Jump to ratings and reviews
Rate this book

Cinta Semanis Racun: 99 Cerita dari 9 Penjuru Dunia

Rate this book
Antologi ini memuat 99 cerpen terjemahan karya 99 pengarang terkemuka dari pelbagai penjuru dunia dan zaman, dari sastrawan klasik semacam Leo Tolstoy hingga pengarang masa kini berusia awal 40-an serupa Liliana Blum. Lebih dari dua per tiganya, tepatnya 74 di antara 99 cerpen, pernah dipublikasikan sebelumnya di 20 media cetak nasional dan daerah.

Dalam antologi ini, kita bisa membaca pula jejak pencapaian para pengarang terkemuka di berbagai belahan dunia dan zaman. Dari para empu Eropa seperti Anton Chekov, Fyodor Dostoyevsky, Emile Zola, James Joyce, dan Franz Kafka hingga para maestro Amerika Latin semacam Jorge Luis Borges, Jorge Cortazar, Carlos Fuentes, Isabel Allende, dan Roberto Bolano. Tak ketinggalan juga para kampiun Nobel Sastra serupa Gabriel Garcia Marquez, Octavio Paz, Nadine Gordimer, Gao Xingjian, dan Mo Yan. Suara-suara utama masa kini dalam pentas sastra dunia antara lain diwakili oleh Horacio Castellanos Moya (pengarang Honduras yang disebut-sebut World Literature Today layak meraih Nobel Sastra), Etgar Keret (penulis Israel yang menarik perhatian dunia), dan Haruki Murakami (novelis laris yang berkali-kali menjadi kandidat pemenang Nobel Sastra).

Aku segera menyelesaikan dinding itu. Kurapatkan batu terakhir pada tempatnya. Lalu aku merekatkannya dengan semen. Terakhir, aku menumpuk belulang menutupi dinding baru itu. Hingga setengah abad tak seorang pun mengusik mereka. Beristirahat dengan damai! --Anggur Amontillado, Edgar Allan Poe

632 pages, Hardcover

Published August 1, 2016

17 people are currently reading
57 people want to read

About the author

Anton Chekhov

5,892 books9,762 followers
Dramas, such as The Seagull (1896, revised 1898), and including "A Dreary Story" (1889) of Russian writer Anton Pavlovich Chekhov, also Chekov, concern the inability of humans to communicate.

Born ( Антон Павлович Чехов ) in the small southern seaport of Taganrog, the son of a grocer. His grandfather, a serf, bought his own freedom and that of his three sons in 1841. He also taught to read. A cloth merchant fathered Yevgenia Morozova, his mother.

"When I think back on my childhood," Chekhov recalled, "it all seems quite gloomy to me." Tyranny of his father, religious fanaticism, and long nights in the store, open from five in the morning till midnight, shadowed his early years. He attended a school for Greek boys in Taganrog from 1867 to 1868 and then Taganrog grammar school. Bankruptcy of his father compelled the family to move to Moscow. At the age of 16 years in 1876, independent Chekhov for some time alone in his native town supported through private tutoring.

In 1879, Chekhov left grammar school and entered the university medical school at Moscow. In the school, he began to publish hundreds of short comics to support his mother, sisters and brothers. Nicholas Leikin published him at this period and owned Oskolki (splinters), the journal of Saint Petersburg. His subjected silly social situations, marital problems, and farcical encounters among husbands, wives, mistresses, and lust; even after his marriage, Chekhov, the shy author, knew not much of whims of young women.

Nenunzhaya pobeda , first novel of Chekhov, set in 1882 in Hungary, parodied the novels of the popular Mór Jókai. People also mocked ideological optimism of Jókai as a politician.

Chekhov graduated in 1884 and practiced medicine. He worked from 1885 in Peterburskaia gazeta.

In 1886, Chekhov met H.S. Suvorin, who invited him, a regular contributor, to work for Novoe vremya, the daily paper of Saint Petersburg. He gained a wide fame before 1886. He authored The Shooting Party , his second full-length novel, later translated into English. Agatha Christie used its characters and atmosphere in later her mystery novel The Murder of Roger Ackroyd . First book of Chekhov in 1886 succeeded, and he gradually committed full time. The refusal of the author to join the ranks of social critics arose the wrath of liberal and radical intelligentsia, who criticized him for dealing with serious social and moral questions but avoiding giving answers. Such leaders as Leo Tolstoy and Nikolai Leskov, however, defended him. "I'm not a liberal, or a conservative, or a gradualist, or a monk, or an indifferentist. I should like to be a free artist and that's all..." Chekhov said in 1888.

