Japan, 1861. Sachi is een heel eenvoudig elfjarig meisje, maar ze weet dat ze anders is dan anderen: haar lichte huidskleur en verfijnde gelaatstrekken onderscheiden haar van haar familie en vrienden op het Japanse platteland.
Op weg naar haar huwelijk met de jonge keizer van Japan komt prinses Kazu met haar gevolg door het boerendorpje waar Sachi woont. Ze besluit het delicate meisje als haar bediende mee te nemen naar het vrouwenpaleis. Zo zal Kazu een vertrouweling hebben aan het hof, waar naast hoofse etiquette en klassieke rituelen, roddel en achterklap aan de orde van de dag zijn. Maar belangrijker nog: Kazu zal, in de loop van de tijd, Sachi aan haar echtgenoot kunnen aanbieden als concubine. Zo waarborgt de prinses haar macht over haar echtgenoot en kan zij, als ze daar behoefte aan heeft, vermijden zelf het bed met hem te delen…
De laatste concubine is een meeslepende, zinnenprikkelende roman over een mooi, gepassioneerd meisje en de zoektocht naar haar ware identiteit, geschreven tegen de achtergrond van het veranderende Japan van de negentiende eeuw.
I write historical fiction set in Japan - women’s untold stories, largely true and based on meticulous and detailed research, though primarily, of course, good yarns. I’ve just finished The Shogun’s Queen, the fourth of The Shogun Quartet, four novels set in the nineteenth century during the tumultuous fifteen years when Japan was convulsed by civil war and transformed from rule by the shoguns into a society that looked to the west. Preorder: http://bit.ly/TheShogunsQueen The second, The Last Concubine, was shortlisted for Romantic Novel of the Year 2009 and translated into 30 languages. The other two novels are The Courtesan and the Samurai and The Samurai’s Daughter. My non-fiction on Japan includes Geisha: The Remarkable Truth Behind the Fiction and Madame Sadayakko: The Geisha who Seduced the West. I’m also a journalist and travel writer, give lectures and teach Creative Writing at City University in London.
I read many favourable reviews about this book,and many of them were gushing with praise for it. A Japanese “Gone with the wind” With a gorgeous cover. Can you imagine I was so eager to get this book in my hands?
The plot boils down to this: Sachi is a peasant girl who is adopted by a princess.The princess is going to be the shoguns wife. Sachi grows up in the Edo castle and learns the strict protocol of the castle and using a halberd. The heroine becomes noticed by the shogun and becomes his concubine.
Cue one creepy sex scene (first time nevertheless..poor girl)and some bawdy jokes about "picking mushrooms" by some older women.And then we have the shogun unexpectedly dying,adding to the unrest of the land.
War breaks out and Sachi and a handmaiden flees the castle,Sachi posing as the princess.They met up with some ronin samurai and decide to travel with them. After this I lost grip on the plot….except for the love story between Sachi and one of the samurai. What was his name again?
And as for the editing....
First of all someone hand this author a book about synonyms!
There is only so much repeating of words one can endure. For example someones hair is described as “bushy” throughout the whole book and everyone seems to have “plump” lips.And the plot structure is lacking,feeling sketchy and not that well thought out,the same can be said for the characters up to and including our maincharacter.
Fascinating history yes but it reads more like a history book than a novel sometimes.
And even if I found the love story touching sometimes..it didn’t have that extra oomph! Like in the real “Gone with the wind”
Just about readable.
If you are interested in the authors claim that there was no word for love in japanese culture up until the 19th Century. Here is her take on it. No sources though so I dont know...
The Last Concubine, yang dalam bahasa Indonesia berarti Selir Terakhir, adalah sebuah epic love-story, kisah cinta seorang gadis muda Jepang yang harus menerima takdirnya menjadi selir seorang shogun, bertepatan dengan peristiwa runtuhnya kekuasaan Keshogunan Tokugawa, pada tahun 1800-an. Membaca buku ini, membawa kita kembali ke era Edo, zaman kuno Jepang yang luar biasa, penuh keajaiban yang membuat takjub, yang segera akan menghilang bersamaan dengan Jepang yang membuka dirinya terhadap Barat.
Kisah dalam buku ini dimulai ketika tokoh utamanya, Sachi, seorang gadis desa berusia 11 tahun, anak angkat kepala desa Kiso, diangkat menjadi dayang adik kaisar, Putri Kazu. Sachi yang lincah dan berparas cantik, yang memiliki wajah mirip dengan sang Putri, mencuri perhatian Putri Kazu yang sedang singgah di desa Kiso, dalam perjalanannya menuju Edo untuk menikah dengan sang shogun Tokugawa, Lord Iemochi. Sejak saat itu Sachi tinggal di istana perempuan dalam Kastil Edo, di mana para perempuan yang memasuki kastil akan berada di sana sampai akhir hayat, karena mereka adalah milik sang shogun.
Penulis buku ini menggambarkan dengan apik mengenai kastil Edo, sebuah istana yang berisi 3000 perempuan dan hanya seorang laki-laki, sang shogun. Bagaimana keindahan alam dalam istana yang dilengkapi dengan taman, danau, sungai, dan air terjun, keindahan kimono yang dikenakan serta wangi aromanya yang menawan, disulam indah dengan lukisan pemandangan alam membentang dari punggung sampai ujung kaki.
Bagaimana peraturan dan tata tertib dalam istana, tata krama dalam bertemu dengan sang shogun, di mana perempuan harus selalu menundukkan kepala, bahkan mengangkat kepala hanya dibolehkan sebatas melihat kaos kaki sang shogun, bagaimana persaingan yang terjadi di antara para dayang, bahkan antara ibu Suri dan sang menantu, Putri Kazu, dituturkan dalam dialog yang santun.
Sachi yang hanya anak seorang petani, melewatkan hari-harinya di istana dengan belajar menjadi perempuan istana yang terhormat, perempuan yang harus menjaga dirinya dengan tidak boleh memperlihatkan apa yang dirasakannya. Selalu bersikap tenang tanpa perubahan air muka. Bagaimana cara berjalan, cara bicara, membaca, menulis, membuat puisi, bermain alat musik, bahkan belajar bertarung sebagai seorang samurai. Karena istana itu hanya dihuni perempuan, maka mereka harus bisa bertarung untuk melindungi dirinya jika suatu hari ada yang menyerang.
Perubahan drastis hidup Sachi tidak berhenti sampai di situ. Empat tahun kemudian, Putri Kazu menawarkan Sachi menjadi selir sebagai hadiah untuk sang shogun. Sachi harus menjalani proses pernikahan dengan sang shogun, dan segala tata krama dalam kedudukannya sebagai selir, mengadakan kunjungan kepada janda-janda selir shogun yang sebelumnya, harus menghadapi mereka yang cemburu dan iri hati padanya. Beruntung Sachi, ada Taki, sahabatnya yang setia yang menjadi dayangnya sejak ia diangkat menjadi selir.
Namun kehidupan di istana yang serba tercukupi tidak bisa dirasakan lebih lama. Dua tahun kemudian, Lord Yoshinobu, shogun ke-15 yang menggantikan Lord Iemochi, menyerahkan kembali kekuasaan pada kaisar. Perang pun terjadi. Orang utara yang ingin mempertahankan klan Tokugawa harus berhadapan dengan orang selatan yang hendak merebut kastil Edo.
