Gratiagusti Chananya Rompas was born in Jakarta, 19 August 1979. She studied English Literature in Universitas Indonesia, Depok (2003) and received her masters in The Gothic Imagination from University of Stirling, Scotland (2005).
She is one of the founders of Komunitas BungaMatahari, a mailing list-based Indonesian poetry community that have embraced many poetry enthusiasts with its catchphrase “semua bisa berpuisi” or, roughly translated, “poetry for all”. She is also involved in Selatan, an online literary journal in Bahasa Indonesia, and PaviliunPuisi, a monthly open mic event that is open to poets, poetry communities and artists to showcase their works to an open-minded audience in a casual setting.
Her poetry collections are "Kota Ini Kembang Api" and "Non-Spesifik", both published by Gramedia Pustaka Utama. She also has a column, "From Our Breakfast Table", on The Murmur House. She plans to write some more, particularly on the subjects of memory and place. She is also interested in exploring themes of day-to-day life, motherhood and mental illness through writing in collaboration with other art forms, such as film, music, drawing, painting and dancing.
She currently resides in Jakarta, with her husband and daughter.
Mereview buku puisi itu susah susah gampang. Lebih banyak susah daripada gampangnya. Tapi rasanya sayang banget kalau saya ngga ngereview buku yang satu ini.
Pertama saya tahu buku ini eksis adalah melalui twitter. Kota ini Kembang Api, judulnya sederhana tapi memikat. Saya terus kepikiran, puisi macam apa yang kira kira ada di dalamnya. Mengapa Kembang Api? Ada apa dengan kota tersebut, dan pertanyaan pertanyaan lain makin membuat saya penasaran sampai memutuskan mengunduh buku ini di Scoop.
Ada puluhan judul puisi di buku ini, sebagian besar merupakan puisi yang singkat, habis dalam beberapa bait pendek namun juga ada puisi puisi yang berbait cukup panjang. Tema yang diambil hmm tidak semuanya tentang cinta sih, tapi kesan yang muncul setelah saya baca memang sebagian besar puisi puisinya romantis melankolis.
Sebuah puisi biasanya memiliki pilihan kata yang memikat. Pun demikian dalam buku ini. Ada beberapa kalimat yang terus terngiang ngiang di pikiran saya bahkan setelah saya selesai membaca halaman terakhirnya. Ada kalimat kalimat romantis ala pujangga yang membuat saya meleleh saat membacanya. Ugh. Ini salah satunya,
di atas : bintang bintang menyesakkan langit di bawah : sejuta neon menyilaukan kota di sini : hela nafasku menghampiri telinga
Saat membaca, saya juga menemukan unsur unik lainnya dalam puisi di buku ini, yaitu susunan atau bentuk puisi yang menarik. Yup, seperti yang kita tahu, bahwa seni dalam menulis puisi tak hanya terbatas dalam tema atau pilihan katanya melainkan juga mencakup bentuknya. Dengan bentuk yang unik ini, saya sebagai pembaca jadi lebih tertarik juga untuk membacanya. "Kesedihan yang Sangat Tua" dan "Mabuk Lampu" adalah contoh dua puisi yang punya keunikan dalam tipografinya. Pada puisi Mabuk Lampu, susunan kata katanya berulang dan berdempetan tanpa spasi disertai penulisannya yang jungkir balik sampai sampai kita harus membalikkan buku untuk dapat membaca kalimatnya. Ya meski saya juga ngga ngerti banget sih pesan apa yang dikandung oleh puisi itu. Mungkin saking banyaknya lampu serupa sampai ia mabuk melihatnya? Maklum, saya tak terlalu pintar dalam menangkap atau menerjemahkan pesan atau isi sebenarnya dari sebuah puisi. Karena itu saat membaca buku ini, saya ngga ambil pusing tentang isinya.
Oh ada lagi, ilustrasi di buku ini amat cantik meski sederhana. Apalagi karena saya membaca dalam format ebook, maka ilustrasi ini juga berwarna. Yah, saya ngga tau sih kalau di buku cetaknya gimana, tapi yang pasti kalau ada warnanya tentu jauh lebih menarik, ya kan?
