Petilan sajak berjudul “Diponegoro” di atas ditulis Chairil Anwar pada Februari 1943. Dengan mengungkap sosok Diponegoro―putra tertua Sultan Hamengku Buwono III―yang kuat dan liat menghadapi Belanda, Chairil menggelorakan kembali semangat juang. Sikapnya melawan kolonialisme tegas, seperti terungkap dalam puisi itu dan menjadi kutipan populer: sekali berarti, sudah itu mati.
Jiwa nasionalisme Chairil berkembang dalam kondisi zaman penjajahan Jepang. Ia menyatakan menentang penjajah saat berpidato di depan Angkatan Baru Pusat Kebudayaan, 7 Juli 1943. Sesudah kemerdekaan, sikap juangnya semakin kuat terlukis dalam puisi-puisinya yang lahir bukan hanya berdasar perenungan di balik meja. Peristiwa agresi militer Belanda I pada 21 Juli 1947 direkam Chairil dalam sajak berjudul “Krawang-Bekasi”. Kala itu, ia terlibat langsung dalam pertempuran. “Persetujuan dengan Bung Karno”, puisinya yang lain, menggambarkan pula suasana pergolakan setelah kemerdekaan 1945.
Tapak berkesenian Chairil yang demikian mencuatkan namanya sebagai pelopor angkatan 45 yang mendobrak angkatan sebelumnya. Chairil sendiri yang memilih “angkatan 45” untuk menyebut generasi seniman dan sastrawan sesudah masa perang. Baru sesudah ia meninggal pada 1949, banyak sastrawan menabalkan Chairil sebagai simbol angkatan 45.
Ia adalah penulis yang sangat produktif. Meninggal di usia 27, namun sepanjang hidupnya yang singkat itu ia telah membuat 70 sajak asli, 4 sajak saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan. Terkenal dengan potret diri yang ikonik dalam pose mengisap sebatang rokok, Chairil menghasilkan sajak-sajak yang memperkaya khazanah sastra Indonesia.
Sebenarnya waktu yang tepat untuk membaca Seri TEMPO untuk Chairil Anwar ini saat bulan April yang bertepatan dengan Hari Puisi Nasional yang diambil dari peringatan wafatnya. Seperti seri lainnya, membaca kumpulan tulisan edisi khusus ini jadi cara tepat untuk mengenal satu per satu tokoh Indonesia sebelum berlanjut dengan bacaan karya lainnya. Isi buku ini cukup menggambarkan kehidupan Chairil yang selama ini belum saya ketahui. Saya yang menjalani sekolah dasar di Bekasi sangat familiar dengan puisinya. Setiap tugas membaca sajak atau deklamasi, dua puisi (Aku dan Krawang-Bekasi) jadi pilihan utama. Yang malas menghafal panjang tentu memilih puisi "Aku", sedangkan yang ingin nilai lebih bagus susah payah menghafal "Krawang-Bekasi". (Walau dengan nakalnya kami sering mengubah puisinya jadi : "Krawang-Bekasi, jauh dekat lima ratus perak")
Dulu sempat bertanya-tanya mengapa Chairil menambahkan sebutan Bung Sjahrir pada puisi itu, ada jawabnya pada buku ini. Banyak pula cerita yang diungkap termasuk dibalik slogan "Bung Ajo Bung", petualangannya dengan banyak perempuan, hingga masa akhir hidupnya yang singkat : menjelang 27 tahun. Kisah hidup yang penuh gairah juga tragis untuk si Sastrawan Bohemian Indonesia ini.
Begitu tahu bawah Tempo menerbitkan Chairil dalam seri tokohnya, langsung saya ambil buku ini sebagai daftar bacaan berikutnya. Kualitas investigasi dan penelusuran dari tim Tempo sudah tak perlu dipertanyakan lagi dan hal inilah yang menjadi nilai tambah buku biografi ini. Mengangkat kisah sang penyair pelopor angkatan 45 ini tentu saja menarik bagi mereka yang memujanya. Kisah hidupnya yang tragis dan ganjil menjadi bahan perenungan yang dalam bagi pembaca. Bagaimana seorang anak muda dengan berbagai idealisme dan semangatnya berusaha hidup di tengah jaman yang bergejolak sebelum dan sesudah kemerdekaan. Kisah asmara penyair ini pun tak kalah menarik, wanita-wanita yg menjadi inspirasi beliau dalam kepenulisan juga ada wujud aslinya. Jgn lupa juga ttg foto ikonik beliau yg sedang menghisap kretek itu, semua dikupas mendalam. Sebuah biografi yang layak dimiliki bagi penggemar puisi dan juga Chairil.
