Cerita yang sangat menarik! Anda akan merasa terikat dengan cerita ini mulai dari halaman pertamanya! - (Orinthia Lee, penulis novel Why Always Me?)
Satu-satunya yang menarik dari cowok bernama Ansel adalah badannya yang ketinggian, kegemarannya akan musik klasik, dan senar-senar harpa di ujung jarinya. Ansel bekerja di Suicide Prevention Center, bertugas mengangkat telepon, hingga akhirnya ia menemukan hal menarik yang baru: Rani—gadis dari negeri asing yang mengiris nadi setiap dua hari sekali.
Sekarang sebagian besar kehidupan Ansel berputar di sekitar Rani. Dan, Ansel bertanya-tanya apakah pertemuan mereka di Golden Gate Bridge San Fransisco adalah takdir, atau sekadar kesialan? Karena dari sini, mobil kabel yang membawa kisah mereka bisa saja menanjak terus hingga setengah jalan menuju bintang, atau justru terjebak dalam kabut di atas perairan biru dan berangin San Francisco.
TUNGGU!!! INI NOVEL KARYA ZIGGY ATAU ZIGGY NERJEMAHIN BUKU YA ASING?!
Ya, begitulah kesan pertamaku pas baca buku ini. Kayak baca buku terjemahannya John Green atau Rainbow Rowell. Soalnya aura luar negerinya, seperti isi, karakter dan settingnya, kerasa banget. Meski begitu, buku ini bikin aku pribadi lebih mencintai Indonesia. Kenapa? Ya baca sendiri dong, baru bisa mengerti maksudku HAHAHA
Cerita dimulai ketika Ansel yang bekerja di Suicide Prevention Center (Pusat Pencegahan Bunuh Diri) menerima telepon dari seorang cewek yang berniat bunuh diri. Tapi karena Ansel bisa menjawab judul lagu yang ditanyakan cewek itu, maka si cewek impulsif ini pun gak jadi bunuh diri. Hah, serius?! Ya, aku juga kaget. Karena memang seeksentrik itulah Rani. Dan dia orang Indonesia dengan rambut panjang nyaris selutut dan dinyatakan mengidap ASAD (Adult Separation Anxiety Disorder) semenjak dirinya terdampar di San Francisco. Rani selalu membuat Ansel merasa tidak nyaman setiap berada di dekatnya. Rasa tidak nyaman yang aneh. Bahkan Rani pula yang membuat Ansel meragukan hubungannya dengan Ada, pacarnya. Udah segitu aja bocorannya ya :)
Seperti cerita Ziggy di Jakarta Sebelum Pagi, di buku ini pun Ziggy menyajikan cerita cinta yang terbilang langka untuk genre young adult Indonesia. Karakter-karakter dan dialognya menarik, unik dan lucu. Kalian nggak akan bosan mengikutinya. Terus jalan ceritanya nyaris susah ditebak. Jadi kamu berpikir kamu tahu bagaimana jalan ceritanya, tapi pada akhirnya kamu terkecoh.
Belum lagi, Ziggy selalu menyisipkan pengetahuan di setiap karyanya. Kali ini pengetahuannya di seputar musik klasik (karena beberapa karakternya adalah musisi yang cukup handal) dan tentunya Golden Gate Bridge di San Francisco yang menjadi setting tempat novel ini. Nah, setelah mendengar kisah di balik Golden Gate Bridge, aku jadi nggak yakin pengen pergi ke sana. Kenapa? Oke, aku bocorin sedikit. Katanya, jembatan ini jadi tempat favorit bagi orang-orang yang ingin bunuh diri, termasuk Rani. Karena warnanya, katanya.
Oh iya, nyaris setengah dari dialog di buku ini pake bahasa Inggris. Tapi tenang, ada terjemahannya kok. Jadi bisa sambil belajar juga kan.
Kekurangannya ada nggak ya?
Hmm, apa ya? Mungkin masalah bunuh diri Rani yang nggak begitu digali. Karena aku berpikir buku ini akan mengupas banyak soal Rani. Lalu aku sempat nggak fokus sama beberapa bagian karena kalimat yang agak susah dicerna, tapi sepertinya itu masalah pribadi aja sih haha (baca: otak). Tapi secara keseluruhan, ini novel yang akan memberikanmu pengalaman berbeda dari seorang penulis Indonesia. Yah, seperti yang aku bilang, kayak baca novel terjemahan dengan karakter orang Indonesia di dalamnya. Pokoknya, layak dibaca deh.
Jadi selamat membaca buat kalian yang memutuskan untuk membaca buku ini :D.
"Because when it's us, everything seemed like a part of a cheesy story book. Uncanny encounters, instant connection, impetuous actions..."
Lagi-lagi Ziggy menyajikan romance yang nggak biasa. Dengan latar San Fransisco yang, alih-alih diceritakan keindahannya dengan berkeliling kota, di buku ini yang jadi spotlight adalah Golden Gate Bridge, tempat yang sering jadi tujuan untuk bunuh diri di sana. Sesuai dengan inti ceritanya. Agak angsty dan kelam memang. Walaupun begitu, banyak adegan manis yang nggak berlebihan dan interaksi antar tokoh yang menyenangkan. Apalagi sama Gretchen. I wish there was more explanation about her and piano, tho. .
Buat saya, cuma porsi Gretchen dan Maria yang kurang digali. Soalnya karakter mereka menarik tapi dikiiit banget penjelasan tentang mereka. Mungkin penulis nggak mau ceritanya kemana-mana dan jadi dragged, tapi bener deh, saya nggak keberatan kenalan lebih jauh dengan dua tokoh tersebut (karena bahkan saya lebih banyak tentang Benji dibanding mereka--not that Benji is not that important, but, well, you get the gist hehehe). Oh ya, saya juga sebenarnya pengen tahu apa yang terjadi pada Rani setelah hari itu, sampai dia bisa menjadi dirinya yang sekarang, tapi nggak apa-apa juga sih nggak terlalu dijelasin, setidaknya ada closure. Still, I think it would be nice to get the hint. ;)
Hal lain yang menonjol adalah musik, karena selain Ansel dan Rani yang pertama kali semacam punya koneksi melalui musik, Ansel adalah pemain harpa. Banyak trivia yang diselipkan--untungnya nggak bikin saya bosan. Sebagian besar menceritakan cerita-cerita di balik beberapa musik klasik, jadi bagi saya yang betul-betul awam akan hal itu, tetap bisa nyambung dengan trivia tersebut, dan mereka memang melengkapi kisah Rani dan Ansel. Terasa banget kecintaan Ansel terhadap musik.
Di awal-awal lumayan bingung (lagi) sama format percakapan Ansel dan Rani yang selalu berbahasa Inggris dan diselingi terjemahannya (walaupun kali ini jenis percakapannya bukan yang hard-to-grasp kayak JSP), tapi karena ngikutin Tumblr penulisnya, I found the answer in no time :3
Bahasanya kayak bahasa terjemahan, witty, dengan tokoh utama yang sedikit sarkastik. Yang paling saya suka adalah, walaupun dalam waktu dekat saya baca 2 buku penulis yang tokohnya sama-sama damaged in their own way, "suara" mereka sama sekali berbeda. Sama sekali nggak kepikiran tokoh A ngingetin saya sama tokoh X dan sebagainya, karena emang tokohnya ajaib dan beda semua. Dan kali ini sudut pandangnya adalah orang ketiga.
Last but not least, I love the ending!
Overall, saya suka banget buku ini. Penulisnya pernah bilang di salah satu post tumblr-nya kalau romance bukan genre favorit yang ditulisnya (pokoknya semacam itu lah, lupa tepatnya gimana hehe), but i think she nailed it! Nagih banget novel bergenre romance ala Ziggy <3
Ansel, cowok dengan perawakan tinggi dan penggemar musik klasik. Dia bekerja sebagai sukarelawan di Suicide Prevention Center, San Francisco. Dia bertugas mengangkat telpon, dan mendengarkan suara orang-orang yang hendak bunuh diri. Pekerjaan yang tidak lazim sebenarnya. Suatu hari, seorang gadis menelpon dari Golden Gate Bridge dan mengatakan hendak melompat dari jembatan itu. Tapi akhirnya gadis itu mengurungkan niatnya karena Ansel mengenali lagu klasik yang dinyanyikannya.
Maharani, atau Rani, nama gadis asal Indonesia yang hendak bunuh diri itu. Ternyata dia mengidap Adult Separation Anxiety Disorder. Dia memiliki 40 tatto semicolon (kurang lebih) di badannya sebagai pertanda setiap kali dia melakukan upaya bunuh diri. Tatto itu dibuat oleh Benji, pacarnya yang juga mengenalkan tentang musik klasik padanya. Sebenarnya Rani datang ke San Francisco dalam rangka kuliah di jurusan seni. Dia pembuat perhiasan bersertifikat, dan ingin mendalami ilmu tentang membuat perhiasan itu. Tetapi kecintaannya pada tanah airnya dan keluarganya membuatnya selalu merasa depresi dan ingin bunuh diri.
Awalnya saya menduga novel ini hanyalah novel romance bertema travelling seperti yang sudah banyak beredar. Tetapi nama Ziggy sebagai penulisnya membuat saya yakin pasti ada sesuatu yang berbeda di dalam novel ini. Benar dugaan saya. Selain disajikan dengan tema bunuh diri, Ziggy juga mengangkat soal musik klasik. Dia bahkan menggunakan beberapa istilah dalam musik klasik seperti aubade, overture, morendo dan sebagainya sebagai judul setiap babnya. Dua hal itu cukup mengalihkan perhatian saya dari kata San Francisco, seandainya Ziggy tidak menyelipkan tentang Golden Gate Bridge dan sejarahnya.
