Tulang dari segala tulang yang menopangmu Daging dari segala daging yang menyusunmu Kulit dari segala kulit yang menjahitmu Telah mahir mencuri rotasi dari sumbu semesta.
Susunan malam diam melesap ke dalam hilang Dan memintaku sekadar merumuskan mereka Ke dalam sejumlah metafora paling cemerlang Agar diam mereka sekaligus menjelma sebuah Gerakan menjauhi kamus yang menjerumuskan.
Di dalam semestamu pernah hidup seorang Penyair buta yang menjadikan metafora Penuntun jalannya meskipun sesekali Ia tersesat juga ke dalam ceritamu dan tak Pernah mampu menciptakan puisi pertamanya Kecuali memujamu dengan terbata dalam Putaran mendekati kamus yang merumuskan.
Jeda yang singkat mendekatkanmu pada sebuah Sinagoga, tempat pertama yang menguarkan aroma Firmanmu—yang kelak mengajariku bagaimana Menggunakan spasi di antara dua kata menggoda Untuk merumuskan puisi yang tidak munafik.
Mario F Lawi lahir di Kupang, pada 1991. Ia meraih NTT Academia Award 2014 kategori Sastra dari Forum Academia NTT, Penghargaan Terbaik I Taruna Sastra bagi Generasi Muda 2015 dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud. Pada 2017, ia menjalani residensi di Italia. Pada 2019, mengikuti program Pertukaran Penyair Indonesia-UK di Makassar, London, dan Hull. Buku puisinya Memoria (2013) dipilih sebagai salah satu Buku Puisi Rekomendasi 2013 oleh Majalah Tempo. Kumpulan puisinya Ekaristi (2014) dinominasikan dalam 10 Besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2014 dan dipilih sebagai Buku Puisi Terbaik 2014 oleh Majalah Tempo. Ia bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora, dan mengampu rubrik Terjemahan situs bacapetra.co.
Idenya menarik karena siapa sangka judul-judul lagu dari Coldplay bisa dijadikan inspirasi untuk puisi? puisi di bagian Death Note yang membuat saya tersenyum simpul karena nama Tuan Yagami, Kira dan Ryuk semuanya ikut terseret didalamnya :3
"Air mata diciptakan untuk menjagamu sesekali dari cinta yang keliru, ... " - Life in Technicolor
Menghabiskan buku ini di atas boncengan sepeda motor dari Palembang ke Pangkalan Balai. Buku pertama yang aku baca di aplikasi SCOOP (hore, aku baca e-book).
Sebagai pendengar Coldplay, yang cuma hafal refrain lagu Fix You dan begitu menguasai lagu Hymn for the Weekend terutama di bagian lirik "a owa owa", buku puisi ini jelas di luar prioritas bacaanku. Mungkin itu yang jadi salah satu faktor kenapa aku kurang bisa memaknai nyaris semua puisi yang ditulis Mario F. Lawi di sini. Selain adaptasi dari lagu-lagu Coldplay, kayaknya tema puisi-puisinya juga menyadur kisah-kisah di Al-Kitab, jadi target pembacanya agak segmented.
Kalau kamu Coldplayer dan pernah mendengar cerita tentang Yudas, kurasa buku puisi ini cocok buatmu.
Air mata diciptakan untuk menjagamu sesekali dari cinta yang keliru,… (Life in Technicolor, hal. 14) Suka Coldplay? Baca deh. Jangan lupa pas baca, di-play lagunya sesuai judul tiap halaman biar lebih me-re-sap.
Tidak jarang, Mario f. Lawi menuliskan puisi-puisinya dengan alusi-alusi alkitab. Juga pada buku kumpulan puisinya ini. Pertama kali membaca puisi nya, lumayan mengawang-awang dan memakan konsentrasi. Meski judul buku nya terlihat seperti memaksakan--ya, terlepas judul-judul puisinya juga juga lagu dari Coldplay, tetapi--saya rasa belum begitu ngeh, atau mungkin maksud dri penyair begitu, atau lain lagi. Entahlah.
Puisi yg paling di buku ini barangkali berjudul midnight.
... Ingin kukenali lagi suasanamu, Api yg memercik kedeweasaan Bagi sebuah tata surya. (h. 36)
Kurang meresap ke dalam hati puisi-puisinya, memang diperparah oleh diriku yang memang bukan pendengar lagu Coldplay dan bukan seseorang beragama Katolik.