Puisi Chairil pasti sdh banyak yg membaca, tapi sosok real Chairil belum banyak yang kutahu. Buku ini mengupas masa kecil, perjuangan dan wafatnya sang penyair flamboyan. Pun kisah cinta, idealisme, jiwa patriotik, kemiskinan dan pandangan sahabat-sahabatnya.
Si "binatang jalang" ini mati muda di usia 27 tahun, sekaligus 'hidup seribu tahun lagi' lewat puisi-puisi dan kutipannya.
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai Jika hidup harus merasai
Sama sih seperti liputan tokoh Tempo lain yang sering gue baca pas masih langganan majalahnya. Kisahnya menyeluruh, gak cuma berdasarkan dokumentasi tapi juga wawancara dengan orang-orang terdekatnya.
Chairil Anwar ini tipe yang kalau seandainya dia hidup di zaman sekarang dan temen gue, bakalan gue jauhin sejauh-jauhnya. Udah kerempeng, mata merah, perokok berat, tukang ngutang, tukang nyolong, tukang nebeng, ga bisa nyari uang, ga tanggung jawab. Apa lagi deh tuh... Tapi emang ciri orang yang isi kepalanya jauh lebih berat dari tubuhnya kali ya... Otaknya mengembara dan selalu merasa resah sampai-sampai nggak mikirin kesehatan tubuhnya. Mati muda deh...
Moral of the story: Jangan pernah minjem barang apa pun dari orang trus ga ngembaliin. Suatu hari, pas tuh orang jadi terkenal, nama lo bakal diungkit dalam bukunya dan semua orang bakal tau deh kesalahanlo. Poor Syuman Jaya...
Thanks a lot Gramedia.com for the 70% discount from IDR 50.000 into IDR 12.353! Happy Harbolnas! --------------------------------------- ** Books 126 - 2017 **
Buku ini untuk menyelesaikan Tsundoku Books Challenge 2017
3,2 dari 5 bintang!
Wah saya tidak menyangka kehidupan penyair Chairil Anwar ternyata cukup tragis meninggal di usia muda yaitu 27 tahun dan dimakamkan di Pemakaman Karet. :O
Meski usianya singkat, hanya 27 tahun, namun gelora semangat Chairil tak pernah habis, bahkan sajak-sajaknya cenderung sangat melampaui zamannya. Sekali lagi, Tim Buku Tempo mampu mengenalkan sosok bohemian Chairil dengan kemasan yang sangat candu untuk dibaca. Jiwa muda, urakan, pemberontak dikupas tuntas tanpa menghilangkan sisi humanis dan sentimental Chairil.
Tahun 2022 adalah tahun yang cukup spesial, karena jika sang penyair masih hidup, tahun ini adalah tahun ke-100 semenjak ia dilahirkan. Pertama kali kenal dengan sosok Chairil Anwar adalah ketika saya masih berseragam merah putih 20 tahun silam, menghapalkan puisi "Aku ini Binatang Jalang" yang menjadi penilaian mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Namun setelah menggali lebih dalam kehidupan Chairil, saya jadi merasa bahwa saya luput dan belum mengenal sosok penyair ini sebelumnya. Buku yang diterbitkan oleh tim Tempo barangkali cukup untuk Anda yang mau membaca sisi-sisi menarik dari kehidupan Chairil, mulai dari tempat kelahirannya di Medan, dan masa-masa ia pindah ke Jakarta saat beranjak dewasa.
Usia Chairil bisa dibilang singkat saja, tidak lebih dari 27 tahun. Namun dalam waktu yang singkat itu, ia hasilkan sekitar 70 puisi yang kemudian dikenang banyak orang, dibacakan sampai saat ini. Saya sempatkan juga membaca puisi-puisi Chairil di buku lain, dan memang kata-kata yang dipilih sang penyair seperti tidak lekang oleh waktu. Kalau dipikir-pikir lagi, Chairil menulis banyak puisi pada tahun 1943, itu berarti sudah hampir 80 tahun yang lalu. Tapi jika kini dibaca ulang, masih tetap menampilkan pesona dan kharisma sang penyair dengan bahasa yang juga tidak kalah oleh zaman.
Salah satu cerita yang menarik dalam buku ini adalah perkawanan Chairil dengan H.B. Jassin, seorang kritikus sastra. Chairil pernah marah-marah kepada Jassin karena ia merasa Jassin menyindir karyanya. Chairil lalu mendiamkan Jassin beberapa saat, lalu suatu hari datang ke rumah Jassin. Jassin sudah siap-siap Chairil mengajak adu pukul, namun ternyata yang terjadi malah Chairil menumpang makan karena kelaparan.