Bukan hanya itu saja. Keunikan lainnya yang bikin kesal sekaligus kagum (?) adalah saya seperti membaca novel terjemahannya John Green. Seriously. Saya seringkali merasa Ziggy hanyalah penerjemahnya. Percakapan absurd, lucu (tapi yang jenis bikin mikir dulu baru hahaha), serta kalimat-kalimat bernada sarkas dan sinis, membuat saya menyukai novel ini. Terus, percakapan antara Ansel dan Rani yang dituliskan dalam bahasa Inggris berikut terjemahannya. itu rasanya mengganggu tapi kok ya asyik aja untuk disimak. Sementara percakapan lainnya dituliskan dalam Bahasa Indonesia. Kenapa begitu? Entahlah... sampai halaman terakhir saya tidak bisa mendapatkan jawabannya.
Dewi Karisma Michellia menyebutkan dalam endorsement-nya di sampul buku ini, bahwa buku ini cocok untuk yang sedang atau pernah bunuh diri. Saya lantas berpikir, oh...di dalam mungkin ada semacam panduan bagaimana menghindari atau mengatasinya. Semacam manual begitu. Tapi lagi-lagi saya salah. Nggak ada. Yang ada hanyalah pembaca dibawa untuk menyelami pikiran Rani yang cukup-absurd-tapi-benar-juga itu tentang mengapa dia ingin bunuh diri. Plus ada twist dari Ansel di bagian akhir buku ini.
Saya sempat berpikir lama apakah saya ingin memberikan bintang 4 atau bintang 5 pada buku ini. Akhirnya saya tidak jadi memberikan nilai sempurna karena ya itu...saya kesal baca buku ini. Tapi ini kesal dalam artian bagus. Hanya ya tetap kesal saja... Ah sudahlah. Yang pasti buku ini sangat saya rekomendasikan untuk dibaca oleh para remaja atau orang dewasa.
Buku ini untuk memenuhi Tsundoku Books Challenge 2017
4,1 dari 5 bintang!
"..menurutku tidak semua orang harus menikahi orang yang dicintainya, tidak semua orang harus mendapatkan pekerjaan yang sesuai untuknya, atau menjadi orang yang selalu dia inginkan. Kau harus selalu ingat kalau, bahkan dalam buku cerita, setelah 'akhir yang bahagia', semua tokoh harus meneruskan hidup mereka. 'Akhir yang bahagia' itu cuma fase, dan ia akan segera berakhir. orang-orang tidak seharusnya membuat standar untuk 'akhir yang bahagia'. Menurutku, melewati segala hal-baik maupun buruk-dan bertahan terus sambil menikmati sedikit kesenangan setiap ada kesenangan setiap kesempatan; itu sudah cukup untuk menjadikan seseorang bahagia. Bukan akhir; hanya bahagia" - Benji Schnyders (Halaman 201)"
Ahhh!! Saya berhasil paling terbius dengan seri love in the city yang satu ini dibandingkan dengan yang lainnya!! Saya sengaja membaca kisah Istanbul, Dublin, Frankfurt, Roma dan Bristol terlebih dahulu agar penilaian saya tidak menjadi bias karena bisa dikatakan Ziggy adalah salah satu penulis lokal favorit saya. Hahhaa ternyata tetap saja penilaian akhirnya masih cerita San Fransisconya yang disuguhkan oleh Ziggy yang paling epic menurut saya ketimbang yang lainnya.
Dari segi awal blurb saja buku San Fransisco ini menyuguhkan hal yang berbeda dengan yang lainnya. Saya langsung membayangkan akan ada nuansa musik klasik karena si Ansel adalah pemain harpa dan ada si Rani yang suka mengiris nadinya. bau-baunya akan ada mental illness didalamnya nih. Baru membaca blurbnya saja saya sudah bersemangat dan makin penasaran kenapa ya si Ziggy memilih Ansel sebagai pemain Harpa yang menurut saya berbeda dengan tipikal cerita yang ada musik klasiknya yang biasanya terpaku oleh Biola dan piano. Iya gak sihh? >_<
Ketika membaca buku ini semakin kebelakang saya makin kagum dengan pengetahuan dan trivia mengenai musik klasik yang disuguhkan oleh Ziggy karena banyak dari hal itu yang saya tidak ketahui sebelumnya. Saya jadi senang ketika mendapatkan banyak ilmu baru didalam buku ini
"Nama asli lagu ini 'Quasi una fantasia'. Tapi, setelah kematian Beethoven, seorang penyair mengatakan bahwa lagu ini mengingatkannya akan sinar bulan di atas Sungai Lucerne, dan nama 'Moonlight Sonata' jadi terkenal. Sebetulnya lagi ini bukan Nocturne-lagu tentang suasana malam. Ini ditulis untuk wanita bernama Giuletta Guiccardi, muridnya. Beethoven bertemu dengannya di awal abad 19, dan jatuh cinta padanya. Tapi akhirnya Guiccardi menikahi pria lain, dan Beethoven sendiri tidak pernah menikah" - Ansel Summer Payne (Halaman 19)
selain itu jujur saya sangat dibuat terkejut dengan adanya beberapa plot twist yang dimunculkan dibuku ini. Saya sempat mengira awalnya hanya Si Rani yang memiliki mental illness ternyata oh ternyata.. yasudahlah ya dibaca sendiri nanti kalau dikasih tahu kejutannya akan hilang hihiy.. Hal lainnya yang membuat saya menyukai buku ini karena disini secara tidak langsung Ziggy seakan-akan menceritakan bahwa sebenarnya menjadi 'normal' lebih sulit daripada menjadi 'unik' karena kita harus mampu menyembunyikan sisi 'keabnolmal'-an kita didepan mata orang
"Tidak. Jadi Normal itu jauh lebih susah daripada jadi tidak normal. Soalnya, semua orang pada dasarnya abnormal; sebagian hanya lebih jago menyembunyikannya. Makanya, jadi normal berarti kau harus memperdalam kemampuan menyembunyikan itu. Dan, ketika kau menyempurnakan satu kemampuan, orang-orang bilang itu 'perkembangan'. Makanya orang-orang bilang kau dewasa ketika kau kelihatan Normal" - Maharani (Halaman 206-207)"
Hal lainnya yang menjadi nilai positif disini adalah Endingnya yang tidak terduga! Kalau di seri love in the city lainnya ceritanya kan ada seorang wanita ketemu seorang lelaki (entah blasteran atau indonesia) di negeri lain lalu saling jatuh cinta kan? Bahkan ada yang sampai dilamar menikah segala *lirik Istanbul. Tetapi di buku San Fransisco belum tentu akan seperti endingnya.. Hahaha baca sendiri saja nanti lama-lama saya keceplosan spoilernya >_<. Selain itu membaca buku ini membuat perasaan saya seakan-akan membaca buku terjemahan. seriusan entah karena penggunaan diksi kata dan lelucon yang ditimpalkan didalamnya kali ya. Saya seolah-olah sedang membaca buku pengarang luar bukan dari penulis lokal
Nahh saya sudah membahas hal yang positif dari buku ini ada juga nih sisi negatif atau hal yang membuat saya kurang menyukai buku ini. Ada 2 hal yang menurut saya cukup menyebalkan buat saya. Pertama, Penulisan bahasa inggris hampir setiap halaman didalam buku ini. Saya paham setelah tulisan bahasa inggris itu terdapat terjemahan bahasa indonesianya. Tetap saja saya pada akhirnya memilih membaca bahasa inggrisnya. Terutama percakapan Ansel dan Rani yang dimulai sejak halaman 22 sudah deh sampe belakangnya dominan banyak bahasa inggrisnya. ini buku cerita lokal kan yah? *garuk2 kepala Kedua, Saya kurang mendapatkan feeling atmosfernya 'San Fransisco' didalam buku ini. Iya saya tahu disana ada Golden Gate tetapi masa iya tidak ada objek wisata lainnya yang bisa mendukung cerita ini. Untuk masalah setting ini saya rasa paling epic dimenangkan oleh kisah di Dublin oleh mbak Yuli Pritania yang berhasil memukau saya untuk ke negeri Irlandia! Jujur kalau andai saya tidak tahu ini di San Fransisco saya bisa saja salah menganggap setting ceritanya di Austria, Vienna lo. Loh kok bisa? Ya bisa saja habisnya buku ini banyak sekali membahas tentang trivia dan fakta mengenai musik klasik dan tokoh-tokohnya juga mendukung sekali. Ada si Kakak Ansel yang bernama Gretchen juga suka bermain Piano diam-diam, dan Benji yang memiliki grup band musik rock ternyata juga mencintai bermain Biola. Ansel sendiri juga seorang pemain harpa dan saat ini berjuang untuk masuk ke sekolah musik. Hal-hal inilah yang membuat saya tidak bisa memberikan bintang lebih untuk buku ini.
Tapi overall, saya menyukai buku ini dan saya angkat jempol Ziggy bisa menyajikan cerita romance yang berbeda dengan seri love in the city lainnya!
"But, you know, in the story books, you'll know who's gonna end up with who. There's the boy, there's the girl, and there's the horrid third party you can't help but hating. You know who the antagonist is. But real life isn't like that. You got a bunch of characters, yet absolutely no clue. You can end up with someone you never thought you would" - Ansel Summer-Payne (Halaman 210)
For personal reasons, subjectively, I actually hate this book. Really hate it. Tapi secara objektif, buku ini bagus, tepat sasaran dengan apa yang hendak diungkapkannya, dan menurut saya akan baik untuk menjadi buku untuk meningkatkan awarness terhadap bunuh diri. Penulisannya pun sangat bagus, seperti hasil terjemahan novel-novel John Green. Buku ini bahkan mungkin harus jadi semacam buku wajib bagi pembelajaran mengenai bunuh diri.