Setelah membaca puisi terakhir di buku ini, saya tergoda untuk membacanya berkali-kali lagi. Saya tergoda untuk jatuh dalam keheningan yang ditimbulkan dalam tiap puisinya. Setiap judul seakan memberikan magnet bagi saya untuk terus mencecapnya, kembali dan lagi. Saya merasakan perasaan rindu, haru, rasa kesepian sekaligus kehampaan yang muncul dalam puisi-puisinya.
Aku membacanya ulang. Aku menilai kembali. Aku bahkan mengubah penilaian itu. Aku semakin merasakan apa yang dibawa oleh setiap kata pada buku ini. Aku hilang akal. Aku merasa tidak cukup hanya dengan membacanya maya. Aku mulai berpikir untuk membeli yang nyata. Aku berpikir kembali. Aku membacanya ulang. Aku berkeputusan. Aku membeli yang nyata. Aku melabelinya sebagai buku yang tidak akan pernah dipinjamkan. Aku hilang akal.
Pagi tadi sambil berdesak-desakan di KRL, saya mendengarkan sambutan GM di acara Chairil Anwar di Tempo bulan Agustus lalu. Dan salah satu yang disitir GM, ialah pendapat Chairil Anwar perihal kata. Bahwa kata ialah mewakili mimpi, keinginan, amarah dan cinta. Pilihan kata bukan sekadar kecocokan diksi dalam sebaris kalimat. Tetapi rasa dan siratan makna yang melekat. Di puisilah keberadaan kata menjadi raja dibandingkan makna.
Di puisi ini, saya baru mengenal nama penulisnya, tapi aku suka keapikan dan kesederhanaan kata.
anakbintang
malam menggigil di luar, dibelai gerimis. kudekap bintang yang gemetar, kuusap sudut sudutnya yang ruai.
aku ingin anakbintang. kunamakan, raiu.
namun malam ini begitu pilu. remangnya menggantung pada bingkai jendela.
hampir tak rela, kuselipkan bintang di lembar awan. mungkin di sana ia tenteram, pelan pelan melupakanku yang nanti mati oleh rindu yang tak lagi bisa merayu
selain suka pada kata-kata yang dipakai, suka juga dengan coretan (gambar atau lukisan atau apa pun yang bisa disebut) yang ada di buku ini. terasa pas dengan puisinya.
kota ini kembang api, entah kota mana yang penulis maksud, tapi saat membaca buku ini, saya pikir judul ini sesuai jakarta. :)
its like if casper went thru all the houses in this city that is fireworks and all the toll road booths and all the late-night bubur babi eating establishments, ordered two bubur polos with all the trimmings (cakwe, ayam rebus, brokoli) then realised he had nowhere to go home to. pretty and profound.
Karena saya baca Non-spesifik duluan dan suka sekali, mau nggak mau jadi membanding-bandingkan terus buku ini selama baca. Kalau Non-spesifik sangat intim dan terasa liar, puisi-puisi di buku ini terasa sangat cantik dan terpoles. Emosinya masih serupa, sih.
Seperti judulnya, puisi-puisinya meletup-letupkan berbagai perasaan. Beberapa terasa berulang meski dengan diksi yang berbeda, tingkat kecantikan yang saling bersaing, dan rasa yang bercampur-campur. Topiknya pun terasa masih serupa puisi-puisi pada umumnya: senja, hujan, malam, kota, kenangan. Tapi harus diakui, Mbak Anya bisa bikin topik yang itu lagi itu lagi menjadi rasa yang sangat indah (dan sedih) untuk dinikmati.
ini buku puisi yang sebenarnya biasa saja tapi tanpa sadar bisa bikin air mata menetes. ada beberapa buku puisi lain yang emang bisa bikin nangis, dan saya harus berhenti dulu sejenak buat mengusap air matanya.
nah kalau ini nggak. beneran deh buku dan puisinya tuh biasa aja tapi tau2 saya nangis kejer aja gitu wqwq. mana pas, saya baca ini semalam pas lagi gerimis. jadi suasananya mendukung banget. pas baca ini gatau kenapa inget Bandung.
padahal ya, padahal, saya belum pernah ke bandung sama sekali. tapi saya membayangkan bandung. edan gak tuh wqwq
puisi kesukaan saya? hmm, yang mana ya. hampir semuanya saya suka sih. manis dan hangat aja gitu pas bacanya.
sayang aku ingin pulang, tidur dan mimpi.....cakep. ini kayaknya saya nangis pertama kali pas baca ini.
paling jleb mungkin yang sekuens
I waktu bertentang pendek di sini hanya sejengkal pejaman mata yang lewat seperti daun, berisik di tiup angin...