The failure of The Wood Demon , play in 1889, and problems with novel made Chekhov to withdraw from literature for a period. In 1890, he traveled across Siberia to Sakhalin, remote prison island. He conducted a detailed census of ten thousand convicts and settlers, condemned to live on that harsh island. Chekhov expected to use the results of his research for his doctoral dissertation. Hard conditions on the island probably also weakened his own physical condition. From this journey came his famous travel book.

Chekhov practiced medicine until 1892. During these years, Chechov developed his concept of the dispassionate, non-judgmental author. He outlined his program in a letter to his brother Aleksandr: "1. Absence of lengthy verbiage of political-social-economic nature; 2. total objectivity; 3. truthful descriptions of persons and objects; 4. extreme brevity; 5. audacity and originality; flee the stereotype; 6. compassion." Because he objected that the paper conducted against Alfred Dreyfus, his friendship with Suvorin ended

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
10 (33%)
4 stars
17 (56%)
3 stars
3 (10%)
2 stars
0 (0%)
1 star
0 (0%)
Displaying 1 - 3 of 3 reviews
Profile Image for Dion Yulianto.
Author 24 books196 followers
May 22, 2017
Salah satu tolok ukur kemajuan suatu bangsa ada pada perkembangan sastranya. Bangsa-bangsa yang maju adalah para pembaca sastra yang lahap. Budaya membaca mereka sangat kuat yang pada gilirannya turut mendukung lahirnya para penulis sastra yang berbakat. Fakta bahwa sebagian besar penerima Nobel Sastra berasal dari negara-negara maju di kawasan Eropa dan Amerika Utara (baru-baru ini Tiongkok dan Jepang juga) juga semakin menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara majunya suatu bangsa dengan kemajuan karya sastranya. Mungkin kasusnya agak berbeda untuk di Amerika Selatan, tetapi kebanyakan penerima Nobel Sastra memang didominasi dari warga-negara maju. Bagaimana dengan Indonesia? Meskipun belum ada sastrawan negeri ini yang mendapatkan kehormatan Nobel sastra, kita patut berbangga karena Pram pernah dinominasikan sebagai calon penerima Nobel sastra, meskipun tidak pernah terpilih juga akhirnya.

Kita memimpikan untuk bisa memiliki penulis atau sastrawan penerima Nobel Sastra dari Indonesia. Mimpi seperti ini sah-sah saja, tetapi perlu kita ingat juga bahwa pencapaian seprestisius itu harus didahului dengan pengembangan dan pertumbuhan budaya membaca di negeri ini. Umumnya, penulis yang baik lahir dari masyarakat pembaca yang baik. Tanpa adanya keinginan yang kuat untuk mau membaca, sulit untuk bisa menjadi seorang penulis besar, apalagi penulis sekaliber para penerima Nobel Sastra. Keinginan membaca yang kuat ini tentunya juga harus didukung pula dengan tersedianya bacaan-bacaan sastra yang berkualitas, termasuk karya-karya sastra gubahan para pengarang kelas dunia. Bagaimana dunia mau mengapresiasi karya-karya sastra dari Indonesia jika bangsa Indonesia sendiri cuek pada sastra dunia.

Menjadikan masyarakat Indonesia melek pada sastra dunia salah satunya telah dilakukan oleh Anton Kurnia. Selama kurun waktu 15 tahun, Anton Kurnia dengan tekun telah memilih dan memilah, kemudian menerjemahkan puluhan cerita pendek karya para pengarang dunia. Cerita-cerita pendek ini kemudian dikirimkan dan banyak yang dimuat di media massa. Beberapa karya terjemahannya bahkan menjadi langganan untuk diterbitkan di Koran Tempo edisi akhir pekan. Ketekunannya menerjemahkan cerita-cerita pendek dunia didasari oleh keyakinannya akan pentingnya memperkenalkan sastra dunia kepada pembaca Indonesia. Dalam hal ini, upaya besar Anton Kurnia ini menemukan relevansi dengan impian bangsa ini untuk memiliki penulis sekaliber Orhan Pamuk atau Haruki Murakami.

Kendala bahasa merupakan penghalang utama bagi sebagian besar pembaca Indonesia. Berbeda dengan masyarakat pembaca di negeri Jiran yang memiliki budaya berbahasa Inggris cukup tinggi, umumnya masyarakat Indonesia masih belum terbiasa membaca buku berbahasa Inggris. Karena, upaya Anton Kurnia menerjemahkan cerpen-cerpen karya pengarang dunia sungguh sangat patut diapresiasi. Sebuah petuah dari salah satu penulis besar menjadi penyemangatnya dalam menerjemahkan. “Setiap sastrawan memiliki tanggung jawab moral untuk menerjemahkan satu karya sastra dunia ke dalam bahasa ibunya.” Upaya ini tidak lain tidak bukan agar pembaca di negaranya juga bisa turut menikmati dan mengambil pelajaran dari tulisan para maestro sastra dunia.