Kalau mau baca sedikit tulisan esai kenapa saya tidak suka buku ini, saya taruh di dalam spoiler di bawah. Tapi isinya bukan spoiler, cuma gerundelan pribadi aja. Nggak dipampang nyata(?) biar nggak bikin eneg. haha.
Anyway, saya masih ingin baca Jakarta Sebelum Pagi, karena sepertinya yang itu lebih 'kena' judulnya ke saya. haha.
Ansel bekerja sebagai relawan di Suicide Prevention Center San Francisco dan telepon pertama yang masuk kepadanya dari seorang gadis yang meminta Ansel mendengarnya menyanyi lagu klasik. Ansel pikir gadis itu hanya memintanya mendengarkan. Namun, seletelah gadis itu selesai bernyanyi, dia mengajukan pertanyaan dan ancaman.
“Do you know the name of that song?” “Tell me, and I won’t jump.” (h. 2)
Untungnya, Ansel tahu lagu tersebut. Sang gadis tidak jadi meloncat dan bisa dikatakan telepon pertama Ansel berakhir baik-baik saja. Akan tetapi, selepas telepon itu, sang gadis kerap mencari Ansel. Dan hari di mana Ansel memutuskan untuk mengenal gadis itu, hidup Ansel mulai berputar di sekitar gadis itu. Gadis bernama Rani dengan badan seukuran liliput, berambut gunting, dan senang menato kulitnya.
San Francisco bisa dilambangkan dengan dua hal, bunuh diri dan musik klasik. Kedua hal ini mengisi banyak sekali sudut dalam novel karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie.
Novel ini punya karakter-karakter ajaib yang bakal bikin kamu naksir. Lengkap dengan berbagai trivia menarik soal musik klasik, cerita persaudaraan, kisah persahabatan, dan cerita cinta, beserta masa lalu dan bunuh diri, San Francisco bakal menjadi bacaan yang berbeda buatmu. Ada aura kelam di sini. Juga kesedihan, dan harapan, dan masa depan.
Dengan gaya bahasa yang asyik dan kover yang cantik, San Francisco cocok banget dibawa pulang dari toko (jangan lupa bayar dulu tapi ya :D). Bakal jadi salah satu novel favorit saya. Bukan karena apa, tetapi karena interaksi Ansel dan kakaknya yang bikin saya sesenggukan. Juga Dexter. Juga Benji yang loveable banget :"
Mungkin buku ini tidak "jelek"; toh saya masih berhasil menamatkannya dalam waktu cukup cepat, toh saya masih bisa menikmati dengan terkadang tersenyum-senyum sendiri dan menyukai beberapa adegan di dalamnya, toh saya tidak merasa membenci karakter atau hal apapun di dalamnya- sampai ke taraf ingin membakar bukunya. Tapi, mungkin setelah saya membaca beberapa karya Ziggy lainnya, saya jadi memiliki ekspektasi tinggi dan keyakinan bahwa seharusnya Ziggy bisa lebih baik dari ini. Mungkin, sih.
Omong-omong, kesan pertama yang saya dapat ketika membaca buku ini adalah: "Kenapa dialog mereka harus bahasa Inggris begini, sih?"
Seluruh dialog yang terjadi antara Ansel dan Rani (dan itu banyak sekali- karena mereka memang tokoh utama dari buku ini dan banyak berdiskusi mengenai banyak hal) ditulis dalam bahasa Inggris. Dan, itu cukup mengganggu saya, sebenarnya. Bukan karena saya harus berpikir keras dan itu mengganggu waktu saya membaca atau apa- ada terjemahan dari dialog mereka kok, di bawahnya. Namun saya tidak mengerti maksud dan tujuan dari dibuatnya dialog tersebut dalam bahasa Inggris hingga akhir. Dan, rasanya aneh saja kalau membaca campuran bahasa Inggris dan Indonesia di sebuah buku lokal seperti ini tanpa alasan yang jelas. Karena dari setting dan karakternya sendiri, bukankah MEMANG seluruh dialog dalam bahasa Inggris? Lalu apa yang membedakan dengan dialog lainnya? Entahlah. *PS. Katanya sih kalau mengikuti tumblr-nya saya akan tahu kenapa, tapi saya kan tidak mengikuti dan hanya dapat menilai dari isi novelnya, jadi saya tetap pada pendirian, ya.
Kesan berikutnya yang saya dapatkan adalah, unik. Ya, ide cerita dari San Francisco ini sebenarnya sudah uni dan terasa sekali "Ziggy"-nya. Tokoh utama yang tidak biasa dengan hubungan yang tidak biasa antara keduanya-? Saya merasa ide ini dapat dikembangkan dengan sangat menarik, sebenarnya; karena hubungan antara seseorang yang "rusak" dan seseorang yang "lebih rusak" lagi, dapat menjadi indah dan sangat terasa maknanya jika didalami dengan benar. Namun sayang, bukan itu yang saya dapatkan- setidaknya, yang saya RASA saya dapatkan. Saya masih menikmati sekitar 2/3 buku ini, sebenarnya. Selain dialog, saya tidak merasa benar-benar keberatan dengan hal-hal lain yang diungkapkan di dalam buku ini (sekalipun saya tidak mendapatkan indikasi bahwa Rani sesering itu mencoba untuk bunuh diri- seperti pada blurb).
Namun kemudian, sesuatu terjadi. Sesuatu yang, kalau terserah pada saya, tidak akan saya masukkan sebagai sesuatu yang "boleh" dilakukan. Meskipun, ada sedikit tanda tanya di dalam saya- seperti apakah karena kondisi Rani yang demikian hal tersebut sebaiknya "dimaklumi"? Karena Rani sedang tidak stabil? Entahlah, saya harus tahu dengan pasti seburuk apa kondisinya untuk dapat mengambil "posisi".
Kembali ke topik, sesuatu terjadi dan sesuatu yang lain terbongkar. Sesuatu yang... yah, memang tidak saya duga sama sekali; seolah-olah diguyur oleh air dingin saat kita sedang bersantai. Bukan karena saya tidak bisa menebak- atau, ya, mungkin karena itu juga sih. Karena menurut saya "twist" yang baik adalah twist yang di sepanjang ceritanya sudah ada pertanda-pertanda tertentu, namun masih membuat pembaca tidak benar-benar yakin apakah dia benar atau tidak- untuk kemudian terkejut karena ternyata twist itu masih "align" dengan pertanda sebelumnya, namun tetap tak terduga pada akhirnya. Sementara ini, lebih ke- tiba-tiba pembaca disuguhkan pada sebuah kenyataan yang sesungguhnya.
Oke, kembali ke topik LAGI. Jadi, saya tidak begitu menyukai "twist" semacam ini. Pertama karena alasan sebelumnya- karena tidak terlihat ada suatu "pertanda" yang membuat saya mengilas balik apa saja yang sebenarnya telah terjadi dan bagaimana itu "rupanya" berakar pada twist ini. Dan kedua karena... ini seperti menggagalkan seluruh plot sebelumnya. Plot yang sebelumnya sudah saya sukai, seolah-olah tidak pernah eksis lagi dan ini semua bukanlah tentang "itu". Yah. Saya sebenarnya langsung benar-benar kecewa. Benar-benar... "???"
Mengupas tentang hal lainnya: 1. Gaya penulisan Ziggy masih tetap Ziggy, namun juga terasa agak berbeda dibandingkan dengan beberapa karya Ziggy lainnya. Namun, masih tetap nyaman untuk diikuti. 2. Karakter yang ada di dalam buku ini pun sangat Ziggy, banyak yang kurang "normal", unik, menarik, tak dapat diduga dan menyenangkan, namun dengan kompleksitasnya masing-masing. 3. Setting yang digunakan pun sangat jelas dan membuat pembaca mudah untuk membayangkan tempat-tempat yang dikunjungi oleh Ansel- terutama Golden Gate Bridge yang menjadi tempat bunuh diri terfavorit. 4. Pengetahuan musik klasik yang dalam namun "unik", karena bukannya membahas tentang seberapa indah gubahan musisi-musisi ternama itu, kebanyakan yang dibahas adalah latar belakang pembuatan musik tersebut dan bahkan, terkadang "gosip" yang terkait dengan mereka. 5. Karakter-karakternya yang unik tersebut, sayangnya, sebagian tidak begitu dijelaskan latar belakangnya dan alasan mereka melakukan itu. Seperti Rani yang sering mengiris nadinya dan mencoba bunuh diri tidak pernah diceritakan jelas mengapanya, atau Gretchen yang tidak pernah bermain piano lagi di depan umum, dan sebagainya. 6. Kurang dijelaskan bagaimana penyelesaian dan "kedamaian" yang Rani dapatkan setelah... yah, setelah sesuatu terjadi antara dia dengan Ansel. Tiba-tiba saja ada ending yang begitu. Sudah. 7. Katanya sih ini buku yang mengupas mengenai bunuh diri dan dapat meningkatkan awareness mengenai bunuh diri. Namun, sayangnya saya kurang mendapatkan part itu-? Entahlah, namun kisah ini kurang "mengena" ke saya, kurang membuat saya dapat ikut merasakan kesulitan yang dialami oleh penderita "suicidal" seperti Rani; kurang membuat saya merasa ingin memahami apa yang sudah mereka lalui.