Demi menyelamatkan Putri Kazu, sebagai balas budinya, Sachi rela menyamar menjadi sang Putri dengan dengan menaiki joli sang Putri pergi jauh meninggalkan istana untuk mengalihkan perhatian musuh. Beruntung Sachi, dayang sekaligus sahabatnya yang setia, Taki, bersikeras menemani ke manapun Sachi pergi. Berdua dengan Taki, Sachi merasa siap menghadapi apapun. Maka petualangan keduanya di dunia luar pun dimulai.
Perjalanan panjang Sachi dan Taki meloloskan diri penuh suka dan duka. Pertemuan dengan tiga orang ronin yang menyelamatkan mereka, Toranosuke, Shinzaemon dan Tatsuemon, pertarungan yang penuh darah, bertemu dengan perampok, prajurit selatan, menguji keduanya sebagai perempuan istana yang tangguh. Tak bisa dihindarkan pula benih-benih cinta yang mulai bersemi di antara Sachi dan Shinzaemon. Namun terhalang karena perbedaan status, Sachi yang mantan selir, sementara Shinzaemon hanya seorang ronin, samurai tak bertuan, cinta itu hanya bisa dipendam walaupun semakin berkembang dalam perjalanan mereka, sampai akhirnya tiba di desa Kiso, di mana Sachi bertemu kembali dengan ayah dan ibu angkatnya yang telah lama dirindukannya.
Saat itulah, Sachi diberitahu bahwa ayah kandungnya, Daisuke, telah datang ke desa itu mencarinya. Demi diberitahu bahwa Sachi telah lama meninggalkan desanya untuk menjadi dayang di istana Edo, Daisuke yang sekarang telah menjadi pejabat pemerintahan kekaisaran, langsung menuju istana Edo untuk mencari dan menyelamatkan Sachi.
Dilema melanda Sachi. Apakah Sachi akan menetap dengan damai di desa Kiso bersama ayah dan ibu angkatnya? Akankah Sachi dapat bertemu kembali dengan ayah kandungnya, juga ibu kandungnya? Akankah terkuak masa lalu Sachi? Lalu, kepada siapa Sachi akan melabuhkan hatinya? Kepada Shinzaemon? Ataukah kepada Edward, laki-laki tampan berkebangsaan Inggris yang jatuh cinta pada Sachi? Ataukah Sachi memutuskan untuk tetap terikat setia sebagai janda dari sang shogun?
Yang menarik dari buku ini adalah buku ini cukup kaya dengan informasi tentang sejarah keshogunan Tokugawa, apalagi kehidupan di dalam istana perempuan kastil Edo, serta tentang kondisi Jepang yang sedang mengalami masa peralihan, dari kebijakan politik tertutup beralih ke politik terbuka, di mana terjadi kerusuhan di mana-mana, perang, pertempuran antara pihak kekaisaran dan yang masih setia dengan keshogunan Tokugawa.
Lesley Downer, penulis buku ini mengakui bahwa menulis The Last Concubine memberikan kesempatan kepadanya untuk membayangkan dirinya berada di dunia Jepang kuno yang penuh keajaiban dan berharap membawa para pembaca buku ini bersamanya. Menurut saya, dia berhasil melakukannya, bagaimana dengan Anda?
** Quote: ”Kau seharusnya tahu, kita tak pantas untuk bertanya. Kau hanya harus menanggungnya” (kata Taki kepada Sachi)
É um livro muito bonito. Um livro sobre amor numa sociedade em que não existe uma palavra para designar "amor". Fala sobre a mudança do Japão no século XIX, que deixou de ser um país medieval e passou a ser um país moderno. É um livro sobre honra, respeito e lealdade valores que estão, profundamente, entranhados naquelas pessoas. É nos apresentada uma sociedade em que os homens julgam que sentirem algo por uma mulher faz deles menos homens, ou seja, mulheres. Aqui as mulheres acham estranho que um homem (inglês) as ajude a descer de uma carruagem, ande ao lado delas, lhes ofereça flores. É um livro sobre um Japão onde não se sabe o que é um comboio, em que os ingleses são bárbaros de narizes grandes e cabelos cor de palha, em que um anel é um objecto redondo desconhecido. Acho que para resumir se pode dizer que, é um livro sobre fins e inícios. Preciso, no entanto, de deixar uma nota para a edição que eu li, porque tem alguns erros ortográficos, acho que as editoras têm de começar a ter um maior cuidado com a revisão que fazem. Por fim só dizer que quem se interessar por este Japão vai gostar muito deste livro.
I was looking forward to reading this very much... well, maybe that´s because I was sooo disappointed. The story is just too unbelievable for me (compare it to the shock of the very first line of "acknowledgements" in Golden´s Memoirs of a Geisha!!!). How come the shogun chose her? I had the impression the things just happened without any explanation, motivation or background given. Well, maybe I would find out if I finished the bood, which I didn´t. Mostly, when I don´t like a book, I read it to the end just for the education of it (reading in English) and to see what comes out, how the story ends. This time - I wasn´t interested even the slightest bit.
Even the narrating style was not very catching for me. When I read the comparison of "pain like knife turning in her stomach/guts" for about the third or fifth time, I really had enough of it.
This entire review has been hidden because of spoilers.
While Japan is teetering on the edge of civil war, Sachi becomes concubine to the last shogun of Edo (Tokyo) but her life is soon to change when the old ways are swept away forever. Sachi flees from the castle where she has lived a pampered life and finds herself on the run with her trusted friend Taki. As traditional values break down, the roads are a treacherous place to be and Sachi soon finds herself in danger. She is rescued by a young ronin warrior with whom she soon falls in love but the future is unsettled for both of them.
A fascinating and detailed look at a culture that no longer exists. It has certainly made me more curious about the history of feudal Japan.
I was just browsing through the library scanning book titles when this caught my eye. At first I have to admit I judged it on it's cover and title but when I finished I realized that I had just randomly stumbled upon one of the best written books I have ever read. It so well describes the ways of Japan in that time period and I'm going to read it again.
DNF. It's a sad day when you realize what could be an amazing epic of Japanese history has no character development or motivation. *sigh* I was really looking forward to reading about this time period in Japan, but I discovered that the reviews warning people away were correct. The prose is lovely but the story is dry because of the lack of development. On to the next one...
looks like i've come to enjoy narratives about remote locations and cultural beliefs and practices so divergent with the common pool of Euro-American resources
A lovely story, if not too long, but full of interesting facts about life in Japan in the late 1800s. My biggest criticism is that it is not written in a style befitting this period in history.
Selir adalah sebuah kata yang lekat dengan kekuasaan sekaligus, mungkin, penderitaan. Kekuasaan karena praktik ini pada zaman dahulu sampai dengan hari ini berlangsung di balik istana raja-raja atau para lelaki penguasa. Penderitaan karena saya hampir yakin seratus persen tak ada selir yang benar-benar merasa bahagia dengan statusnya. Ia akan selalu jadi yang nomor dua atau dua ratus. Hak-haknya sebagai “istri” tidak sama dengan permaisuri (istri pertama). Jika mereka punya anak, hak anak-anaknya pun tidak sama dengan anak-anak dari istri pertama (putra mahkota). Walaupun secara materi segala keperluan mereka dipenuhi namun tempatnya tetap di wilayah “belakang”. Dengan kata lain sesungguhnyalah selir-selir ini berfungsi hanya untuk memenuhi kebutuhan seks “tuannya” dengan imbalan harta.
Praktik perseliran memiliki usia yang cukup purba; berlangsung di seantero dunia, dari Asia hingga Eropa, Amerika, dan Afrika. Umumnya, seperti telah saya sebut di atas, terjadi di kalangan istana (bangsawan). Tidak perlu jauh-jauh mencari contoh sebab sejarah kerajaan Nusantara telah banyak menuliskannya. Ingat saja misalnya riwayat Kartini atau Rara Mendut.
