Jump to ratings and reviews
Rate this book

Gerakan Punakawan Atawa Arus Bawah

Rate this book
Sebagai makhluk cerdas dan njamani, kelompok punakawan selalu mampu menyerap aspirasi dari bawah. Ketika rakyat bawah dikerjain 'rakyat atas' para punakawan melakukan gerakan advokasi atau pembelaan. Mereka menyatu dengan arus bawah itu.

Dalam novel-esai yang berbau keposmo-posmoan ini Emha Ainun Nadjib dengan cermat melukiskan bagaimana gerakan punakawan itu mampu menggugat apa-apa yang seharusnya digugat, termasuk dirinya sendiri dan struktur atas di masyarakatnya. Dan sebagai punakawan, cara mereka menggugat juga menggunakan punakawan, lewat humor yang tajam dan menggigit kesadaran kita.

236 pages, Paperback

First published January 1, 1994

26 people are currently reading
310 people want to read

About the author

Emha Ainun Nadjib

92 books484 followers
Budayawan Emha Ainun Nadjib, kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953, ini seorang pelayan. Suami Novia Kolopaking dan pimpinan Grup Musik KiaiKanjeng, yang dipanggil akrab Cak Nun, itu memang dalam berbagai kegiatannya, lebih bersifat melayani yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Semua kegiatan pelayannya ingin menumbuhkan potensialitas rakyat.

Bersama Grup Musik KiaiKanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Di samping itu, secara rutin (bulanan) bersama komunitas Masyarakat Padang Bulan, aktif mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.

Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah. “Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuat baik sudah berdakwah,” katanya.

Karena itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama istri dan kelompok musik KiaiKanjeng di taman budaya, masjid, dan berbagai komunitas warga tak disebut sebagai kegiatan dakwah. “Itu hanya bentuk pelayanan. Pelayanan adalah ibadah dan harus dilakukan bukan hanya secara vertikal, tapi horizontal,” ujarnya.

Perihal pluralisme, sering muncul dalam diskusi Cak Nun bersama komunitasnya. “Ada apa dengan pluralisme?” katanya. Menurut dia, sejak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme. “Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar,” ujar Emha. Dia dengan tegas menyatakan mendukung pluralisme. Menurutnya, pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam beda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, dengan Hindu. “Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua,” tutur budayawan intelektual itu.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
60 (42%)
4 stars
44 (31%)
3 stars
30 (21%)
2 stars
6 (4%)
1 star
0 (0%)
Displaying 1 - 20 of 20 reviews
Profile Image for Anggi Hafiz Al Hakam.
329 reviews5 followers
March 8, 2015
Setiap kekuasaan itu cenderung menumpas dirinya sendiri. Rakyat itu sendiri tak bergantung kepada kekuasaan. Hanya kekuasaan yang sangat bergantung kepada rakyat. Seperti kesementaraan bergantung kepada keabadian. (Hal. 111)

Arus Bawah pertama kali terbit dalam wujud buku dengan judul “Gerakan Punakawan atawa Arus Bawah” pada tahun 1994. Dengan mengalami sedikit perubahan (entah penyesuaian) judul, buku ini hadir kembali setelah dua dasawarsa. ‘Arus Bawah’ mengangkat persoalan kebangsaan yang masih erat kaitannya dengan Bangsa Indonesia. Penulis sepertinya sengaja menyisipkan para punakawan sebagai tokoh utama dalam cerita.

Pembaca barangkali sudah tidak asing lagi dengan punakawan yang diwakili Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Semar dikisahkan sebagai penjaga keseimbangan , Gareng adalah rakyat biasa yang terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri, ia adalah filsuf desa. Petruk merepresentasikan dirinya sebagai pengamat, ia tidak terlalu serius dalam menanggapi ocehan Gareng, namun ia juga tak kalah kritis dibanding kakaknya itu. Bagong, sebagai representasi Semar yang lahir dari bayangan Semar menjadi kebalikan dari Sang Ismaya Badranaya.

Kehadiran punakawan dalam pementasan pewayangan seringkali diawali oleh ‘goro-goro’ yaitu keteika cerita dalam konflik telah mencapai klimaksnya. Novel karya Emha Ainun Nadjib ini mengisahkan tentang hilangnya Kiai Semar ditengah-tengah masyarakat Karang Kedempel. Karang Kedempel mengalami dekadensi dan kekacauan dalam segala bidang akibat penguasa yang terlalu lama berkuasa. Struktur masyarakat Karang Kedempel tidak lagi menjunjung demokrasi sebagai pengejawantahan lima azas Karang Kedempel.
Menghilangnya Kiai Semar ini mendatangkan sekian ribu teka-teki bagi warga desa Karang Kedempel. Banyak tafsir atas kejadian ini. Terutama dari Gareng, yang tak henti-hentinya meyakinkan Petruk, Bagong, dan warga desa untuk ikut mencari Kiai Semar. Padahal, sebenarnya Kiai Semar tidak benar-benar menghilang. Semar selalu jadi bagian warga desa.