Overall, sebenarnya saya cukup menikmati karya Ziggy ini. Kekurangan terbesarnya bagi saya hanyalah pada bagian "twist" menuju ke akhir, yang sayangnya membuat bintang-bintang yang siap saya berikan jatuh ke tanah. Tapi terlepas dari itu, rasanya San Francisco masih merupakan buku yang masih asik untuk diikuti. Final Rating: 3/5
"A place where you are away from hard--self inflicted, or by someone or something else." ---halaman 3
Hmmm. Sebenarnya 3,5 ....
Saya sudah menuliskannya di review Jakarta Sebelum Pagi kalau Ziggy mampu mengubah gaya tulisannya--atau sebenarnya sama saja tapi kesan yang berhasil ditangkap pembaca--berbeda-beda sesuai dengan karakter tokoh yang ada di dalam novel-novelnya. Pertama Ava, kedua Emina, dan ketiga Ansel. Apa perbedaan yang ada pada si Ansel? Bahwa dia adalah seorang pemuda San Francisco, ras kaukasoid, hidup dan besar di sana. Ziggy berhasil membawa aura itu ke dalam novel ini. Bahwa tokoh dan settingnya memiliki budaya dan kehidupan yang amat sangat berbeda dengan novel bersetting lokal. Sebuah apresiasi besar saya berikan untuk penulis atas kelihaiannya dalam membangun setting dan nuansa.
Selain itu, pemilihan "prentilan" yang out of the box rasanya melekat dengan Ziggy, dan saya suka. Ini seperti membaca sesuatu yang bahkan kamu tidak akan pernah memikirkan bahwa itu akan menyatu dengan sebuah jalan cerita. Seperti misalnya, pekerjaan Ansel. Lalu, mengambil setting Golden Gate Bridge sebagai tempat untuk bunuh diri alih-alih menjadikannya sebagai tempat wisata atau tempat bersetting-setting romantis ala-ala. Konsep "tanah air" yang disajikan benar-benar pas juga membuat saya berdecak kagum.
Tapi, di sini, saya kurang mendapatkan kesan tentang pembangunan karakter yang ada di dalamnya. Terlepas dari hal pertama yang tadi sudah saya jelaskan, di sini saya tidak berhasil klop dengan karakter-karakternya. Lagi pula, premis yang ditawarkan benar-benar memikat, namun di tengah jalan terkesan terlalu banyak yang dijabarkan sehingga membuat plotnya menjadi bias. Oke mari kita bahas satu per satu. Yang pertama, tentang karakternya. Ansel? Oke. Saya bahkan punya gambaran bagaimana visualisasi dan laku Ansel dalam benak saya. Karakter-karakter lainnya? Juga oke, dan saya bisa membayangkan mereka seolah seperti sedang menonton film. Tapi, entah mengapa, saya tidak berhasil menangkap character building-nya dengan baik. Mungkin ada pengaruhnya dengan jalan cerita yang melebar tadi? Ya, bisa jadi. Di awal karakter yang berperan mungkin hanya Ansel dan Rani saja, lalu muncul Ada, ada pula Benji, Maria, Gretchen, Dexter, dan banyak lagi. Sebenarnya tidak masalah punya karakter banyak, hanya saja di sini--terutama di bagian tengah--saya merasa seolah karakter-karakter lain kepingin melompat peran dari "karakter pendukung" menjadi "karakter (semi) utama" (kalau memang penggolongan karakter itu memang ada, hehehe). Jadinya, cerita yang seharusnya berfokus pada plot utama jadi banyak cabangnya. Sebenarnya bagus saja sih kalau ada cabang-cabang cerita yang kemudian akan menunjang plot utama. Tapi di sini rasanya saling overlaping, menurut saja. Bukan tidak bagus lho ini, bagus dan sah-sah saja kok. Saya masih menikmatinya, namun rasanya kurang mengalir dan sedikit kurang sreg saja.
Lalu ... ada satu hal yang mengganggu saya (di luar typo dan kesalahan penulisan yang banyak saya temukan--di bawah sepuluh sih, tapi di atas lima menurut saya "cukup banyak"). Yaitu, tentang kebiasaan unik para tokohnya tentang "trivia". Jadi, si Ansel ini suka dengan musik klasik, bahkan dia pemain harpa. Dan juga, dia berharap agar orang-orang mengerti dan mencintai kesukaannya itu. Makanya, dia senang menyampaikan trivia tentang musik-musik klasik, bisa tentang cerita unik komposernya, atau kisah di balik pembuatan musiknya. Sejujurnya, saya suka dengan karakter Ansel yang ini, membuatnya unik. Dan karakter-karakter unik akan melekat dalam ingatan pembaca dalam waktu yang lama. Tapi, entah mengapa, rasanya penulis kebanyakan membuat trivia di sini. Bukan hanya pada Anselnya saja, tapi juga Benji yang mempunyai trivia seputar opera-opera yang disukainya. Dan karena orang sekeliling Ada suka ber-trivia, dia juga jadi ikutan latah punya satu trivia juga. Saya jadi merasa ... overdosis. Kalau satu itu unik, kebanyakan jadi agak anu juga. Kayak, ada kejadian yang berhubungan dengan musik atau apa pun yang dirasa unik muncul, langsung di-trivia-in. Padahal, cukup Ansel yang punya karakter begitu saja sudah cukup. Kalau kebanyakan tokoh punya trivia begitu, kadar keistimewaan si Ansel jadi berkurang.
Dan tentang tema besarnya seputar bunuh diri .... Hmmm. Entah mengapa, tema seperti ini lagi sering saya temukan di novel-novel yang saya baca. Rasanya, kembang kempis juga karena saya merasa tidak hanya sebagai pembaca, tapi juga saya memiliki sudut pandang sebagai orang yang pernah memikirkan hal tersebut meskipun alhamdulillah ya Allah, nggak sampai pada tahap depresi akut sampai punya keinginan untuk mengeksekusi itu. Saya setuju dengan kalimat ini:
Alasan orang bunuh diri berbeda-beda, tapi akarnya tetap sama: merasa kesepian. ---halaman 21
Kesepian di sini bisa berarti dia tidak punya teman berbagi, tapi juga bisa karena dia tidak tahu bagaimana caranya berbagi atau terbuka dengan orang lain. Ketika semua permasalahan bertumpuk jadi satu, dan tidak menemukan jalan keluar dan terus dihantui dengan "what if" atas apa yang bahkan belum akan terjadi, pemikiran-pemikiran seputar ingin bunuh diri bisa saja terlintas. Bisikan setan menari-nari kesenangan tuh. Hahaha. Tapi, penulis berhasil mengeksekusi tema ini dengan baik. Kesan bahwa "hah, Rani gitu doang kok depresi sampai berkali-kali bunuh diri" berhasil terhapuskan dalam benak saya karena pada akhirnya saya dapat pemahaman bahwa cara orang lain menghadapi masalah tidak sama dengan cara yang kamu hadapi, pun juga begitu dengan kemampuan mereka dalam mengelolanya.
(Pokoknya, tentang teknik menulis, jangan ragukan kemampuan Ziggy. Hasilnya memukau!)
Jadi kesimpulannya, saya tidak akan pernah kapok untuk baca novel karya Ziggy :3
bayangkan, setelah sampai halaman 200 sekian-yang sudah mau sampai akhir, saya baru tau kalau ansel itu cowok!!!!!
HAAAHHHHHH, KESAAALLLLLLLLLLLL
ini sama kayak Jakarta sebelum pagi. Saya gatau bercerita tentang apa dan gak begitu ngerti banget tapi bisa nyambung dan menikmati xD
kalau kamu membaca review saya dalam Bakat Mengonggong-nya Dea Anugerah beberapa waktu lalu, kamu pasti bisa menemukan bahwa saya mengetahui siapa tokoh Loko dalam cerita itu. Nama asli mas Loko itu adalah Benji. Dia penggemar musik2 klasik juga musik yang berasal dari Rusia dan juga merupakan ''pemuja setan'' (anggap kira2 begitu).
nah, pas 30an halaman buku ini dan menemukan banyak sekali judul-judul musik klasik, entah mengapa saya langsung teringat mas Benji itu. saya berpikir, wah, mas Benji harus baca buku ini nih. eeeh pas halaman 70an sekian tiba2 muncul tokoh yang bernama benji. trus ngakak sendiri gitu, kayak, lha pas bener. deskripsi ciri fisiknya berbeda sih, soalnya mas benji tinggi menjulang gitu sementara benji di buku ini digambarkan pendek seperti anak kecil. tapi pas baca ini mbayanginnya mas Benji-nya saya.
saya sangat terganggu sekali dengan percakapan antara Ansel dan Rani ya. soalnya tiap mereka ngobrol gitu pakai bahasa inggris dan dilengkapi terjemahannya gitu. menurut saya itu ganggu dan kenapa gak ditulis bahasa inggrisnya aja atau terjemahannya aja sih kayak pas Ansel ngobrol sama yang lain(?)
saya terganggu sekali dengan hal ini. dan agak penasaran juga sih kenapa cuma Ansel-Rani doang sementara yang lain gak.
deskripsi ciri fisik Rani juga gak bisa saya bayangkan dengan baik. malah saya mbayanginnya boneka barbie T_T
kutipan kesukaan tentu saja yang dari Benji, "..menurutku tidak semua orang harus menikahi orang yang dicintainya, tidak semua orang harus mendapatkan pekerjaan yang sesuai untuknya, atau menjadi orang yang selalu dia inginkan. Kau harus selalu ingat kalau, bahkan dalam buku cerita, setelah 'akhir yang bahagia', semua tokoh harus meneruskan hidup mereka. 'Akhir yang bahagia' itu cuma fase, dan ia akan segera berakhir. orang-orang tidak seharusnya membuat standar untuk 'akhir yang bahagia'. Menurutku, melewati segala hal-baik maupun buruk-dan bertahan terus sambil menikmati sedikit kesenangan setiap ada kesenangan setiap kesempatan; itu sudah cukup untuk menjadikan seseorang bahagia. Bukan akhir; hanya bahagia"
oh, saya suka dan ngakak banget yang bagian Ansel mendeskripsikan Rani ke kakak dan iparnya
"dia orang indonesia'' ''hmm, Bali?'' ''Nasi goreng'' ''Tempat masa kecilnya Obama!'' ''ASEAN? yang banyak Warianya itu bukan disana kan?'' ''Bukan, sayang. itu Thailand''
(ngakak)
well, buku yang menyenangkan. meski dari banyaknya musisi dan judul lagu yang ada di buku ini cuma 2 lagu doang yang saya tau sisanya blank gak bisa bayangin itu gimana dan apaan
Ternyata buku ini ttg mental illness bunuh diri. Tapi sayangnya saya masih gak ngerti dan gak paham alasan yg membuat orang berkeinginan utk bunuh diri.