Kalau mau menyeberang agak jauh, praktik pergundikan itu bisa kita dapati di Cina dan Jepang yang terkenal dengan kekaisarannya. Di dalam kastilnya, konon, para kaisar itu memiliki selir hingga seribuan orang. Terbayang nggak sih bagaimana kaisar menggilir para perempuan peliharaan itu? Bukan mustahil ada selir yang seumur hidupnya mungkin cuma pernah digilir sekali saja. Dan sebaliknya, pasti ada juga satu dua orang yang menjadi selir kesayangan.
Kehidupan para selir ini telah banyak menginspirasi penulis untuk mengguratkannya dalam cerpen, novel, atau film. Salah satunya yang tengah beredar adalah The Last Concubine, novel karya Lesley Downer yang mengambil setting Jepang pada pertengahan 1800-an.
Waktu itu para shogun masih diakui kekuasaannya. Layaknya seorang penguasa yang nyaris menyamai kaisar, para shogun ini di dalam istananya memelihara banyak gundik atau dalam bahasa lebih halus disebut selir yang jumlahnya mencapai ratusan atau bahkan seribuan. Gundik-gundik ini diambil dari berbagai kalangan. Mulai dari putri keluarga sesama bangsawan tinggi, menengah, hingga dari kalangan rakyat jelata. Syaratnya: muda, bertubuh indah serta berparas rupawan.
Maka bukanlah hal yang mengherankan bila usia para selir itu ada yang masih belasan tahun. Menjadi selir seorang shogun adalah impian setiap perempuan pada masa tersebut. Tepatnya, idaman para orang tua yang memiliki anak gadis. Sebab, itu berarti hidup mereka sekeluarga akan terjamin selamanya. Bukan cuma kesejahteraan tetapi juga keselamatan. Dan sudah pasti status sosial mereka pun otomatis meningkat.
Melalui riset yang panjang, Lesley Downer mempersembahkan sebuah kisah seorang perempuan bernama Sachi yang ‘beruntung’ terpilih sebagai selir terakhir shogun penguasa Kastil Edo.
Sachi dipungut oleh Putri Kazu, istri Yang Mulia Shogun, dari sebuah desa kecil yang disinggahi sang putri dalam perjalanannya menuju Edo. Saat itu si gadis kampung berumur 11 tahun. Raut wajahnya yang lebih menyerupai wanita ningrat daripada seorang gadis dusun telah memikat hati sang putri hingga beliau berkenan membawanya ke kastil sebagai dayang-dayang dan tinggal di sana bersama 3000 perempuan lainnya.
Di balik dinding kastil itu kehidupan Sachi berubah drastis. Dari seorang gadis desa bermetamorfosa menjadi wanita istana yang segala gerak-gerik, cara bicara, dan tingkah lakunya harus diatur sesuai tata cara istana. Apalagi setelah kemudian dia mendapat anugerah dipilih sang putri sebagai “hadiah” bagi sang shogun sebelum melakukan perjalanan jauh. Tak dinyana, Sachi ternyata menjadi selir terakhir karena sang shogun tewas terserang penyakit di perjalanan.
Menyusul wafatnya sang shogun, terjadi perubahan politik di Jepang. Pemberontakan kaum selatan mengharuskan para penghuni kastil Edo pergi mengungsi menyelamatkan diri. Termasuk Yang Mulia Putri Kazu. Demi menyelamatkan sang putri dari kejaran para pemberontak, Sachi ditugaskan menyamar sebagai Putri Kazu yang melarikan diri. Dalam pelariannya inilah Sachi menemui banyak peristiwa yang kelak membuka tabir rahasia yang selama ini menyelimuti kehidupannya.
Yang menarik dari buku ini adalah kenyataan bahwa kisah para gundik itu merupakan fakta sejarah yang terjadi ratusan tahun lalu. Siapa saja perempuan yang telah masuk ke dalam Kastil Edo, ia terikat seumur hidup mengabdi kepada sang shogun. Baik sebagai istri, selir, atau sekadar pelayan. Bagi mereka dunia hanyalah seluas kastil dan halamannya. Sehari-hari mereka mengerjakan hal rutin seperti berdandan, bermain musik, menulis syair, menghibur sang shogun, berlatih pedang, dan bergosip.
Tak jarang pecah juga konflik terbuka atau terselubung di antara para wanita itu yang timbul sebagai akibat persaingan menjadi yang terbaik, tercantik, terpandai, terpopuler, tersayang. Bukan tak mungkin berkembang pula hubungan cinta sejenis di antara mereka. Bayangkan saja, bagi mereka haram hukumnya menjalin hubungan dengan lelaki. Mereka milik sang shogun sampai akhir hayat.
Novel ini juga menyuguhkan roman cinta agar tak semata-mata memaparkan epik sejarah era Jepang kuno yang bisa jadi akan menjemukan pembacanya. Merupakan tantangan tersendiri menulis sebuah kisah cinta dari suatu masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang cinta yang romantis, yang dalam kamusnya tidak terdapat kosa kata “cinta”, begitu pengakuan Lesley Downer.
Kini Jepang telah menjelma sebuah negeri besar yang modern yang tetap dikepalai seorang kaisar, pemimpin yang dipercaya sebagai keturunan Dewa Matahari. Mungkin tak ada lagi praktik perseliran di sana. Mungkin……***
הוצאת מודן, תרגמה מאנגלית: דורית בריל-פולק, עיצוב עטיפה: עדה ורדי, 490 עמודים.
בשנת 1600 הסתיים אחד הקרבות הגדולים בתולדות יפן. קרב סקיגאהרה הוכרע ע"י משפחת טוקוגאווה. הניצחון, ככל ניצחון במלחמה, לא השיג שלום מידי אלא שלום שנסמך על פילוג המשמר סטטוס קוו בין מנצחים למפסידים. מפסידים שחולמים יום אחד להכריע את הקרב בצורה אחרת.
בשנת 1603, מונה ע"י הקיסר, אייאסו מבית טוקוגאווה לשוגון. אייאסו העביר את שלטונו לכפר דייגים קטן שנקרא אדו, מאוחר יותר יהיה שמו של הכפר טוקיו.
בעקבות מרד שימאבארה, השוגונות לבית טוקוגאווה סגרו את המדינה בפני ארצות המערב ובעיקר ביקשו לעקור את הנצרות שבה ראו מקור לבעיותיהם הפנימיות. עד 1650 נמחתה הנצרות מיפן כמעט לחלוטין. זרים לא הורשו להיכנס למדינה וזר שהגיע לחוף הים של יפן הוצא להורג מידית.
בידוד זה נמשך כ- 200 שנים, עד שגנרל מתיו פרי, הפגיז את אדו והציב ליפנים אולטימטום בשנת 1853. בשנת 1854 נחתם הסכם השלום הבלתי שווה שאיפשר את פתיחת יפן למערב, לסחר ולהתיישבות.
ההסכם גרם לתסיסה בקרב בתי האב הסמוראים הדרומיים, שראו בכך חולשה של השוגון, הם פתחו במרידה שהובילה למלחמת אחים עקובה מדם המכונה "מלחמת בושין". תוצאותיה היו הרסטורציה של מג`יי, השבת סמכות הקיסר היפני.
על רקע מאורעות אלה נכתבו מספר ספרים בינהם הספר "ענן של דרורים" מאת מצואוקה טקאשי, שאף הוא פורסם בהוצאת מודן.