Di tahun ke-100 Chairil Anwar ini, barangkali telah selesainya renovasi perpustakaan Jakarta di Taman Ismail Marzuki yang juga satu gedung dengan Pusat Dokumentasi H.B Jassin menjadi tempat yang cukup menarik untuk menggali lebih lanjut kehidupan Chairil.
Saya merekomendasikan buku ini untuk Anda yang ingin tahu lebih jauh kehidupan Chairil, perempuan-perempuan yang pernah ia buatkan puisi dan dengan jelas/samar dituliskan dalam puisinya, kisah tentang ayah dan ibunya, dan kisah-kisah perkawanannya yang menjadikan ia sebagai pelopor angkatan '45.
Huh, so the first book I read this year is ... this. Baru tahu kehidupan beliau itu seperti apa. Benar-benar mengejutkan (untuk saya, sih). Seperti biasa, kepenulisan dari tim TEMPO menarik untuk diikuti, dan saya akan membaca seri-serinya yang selanjutnya!
Senang bisa mengenal lebih dekat sosok pujangga pelopor angkatan '45 ini. Sudah jatuh cinta dengan sajak-sajaknya sejak kelas 4 SD ketika seorang teman mendeklamasikan sajak berjudul "Aku" karya Chairil di depan kelas. Dan dengan lancangnya ia mengacungkan jari telunjuk ke guru ketika membacakan bait pertama sajak tersebut (if you know what I mean). Aksi polos yang sontak membuat isi kelas tertawa. Ya, namanya juga anak-anak.
Kisah hidup yang getir tak sekalipun melunturkan semangat Chairil untuk terus berkarya. Sajak-sajaknya terus abadi bahkan sampai hari ini.
Membaca buku ini membangkitkan hasrat saya untuk mengoleksi semua karya beliau ataupun karya tentangnya yang ditulis penulis lain.
Oops, lewat buku ini saya pun dapat bocoran kalau kisah hidup seorang Chairil Anwar akan difilmkan mulai tahun 2017. Tak sabar rasanya menanti film tersebut rampung.
Chairil Anwar bukanlah sastrawan yang hanya merenung. di balik meja lalu menulis puisi. Sajak "Diponegoro" yang petilannya menerakan kata-kata Maju Serbu Serang Terjang, misalnya, ia tuliskan untuk menggelorakan kembali semangat juang. Melalui sajak ini, ia mengungkap sosok Diponegoro yang kuat dan liat menghadapi Belanda. Chairil tegas melawan kolonialisme. Sebuah kutipan populer yang menandakan semangat itu terambil dari puisi itu: sekali berarti, sudah itu mati.
Sesudah kemerdekaan, sikap juang Chairil semakin kuat terlukis dalam puisi-puisinya. Salah satunya adalah sajak "Krawang Bekasi" yang ditulis berdasarkan pengalamannya saat agresi militer Belanda I pada 21 Juli 1947.
Tapak berkesenian Chairil mencuatkan namanya sebagai pelopor angkatan 45 yang mendobrak angkatan sebelumnya. Terkenal dengan potret diri yang ikonik dalam pose mengisap sebatang rokok, Chairil menghasilkan sajak-sajak yang memperkaya khazanah sastra Indonesia.
Chairil Anwar is not a writer who only contemplates. behind the desk and write poetry. For example, he wrote the poem "Diponegoro" in which the words "Maju Serbu Serang Terjang" were written to revive the fighting spirit. Through this poem, he reveals the figure of Diponegoro who was strong and tough against the Dutch. Chairil firmly against colonialism. A popular quote that signifies that spirit is taken from the poem: once means, it's dead.
After independence, Chairil's fighting attitude became even stronger in his poems. One of them is the poem "Krawang Bekasi" which was written based on his experiences during the Dutch military aggression I on July 21, 1947.
Chairil's artistic footprint made a name for himself as the pioneer of the 45th generation which broke the previous generation. Famous for his iconic self-portrait in the pose of smoking a cigarette, Chairil produces poems that enrich Indonesian literature.
Niatnya kami mau bikin klub buku, ngobrolin satu buku yang sama-sama kami baca pada satu masa tertentu. Agar gampang, kami cari buku yang tersedia di iPusnas. Akhir April lalu Nura mengusulkan membaca buku ini, mumpung baru lewat peringatan Hari Puisi Nasional yang diambil dari tanggal kematian Chairil Anwar, 28 April 1949. Saya dan Jimmy pun setuju.