Tokoh utama disini, Ansel adalah seorang operator di Suicide Prevention Center, semacam hotline utk org² yg niat budir. Plot cerita berlanjut hingga Ansel bertemu dgn Rani, orang Indonesia. Lucunya, dialog² Ansel dgn Rani ini full bahasa Inggris, sedangkan percakapan Ansel dgn teman² bulenya disuguhkan dlm bahasa Indonesia. Gak terbalik nih?
Plot cerita makin berkembang dan membingungkan. Tiba² Ansel adalah juga seorang musisi 🙄 pakar musik klasik pula 🙄 Romance-nya juga gak jelas mau dibawa kemana, siapa dgn siapa, embuh 🙄
Balik lagi ngomongin budir, ternyata Ansel pny mantan yg depresi dan budir di Golden Gate San Francisco ini. Hubungan Ansel dgn Rani lebih mirip platonik drpd romance. Sudahlah. Biasa saja novel ini.
Gaya berceritanya menurutku lebih mirip JSP dibanding buku2 Ziggy yg lebih baru kyk Di Tanah Lada atau Kita Pergi Hari ini. Tokoh2nya masih unik, ceritanya jg bikin nebak2 mau dibawa kemana. Hanya saja, unlike JSP, tokoh utamanya mnrtku gaterlalu likeable wkwk. Aku gaterlalu bersimpati sama Ansel atau Rani. Kyk yaa yaudahlah. Jujur aku lbh tertarik sama tokoh2 lainnya kyk Gretchen atau Benji. Namun, seperti biasa, tokoh2 di novel Ziggy selalu punya karakter yg kuat yg bikin inget terus.
Ada bbrp hal yg mnrtku agak mengganggu. Pertama, percakapan Ansel & Rani yg semuanya pake bahasa inggris dan diterjemahin di sampingnya. Kedua, fakta2 terkait musik klasik yg bertebaran. Awalnya sih aku ngerasanya unik aja krn makin memperkuat karakter Ansel yg sangat interest sama musik klasik. Namun makin ke belakang aku makin bosen bacanya, mungkin krn aku gaterlalu interest sama musik klasik kali ya? Nambah pengetahuan ya iyasih tp mnrtku malah jd too much information kalo sebanyak ini. Aku ada baca review yg blg kalo jalan ceritanya jd kerasa burem dgn banyaknya fakta musik klasik ini dan aku setuju sih. Lalu, aku merasa latar San Francisco-nya kurang kerasa selain Golden Gate Bridge. Entahlah mungkin memang Ziggy mau fokus kesana kali ya? Jujur aku agak expect kyk novel "London" (lupa yg nulis siapa hehe pokoknya yg covernya merah gelap) yg bnrbnr menggambarkan suasana di London-nya sampe aku bisa ngebayangin jalan2 di sana hehe.
Secara cerita, iya unik. Endingnya bagus juga. Bener sih kita ga harus berakhir sama orang yg kita cintai (hehe cmn jujur agak bingung knp Ansel ujung2nya sama...???). I hv some thoughts about this cmn nanti kepanjangan hehe. Love story-nya gaterlalu kerasa or maybe this is 'love story' dalam kamus Ziggy? Utk itu aku masih oke2 ajasih krn 'love story' disini melibatkan two damaged people.
Sisi positifnya, novel ini tipis. Kalo tebel kyknya kepalaku makin mumet dijejalin fakta2 musik klasik.
Terakhir, aku ga merekomendasikan kalian utk baca buku ini jika alesannya adlh pgn cari buku yg kyk Jakarta Sebelum Pagi. Aku jg ga merekomendasikan jika kalian mau baca buku ini sbg buku pertama ziggy yg kalian baca. Try other books. Maybe try "Kita Pergi Hari Ini" since i love that one. Tapi kalo kalian baca hanya karena kepo2 aja sama ceritanya, atau penasaran sama buku2 Ziggy lainnya selain yg udah kalian baca, go give it a try! Agak mixed reviews jg aku liaat2
Jujur saja, saya merasa jalan cerita pada novel ini dibuat buram oleh ‘pritilan’ mengenai musik klasik dan informasi di dalamnya, entah kisah penciptaan musiknya, atau kisah hidup si penciptanya. Sehingga benang merah yang seharusnya menonjol, tidak begitu saya rasakan. Emm, tepatnya, saya seharusnya mendapatkan banyak momen berkesan dari alur yang diciptakan. Singkat saja, novel ini sebenarnya soal tokoh punya pacar – ketemu tokoh lain yang punya pacar –merasakan rasa sayang – memilih akan bagaimana. Itu saja, tapi bisa menjadi novel 200-an halaman karena banyak dialog tambahan. Kalau saya harus mencari momen atau adegan mana yang favorit, saya harus katakan tidak ada. Sorry...
Di penyajian ide cerita yang tidak memikat versi saya, saya harus mengakui jika penulis bercerita dengan sangat baik. Penulis seperti memilih adegan-adegan yang tidak biasa sehingga rasa yang ditimbulkan dari plot maju itu, tidak normal. Contoh adegan yang membuat saya kaget, ketika Ansel tidur di apartemen Rani kemudian bangun pagi dan mendapati di sampingnya ada sosok pemuda. Saya sempat kaget siapa si pemuda itu, dan bukannya harusnya Rani yang tertidur di samping Ansel, begitu kalau di novel-novel penulis lain, biasanya. Dan masih banyak lagi adegan yang tidak normal lainnya. Juga, diksi yang dipakai penulis sangat – sangat lugas dan saya seperti membaca novel terjemahan. Efeknya tentu saja tidak akan bosan baca sampai halaman terakhir.
Karena seri novel ini mengangkat kota istimewa yang dibalut kisah cinta, kota San Francisco tidak terkulik total, menurut saya. Hanya spot jembatan Golden Gate Bridge yang dimunculkan. Kelirunya jelas, karena musik klasik itu yang mendominasi dan hampir memenuhi objek cerita yang menghidupkan kisah Ansel dan Rani. Saya tidak kemana-kemana dan saya disuguhi musik yang tetap asing. Itu jelas masalah sebab saya harusnya membaca buku ini serasa piknik.
Saya juga perlu berterima kasih kepada penulis oleh dialog bahasa inggris yang kemudian ia terjemahkan. Sumpah, kalau pola demikian tidak dipilih oleh penulis, saya lebih memilih segera menutup novel dari pada pusing. Makanya, ini pola yang renyah dan nyaman. Thanks to you, Ziggy!
Ansel itu tidak spesial, penyuka musik klasik. Di novel ini, di mata saya, perannya hanya sebatas penyampai cerita dan salah satu benang warna yang dihubungkan dengan karakter lainnya yang lebih berkesan. Rani itu sensitif, suka putus asa, dan bisa jadi negatif thinking. Hasrat bunuh diri itu parameternya. Kok bisa sedepresi itu sehingga bunuh diri baginya sangat normal? Tokoh favorit jatuh pada Benji, serba selalu bisa, tidak egois, dewasa dengan caranya, dan tentu saja unik. Lalu tokoh samping lainnya; Ada, Gretchen, Dexter, Maria, teman-teman band Benji, punya porsi yang pas di cerita, tidak ada yang berusaha mendominasi.
Lalu menilik kovernya yang merah, ini elegan. Ah, seperti kover Roma karya Pia Devina. Tentu saja, saya suka kover-kover seri A Love Story yang lainnya juga. Terasa baru dan aman buat saya sebagai pembaca pria ketika meletakkannya di meja kerja dan bukan tidak mungkin dilihat orang lain.
Kemudian yang saya terima sebagai pesan moral di sini adalah mencintai itu tugas yang tidak bisa dibarengi egois. Tidak semua yang kita perjuangkan akan diberikan Tuhan sebagai reward. Termasuk jodoh. Seberapa kita ingin bersama si A, lalu Tuhan menulis takdir jodoh dengan si Z, maka itulah yang akan terjadi. Maka, terimalah jalan cerita hidup seaneh apa pun dengan pikiran yang luas. Di situ akan ditemukan rasa syukur jika ini bagian hidup terbaik yang dirancang Tuhan.