II sekarang malam sekarang pagi kemarin tidur kemarin bangun tak lama lagi mati
III calon calon mayat berjejer rapi, bernafas pelan pelan tanpa sadar nyawanya sedang dicuri sedikit demi sedikit...
IV kembali kamu kembali aku melupa mengingat besok tak ada lagi
pas baca itu, inget adegan di film Bangkok Traffic love yang malem2 dia pulang kerja sambil bengong mikirin apa tujuan dia lembur tiap malem hhhhh
The hope of a poet is to write a few poems good enough to get stuck so deep they can’t be pried out again - Robert Frost
Sepertinya tidak banyak yang bisa direview secara serius (karena bukan tipe pembaca yang demikian). Kecuali kasih catatan pinggir, ini buku puisi pertama yang saya selesaikan setelah pindah ke Jakarta secara antiklimaks (setelah 30+ kali interview, dan 2 kali datang ke kota ini secara langsung, akhirnya toh tembus karena interview online dari Surabaya :I).
Membayangkan puisi ini layaknya kembang api. Seperti judulnya. Atau rembesan-rembesan impresi lingering yang ada. Puisi "Kota", " Lagu-lagu malam" "Kenangan Rapi" "Remang Kenangan", dan " The God Of Small Things" menjadi puisi yang saya rasa mewujudkan cita-cita luhur dari Frost ttng fungsi puisi, bagi para pembaca (at least for yours truly).
Saat ini sedang suka dengan kata-kata paradoksal, dan pengen mereview hal yang sama juga dengan puisinya Rompas. Ybs, memadukan analogi/metafora ringan dan dekat namun tetap berjarak dalam menulis pengalamannya. Memadukan lingo bahasa asing, karena bahasa ibu seperti biasa terkadang terlampau intens.
Dan mainan susunan kata bak puisi Sutardji. Namun berharap beliau bisa bikin imaginery yang lebih visceral, katakanlah seperti Louis Gluck, yang memiliki tipe kepenulisan yang sama mirip beliau (riuh-rendah seumpama gumam).
Neverthless, di tengah pembendaharaan penyair perempuan Indo saya yang masih sangat sedikit (Avianti Armand, Toety Herati to name the few). Berharap di skenario yang lebih ideal saya rasa saya tidak bakal menemukan puisi ini di jual loak sangat murah di akun tokopedia. Di skenario ideal saya rasa puisi ybs lebih banyak menemukan pembaca.
Puisi paling disuka: mimpi jari kaki, langitku padam, hujan bintang, hujan, hujankenangan, sayang aku ingin pulang. tidur. dan mimpi., anakbintang, malam ini aku adalah laut, ikan laut dalam, PendarPendarCahayaMenyelinapRuangMata, lagu-lagu malam, suara dan tubuh, apakah rahasia?, rahasia rahasia, aku tak berani berkedip, senjanegeri, prediksi, senja, kenangan rapi, The God of Small Things, remang kenangan, angin senja, kirimanhujan, airmata dalam amplop, rindu hujan, jurnal hujan, dan menuju mentari.
Puisi-puisi yang paling kusuka ini sebagian besar mewakili perasaan. Ada juga puisi yang aku suka, ya, karena suka aja. Saat menyukai sesuatu kadang gak perlu alasan, bukan? Kayaknya hampir semua puisi terkait hujan aku suka. Puisi-puisi di buku ini diksinya sederhana, gampang ditangkap, merasuk di hati, menggelitik, menyentuh, mengena, kadang kala memanggil kembali kenangan masa lampau ataupun menerbitkan ingatan akan seseorang. Suka sekali dan kelak pasti kubaca lagi! ❤
Buku ini sebenernya cukup pendek dan bisa diselesaikan dalam sekali duduk. Cuman, karena aku riweuh sendiri, jadinya selesai selama ini. Hehehe.
