his poets. suka sama caranya dia membawa topik topik yang sensitif seperti politisi, 1998, dan masih banyak lagi.
Profile Image for Muhammad Rajab Al-mukarrom.
Author 1 book28 followers
May 10, 2014
tidak bisa tidak untuk memberi buku antologi puisi ini lima bintang.
karya W.S Rendra memang sudah lama saya kagumi. mungkin saat saya masih duduk di bangku SMP. masa di mana saya tengah gemar-gemarnya menulis puisi, membaca puisi, serta ikut berbagai perlombaan membaca puisi.
selain Chairil Anwar dan Sutardji Cholzum Bachri, saya dan teman-teman saya saat itu selalu menyukai karya-karya W.S Rendra untuk dibaca ketika mengikuti lomba.
puisi-puisi karya beliau selalu asyik untuk dinikmati di waktu kapan saja. bahasanya indah, mampu menyedot perhatian dengan kuat, pun temanya beragam.
saya percaya kekuatan sebuah puisi salah satunya adalah kekuatan baris pembuka dan baris penutupnya. untuk hal yang satu ini tentunya W.S Rendra tak hanya memiliki kekuatan itu, tapi juga keindahan dan kecerdikan dalam tiap sajak-sajak yang lahir darinya.

dalam antologi puisi ini, hampir seluruh puisinya saya sukai.
sesuatu yang magis pada beberapa sajak karya W.S Rendra ini mengingatkan saya akan rasa magis yang sama ketika dulu saya larut dalam kata-kata puitisnya. sehingga saya sulit kembali ke dunia nyata setelah membaca sajak-sajaknya di perpustakaan sekolah.

puisi-puisi yang sungguh berkesan:
1. Gumamku, ya Allah
2. Doa
3. Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia
4. Hak Oposisi
5. Inilah Saatnya
6. Syair Mata Bayi
7. Tentang Mata
8. Ibu di Atas Debu
9. Pertanyaan Penting
10. Politisi itu Adalah
11. He, Remco!


O, penyair besar telah memanjatkan doa untukmu!
Pada sekalian kamu, anak cucu.
Sajak-sajak ini pula untukmu
jangan biarkan kata-katanya menunggu
dan bait-baitnya berdebu.

Profile Image for Edisty Friskanesya.
176 reviews19 followers
June 9, 2013
"Ayam, serigala, macan, ataupun gajah,
semuanya peka pada wilayahnya.
Setiap orang juga ingin berdaulat
di dalam rumah tangganya.
Setiap penduduk ingin berdaulat
di dalam kampungnya.
Dan kehidupan berbangsa
tidak perlu merusak daulat kedaerahan."
-Kesaksian Akhir Abad

Glosarium:
ahimsa /ahim·sa/ n 1 ajaran agama Hindu dan Buddha untuk tidak menyakiti makhluk apa pun dan menghindari kekerasan; 2 ajaran Mahatma Gandhi yg melarang membunuh (menyakiti) dan menggunakan kekerasan

gandasuli /gan·da·su·li/ n tumbuhan yg berbunga putih atau kekuning- kuningan dan berbau harum, daunnya bulat panjang, agak kaku dan duduk saling berhadapan, berbunga pd ujung batang, ditanam sbg tumbuhan hias; kembang laras; Hedychium coronarium

jeladri /je·lad·ri/ n laut(an)

maskumambang /mas·ku·mam·bang/ Jw n bentuk komposisi tembang macapat, biasanya dipakai untuk melukiskan kisah sedih atau keprihatinan yg mendalam, mempunyai bait lagu yg terdiri atas empat baris, baris pertama mempunyai 12 suku kata yg berakhir dng bunyi i (12 i), kemudian berturut-turut 6 a, 8 i, dan 8 a

mastodon /mas·to·don/ n 1 binatang purba, mamalia raksasa; 2 ki sesuatu yg serba besar

merkantilisme /mer·kan·ti·lis·me/ /mérkantilisme/ n Ek sistem ekonomi untuk menyatukan dan meningkatkan kekayaan keuangan suatu bangsa dng pengaturan seluruh ekonomi nasional oleh pemerintah dng kebijaksanaan yg bertujuan mengumpulkan cadangan emas, memperoleh neraca perdagangan yg baik, mengembangkan pertanian dan industri, dan memegang monopoli atas perdagangan luar negeri


Profile Image for Jusmalia Oktaviani.
Author 4 books4 followers
March 11, 2015
Saya sebenarnya tipe pembaca puisi yang buruk, karena terbiasa dengan novel dan cerpen membuat saya membaca dengan cepat. Oleh karena itu, ketika dipinjamkan buku ini, saya bertekad untuk membaca lambat, bahkan mengulang beberapa kalimat yang terlewat, karena saya yakin puisi punya kekuatan dalam setiap kata. Saya tidak ingin hanya membaca untuk prestise sementara saya tidak mendapat sesuatu dari apa yang saya baca.

Pemilihan kata tertentu, pembuatan kalimat tertentu oleh penulis, bukan hanya karena keisengan sekedar penulis, tapi karena memang ada sesuatu yang ingin diungkapkan oleh penulis tersebut. Apalagi, penulis sekelas W.S. Rendra dengan ilmu dan pengalaman dalam bidang sastra, teater, dan puisi yang mumpuni. Semenjak puisi pertama, hingga teakhir, jujur saya sangat menikmati. Mungkin karena Rendra bukan tipe pengguna kalimat metafor yang membingungkan. Ia sering menggunakan kalimat lugas dalam puisinya. Namun, puisi itu tetap saja indah dibaca dan dirasa. Kebanyakan puisi dalam buku ini merupakan puisi bernada sosial, dan didominasi kritik terhadap pemerintahan Soeharto yang memang membatasi kebebasan para seniman saat itu. Ada pula puisi yang bernuansa religius, konflik Ambon, Tsunami Aceh, dan kehidupan kaum miskin yang terpinggirkan.