“Ini cuma pemikiranku saja, tapi menurutku tidak semua orang harus menikahi orang yang dicintainya, tidak semua orang harus mendapatkan pekerjaan yang sesuai untuknya, atau menjadi orang yang selalu diinginkan. Kau harus selalu ingat kalau, bahkan dalam buku cerita, setelah ‘akhir yang bahagia’, semua tokoh harus meneruskan hidup mereka. ‘Akhir yang bahagia’ itu cuma fase, dan ia akan segera berakhir.” [hal. 201]
“ Alasan orang bunuh diri berbeda-beda, tapi akarnya tetap sama: merasa kesepian. Ada anak-anak yang disiksa orang tuanya, bocah yang baru menemukan bahwa cinta pertamanya adalah bocah lain, ayah yang baru dipecat, ibu yang baru bercerai…. Untuk itulah mereka mengangkat telepon; untuk mendengarkan, dan meyakinkan kalau tidak ada yang sendirian di dunia ini.” (Halaman 21)
Saya tidak heran saat lagi-lagi menemukan diri saya kagum dengan karya Ziggy. Novel ini meski ditulis ‘A Love Story’ di sampulnya, tetapi bukan hanya tentang kisah cinta klise dengan latar negeri asing. San Francisco lebih luas dari itu. Bunuh diri, rahasia-rahasia, musik klasik, sejarah San Francisco, juga kisah cinta para komposer dunia. Cara bercerita yang menarik dan dibangun dari riset serius selalu menghasilkan karya yang berkesan.
Berkisah tentang seorang Ansel yang mencintai musik, terlebih musik klasik, dan piawai memainkan harpa. Ia bekerja di sebuah toko roti sekaligus menjadi relawan di sebuah pusat pencegahan bunuh diri. Salah satu tugasnya adalah menerima telepon dari orang-orang yang punya keinginan bunuh diri, orang-orang kesepian dan merasa depresi, keluarga korban bunuh diri, mendengarkan cerita mereka.
Ziggy tidak menjadikan San Francisco sekadar tempelan dalam ceritanya, ia menjadikan tempat tersebut ‘menyatu’ dengan ceritanya. Meski begitu, saya suka ketika penulis menyelipkan Indonesia dalam ceritanya. Mulai dari tokoh Rani yang berasal dari Indonesia, kisah di balik namanya, kerinduan Rani akan Indonesia, serta trivia kocak terkait Indonesia.
Ulasan lengkapnya bisa dibaca di [Resensi Buku] SAN FRANCISCO: Bunuh Diri, Musik Klasik, dan Kisah Cinta http://wp.me/p4zWQ9-qY
Dari sisi gaya Bahasa, memang novel ini bagus. Rasanya seperti membaca novel remaja terjemahan penulis-penulis luar. Macam Gayle Forman.
Cumaaannn, rasanya ada yang kurang pas. Kesannya agak terlalu dipaksakan agar ceritanya menjadi seolah "cerdas", dengan terlalu banyak fakta-fakta tentang musik klasik, yang buat saya menghabiskan terlalu banyak bagian cerita.
Satu Lagi, tokoh Rani juga saya tidak suka. Berusaha terlalu keras dijadikan anak yang anti mainstream, tapi sebenarnya ya memang tidak ada yang spesial dari si Rani ini.
Yah, setelah di tanah lada, mungkin saya berharap terlalu banyak.
Ziggy selalu nyeleneh sih kalau tiap nulis. Bahasa di buku ini lebih cenderung seperti terjemahan, butuh dua kali baca untuk ngerti mau kemana dibawa arah ceritanya. tapi emang gila sih.. penasaran sama karya Ziggy selanjutnya.
Ide ceritanya menarik, ngga mainstream. Tapi aku ngga bisa bilang buku ini bagus, pun jelek. Relatif sih. Tergantung sama selera kalian gimana.
Ceritanya juga gelap. Pusing baca karyanya Ziggy tuh :( bisa bahaya kalo ke-triggered. Jadi aku saranin kalian buat hati-hati waktu baca, jangan baca waktu di bawah tekanan deh. Baca ini disaat santai.
Yang sedikit mengganggu itu dialong Bahasa Inggris-nya. Sebenernya gapapa sih kalau mau pakai gitu, cuma ini ada terjemahan Bahasa Indonesia-nya juga, jadi ngga nyaman aja gitu waktu dibaca😅. Dan lagi, kenapa dialog yang pake Bahasa Inggris cuma bagian Ansel sama Rani(?) Kalau mau pake Bahasa Inggris mending semua dialognya disamain gt sih bahasanya. Terus lagi terjemahan Bahasa Indonesia-nya ada yang kebalik, salah tempat.
Banyak bahasan tentang musik klasik, berattt😂, tapi dalam satu waktu juga seru haha🙈. Ada beberapa part yang aku suka, terutama dialog antara Ansel sama Rani. Selesai baca aku masih gatau siapa itu Ansel Adams lol
Ceritanya cukup menarik, dengan tema besar tentang bunuh diri, Golden Gate Bridge, dan musik klasik. Saya suka pesan-pesan yang disampaikan di buku ini, walaupun saya masih bingung kenapa pembicaraan Rani-Ansel pakai bahasa Inggris padahal semua dialog di sini harusnya emang bahasa Inggris yang diterjemahkan...? Jujur di akhir saya juga banyak skim-read terutama bagian musik klasiknya wkwk. But overall okelaah.
--
"Tapi menurutku, orang-orang tidak seharusnya membuat standar untuk 'akhir yang bahagia'. Menurutku, melewati segala hal--baik maupun buruk--dan bertahan terus sambil menikmati sedikit kesenangan setiap ada kesempatan; itu sudah cukup untuk menjadikan seseorang bahagia. Bukan akhir; hanya bahagia."
San Francisco merupakan buku Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie yang kedua yang saya baca. Sejak saya dibuat terpukau oleh Ziggy di novelnya Di Tanah Lada, saya mulai menjadikannya sebagai penulis yang karyanya harus saya baca. San Fransisco sendiri menjadi novel bertema kota-kota dunia terbitan Grasindo yang pertama kali saya baca. Meskipun sudah ada beberapa novel lain dengan judul kota dunia yang sudah terbit.
Saya mendapati gaya bertutur Ziggy yang berbeda dari Di Tanah Lada. Bukan perkara tokohnya memang beda, atau settingnya juga lain. Tapi nuansa yang menghiasi kisah ini memiliki warna dan gaya yang berbeda. Diceritakan menggunakan sudut pandang orang ketiga, novel ini berbicara lebih banyak dari sisi Ansel. Jadi saya pun tenggelam dalam keanehan dan kekikukan Ansel. Sedikit iba tapi ada juga keinginan untuk jadi bagian dari kelompok Gretchen dan meledek Ansel. Haha...
Novel ini memiliki tokoh yang unik dan ajaib. Lupakan soal cowok ganteng, pintar, manly seperti tipikal tokoh novel pada umumnya. Di dalam San Fracisco temuilah seorang cowok biasa, bertampang dan berpenampilan seolah ingin dibully, dan suka meracau tentang musik klasik. Tapi meski begitu, saya merasa Ansel benar-benar lovely dan keren. Gak kalah sama karakter tipikal yang cakep dan sebagainya dan sebagainya. Saya anggap ini karena penokohannya begitu bulat dan kuat.
Heroinenya pun sama uniknya. Bukan yang cantik selangit atau kece badai, tapi tokoh yang lain dari yang lain. Sebagai karakter yang memiliki adult separation anxiety disorder, Rani bukannya cewek lemah. Dia justru kuat, terlihat biasa saat ngobrol, meskipun ada juga pemikiran-pemikirannya yang menunjukkan rasa depresi. Saya merasa terkoneksi dengan Rani, karena jujur... saya pun seorang yang memiliki anxiety disorder. Jadi saya benar-benar merasa Ziggy sungguh mampu menggambarkan dan membuat nyata karakter Rani. Tokoh favorit saya tentu saja Benji. Dia benar-benar seperti jangkar yang dibutuhkan di saat-saat tergelap. Kegilaannya, kenylenehannya tapi juga bagaimana dia memperhatikan dan menghibur orang-orang dengan caranya sendiri. Benji benar-benar mirip magnet. I really love his character.
Jalan cerita San Fransisco pun seunik para tokohnya. Ini benar-benar novel yang berbeda. Rasa depresi yang ada di dalamnya, alur yang bergulir tak tertebak akan ke mana, juga banyaknya pengetahuan tentang musik klasik yang berjejalan dan membuat saya terbengong-bengong. Ada ya manusia yang begitu hapal sejarah dan latar belakang musik klasik seperti Ansel. Saya saja hafal sejarah Indonesia setelah sekolah 12 tahun lamanya. Hebat bener Ansel ini sampai bisa lancar banget menyebutkan nama dan peristiwa. Yang juga berbeda dalam novel San Fransisco ini adalah dialog antara Ansel dan Rani yang menggunakan Bahasa Inggris, sejak pertama kali. Bukan jenis bahasa inggris campur-campur seperti dalam novel bertema metropop, tapi bahasa inggris yang sepenuhnya. Jadi nggak perlu mengerenyitkan dahi karena bahasa campur baur yang kadang aneh kalau benar-benar diucapkan. Setting San Francisco dalam novel ini begitu rapi. Bukan hanya sekadar tempelan tapi merasuk hingga ke inti cerita. Detail latar dan suasananya melekat di jantung cerita. Dan saya suka bagaimana Ziggy mengulik tentang Golden Gate Bridge.