Kiai Semar selalu hadir sebagai penyeimbang. Bahwa ke-punakawan-an adalah tugas menemani dan menggembalakan kaum penguasa menuju sesuatu yang benar. Ke-punakawan-an, dengan demikian, berarti semacam kontrol sosial, bukan loyalitas buta, bukan sikap membiarkan ketidakbenaran, apapun akibatnya. Kiai Semar agaknya memberi kesempatan warga desa Karang Kedempel untuk mengintrospeksi diri mereka sendiri atas segenap kejadian yang mereka alami. Lebih jauh, Kiai Semar mengajak warga desa untuk berkuasa atas nasib mereka sendiri.

Tidak banyak buku di tahun 90-an yang menampilkan dirinya sebagai kritik bagi pemerintah. Terlebih dengan segala batasan yang diterapkan Orde Baru pada waktu itu. Emha Ainun Nadjib menemukan cara yang apik untuk mengkritisi keadaan bangsa dan tata pemerintahannya. Dominasi pakem Mahabarata yang kental menjadi bahan bakar yang tepat bagi Emha untuk mengadaptasi realitas dalam bentuk kisah pewayangan. Hal ini menjadi pintu masuk yang tepat karena analogi budaya yang dilakukan Emha mampu menyentuh segala lapisan masyarakat.

Buku ini seakan menggambarkan keadaan Indonesia kontemporer. Bahwa keadaan dalam sebuah cerita fiksi menjadi sebuah representasi realitas yang benar-benar berlangsung. Relevansinya dengan kondisi Indonesia kekinian adalah alasan yang tepat untuk terbitnya kembali buku ini. Dengan demikian, kita disadarkan kembali untuk senantiasa berkaca dan berkontemplasi atas segenap kejadian yang menimpa bangsa ini. Demi menjadi manusia yang seutuhnya.
Profile Image for Agung Wicaksono.
1,089 reviews17 followers
December 18, 2022
Memahami isu-isu sosial dan politik lewat penggambaran Punakawan dan tokoh-tokoh Mahabharata. Selain itu, karena buku ini dirilis pada 1994, saya jadi tahu kritik yang ditulis Cak Nun mengarah ke pemerintahan yang mana. Di sini, sosok si penguasanya di sebut "kepala desa", sedangkan negara yang selama ini dieksploitasi oleh "kepala desa" dan kroni-kroninya diubah menjadi "Karang Kedempel".

Bagi saya yang kurang mendalami pewayangan, secara perlahan saya jadi bisa memahami karakter Gareng, Petruk, Bagong, dan tentunya Semar. Mereka berempat memiliki ciri dan cara bicara yang khas, terutama Bagong yang asal nyeplos tapi sebenarnya ia mengungkapkan kebenaran. Sedangkan Semar, sosok yang seharusnya menjadi anutan bagi ketiga anaknya itu, malah digambarkan sebagai sosok yang tukang kentut dan tiba-tiba saja menghilang ketika mereka membutuhkan nasihatnya.

Buku yang sangat "berisi" bagi saya, terlebih dalam memahami kondisi sosial dan politik di zaman presiden yang suka muncul dengan kalimat, "Piye kabare? Isih penak jamanku to?".
Profile Image for usman ★.
37 reviews3 followers
March 18, 2019
Tertangkap kesan bahwa pemerintahan cenderung sebagai kekuasaan yang pasti akan disalah gunakan. Orang-orang didalamnya selalu dimenangkan oleh privilege.
Dan Punakawan sendiri seperti diluar pemerintahan. Punakawan adalah setiap orang non penguasa yang sadar dan hidup demi zamannya.
Mengenai Semar yang hilang, itu bisa dipakai sebagai bahwa Semar/ Punakawan adalah setiap orang. Jelasnya, saat ini memang tidak ada Semar. Kepunakawanan itu sendiri bisa hilang dari seseorang, bahkan setelah menghancurkan pemerintahan 😅

Punakawan selalu diluar pemerintahan, seperti antara Semar dan Betoro Guru.
Profile Image for nawir nawir.
58 reviews55 followers
May 28, 2020
Saya beruntung mendapatkannya dengan harga cukup murah di penjual buku bekas di sebuah stasiun kereta.

Buku kedua terbitan Bentang Budaya tahun 1994 ini membicarakan bagaimana keresahan masyarakat yang ditindas oleh pemerintah lewat penggusuran dan perampasan lahan, sikap hidup masyarakat hingga tanggung jawab kaum cendikia dalam membiarkan kezaliman itu terjadi.

Bahkan hingga soal peralihan kekuasaan: perlukah dengan jalan kekerasan atau tidak. Bagaimana jika pemimpin zalim yang ditumbangkan malah diganti oleh penjahat yang lain?