"ענן של דרורים" הוא אפוס רחב יריעה העוסק במסע הנטישה של סמוראי צפוני הנאמן לשוגון, אל אחוזת אבותיו ומערכת יחסיו עם אישה זרה.
בזמנו כשקראתי את הספר סברתי שטקאשי היטיב לשזור את דמויותיו בתוך התוואי ההיסטורי. הסיפור בנוי מרבדים , רבדים החושפים בפני הקורא את ההיסטוריה של הדמויות ואת המניעים שלהן. ביד אומן הוא כורך את ההיסטוריה הפרטית, הדמיונית, של הדמויות, באירועים אמיתיים שאירעו ביפן ומביא לקורא המערבי לא רק את ההיסטוריה היפנית אלא גם את המנהגים והתרבות העשירה והמפתיעה הזו; תרבות שבה אכזריות לאין שיעור עומדת לצד חמלה אין סופית, שבה כיעור עומד לצד יופי שמיימי.
אהבה ושינאה, תככים, תחבולות, כל אלה חלק מהעלילה והכל כמיטב תאטרון הקבוקי היפני.
לאחרונה תורגם "הפילגש האחרונה" מאת לזלי דאונר העוסק באותה התקופה אבל מזווית מפתיעה, הזווית נהשית של פילגש האחרונה של השוגון.
כבכל בחירה, גם לבחירה בזווית ראיה נשית ישנן מספר מגבלות ומספר יתרונות. בין היתרונות הוא התיאור האוטנטי של חיי הנשים בהרמון שבו חיו 3,000 נשים שנועדו לשרת ולענג את השוגון. רובן לא ראו גבר אחר במשך 20 ו- 30 שנים ולא יצאו את ההרמון, כך שהמציאות זרה להן.
באופן פרדוכסלי זה גם עקב אכילס של הספר, כי לאן יכולה להתפתח עלילה העוסקת בנשים בלבד? ועוד נשים שנועדו לשרת גבר אחד? לתככים, מריבות, יריבויות על מעמד בחצר ההרמון, נאמנויות, בגידות ומאוחר יותר גם אהבה.
כשהספר מגיע לתכלס, למלחמה ולתוצאות שלה, התיאורים של דאונר מאוד צמודים לתוואי ההיסטורי, אבל חסר בהם את הלהט של התיאורים שהיו ב"ענן של דרורים". מאידך ב"ענן של דרורים" היה חסר הרגש הנשי, המגע המלטף והאוהב שקיים בספר הזה.
גם הניסיון של דאונר לעסוק בשאלות מוסר מעניינות ועמוקות הקשורות למלחמת האזרחים ביפן, מתמסמס ונמוג במהרה ובמקום היא בורחת להרחיב קו עלילה שנוגע למוצא של סאצ`י (קו מעניין כשלעצמו כרומן רומנטי, אבל אני הייתי בוחרת לוותר עליו).
באופן אידיאלי, שני הסופרים האלה היו חוברים וכותבים את הרומן האולטימטיבי על שקיעת השוגונים ביפן. אני מניחה שזה כבר לא יקרה <האיחוד הזה>.
כמו "ענן של דרורים" גם "הפילגש האחרונה" קריא ביותר וקולח, אבל לא מדובר ביצירת מופת.
ממה שבדקתי וממה שזכור לי הוא נאמן למציאות ההיסטורית, אבל חסר בו את היכולת הפנורמית לראות את האירועים מעבר לנקודת הראיה הפרטיקולרית של סאצ`י וחבל. מדובר בספר מהנה שנשאר ברמת המהנה בלבד כי ניכר שהמחברת ערכה מחקר היסטורי מעמיק על יפן, על החיים באותה התקופה ועל המצב הסוציו- פוליטי ששרר אז.
A very engrossing novel. Set in 1860s Japan during the time of the Meiji Restoration and the years leading up to it. Sachi grows up in a mountain village rural Japan. Her pale skin and fine features have always set her apart and made her feel different. At the age of eleven, the procession of the Imperial Princess sweeps up her up from her home to the woman's palace at the Imperial capital of Edo, where she is before too long, chosen as the concubine of the young Shogun after he sees and her and is smitten Deadly female rivalries from people as diverse as Fuyu who was her contemporary when she joined the palace and the powerful mother of the Shogun, the retired one make for distress and danger. But after the death of the young Shogun from what is billed consumption but is certainly poisoning, civil war caused by rebellion by guerrillas from the south and the destruction of the palace at Edo force her to flee the palace, find love with a dashing Samurai, return for a short while to her native village, and discover her true parentage Many brushes with death at the hands of the southern rebels , bandits and other desperadoes , which she survives in part due to her own skill she develops as a Samurai and a close company of heroes including her close friend the loyal and aristocratic born Taki. The sights , sounds, feeling and smells of the Japan of the time are brought to life from the cherry blossoms of the palace gardens to the stinking rank breath of a degenerate old bandit that tries to rape her unaware of her skill with a knife. The author uses her knowledge of the Japan of the time to create a romance and adventure, and her love and understanding of Japan shines throughout. I love books with strong and beautiful female leads and really could get under the skin of Sachi and root for her. Highly recommended especially if you like books like Memoirs of a Geisha by Arthur Golden, A must for all Japanophiles
Was disappointed with this book. The main problem was the blurb on the back - it gives you the entire tale bar the last chapter or so (and even that wasn't too hard to guess). The implication of the blurb is that girl meets boy fairly quickly and once you realise that's not the case it's very hard to continue. It takes the entire book for the main character to meet her 'true' love, by which time she's been painted as a sap without much of a backbone. If it hadn't been for my love of all things Japanese then I would have stopped reading. Was a fairly big struggle to finish as it was!
The characters were ok, the descriptions and explanations of Japanese culture at the time better, but overall it's a flop for me. Didn't grasp me and took far too long for the two main characters to meet and fall in love, by which point the author must have realised there was a deadline and rounded everything up quickly. Could have been so much more.
I wanted to like this book so bad but in the end it was only "OK". Sachi lacked depth, as well as many of the other characters and I never really cared about them. Downer shows that she has studied the history of Japan thoroughly and the history is good but the fiction story is not.
The whole thing about Sachi being a concubine's bastard child wasn't necessary and neither was Edwards who was portraited as being the greatest man of all (at least in my opinion). Sachi was a little to quick to like everything that happened.
On the + side: The history. I want to read more about Japan :-) On the - side: lack of depth
This entire review has been hidden because of spoilers.
The part that deals with the woman's palace is interesting but the author constantly uses the same descriptions etc for characters almost every time throughout the book. This gets tedious (and frankly laughable) after a while. Not too bad as a story though
Me ha gustado mucho la documentación y descripción de la cultura y costumbres del Japón de la época. Contagia las ganas de haber podido conocerlo así. Pero la historia o la forma de narrarla me han resultado muy lentas.