Yang pasti, San Francisco merupakan novel yang menawarkan kisah yang berbeda. Lagi-lagi saya terpesona oleh gaya bertutur penulis yang satu ini. Bagi kalian yang menginginkan kisah dan tokoh yang nyleneh tapi padat dan berisi, novel San Francisco ini layak banget untuk dibaca.
Seperti novel-novelnya yang lain, di San Fransisco juga terdapat banyak pengetahuan random yang nggak penting-penting amat, tapi menarik. Karakter-karakter bikinan Ziggy juga khas--karakter yang keliatannya kompleks, tapi sebenernya sederhana banget. ((Saya bingung nih gimana cara jelasinnya.))
Pokoknya, saya suka banget. Tulisan Ziggy selalu kerasa abstrak, tapi dalam cara yang baik dan bisa dinikmati. 4 bintang :-)
Ansel, lelaki jangkung yang mahir bermain harpa, adalah salah seorang petugas penerima telepon di Suicide Prevention Center. Kehidupannya berpusat pada Rani--gadis dari Indonesia yang depresi dan berulang kali berniat dan mencoba mengakhiri hidupnya--semenjak ia menerima telepon gadis itu. Mampukah Ansel menyelamatkan Rani? Berhasilkah Ansel menjalankan tugasnya sebagai hotline pribadi Rani yang senantiasa siap sedia menjadi teman bicara kala gadis itu disergap keinginan untuk bunuh diri?
Ini adalah keempat kalinya aku membaca karya Ziggy. Hm, buku ini jauh dari bayanganku. Meskipun di sampul depan buku telah tertulis jelas "A LOVE STORY", aku tetap saja meragukan definisi "love story" dalam kacamata seorang Ziggy. Maklum, ketiga karya sebelumnya yang kubaca bukanlah genre romansa. Ketiganya cenderung suram.
Meskipun begitu, tema yang diangkat Ziggy kali ini masih kelam--mana ada depresi dan upaya bunuh diri yang terasa ringan dan ceria, bukan? Kali ini, Ziggy tidak banyak memainkan simbol atau perumpamaan dalam metafora seperti yang biasa dia lakukan. Meskipun begitu, aku berhasil merasakan betapa suramnya kehidupan orang yang berupaya bunuh diri atau orang-orang yang berada di sekitarnya. Aku merasakan betapa keras usaha mereka menyadarkan orang yang dicintainya untuk bertahan SATU HARI LAGI. Bahkan, sering kali permintaan untuk bertahan "satu hari lagi" terlalu muluk. Oh!
Asyiknya, Ziggy berusaha mengenalkan indahnya musik klasik serta betapa menariknya Indonesia dalam buku ini. Perkenalan Rani dan Ansel membawa mereka ke obrolan soal aneka musik klasik dan negeri asal Rani. Sungguh sebuah ide yang menarik. Percakapan antartokohnya yang berbahasa Inggris disertai terjemahannya terasa berlebihan sekaligus membantu (bagi pembaca yang kurang mahir berbahasa Inggris). Kurasa, selain dialog berbahasa Inggris, ada hal lain yang membuatku merasa buku ini beraura buku terjemahan, tapi entah apa.
Seperti karya Ziggy yang sudah kubaca sebelumnya, akhir cerita buku ini menyuguhkan kejutan yang sebetulnya menjawab tanyaku di awal kisah. Sebuah akhir yang tidak menyenangkan. Ah, suram!
Buku ini kurekomendasikan untuk kalian yang bermental sehat atau tengah menghadapi seseorang yang sedang berjuang menjalani hidupnya menit demi menit.
San Francisco • Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie • Grasindo • 2016 • 218 hlm.
--
'Kalian menerima telepon untuk mendengar cerita mereka, bukan menghakimi, bukan menggurui'. Hlm. 14
Alasan orang bunuh diri berbeda-beda, tapi akarnya tetap sama: merasa kesepian. Hlm. 21
Aku hanya tidak ingin mati sendiri ... seperti aku hidup sendiri .... Hlm. 30
Orang-orang mati, tidak terselamatkan. Tapi, nyawa orang asing mendadak menjadi bagian dari hidupku; mendadak, ada lebih banyak hal penting di dunia ini selain diri sendiri. Aku melanjutkan pekerjaan ini bukan untuk membuat dunia atau orang lain lebih baik--tapi agar aku menjadi lebih baik. Hlm. 40
But I think you shouldn't go about dancing with Death, when there's still so many incredible songs to dance to. Hlm. 81
I always think that, instead of responding with sarcasm, it's better not saying anything. Hlm. 86
Berhenti jadi orang tolol, sesekali. Aku tidak harus tahu masalah apa yang kau hadapi waktu itu, tapi kau harus berhenti dihantui hal yang sudah lama lewat Hlm. 138
Orang-orang yang merasa ingin bunuh diri akan mencari cara untuk kembali. Tapi, orang-orang yang akan bunuh diri tidak menginginkan alasan untuk berhenti. Hlm. 168
San Francisco menceritakan kisah Ansel, seorang lelaki yang bekerja di Suicide Prevention Center, pusat yang melayani sebuah panggilan untuk orang-orang yang ingin bunuh diri. Bagi seseorang yang bekerja di layanan hotline khusus orang-orang depresi tersebut, pasti harus selalu siap menerima panggilan dari siapa pun yang sedang merasa berada di ujung tanduk kehidupannya. Begitulah Ansel dan gadis bernama Rani bertemu. Di awali Rani, yang saat itu berniat untuk mengakhiri hidupnya, menelepon layanan SPC, dan bertanya tentang judul lagu yang dinyanyikannya, untunglah Ansel berhasil menjawab judul lagu yang dinyanyikannya, sehingga Rani mengurungkan kembali niatnya untuk bunuh diri. Sejak perbincangan singkat itu, Ansel dan Rani terus terhubung.
Dari awal baca lembar-lembar pertamanya, aku merasa kayak baca novel terjemahan. Serius! Tapi untuk keseluruhannya, novel ini udah berasa khas Ziggy banget. Dari karakter tokoh-tokohnya yang unik, humornya, sampai keseluruhan ceritanya udah gak asing lagi sama gaya penulisan Ziggy. Kisah romansa yang ditulis Ziggy pun selalu terbilang apik. Di beberapa bukunya, Ziggy selalu menyelipkan isu-isu yang membuat kita aware terhadap mental health. Dalam cerita kali ini Ziggy membahas tentang ASAD - Adult Separation Anxiety Disorder, yaitu suatu penyakit yang dialami oleh Rani yang merasa kesulitan ketika harus berpisah dengan orang-orang terdekatnya, khususnya keluarganya yang berada jauh di tanah air. Tidak hanya itu, penulis juga menyelipkan beberapa pengetahuan tentang permainan harpa dan musik klasik, dan sejarah tentang Golden Gate Bridge beserta filosofinya.
Tapi, di sini, ketika membaca beberapa penjelasan mengenai musik klasik dan sebagainya, aku merasa seolah sedang baca penjelasan dari wikipedia yang diberi tanda kutip. Entahlah, aku merasa penjelasan Ziggy melalui tokoh-tokohnya tersebut masih terkesan kaku. Atau mungkin pengaruh dari gaya tulisan Ziggy di sini, yang aku sendiri bacanya seperti novel terjemahan? Ya, entahlah.
Namun, dari novel ini juga aku melihat ada banyak toleransi. Dilihat dari sikap para tokohnya ketika menghadapi orang-orang yang menderita mental illness. Mereka tidak mencemooh atau melakukan hal-hal buruk, namun justru merangkul mereka. Ini juga bisa jadi referensi buat kita. Aku melihat ini dari kacamata orang awam yang gak pernah mengalami depresi seperti itu. Tapi, ya tentu kita juga berperan kan, ketika mungkin ada orang-orang di sekitar kita yang membutuhkan pertolongan kita. Setidaknya kita jadi tau bagaimana harus bersikap saat berada di posisi tersebut.
Juga, sebenarnya aku sempet drop di pertengahan cerita sih, karena aku mencium bau-bau perselingkuhan heu. Jujur aja bagiku pribadi, perselingkuhan, apa pun alasannya, gak bisa ditolerir lagi, dan aku sempat kesal juga sama kedua tokohnya, Ansel dan Rani. Huft. Tapi aku akhirnya melanjutkan baca setelah baca beberapa review dari orang di sini.
Ya.. aku bersyukur akhirnya aku memutuskan buat lanjutin baca lagi, karena ya baiklah aku mencoba memahami alasan Ansel memutuskan pilihan itu. Toh, emang namanya perasaan gak bisa dipaksakan. Dan wow di saat bersamaan aku terkejut dengan plot twistnya. Sama sekali gak disangka-sangka!
Untuk keseluruhannya, awalnya aku mau kasih rating 3 aja karena alasan tadi, tapi setelah baca sampai selesai aku kasih rating 3,5! Wajib baca buat kalian dan mari kita shock sama-sama. :")
Bab pembuka San Francisco sangat menarik. Rani, gadis Indonesia yang menjalani studi di bidang seni, menelepon Suicide Prevention Center karena ia merasa akan mengakhiri hidupnya. Ansel yang bekerja paruh waktu di sana mengangkat telepon. Bukannya meminta pertolongan, Rani justru meminta Ansel menebak lagu yang dinyanyikannya.
Bukan kota San Francisco sendiri yang banyak dibahas di sini, melainkan Golden Gate Bridge dan isu bunuh diri. Banyak orang yang melakukan bunuh diri di jembatan berwarna oranye itu dengan alasan entah apa. Begitu pula Rani … juga Ansel.