Buku yang sekaligus menjadi dokumentasi karya Anton Kurnia ini memuat 99 cerita pendek karya para pengarang dari berbagai penjuru dunia. Bagi para pembaca akut yang tentunya sudah tidak asing lagi dengan nama-nama klasik seperti Frank Kafka, Oscar Wilde, dan O’Henry; hadirnya buku ini ibarat pemuas rasa rindu membaca karya-karya legendaris tersebut. Sementara bagi para pembaca kontemporer, hadirnya nama-nama seperti Haruki Murakami dan Gabriel Garcia Marques di buku tebal ini tentu akan menghadirkan daya tarik tersendiri. Pun bagi para pembaca pemula yang baru terbuai eloknya dunia sastra, buku ini akan menjadi semacam pengantar yang ramah sekaligus lengkap dalam sebuah tur pembacaan sastra dunia.

Siapa saja di buku ini? Dimulai dari para sastrawan dari era klasik seperti Anton Chekov, Fyodor Dostoyevsky, Emile Zola, James Joyce, dan Franz Kafka. Kemudian ada para maestro Amerika Latin yang karya-karya beraliran realisme magisnya kembali diminati saat ini, seperti semacam Jorge Luis Borges, Jorge Cortazar, Carlos Fuentes, Isabel Allende, dan Roberto Bolano. Tak ketinggalan juga peraih Nobel Sastra serupa Gabriel Garcia Marquez, Octavio Paz, Nadine Gordimer, Gao Xingjian, dan Mo Yan. Karya penulis-penulis calon peraih Nobel juga turut ditampilkan, mulai dari Horacio Castellanos Moya (pengarang Honduras yang disebut-sebut World Literature Today layak meraih Nobel Sastra), Etgar Keret (penulis Israel yang menarik perhatian dunia), dan tentu saja Haruki Murakami (novelis laris yang berkali-kali menjadi kandidat pemenang Nobel Sastra).

Selain begitu beragamnya nama dan karya, hal unik dari buku ini adalah penerjemah menyusun dan membagi isi buku ini sesuai daerah tempat para penulisnya bertempat tinggal. Dengan demikian, meskipun cerpen-cerpen dari Amerika Latin dan Eropa cukup mendominasi, kita masih bisa membaca karya-karya dari kawasan yang jarang diasosiasikan sebagai kawasan yang nyastra, seperti Karibia dan Oseania. Membaca karya-karya dari daerah-daerah baru ini membuktikan betapa lingkungan memang turut menyumbang dalam corak tulisan para penulisnya. Masih ada lagi kawasan Asia Timur, yang akhir-akhir ini rupanya menjadi salah satu perhatian dunia. Penantian Murakami akan Nobel sastra secara tidak langsung membuat pembaca menyorotkan pandangan pada karya-karya lain dari Tiongkok dan Jepang yang ternyata tidak kalah berbobot.

Karena sebuah buku yang bagus, tulis sastrawan Hamsad Rangkuti, dapat memincu munculnya gangguan kreatif pada pembacanya, semoga buku ini pun bisa berbuat demikian kepada para pembaca di Indonesia. Melek sastra dunia diawali dengan tersedianya karya-karya dunia yang bisa terbaca tanpa memaksa pembaca awam pun mengerutkan keningnya. Anton Kurnia dengan luwes menerjemahkan kisah-kisah dunia di buku ini. Kalimat-kalimatnya mudah dipahami, dan masih terasa sekali ada aroma asli dari naskah orisinalnya. Penerjemahan di antaranya adalah perkara pengalaman. Cerpen-cerpen di buku tebal ini membuktikan betapa panjang dan banyaknya jam terbang sang penerjemah dalam menekuni kamus dan tesaurus untuk memunculkan cerita terjemahan yang seelok naskah aslinya. Buku ini adalah sebuah dokumentasi sastra dunia dalam bahasa Indonesia yang tak ternilai harganya.

Ini ulasan apa esai ya btw?
Profile Image for Lisa didien.
18 reviews31 followers
March 12, 2017
Well done! The book gave me wider knowledge about various short stories from various writers all around the world. I enjoyed most short stories which have simple plot and sense of humour. I tried my best to get myself inside the stories which have kind of abstract plots and also which contain absurd fantacies or imaginations.
Displaying 1 - 3 of 3 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.