Mungkin nanti aku harus dengar lagi lagu-lagunya Coldplay dulu. Aku membaca ini karena orang yang aku suka saat ini sangat menyenangi Coldplay. Kupikir ketika membaca ini aku bisa "mendengar" lagu-lagu Coldplay tersebut, tetapi tidak begitu. Mungkin penulis lebih menginterpretasikan lagu-lagu Coldplay dalam makna spiritual, contohnya "Yellow". Aku lebih mengartikannya secara romantis, jadi tidak sesuai.
Saya kecewa dengan buku ini. Setelah membaca (dan mengagumi) sekian banyak puisi Mario Lawi, pilihan diksi dan topiknya mulai terasa repetitif. Buku ini pun terasa sebagai karya eksperimental, tidak "matang", dan kelihatannya tajuk yang mengusung Coldplay ini terlalu dipaksakan. Saya mengharapkan karya-karya Mario selanjutnya yang lebih baik lagi.
Kumpulan puisi yang mengandung 28 puisi, yang semua judulnya diambil dari judul lagu-lagu Coldplay. Mungkin ini adalah bentuk lain dari respons penulis memaknai lagu-lagu Coldplay, dengan tidak melupakan gaya menulis puisi biblikalnya yang khas. Puisi panjang maupun super pendek tersaji dalam buku yang cukup singkat ini.
Maka terbitlah imajinasiku pada Coldplay sebagai sebuah band asal ibukota Indonesia dan memiliki lirik liris dan sedikit banyak menyinggung Tuhan dan cinta dan filsafat dan cerita dan Mario F. Lawi sendiri.
Mendengarkan Coldplay adalah sebuah buku puisi yang mengambil tema cerdas, menggunakan judul lagu Coldplay sebagai judul puisinya, di mana isi puisi-puisinya terkadang setema atau se-feel dengan lirik lagu Coldplay. Namun, puisi penulis kebanyakan bercerita dengan unsur religi kristiani. Sepertinya lho ya, mengingat saya tidak paham dengan ajaran kristiani yang diangkat oleh penulis. Tapi tidak semua kok, ada juga yang bercerita tentang kisah cinta, yang bisa diartikan secara universal.
Sebenarnya lagu ini kental sekali dengan konsep ketuhanan jika mau mengambil dari sudut pandang itu. Namun, dalam puisinya, saya tidak merasakan perasaan yang begitu kuat yang tecermin dalam bait-bait puisinya. Atau, mungkin pemahaman saya saja yang tidak sanggup meninterpretasikan tiap bait kata yang dituliskan penulisnya di sana.
Tentu saja, jika saya mendedah satu per satu judulnya, di mana ada dua interpretasi berbeda yakni dari sudut pandang lagu Coldplay lalu puisi-puisi di sini, tentu akan memakan banyak sekali ulasan. Akhirnya, saya hanya bisa memberikan kesimpulan beberapa hal tentang buku puisi ini:
Pertama, konsepnya menarik. Kedua, andai saja tidak ada benang merah dengan lagu-lagu Coldplay, saya rasa saya tidak akan cukup memiliki ketertarikan dengan puisi ini. Kalaupun membacanya di luar konteks dari lagu-lagu Coldplay, sepertinya saya akan kesulitan mencari makna yang terkandung dalam isinya. Bukan berarti tidak bagus. Hanya saja, saya yang awam tentang kisah biblikal, tentu tidak akan mengerti beberapa cerita yang diangkat di sini. (Lagi pula, ketertarikan untuk mencarinya di mesin telusur pun belum ada.)
Bintang dua yang saya berikan di sini bukan karena puisinya tidak bagus, wah, kata-katanya bagus kok dan sarat makna. Bukan pula saya anti membaca kisah-kisah biblikal. Saya rasa, alasan saya bukan karena itu. Hanya saja, saya yang kurang bisa menangkap makna tersebut. Lalu, yang ada saya justru malah lebih tertarik ke kutub lirik dan lagu Coldplay, bukan justru masuk ke dalam semesta baru yang ditawarkan oleh penulisnya melalui untaian kata-katanya.
Secara umum, kata-kata yang membekas hanya ada pada sebaris puisi di judul The Scientist itu saja (itu pun lebih karena kekuatan pengaruh lagunya, ketimbang puisinya). Dan akhirnya, saya tidak lagi berusaha memahami puisi-puisinya tapi justru melanjutkan playlist Coldplay, dan hanya membuka-buka sekilas lembaran puisi ini.