Lesley Downer was lange tijd journaliste voor The Independent en de Telegraph en reisde vaak voor verschillende maanden naar China, India, Egypte of Zuid- Afrika om daarna verslag uit te brengen van deze reizen. Ze heeft een grote passie voor het Oosten, wat haar met de paplepel werd ingegeven: haar moeder was Chinese en haar vader was professor in de Chinese taal. Vooral Japan met zijn kleurrijke cultuur en rijke geschiedenis fascineren haar. Ze heeft zowel non- fictie als fictie geschreven over het land. De laatste concubine is het tweede deel van haar vierluik over het leven in Japan tijdens de 19 de eeuw. De elfjarige Sachi was altijd al anders dan de andere kinderen van haar dorp. Ze heeft een blekere huid, die bijna helemaal wit is en ze werd geadopteerd. Wanneer prinses Kazu op weg gaat naar Edo om shogun Iemochi te huwen, reist ze doorheen de Kiso Vallei waar haar oog op Sachi valt. Vanaf dit ogenblik zal Sachi’s leven nooit meer hetzelfde zijn. Prinses Kazu neemt haar mee naar het vrouwenpaleis in Edo, waar ze al de gebruiken van het hof zal leren. Wanneer Sachi vijftien is biedt Kazu de shogun haar als concubine aan. Maar buiten de muren van het gesloten paleis rommelt het, de burgeroorlog komt steeds dichterbij en Sachi krijgt een speciale missie. Maar dan overkomt haar iets, wat nieuw is voor Sachi en wat Westerlingen liefde noemen…. Het verhaal speelt zich af tussen 1861 en 1872. Shogun Tokugawa Iemochi is de neef en opvolger van shogun Togugawa Iesada, die we eerder leerden kennen in De vrouw van de shogun. Hoewel De laatste concubine het eerst verschenen boek is van het vierluik Het shogun quartet, raad ik toch aan de boeken chronologisch volgens het verhaal te lezen en niet volgens de verschijningsdatum. Het zal je als lezer een duidelijker beeld geven van hoe Japan evolueerde in de 19 de eeuw door de invloed van het Westen. De laatste concubine is een roman, maar de auteur heeft er voor gezorgd dat alles historisch accuraat weergegeven wordt. Ze heeft reeds verschillende jaren in Japan gewoond en heeft hierdoor ook een zeer grote kennis van het land met zijn tradities en gewoonten. Als journaliste heeft zij ook zeer diepgaand research gedaan voor haar boek en dat merk je doordat ze het verhaal van Sachi met veel liefde en oog voor detail brengt. Omdat de auteur de omgeving met de vele (meestal ongekende) Japanse gewoontes telkens uitgebreid uitlegt, lijkt het er aanvankelijk op dat het verhaal maar traag op gang komt. Maar hoe verder je vordert in het verhaal hoe minder de auteur Japanse gewoonten dient uit te leggen gezien deze reeds eerder in het verhaal aan bod waren gekomen. Persoonlijk vond ik het een interessante leeservaring en was het fantastisch dat de Japanse cultuur zo grondig aangehaald werd. Liefhebbers van geschiedenis, cultuur en Azië zullen ervan smullen en niet genoeg van krijgen! In een interview omschrijft de auteur haar boek als‘‘Gone with the wind set in Japan’’, er zijn inderdaad een paar gelijkenissen zoals de burgeroorlog die op de achtergrond woedt, een vrouwelijke heldin en een romantisch liefdesverhaal. Maar ik vond dit boek beter en sterker dan Margaret Mitchell’s bestseller. De auteur heeft een schitterende beeldende schrijfstijl, je waant je onmiddellijk in het Japan van de 19 de eeuw en er gaat een gans andere wereld voor je open. Ook de personages hebben wederom veel diepgang, hoe verder je vordert in het verhaal hoe meer je van hen gaat houden. Bijzonder is wel dat je in De vrouw van de concubine Tensho’in op een andere manier hebt leren kennen dan hier in De laatste concubine. In het vorige boek was zij de geliefde heldin van de lezers
en hier is zij de grote vijand van Sachi en Kazu. Dit is toch wel eventjes een knop omdraaien, want zij evolueert van een positief personage geliefd door de lezers naar de slechterik, dit maakt dat de boeken van deze serie extra bijzonder zijn. De laatste concubine is vooral een heerlijk romantisch verhaal, met het Japan van de 19 de eeuw als achtergrond. Terug een aanrader voor fans van Azië en geschiedenis fanaten. Weer een pareltje van Lesley Downer, Een brug van dromen en De courtisane en de samoerai liggen alvast ook al klaar op mijn nachtkastje! 4.5 sterren
I'm still dive in to the deep of this book. Let me dive, and flying in the fresh water of this words of this book.
Ramuan kompleks sebuah labirin yang berbumbu intrik cinta, persaingan politik, perebutan kekuasan, kepahlawanan, nasionalisme yang boleh jadi polos, serta romantika psikologis seorang wanita yang menjadi istri selir menyatu padu dalam cerita yang mengalir pada novel ini.
Awal novel ini memang seperti dongeng purba yang sering diangkat dalam fiksi-fiksi tentang lelaki penguasa dan wanita biasa. Tak jauh dari fenomena mimpi masyarakat kelas bawah yang kerap mengidap apa yang sering disebut sebagai “Cinderella Complex” sehingga mentolerir berkembangnya budaya patriarki pada sebuah kekuasaan.
Mengambil latar belakang cerita tentang kekuasaan Shogun di Jepang pada era pertengahan 1800-an yang kekuasaannya dianggap hampir menyamai keagungan seorang kaisar, penulis mampu mengangkat cerita purba tentang selir dengan pemahaman yang cukup gamblang dan mendetail.
Alkisah pada waktu itu banyak perempuan bermimpi dijadikan selir oleh Shogun. Kalau pun tidak demikian, tak jarang juga justru para orang tua yang mengidamkan anaknya mendapat berkah menjadi selir Shogun tersebut.
Dus, dalam novel ini, tersebutlah seorang gadis bernama Sachi yang hidup di sebuah kampung pedalaman daerah pegunungan di Jepang. Meskipun lahir dan tumbuh di pelosok daerah Jepang, Sachi memiliki penampilan dan wajah yang berbeda. Berbeda dengan gadis pelosok kebanyakan, Sachi memiliki guratan wajah yang tak kalah dengan kaum ningrat Jepang kebanyakan.
Suatu hari, yang mulia Putri Kazu, istri yang mulia Shogun yang tengah melakukan perjalanan ke Edo berkenan mampir di desa tenpat Sachi tinggal. Melihat penampilan Sachi yang berbeda, sang putri terpikat, sehingga berkenan memboyong Sachi yang masih berusia belasan tahun tersebut menjadi salah satu dayangnya di kastilnya.
Di dalam kastil yang dihuni tak kurang dari 3000 perempuan lainnya tersebut Sachi mengalami lonjakan gaya hidup yang luar biasa drastis. Sachi mampu berubah rupa dan penampilan menjadi gadis ningrat dengan gerak-gerik, cara bicara, tingkah laku dan ketrampilan-ketrampilan perempuan-perempuan ningrat pada umumnya. Sampai akhirnya sang putri semakin tertarik dan memberi hadiah istimewa kepada Sachi. Berkenaan dengan rencana sang Shogun yang akan melakukan perjalanan jauh, Sachi diberi kepercayaan oleh sang Putri untuk menjadi “persembahan istimewa” bagi sang Shogun. Sachi dipilih sang putri untuk menjadi selir baru sang Shogun sebelum melakukan perjalanannya.
Sialnya, anugerah tersebut tidaklah lama bisa dirasakan Sachi. Kenyamanan dan kenikmatan sebagai selir yang diperoleh Sachi melalui polemik, intrik dan rivalitas erotis di tengah 3000 wanita penghuni kastil tersebut, ternyata hanya bisa dinikmati Sachi dengan singkat. Kematian sang Shogun dikarenakan penyakit yang menjangkitinya saat dalam perjalanan menjadikan Sachi sebagai “Selir terakhir sang Shogun”.