Rani mengalami ASAD (Adult Separation Anxiety Disorder), gangguan kecemasan yang terjadi karena harus berpisah dengan orang-orang yang dicintai yang menjadi bagian dari hidupnya. Meskipun ada Benji, pacarnya, Rani belum bisa benar-benar sembuh dari keinginan mengakhiri hidup. Lalu ia bertemu Ansel di Golden Gate Bridge.
Ansel penyuka musik klasik, ia pandai memainkan harpa. Ia banyak menghubungkan kisah pribadi musisi klasik dengan filosofi kisah cintanya sendiri bersama Ada. Hm, dalam novel ini ada jalinan hubungan yang cukup kompleks antara Rani-Ansel-Ada-Benji.
“Kurasa Benji tidak menginginkan seseorang yang serumit diriku.” (hal. 121)
“Orang-orang yang sangat berbeda bisa saja tetap hidup bersama, tapi kalau mereka bertentangan dalam hal paling dasar, sepertinya sangat sulit dijalani.” (hal. 198)
Poin plus novel ini adalah pembuka yang menarik, dan ending yang berwujud seperti epilog yang ‘nyambung’ dengan awal perjumpaan Rani dan Ansel. Sayangnya, bagian tengah cerita cukup membosankan. Sebagai pembaca yang concern dengan isu psikologis, saya kurang tertarik dengan performa Benji di panggung, musisi klasik, judul-judul lagunya, ataupun nama bab-bab yang sesuai dengan filosofi musik klasik. Maaf, saya tidak peduli dengan detail tersebut. Terlalu banyak informasi yang rasanya ingin dimuntahkan penulis kepada pembaca (yang sayangnya, tidak semuanya menyukai musik klasik). Tetapi saya suka dengan apa yang konon pernah dikatakan Bach: Gadis yang terlalu sering minum kopi tidak akan pernah bisa menikah. Soalnya mereka lebih suka kopi daripada lelaki. Haha, bisa jadi pernyataan itu benar. :D
Apakah novel ini semula ditulis dalam Bahasa Inggris kemudian diterjemahkan oleh penulis sendiri? Saya kurang tahu. Ketika membacanya, saya berada di posisi antara membaca novel terjemahan dan novel Indonesia dengan ide cerita yang tidak biasa. Memang terkadang terasa aneh membaca novel yang ditulis oleh penulis Indonesia tetapi latar tempat dan tokoh-tokohnya ada di luar negeri. Namun, konsep ceritanya sendiri bagus. Bagaimana culture shock terjadi dan menimbulkan gangguan kecemasan ditampilkan dalam novel secara implisit. Pesan moral pun tersirat dengan cara yang manis dalam novel ini.
“Kau selalu menyukai hal-hal yang menyakitimu, Ansel. Tapi masalahnya, di dunia nyata, yang pecah bukan kulit jarimu; tapi hatimu.” (hal. 181)
“Yang melukaimu mungkin juga sama hancurnya denganmu. Tapi mungkin kalian sama-sama merasakan sakit karena kalian dalam proses penciptaan sesuatu yang luar biasa. Kalau kau memutuskan untuk mundur, kau merasa sakit dengan sia-sia.” (hal. 114)
Saya pikir ini buku terbarunya Ziggy, ternyata malah duluan ini daripada Jakarta Sebelum Pagi dan Semua Ikan di Langit. Harusnya saya segera sadar sih kalau lihat rating dan review di Goodreads yang cukup banyak.
Oke, jadi karena saya suka sekali sama dua buku di atas, yang bikin Ziggy jadi penulis favorit saya, saya menaruh ekspektasi cukup tinggi terhadap San Fransisco. Tapi eh tapi, saya ternyata kurang suka sama karakter Rani. Bukannya saya tidak bisa berempati sama orang dengan gangguan mental dan tindakan bunuh dirinya. Tapi menurut saya, menurut saya lho ya, seharusnya Rani fokus sama penyembuhan dirinya dengan psikiater dulu. Bukan mencoba menggantungkan diri ke orang lain, dalam hal ini Ansel, dengan menjadikan Ansel hotline pribadinya. Memang dalam kasus Ansel, Ansel juga merasa connected dengan Rani karena ternyata Ansel juga damaged. Tapi kalau seandainya Ansel itu orang ‘normal’, tindakan Rani bisa mempengaruhi kehidupan Ansel, misalnya hubungan Ansel dengan pacarnya, Ada. Walaupun pada kenyataannya Ansel memang tidak cocok dengan Ada, tapi kan kesel juga jadi Ada kalau si Rani terus-terusan menghubungi Ansel, dengan alasan dia punya penyakit mental, bahkan terang-terangan ngomong kalau Ansel gak cocok sama Ada. Dengan penyakit mental yang dia miliki, orang lain mungkin bakal merasa bersalah kalau nanti udah deket, terus taunya bosan, capek, atau ada keadaan yang memaksa buat pisah atau pengen ninggalin, terus si Rani pengen bunuh diri lagi gara-gara ditinggal. Terus terang ini cukup mengganggu buat saya. Mungkin itu sebabnya ya, orang yang kerja di Suicide Prevention Center itu sebaiknya tidak memberikan nomor pribadinya. Sekali lagi ini hanya pendapat pribadi ya.
Tadinya udah mau kasi bintang 3 aja buat buku ini, dan sempat pengen berhenti di tengah juga. Tapi karena ini adalah Ziggy, dan saya masih pengen tahu endingnya gimana, jadi agak dipaksa terusin walaupun kurang enjoy, karena selain masalah karakter tadi, saya juga agak terganggu dengan penggunaan bahasa Inggris di setiap dialog antara Ansel dan Rani. I mean, kenapa cuman waktu dua orang ini bicara aja yang ditulis dalam bahasa Inggris, kenapa yang lain enggak? Tapi kayaknya terjawab juga sih di akhir, dan juga saya ambil positifnya aja, lumayan buat belajar bahasa Inggris. Akhirnya, saya kasih 4 bintang karena saya cukup puas dengan endingnya yang tidak memaksakan Ansel harus sama Rani. ‘Cause, imho, I don’t think two damaged people can work it out, tho. Mereka harus fokus menyembuhkan diri sendiri dulu baru bisa memulai sebuah hubungan agar tidak saling menyakiti.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Eum, aku beli ini karena tertarik oleh nama pengarangnya, apalagi karena formulanya yang mengingatkanku akan novel 'Jakarta Sebelum Pagi' dari pengarang yang sama.
Yah, gaya bahasanya .... sulit ditangkap, seperti membaca novel terjemahan. Tapi jika aku sudah memahaminya, terasa berbeda. Kupikir inilah ciri khas dari novel ini (karena seperti biasa, Ziggy selalu memberikan gaya bahasa berbeda di setiap novelnya).
Dari judulnya, novel ini sudah menggambarkan bagaimana tempat, suasana, dan kehidupan di San Francisco. Aku merasa seolah-olah dibawa tinggal di sana, merasakan hidup sebagai orang Amerika dan berinteraksi secara tidak langsung dengan masyarakat nya. Uuuh ... Ini saja sudah menakjubkan, lho.
Dan kembali ke topik cerita, ceritanya begitu mendalami perasaan para tokohnya. Mulai dari Ansel dengan harpanya, Rani dengan kebiasaan bunuh dirinya, Benji dengan band-nya, Ada dengan kenormalannya, dan Gretchen dengan kesintingannya.
Lalu isu-isunya yang begitu menarik, seperti bagaimana Golden Gate Bride bisa menjadi tempat bunuh diri favorit. Ada banyak pula trivia menarik seputar musik-musik klasik.
Meski plot twist nya agak membagongkan :P (ya karena aku gak rela gitu .... Ansel kok sama dia ....) Tapi masalahku cuma satu, karena aku ini goblok banget soal musik, jadi aku cuma bisa bengong doang baca celotehan Ansel. Seharusnya dikasih definisi-definisi dari setiap istilah musik yang muncul di bawah halamannya. Supaya yang awam ngerti gitu lho, hehe.
Segitu aja kali, ya? Sebenarnya masih banyak yang mau aku tuliskan soal novel ini, tapi kayaknya jangan dulu deh.
Ansel Summer-Payne seorang pekerja part-time di Suicidal Prevent Center San Francisco--tempat berkeluh kesah orang-orang depresi. Sekilas hidup Ansel seperti lelaki biasanya, punya kakak dan ipar yang sayang dan menganggapnya tetap sebagai anak kecil, kekasih yang normal, dan yang menjadi nilai tambah, Ansel juga mengambil kerja menjadi kasir di toko roti. Sampai suatu ketika bertemu penelepon yang memintanya sebagai hotline pribadi, Rani. Baca hubungan antara Rani dan Anel cukup membuat Saya gemas, mengingat keduanya sudah punya kekasih masing-masing tapi masih menganggap diri mereka depresi, yang mereka anggap sebuah kesamaan. Sampai Ansel rela memutuskan hubungannya dengan kekasihnya. Secara penilaian pribadi kurang suka cerita yang mengambil inti 'orang baik akan dipasangkan dengan orang yang baik, begitu pula sebaliknya' dan hampir memberi penilaian yang rendah untuk buku ini. Namun, tidak disangka dibalik se-penasaran itu dengan Rani ada hal yang disembunyikan selama hidupnya.
Penulis Saya akui cukup memberi para pembaca awam tentang musik menjadi sedikit terbuka informasinya, terutama untuk musik klasik beserta para tokoh pemainnya. Cukup banyak quotes yang cantik dan realistis untuk dapat dipetik salah satunya,
"...but real life isn't like that. You got a bunch of characters, yet absolutely no clue. You can end up with someone you never thought you would."