Karena jarang baca buku puisi, aku membaca setiap kata di sini untuk seneng-seneng aja. Jelas, aku belum paham maksudnya apa. Tapi aku suka banget menyelami hal-hal yang dijabarkan di tiap bait. Apalagi, diksinya indah-indah. Rasanya bisa betah mengulang-ulang di kepala apa yang udah dituliskan saking bagusnya.
Aku juga suka cara penulis menggabungkan beberapa hal yang nggak berkaitan, dan tetep dibalut dalam pilihan kata yang sederhana. Lihat aja dari judulnya, Kota ini Kembang Api. Simpel, tapi kelihatan kayak punya makna-makna lain. 😆
Ilustrasi yang bertebaran di dalemnya pun enak dilihat. Karakternya khas, warnanya aesthetic, dan nggak kelihatan maksa buat disempilin di situ. Suka!
"Aku merindukanmu.rasanya seperti ada Balon Ulangtahun,membengkak perlahan di dalam dada."
Kumpulan puisi dari Gratiagusti ini pernah di luncurkan terbatas pada ajang Ubud Writers & Reader Festival 2008,puisi yang ringan, permainan kata pengulanagan dan rima yang sering di pakai oleh beberapa penulis puisi lainnya, namun entah apa yang ingin Gratiagusti sampaikan terdapat banyak sekali puisi yang tanpa spasi, gimmick atau ada unsur pendekatan serta makna yang ingin di siratkan, entahlah.
Menikmati beberapa puisi serta diksi-diksi yang dipakai Gratiagusti Chananya Rompas dalam kumpulan puisi ini. Ia bagi saya merayakan kesedihan dengan berani;tidak cengeng. Pun yang paling menarik adalah bagaimana tipologi sajak-sajaknya menimbulkan efek yang membuat kita ikut merasakan jatuh, tenggelam bahkan sepi dan menulis dalam gelap.
Kota ini Kembang berisi tentang kumpulan-kumpulan puisi yang menarik untuk dibaca. Yang paling menonjol dalam kumpulan ini adabalah penggunaan diksi dan tipologi penulisan yang variatif sehingga tidak monoton untuk dibaca. Terlebih buku ini juga disertai dengan visualisasi gambar2 yang cukup menarik perhatian
Saya awam dalam sastra tetapi saya suka membaca puisi-puisi yang indah dan sederhana. Saya melihat dunia dari mata sang penyairnya. Sebagian besar tentang malam, hujan, kerinduan, dan kenangan. Sebuah tema yang pasti menyentuh kalangan mana saja. Bagi saya penikmat puisi awam, puisi-puisi dalam buku ini terasa begitu akrab dan dekat dengan kehidupan, gampang dipahami tanpa meninggalkan keindahan.
Ia tak peduli apabila hari ini langit lebih biru dari kemarin. Rinai cahaya yang menari ramai Sudah buya dan benar-benar pupus dari matanya; Tinggalkan gulita Pada rongga yang kini sepi dari kenangan, Kosong dari lembar lembar Harapan -
Puisi puisi yang indah namun tetap sederhana. Saya suka dengan efek bunyi rimanya, juga dengan cara penulis membelokkan pembaca di ujung ujung barisnya.
Ilustrasinya juga sendu tapi indah gitu. Tiga bintang.
Sejak membaca Non-Spesifik di tahun 2017, Gratiagusti Chananya Rompas menjadi salah satu penulis Indonesia yang aku perhatikan karyanya, sampai dipikir-pikir, ternyata aku sudah membaca 3 dari 3 buku yang penulis sudah terbitkan. Tapi agaknya di buku ini Rompas masih lebih mentah, belum terpoles menjadi sepiawai dirinya di tahun 2017. Cita rasa Rompas yang aku gemari terasa sekuncup-kuncup, tapi di buku ini beliau belum mencuat dibanding rekan-rekannya yang kurang kontemporer. Tidak sabar menunggu karya penulis yang selanjutnya!