Apalagi tak lama setelah Sang Shogun meninggal, Jepang pun mengalami pergolakan politik yang drastis. Kedatangan kapal-kapal dari luar negeri yang membawa berbagai macam ambisi telah memicu meletusnya perang sipil. Terjadi pemberontakan kelompok yang disebut kaum selatan yang memaksa semua penghuni kastil Edo untuk pergi menyelamatkan dirinya masing-masing, tanpa terkecuali Yang Mulia Putri Kazu. Guna menyelamatkan sang Putri yang notabene menjadi incaran utama kaum pemberontak inilah, Sachi ditugaskan untuk menyamar sebagai sang Putri.
Dalam pelarian dan tugas sebagai pengecoh kaum pemberontak inilah Sachi menemukan berbagai pernik-pernik kehidupan yang belum sempat disesapnya saat masih menjadi gadis kampung usia belasan maupun saat menjadi penghuni kastil Edo.
Di tengah seru dan mencekamnya perang pedang tradisional, duel dan heroisme para samurai, dan patriotisme pada ksatria, Sachi menemukan sisi psikologis lain yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Sachi mulai merasakan benih-benih cinta sejati yang memang seharusnya mulai dirasakan oleh sesusianya, yang sebelumnya sangat ditabukan dalam kehidupan di dalam kastil Edo.
Saat diselamatkan oleh seorang kesatria dia menemukan perasaan yang menyenangkan bersamanya. Tetapi dunia yang dipenuhi oleh nafsu-nafsu pribadi sepertinya tidak memberikan sedikit pun tempat bagi kata cinta sejati. Setelah dimanjakan oleh mimpi kebahagiaan bersama sang ksatria, Sachi harus dengan misteri wajah asli sang ksatria. Sebuah wajah asli yang meneror dan menghancurkan dirinya.
Secara keseluruhan novel yang berlatar belakang era sejarah paling penting bagi Jepang di masa lalu ini mampu menampilkan polemik petualangan serta romantika cinta kelas atas. Lebih dari sekedar kisah cinta biasa. Kisah Sachi mampu membawa kita pada saat-saat perubahan penting di Jepang yang membawanya sebagai negara modern. Diwarnai oleh penggambaran rinci yang detail mengenai keindahan dan kemewahan abadi sebuah komunitas harem, sampai pada penggambaran suasana mengerikan dan mencekam peperangan berdarah di benteng dan luar dinding istana yang seolah kita saksikan dengan mata kepala sendiri.
Dengan pemilihan diksi yang teliti, penulis mampu menciptakan sebuah epik liris menarik dari revolusi sebuah negara melalui jendela pergulatan seorang perempuan muda dalam mencari jatidirinya yang sesungguhnya sebagai seorang wanita.
Penulis mampu menggambarkan suasana sejarah masa lampau secara gamblang dan detail-detail sejarah yang membuat kita merasa intim. Novel inji mampu memberikan pengetahuan yang segar dan berbeda mengenai Jepang baik bagi mereka yang sudah merasa mengerti tentang Jepang, atau pun mereka yang merasa belum mengenal Jepang sama sekali.
Didasarkan pada fakta-fakta faktual yang nyata, Cerita Sachi mampu membawa kita pada petualaangan imajinasi dunia masa lalu yang sudah silam sekaligus menjadikan kita seperti benar-benar berada di dalamnya. Pemahaman dan empati penulis terhadap budaya Jepang masa lalu, mampu menghadirkan karakter masyarakat Jepang yang seakan-akan nyata dan tanpa cela.
Novel ini mampu menjebak imajinasi kita pada petualangan sejarah yang benar-benar terasa segar, dan mengaduk-aduk perasaan pembaca dalam pergolakan patriotisme yang rumit, sehingga kita tak bisa berhenti membacanya sebelum benar-benar sampai pada halaman terakhir.
Ketika perang menghancurkan segalanya dan jiwa sang tokoh melayang gamang, penulis mampu menghadirkan polemik nyata sebuah negara yang tengah didera pergolakan. Dia mampu melemparkan pembaca ke dunia lain yang benar-benar berbeda melalui kesempurnaan pilihan kata-kata yang terkadang radikal dan berani.
Aliran keseluruhan cerita yang penuh dengan intrik cinta yang eksotis, gairah yang menghanguskan, perang dan duel pedang yang heroik, seperti membawa pembaca pada rekreasi imajinasi di dunia yang sebelumnya tak tersentuh. Penulis benar-benar mampu menggambarkan detail suasana alam, bagian pegunungan, dan kota masa lalu yang sangat deskriptif. Penulis seakan-akan mampu mengajak indera penglihatan, penciuman, dan pendengaran kita pembacanya untuk merasakan sendiri suasana yang ingin disuguhkannya.
Akhir kata, “The Last Concubine” adalah formula fiksi sempurna tentang kisah kepahlawanan para samurai, keteguhan sikap para ronin, dan kesaksian seorang perempuan pada saat runtuhnya era Tokugawa, yang membuat kita menemukan suasana berbeda dibandingkan novel-novel sejenis lainnya.
La ricerca storica è profonda e la ricostruzione accurata. Ambientato all’epoca della “restaurazione Meiji”, ovvero quando nel 1868 l’ultimo Shogun Tokugawa abdica e l’imperatore (con l’aiuto degli occidentali) riprende in mano il potere e porta il Giappone verso la “modernità”.
La descrizione della guerra civile tra i “southerners” (l’ho letto in inglese, per cui tradurrei “sudisti”, come in “Via col Vento”), che si autonominano truppe imperiali e i “nordisti”, fedeli allo Shogun, dimostra come in effetti la rivoluzione Meiji non sia stata per nulla pacifica, al contrario di quanto spesso si studia.
Il problema del libro è di non essere un saggio storico, però. I personaggi sono piatti, è difficile entrare in sintonia e appassionarsi alle loro vicende. Invece che i classici “incidenti” utilizzati come espedienti letterari, ovvero avvenimenti che costringono i personaggi ad agire e pendere decisioni, qui i personaggi troppo spesso agiscono senza un motivo, i pensieri cambiano nel giro di un paragrafo. Il filo dei pensieri della protagonista, Sachi (l’ultima concubina dello Shogun) è difficile da seguire e soprattutto è incomprensibile lo sviluppo dell’amore verso il ronin Shinzaemon.
Sachi sembra innamorarsi dello Shogun dopo la prima e unica notte trascorsa insieme, per mesi continua a pensare all’evento in modo idelizzato, mentre nella realtà dei fatti dalla descrizione appare un più una violenza che un rapporto d’amore. Non mi aspettavo che si trattasse di un rapporto consensuale, trattandosi di una concubina di sicuro non aveva scelta, ma allora non capisco perché nella sua mente diventi quasi il paradigma dell’amore.
La storia d’amore con il ronin Shinzaemon, poi, è del tutto senza pathos. Non si capisce perché lei sia attratta da lui, se non dall’aspetto fisico e dai modi più “liberi” rispetto alla rigida etichetta del palazzo dello Shogun. Tuttavia, non è abbastanza per giustificare uno struggimento che va avanti per centinaia di pagine e che è solo descritto dall’autrice ma per nulla percepito dal lettore.
L’attrazione che Sachi sente per lo straniero, il britannico Edwards, è anch’essa semplicemente descritta come dato di fatto. Non si approfondisce per nulla la psicologia dei personaggi, per me imperdonabile in chiunque si metta a scrivere un romanzo. Non menziono neanche il rapporto con il padre biologico, ritrovato dopo anni a causa del mistero che avvolgeva la nascita di Sachi.