Bukankah segalanya sudah ada waktunya?
68 reviews2 followers
February 21, 2019
Cukup lama membaca buku ini karena memang sarat dengan filosofi yang harus diserap perlahan-lahan. Semakin menuju penghabisan, buku ini jadi semakin memikat. Pergolakan antar tokoh punakawan; Kyai Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, sangat asik untuk diikuti. Cak Nun memberikan petuah dengan cara yang elegan. Buku ini perlu dibaca oleh siapapun yang menghendaki untuk merenung sejenak, merefleksikan hidup dan kehidupan.
Profile Image for Dandy Hamdani.
2 reviews20 followers
December 13, 2019
Buku yang bagus untuk mendapatkan dan memahami hakikat dan semangat pergerakan carangan: gerakan yang disusun dan diracik dari hati nurani kerakyatan yang terorganisir. Dibalut dengan bumbu kisah para punakawan, membuat cerita memiliki seni untuk diresapi. Namun, agak sedikit kesulitan dengan gaya bahasanya untuk dipahami
7 reviews
September 30, 2019
Perlu sebuah waktu, kondisi dan kedewasaan yang tepat untuk membaca buku ini. Menyelam hingga ke dalam sebuah hakikat. Diri kitalah yang dapat menentukan nasib kita. Bergeraklah terus.
2 reviews
May 2, 2020
Mengisahkan kehidupan dibawah alias dalam kisah didalam garis kemiskinan
Profile Image for Teguh.
Author 10 books335 followers
February 11, 2015
Dalam pementasan wayang, punokawan akan dimunculkan sang dalang dalam segmen goro-goro, yaitu ketika suasana konflik sedang memuncak. Punokawan yang dipimpin Semar beserta tiga anaknya Gareng, Petruk, dan Bagong hadir tidak hanya memberi lawakan dan tetembangan segar belaka dalam sesi itu. Punokawan dalam goro-goro juga memberi petuah yang disampaikan secara implisit, sehingga mampu mengurai konflik yang terjadi.

Ketika suasana politik ekonomi di Desa Karang Kedempel sedang chaos, Kiai Semar tiba-tiba menghilang. Warga Karang Kedempel selama ini selalu berkiblat pada kisah epos Mahabarata, bahwa Kiai Semar hadir sebagai muara semua solusi permasalan. Menghilangnya Kiai Semar tidak hanya membuat kalang kabut ketiga anaknya, Gareng, Petruk dan Bagong, tetapi semua warga Karang Kedempel.

Himpitan ekonomi politik di Karang Kedempel membuat semua orang menggantungkan solusi pada Kiai Semar. Tetapi menghilangnya Kiai Semar di saat sangat diperlukan oleh warga Karang Kedempel, membuat banyak orang berkontempelasi dan memikirkan bahwa warga Karang Kedempel memiliki kedaulatan penuh atas nasibnya.

Novel-esai ini pernah terbit dalam bentuk cerita bersambung di harian Berita Buana tahun 1991. Kritik pada orde baru terasa di setiap bagian dalam buku ini. Meski Orde Baru sudah tumbang, tetapi buku ini tetap menggelitik pemikiran kita di tengah carut marut negeri ini. Kiai Semar boleh jadi hanya sebatas simbol dalam pewayangan, sebuah tokoh rekaan yang dimainkan dalang. Namun Kiai Semar sudah lama diyakini orang Jawa hadir sebagai tanda zaman sedang edan, sedang kulminasi persoalan, dan membutuhkan nasihat bijak dari Kiai Semar. Pertanyaannya, di kondisi negeri kita saat ini, sudahkah kita memanggil Kiai Semar untuk membantu? (*)
Profile Image for Ayu Mintorogo.
143 reviews
January 19, 2017
bukan bukunya yang tidak bagus, tapi saya yang tidak menikmati isinya barangkali saya memang susah mengerti politik mana isinya condong mengeritik pemerinta orba yang saya rasa sudah tidak relevan sekarang, ditulis dengan gaya tersirat dengan menggunakan karakter punakawan membuat saya semakin banyak berfikir apa maksud tulisan cak nun ini! saya bacanya juga lompat-lompat
Profile Image for Prima Prima.
11 reviews
August 10, 2016
Saya sudah lama sekali membaca ini. Tidak selesai. Tapi saya cinta sosok Bagong yang Mbah Nun gambarkan. Gempal; tengil; benar! Bagong ngoko kepada Semar (bapaknya), membuktikan apa yang sering saya katakan. "Semakin kasar tuturmu pada teman, semakin akrab dirimu dengannya."
Profile Image for Gustie.
9 reviews4 followers
March 29, 2009
kita tau apa dan siapa semar itu sebenarnya, akhirnya..
Profile Image for Andityas Praba.
Author 6 books10 followers
March 5, 2015
Kejeniusan Cak Nun menggali/menafsirkan kearifan budaya leluhur tampak di sini. Luapan idenya luar biasa. Kadang membuatku kewalahan.
Profile Image for Muhammad Mahdi.
1 review
April 18, 2019
Karya penulisan yg sangat tinggi sastra.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Aldila.
48 reviews
June 16, 2015
penuh gagasan-gagasan yang dimainkan khas sesuai karakter dan dialektika punakawan, yang sangat relevan untuk kondisi nusantara saat ini.
Profile Image for upiqkeripiq.
79 reviews4 followers
September 1, 2015
carangan... mbah nun menggugat "sri kresna" di buku ini... buku ini cocok menjadi bacaan wajib anggota baru BEM di setiap kampus...
Displaying 1 - 20 of 20 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.