Kumpulan puisi Rendra ini pada akhirnya memang merupakan doanya bagi anak cucu (baca: kita).
Profile Image for Lani M.
346 reviews42 followers
September 5, 2013
Siapa yang tidak kenal W.S Rendra, penyair yang telah berusia 71 tahun namun masih produktif merangkai kata-kata dan membuat kita terpana. Di dalam buku ini, kumpulan puisinya banyak menyoroti, mengkritisi, dan melontarkan protes keras pada pemerintah. "Saya protes dan bersikap kritis terhadap pemerintah bukan lantaran saya berani. Malah sebaliknya, karena saya takut apa yang bakal menimpa anak cucu di masa depan", ujarnya.

Buku ini memuat 22 puisi, dengan objek yang berbeda-beda, namun benang merahnya tetap protes terhadap pemerintah, politisi, militer. Ia juga mengajak kita melihat konsep ideal tentang hubungan antara rakyat dan pemerintah.

Favorit saya adalah puisi yang berjudul Maskumambang.
"Meskipun hidup berbangsa perlu politik,
tetapi politik tidak boleh menjamah
ruang iman dan akal
di dalam daulat manusia!"
.....................................

Mas Willy! istriku datang menyapaku.
Ia melihat pipiku basah oleh air mata.
Aku bangkit hendak berkata.
"Sssh, diam!" bisik istriku,
"Jangan menangis. Tulis sajak.
Jangan bicara."

Kita bisa melihat betapa Rendra peka terhadap isu-isu sosial, dan juga bahwa istrinya memahami Rendra, dan hanya memintanya untuk menuliskan semua kegelisahannya di dalam sajak.
Profile Image for Mei.
50 reviews28 followers
September 7, 2019
Akhirnya.

Lagi-lagi kalau bukan karena tugas, mungkin buku ini tidak akan terbaca dan saya lebih memilih prosa untuk menemani akhir pekan yang lengang. Tapi akhir pekan dengan buku ini tidaklah sia-sia.

Saya suka Rendra. Suka sekali. Mungkin karena gaya penulisannya yang khas Rendra : frontal, tidak basa-basi, tegas, dan lugas. Ia tidak menggunakan banyak metafora atau simile, kalaupun ya, metaforanya masih dapat dengan mudah dipahami. Terlebih lagi biasanya Rendra menuliskan kisah, balada, dan fenomena di balik puisinya, jadi biar kita pinter dikit baca puisi sekaligus belajar sejarah, belajar sosio, belajar politik, belajar hidup.

Pertama kali puisi Rendra yang saya baca adalah puisi Balada Terbunuhnya Atmo Karpo, diakhir puisinya ada perasaan tegang dan apa ya... terkesima(?)dengan apa yang saya baca. Seperti ada sesuatu yang meledak di akhir bait. Hal ini kemudian selalu saya nantikan setiap baca sajak Rendra, dan puisi-puisi dalam buku ini ternyata tidak mengecewakan saya.


Sederhana tapi tetap terasa keindahan puisinya.
Profile Image for Masya Ruhulessin.
28 reviews13 followers
November 15, 2013
Saya selalu suka puisi-puisi Rendra, karena kata-kata yang digunakannya sederhana dan tak berbelit-belit. Hmm, dalam buku ini saya lebih mengenal Rendra lebih dalam karena sajian biografinya ada sekitar 30 halaman. Tapi itu tak membosankan. Menyenangkan sekali membaca Rendra yang fluktuatif dan cerdas dengan gaya nya sendiri.
Profile Image for Hidya Nuralfi Mentari.
149 reviews15 followers
February 21, 2014
Dalam pelajaran Sejarah Sastra di kampus saya, W.S Rendra menjadi soulmate yang saya pilih--setiap maahsiswa harus memilih salah satu soulmate seorang sastrawan dan mencari tentang banyak hal tentang soulmatenya. Ini buku pertama beliau yang saya baca. Semoga terus memiliki kesempatan untuk membaca yang lainnya :)
Profile Image for Bening Tirta Muhammad.
100 reviews26 followers
June 17, 2014
aktual, hidup, begitu pahit, tapi kurasi kumpulan puisi ini kurang apik, seperti tidak ada alur atau pengelompokan yang jelas. saya terkesima mengamati larik puisi yang biasa tapi bercerita. Will telah hidup dalam penilaian yang terasah.

sidang pembaca, selamat membersihkan karat mata hati, sehingga kita punya takaran yang dalam!
Profile Image for Zahara Putri.
19 reviews
November 26, 2014
menyesal sekali baru baca karya rendra pas udah tua gini... menyesal karena baru ngefans, kemana aja gue selama ini -_-"

antologi yang cukup lengkap dalam mengemas fenomena sosial yang sering kita abaikan padahal berseliweran dimana-mana, cocok buat mengasah kepekaan sosial kita.

tunggu.. kenapa bintangnya cuma lima??? padahal saya mau kasih sepuluh.. :p
Profile Image for Irwan.
Author 9 books122 followers
December 6, 2014
Rendra, ternyata pengetahuanku tentangmu hanya sepicik ini: burung merak yang bersosok urakan pemberontak dan perayu. Buku ini menyajikan rentang pengembaraanmu dalam kata, seni, dan kehidupan. Sedikit dari puisi, selebihnya dari biografi singkat yang menutup buku ini. Banyak percikan inspirasi di dalamnya.

PS. Tulisan tanganmu ternyata mirip tulisan tanganku :-)
Displaying 1 - 30 of 49 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.