Davvero deludente, un gran peccato perché il periodo storico è davvero affascinante e l’autrice aveva fatto un gran bel lavoro di ricerca.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Buku yang menceritakan sejarah Jepang selalu menarik perhatian saya. Kebanyakan dari lembaran – lembaran itu berisi kisah yang dituturkan melalui sudut pandang seorang pria. Bagaimana tingkah laku dan pola pikir seorang samurai menghadapi perselisihan kecil ataupun pertempuran besar seperti perang tidak lagi menjadi hal yang asing. Sehingga ketika tahu The Last Concubine berisi kisah yang diceritakan oleh seorang perempuan, tak perlu berpikir dua kali untuk segera melahapnya. Terlebih lagi ketika perempuan itu menjadi bagian dari kehidupan sang seorang shogun.
Memang bukan buku pertama yang memberitahu saya bagaimana kisah seorang wanita Jepang di masa lalu. Namun inilah buku yang membuka pintu istana sang shogun lebih lebar sehingga semua bisa melangkahkan kaki ke dalam lingkungan yang selama ini dibatasi tembok yang tebal. Bahkan merasakan apa yang dirasakan para penghuninya.
Sachi, begitulah nama perempuan yang beruntung itu. Melalui matanyalah, semua terungkap dengan jelas. Segala hal yang terjadi pada klan Tokugawa sebelum dan sesudah pemberontakan terjadi.
Tak sekalipun pernah terlintas dibenak Sachi, suatu hari ia akan menjalani kehidupan istana di Edo. Karena awalnya ia adalah seorang gadis desa yang dibesarkan oleh keluarga petani di lembah Kiso. Hidup bersama Jiroemon dan Otama, Ayah-ibunya, sudah lebih dari cukup. Ia tak punya waktu untuk merajut satupun mimpi untuk masuk ke lingkaran orang – orang terhormat itu. Tak hanya disibukkan bersama teman sepermainannya dengan hal – hal yang menyenangkan, namun juga karena sibuk membantu ayah-ibunya mengurusi penginapan yang selama ini selalu digunakan oleh para bangsawan saat menelusuri jalur Nakasendo, jalan yang menghubungkan Edo dan Kyoto.
Sehingga iring – iringan orang terhormat dengan ratusan pasukan pengiring tidak lagi menjadi hal asing bagi Sachi. Puluhan aturan dipahaminya dengan baik. Termasuik ritual berlutut dan menundukkan pandangan sedalam mungkin ,menghadap tanah, ketika rombongan itu melintas tak pernah sekalipun diabaikan.seperti yang lain, Sachi tak mau mengambil resiko kehilangan nyawa hanya karena melanggar aturan itu.
Namun semua aturan itu segera saja dilupakannya ketika yang melintas adalah iring –iringan Yang Mulia Putri Kazu. Rasa penasaran memang telah lama menggelitiknya sejak pertama kali mendengar berita bahwa mereka adik sang kaisar itu akan melewati jalan Nakasendo terlebih lagi beristirahat di penginapan ayahnya. Ia tak pernah meohat seorang putri pun seumur hidupnya. Dari hari ke hari menjelang kedatangan sang putri, rasa penasaran Sachi pun semakin besar. Terlebih karena cerita demi cerita tentang sang putri yang rasanya tidak berhenti dibicarakan orang-orang disekitarnya.
Sampai akhirnya iring – iringan besar itu datang. Sachi yang saat itu memakai kimono berwarna biru-nila telah mengambil tempat dan duduk membungkuk bersama yang lain. Awalnya Sachi melihat dari sudut matanya, joli demi joli indah yang membawa para perempuan terhormat terus berdatangan. Namun tak lama kemudian,Sachi benar –benar tak dapat menahan untuk tidak mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok sang putri. Mendadak tatapan seorang perempuan muda bertemu dengan tatapannya. Tak butuh waktu lama untuk membuat para perempuan lain menoleh ke arahnya. Suasana yang awalnya sunyi mendadak menjadi ribut. Sedetik kemudian bayang – bayang kematian membayangi pikiran Sachi karena satu pelanggaran yang fatal.
Namun suratan takdir berbicara lain. Alih- alih mendapat hukuman mati atas kelancangannya, Sachi mendapat kesempatan untuk melangkahkan kaki di kastel Edo. Sejak hari itu. Sachi belajar banyak hal, sebagai dayang-dayang pengiring putri Kazu, ia harus mengerti cara berjalan sampai berbicara layaknya perempuan terhormat, menulis puisi, membaca, seni bela diri dan tentunya beratus aturan istana.
Tak hanya itu, Sachi juga mempelajari ritme kehidupan di Istana Para Perempuan, yang seakan memiliki dunianya sendiri. Sachi tahu benar bagaimana persaingan antar satu dengan yang lain tak lagi dianggap sebagai hal yang aneh, bahkan jika satu pembunuhan terjadi sekali pun. Sehingga tak heran jika ia diingatkan untuk tetap waspada. Terlebih ketika akhirnya ia diangkat menjadi selir sang shogun. Sekali lagi perubahan besar terjadi pada hidup Sachi. Kini statusnya berganti menjadi Nyonya Rumah Samping. Para pelayan mengerumuninya dan siap untuk melakukan apapun yang diinginkannya. Kimono – kimono yang digunakannya kini jauh lebih indah dari sebelumnya. Ditambah lagi setiap bulannya, ia menerima ryo emas yang dapat digunakan untuk membiayai kehidupannya yang baru sebagai selir berikut fasilitas lain untuk keluarganya. Rasanya seumur hidup, tak ada yang lebih baik dari ini. terutama ketika ia mendapat perhatian khusus dari sang shogun.
Sayangnya kehidupan menyenangkan itu tak berlangsung lama. Semua berawal dari kejadian buruk yang menimpa sang shogun. Pemberontakan pecah. Keadaan menjadi sangat kacau. Pertumpahan darah tak terelakkan. Seakan tak ada tempat bagi siapa saja yang dicurigai sebagai pendukung shogun. Semua menjadi porak poranda. Bahkan di benteng pertahanan terakhir klan Tokugawa, tak terkecuali Istana Para Perempuan. Tak satu pun tempat yang aman bagi mereka sekarang dan satu-satunya cara menyelamatkan diri adalah meninggalkan istana. Sachi tak punya pilihan lain. Karena ia juga tahu bahwa tak pernah ada jaminan bahwa kehidupan di luar akan lebih baik selama perang masih berkecamuk.
Perjalanan baru dimulai. Sekali lagi melalui mata Sachi, peristiwa demi peristiwa menjelang runtuhnya Kastel Edo terekam dengan jelas.
Tidak seperti buku – buku yang juga mengambil sejarah jepang di dalam lembarannya, buku ini memberikan kepuasan tersendiri. Setiap fakta yang ada di dalam buku ini memberikan jawaban – jawaban atas beberapa pertanyaan saya. Dari berakhirnya pemerintahan shogun yang erat kaitannya dengan Restorasi Meiji, dua kata yang sebelumnya tak pernah saya pahami, sampai bagaimana kekaisaran jepang mengambil alih kekuasaan. Yang tak kalah menarik, tentu saja fakta seputar kehidupan para wanita yang mengelilingi sang shogun. Ini benar – benar hal baru buat saya. Suatu kejutan begitu tahu bahwa nyaris semua yang dituliskan oleh sang penulis adalah sesuatu yang benar- benar terjadi di masa lalu. Tentunya bagi penggemar fiksi sejarah, buku ini tak boleh dilewatkan.
This entire review has been hidden because of spoilers.
A young village girls catches the eye of an emperial princess passing through and gets adopted as her sister/maid and gets to live a glorious life in the court of the shogun in Edo, eventually ending up as his concubine. But war comes to the land, the shogun dies and she has to leave the palace and the place that she has called home for many years for the unknown.