Tentang 2 bintang untuk kumpulan puisi ini, jadi begini: puisi-puisi di dalamnya tidaklah jelek. Mengapa? Pertama, kaitan dengan mitos-mitos alkitab dan sejarah kristiani dalam puisi-puisi di sini sangatlah kental. Mereka tidak bisa dibaca sendiri tanpa referensi dan sedikit pengetahuan tentang cerita-cerita dalam alkitab. Ini pendekatan yang menarik walaupun tidak benar-benar orisinal. "Nyanyian Angsa" dan "Kotbah" oleh Rendra misalnya, juga mengambil tema dosa asal, kotbah di bukit dan perjamuan terakhir dari alkitab. Tidak berusaha membandingkan, tetapi tentu saja interpretasi Rendra dalam kedua puisi tersebut lebih fantastis dengan "gong" yang lebih menggigit.
Kedua, sebagian besar puisi dalam buku ini juga sudah pernah diterbitkan dalam kolom puisi harian Kompas yang, dalam konteks sastra populer, cukup terpandang menurut saya.
Jadi mengapa 2 bintang? Yang agak mengganggu justru judul buku dan masing-masing puisi yang mengisyaratkan ilham dan pengaruh dari lagu-lagu Coldplay. Bukan itu saja, menurut saya judul setiap puisi MEMAKSA kita untuk merujuk ke setiap lagu Coldplay yang berhubungan. Jadi saat membaca kumpulan puisi ini, saya juga membuka lirik lagu-lagu Coldplay yang dimaksud. Sebagian besar dari lagu tersebut cukup karib di telinga. Namun sungguh sulit bagi saya untuk membayangkan bahwa puisi-puisi di sini diilhami oleh lagu-lagu Coldplay. Lirik-lirik lagu Coldplay tidaklah rumit dan dari sekian banyak lagu Coldplay hanya Viva La Vida yang benar-benar dekat dengan tema kristiani. Tentu, bisa saja satu hal mengilhami hal yang lain lewat cara yang tidak langsung. Tetapi untuk bilang bahwa semua puisi di sini ilhamnya datang pada saat "Mendengarkan Coldplay" rasanya terlalu jauh dari imajinasi saya.
Banyak referensi yang kurang saya pahami, karena belum dan kurang membaca. Tapi ide menginterpretasikan lagu-lagu dari band yang lagi populer-populernya ini, kemudian menyusun larik-larik baru yang segar dan mengaitkannya dengan pengalaman yang berbeda menurut saya sangat menarik sih.
kumpulan puisi ini menginspirasi ala-ala, mengingat saya suka Taylor Swift, bagaimana kalau suatu saat bikin kumpulan puisi semacam ini dengan judul "mendengarkan Taylor Swift" semoga sehabis ini saya tidak dijegat oleh fansnya di pintu gerbang. gerbang candradimuka. #ngomong apapula wanita ini malam2
"Air mata diciptakan untuk menjagamu sesekali dari cinta yang keliru" (Life in Technicolor, MFL 2016) .Lagu - lagu Coldplay yang digubah menjadi puisi dengan ciri khas seorang Mario F.Lawi.
Mungkin otak dan hati saya yang kurang piknik. Beberapa puisi sangat menyentuh, beberapa lainnya membuat saya ingin piknik untuk kemudian dapat menangkap maknanya—mungkin.
Semua judul puisinya diambil dari beberapa judul lagu Coldplay seperti Scientist, Fix You, Yellow, A Sky Full Of Stars, Life in Technicolor dan judul lainnya (tidak mengherankan karena buku puisi ini diberi judul "Mendengarkan Coldplay"). . Saya menduga kalau kak Mario F. Lawi adalah seseorang yang mencintai Coldplay. Tapi ada pengecualian di halaman 18 karena judulnya "Death Note", diambil dari manga berjudul sama. Dan ya, justru puisi yang saya favoritkan adalah "Death Note". Begini isinya: . Pada fragmen terakhir ini, Maut berperan sebagai seorang ibu.
Setelah ini si pembawa maut akan menuliskan Nama Tuan Yagami Di lembar terakhir buku kematiannya Sambil menikmati malam yang jatuh Dari puncak menara. "Kau adalah Kira." "Tapi aku Ryuk." "Kau adalah Tuhan." "Tapi aku fana." Si bocah sinis itu tenang Menuding si pembawa pesan Dengan boneka-boneka jarinya Seakan ia berdiri di luar waktu,
Seakan ia tahu, Keabadian adalah sejenis omong kosong Lain tentang Tuhan