As beautiful as the story was, I never felt the urge to pick up the book as soon as I put it down. I've read many other books inbetween and only came back to this one when I had no other choice. I ended up bringing it with me to work to read on my breaks. Although the story of Sachi intrigued me and I wanted to know more, I never felt like it was needed. Like, it was okay if I didn't finnish it. Some books drag you in, you can't put it down, you think of them when you're not reading and you get a hangover when they're finnished. It was not like that with this one.
It gets three stars though, for the descriptions, the enviroment that I truly saw when I read, and because the extensive research the author did. Some of the people she wrote about did exist and some events did take place. That is a plus point.
Een mooi werk van Downer over een zeer bijzondere tijd.
Het boek spreekt bij mij niet eens tot de verbeelding door de algemene verhaallijn, gezien dat die nogal voorspelbaar is door het boek heen. Een halfslachtig liefdesverhaal is de leidraad, waarbij de indruk van een soort Romeo en Juliet toch moeilijk is te ontgaan. Redelijk armoedig en oubollig, puur verhaaltechnisch gezien.
Nee, wat zo indrukwekkend is dat is niet het liefdesverhaal maar vooral alle aandacht voor details die de auteur in dit boek heeft gestopt. Er zit duidelijk veel energie in het correct weergeven van de tijdsgeest, met aandacht voor de conventies uit de oude wereld van Sachi en de nieuwe wereld die voor Japan in rap tempo opkwam. Misschien was het verhaal beter uit de verf gekomen als er vanuit meerdere perspectieven werd weergeven hoe men naar gebeurtenissen keek, maar al met al een goede poging tot inleving.
Een aanrader voor eenieder met interesse in de transformatie van Japan naar het geïndustrialiseerde tijdperk, de mentale overpeinzingen die de hoofdpersoon heeft geeft een inkijkje in de tijd.
Mungkin saya berharap terlalu tinggi dengan buku ini. Melihat tebalnya buku dan temanya yang mengenai keruntuhan klan Tokugawa di Jepang, saya berpikir kisahnya akan penuh dengan konflik dan kerumitan khas fiksi sejarah. Tapi yang saya temukan sama sekali berbeda.
Buku ini menceritakan Sachi, gadis biasa bermata hijau yang tinggal di sebuah desa kecil bersama orang tua angkatnya. Kedatangan Putri Kazu ke desanya mengubah nasibnya sebagai anak petani menjadi pelayan sang putri di Istana Edo. Pada zaman itu, perubahan status seperti itu dianggap suatu kehormatan. Semua orang berlomba-lomba untuk masuk ke istana walau hanya sebagai pelayan.
Tapi tentu saja hidup di istana tidak seindah itu. Istana Edo bagaikan sebuah harem dengan shogun sebagai satu-satunya pria yang berkuasa dan ribuan selirnya. Sachi dilatih menjadi perempuan terhormat di istana itu. Ia diajarkan cara menulis, mengarang puisi, bela diri, tata cara kesopanan... Selain itu, ia menjalin persahabatan dengan beberapa pelayan lain dan ia juga mendapat banyak cerita tentang keserakahan dan iri dengki antara para wanita istana yang ingin memperebutkan perhatian sang shogun. Kehidupannya cukup damai sampai akhirnya ia menginjak usia 17 tahun.
Putri Kazu, istri utama sang shogun belum juga hamil. Karena itu, ia pun memberikan Sachi pada sang shogun untuk dijadikan istri muda. Bayangkan. Anak angkat petani, pelayan, selir muda... Saya hanya tidak bisa percaya seseorang bisa memiliki nasib semudah itu. Saya menginginkan konflik sejarah dan terutama intrik wanita dalam istana. Tapi karena sudut pandang cerita hanya berasal dari Sachi, segalanya terlihat mudah dan penuh keberuntungan. Belum lagi ternyata sang shogun jatuh cinta pada Sachi sejak gadis itu masuk ke istana. Mata Sachi yang hijau dan kecantikannya yang berbeda membuat sang shogun terpikat. Kecantikan itu jugalah yang membuat Putri Kazu tergugah untuk membawa Sachi ke istana.
Lalu sang shogun meninggal karena wabah penyakit. Hidup Sachi berubah karena pada saat yang sama, klan selatan memanfaatkan kejatuhan sang shogun (Tokugawa adalah klan utara) dan juga kekaisaran yang dipimpin oleh raja muda untuk memulai pemberontakan. Untuk melindungi Putri Kazu, Sachi diminta menyamar menjadi sang putri dan melarikan diri. Tujuannya adalah agar para prajurit klan selatan mengejar dirinya dan bukan menyerang istana di mana sang putri berada. Dalam penyerangan yang hampir membunuhnya dan juga pelayan setianya, lagi-lagi keberuntungan membuat Sachi diselamatkan oleh tiga orang ronin (samurai tak bertuan). Ketiga ronin adalah pembela klan utara sehingga mereka memutuskan untuk melindungi Sachi.
Sachi jatuh cinta pada salah satu ronin itu yang bernama Shinzaemon. Di tengah perjalanan itu, mereka menikmati waktu bersama walaupun kenyataan akan segera merenggut itu semua. Shinzaemon akan terus berperang membela klan Tokugawa, sementara Sachi akan kembali ke Istana Edo dan menjadi selir muda almarhum sang shogun. Pada zaman itu, hubungan antara orang istana dan ronin dianggap hina.
Sesuai dengan sejarah, klan Tokugawa akan kalah. Klan selatan akan menang karena didukung orang asing yang memperkenalkan senjata dan teknologi mesin. Samurai vs senapan dan bom ... Sudah jelas kan siapa pemenangnya?
Sejarah dan kondisi perang tidak terlalu banyak dibahas. Sachi hanyalah seorang di latar belakang dan boleh dibilang hidupnya cukup bahagia. Bahkan setelah ia kembali lagi ke Edo, ia menjalin persahabatan dengan orang asing bernama Edward. Edward yang jatuh cinta pada Sachi terus menolongnya di saat Shinzaemon pergi berperang. Itu sebabnya saya berpendapat kisah ini terlalu datar dan kosong. Untuk novel setebal ini, hampir tidak ada konflik yang ditawarkan. Masalah terbesar Sachi hanyalah penantiannya akan nasib Shinzaemon dan juga menemukan orang tua kandungnya. Bahkan status ayah kandungnya akan menjadi penyelamatnya. Boleh dibilang Sachi tidak perlu melakukan apapun. Klan manapun yang menang, ia akan tetap selamat.
Secara keseluruhan, saya merasa novel ini kurang memorable. Karakter Sachi terlalu biasa dan kosong. Cerita juga hanya berputar di sekitar dirinya saja sehingga saya tidak bisa mengenal karakter-karakter yang lain. Saya tidak bisa bersimpati dengan nasib sial tokoh yang lain karena saya tidak merasa dekat dengan mereka. Ending yang terlalu perfect juga agak merusak jalan ceritanya. Pada dasarnya, saya mengharapkan lebih dari sekadar ini. Apalagi dengan tema sekeren samurai.
This book was so beautifully written that I felt as I had been transported to the traditional Japan. Every tiny detail is described with such clarity, creating beautiful imagery. Although this is essentially a love story (and the kind of book I don't usually go for!) it provides an excellent insight into some of the ancient traditions and culture of Japan and the life of a concubine, I truly felt as though I learnt a lot!
Vivid descriptions of war scenarios where the civil war in Japan gone thru, indeed we learnt from history the path towards civilization and enlightenment was never a sweet experience from many. As a fan for historical fiction, this book contains the life style of the women surrounding the shogun.... It's a sweet ending and im contended with that..