Ternyata saya baru mulai baca di hari terakhir Mei lalu, dan baru selesai dini hari ini. Sebagai penggemar puisi-puisi Chairil Anwar sejak SMP (saya lupa karena apa), sekian puluh tahun kemudian ternyata banyak hal yang baru saya ketahui tentang penyair yang puisi-puisinya melegenda ini.
Secara pribadi saya lebih menyukai puisi melankolis ciptaan beliau (contoh: "Senja di Pelabuhan Kecil"). Nada sepi, kosong dan perasaan ditinggal terasa sangat kuat dibandingkan semangat membara puisi "galak" macam "Aku" atau "Diponegoro". Lewat buku ini, saya jadi lebih paham latar belakang kisah sang penyair, juga orang-orang dan peristiwa dalam hidupnya yang relatif singkat (27 tahun) yang menjadi urat pembangun puisi-puisinya.
Buku ini belumlah jadi biografi lengkap Chairil, baru kumpulan data dan cerita tentang beliau dari sebagian orang-orang terdekat hingga suara mereka yang belum pernah menjumpainya. Jarak masa hidup yang jauh dan keterbatasan halaman membuat banyak masa kehilangan Chairil tetap tertinggal sebagai enigma.
Hidup yang megah di awal, terkadang punya bayang tragis di akhirnya.
(Rencananya riviu ini akan ditambah setelah jadi dibahas bersama Nura dan Jimmy. Entah kapan).
i actually have this book since a few years ago (i think it was 2019?) and i bought 3 books (Chairil Anwar, Bung Tomo, and Kartini) from the Tempo Series. i dont know why i just read it now wkwkw baru rajin baca buku lagi but anyway, this is the first book i read from the series, so, lets just jump to the review.
to be truthfully honest, i’m not someone who had deep knowledge about famous Indonesian historical people aside from Soekarno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, etc. you name it lah, the REALLY famous ones. but this book has successfully portrayed Chairil Anwar the way he is. it provides you with credible sources who surrounded Chairil Anwar back then, starting from childhood until his last day. i can’t say much really other than it gives you a clear enlightenment (agak lebay ya penggunaan katanya but i can’t think any other words to describe it so just bear with it) about who Chairil Anwar is/was.
aside from the deep biographical details about Chairil Anwar, the book sometimes has some repetitive sentences which i kinda don’t like. and for some reason they also have these highlighted(?) points which i think unnecessary because then again it’s just repetitive. also, i think there’s another beautiful way to end the Sang Penyair Bohemian biography! (oh they also included some of the poems of Chairil and the story behind it)
Bercerita tentang pemuda bohemian yang kurus kerempeng dengan mata merahnya yang cekung tapi tajam. Buku ini membawa kita pada sebuah perjalanan mencari jejak-jejak Chairl Anwar yang, selain sajaknya, sudah tertelan zaman. Kesaksian dari keluarga, anak, dan kawan terdekat Chairil dan juga beberapa karyanya dikumpulkan dan disunting menjadi memoar kehidupan sang pujangga.
Dari buku ini, Chairil Anwar seperti ditelanjangi dan dikuliti perjalanan hidupnya, mulai dari awal kehidupannya di Medan hingga ia memutuskan merantau ke Ibukota, hubungannya dengan keluarga dan kerabatnya, kisah cintanya yang selalu kandas dikarenakan sifat urak-urakannya, tingkahnya yang bebas dan semena-mena, pilihan hidupnya untuk mendedikasikan dirinya pada seni, kehidupannya yang bertopang dengan membuat dan menerjemahkan karya sastra yang juga memaksanya untuk meminta dan mencuri untuk nasi dan rokok, serta perannya dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan dampak karyanya dalam kemajuan kesusastraan dan perkembangan bahasa Indonesia. Hingga bagaimana Chairil Anwar tersiksa oleh penyakit yang di endapnya yang membawanya ke liang lahat pada 28 April 1949 pada usia 27 tahun. Kematiannya seolah bukan membungkam nama dan karyanya, melainkan mengabadikannya. Jasadnya terkubur di Bumi tetapi karyanya tetap abadi.
Dengan tulisan yang mudah dipahami, buku ini membuat saya mengenal Chairil Anwar menjadi lebih dekat, setelah saya membaca buku Aku: Berdasarkan Perjalanan Hidup Karya Penyair Chairil Anwar yang ditulis oleh Sjuman Djaya.
Saya menjadi lebih paham dan lebih merasai apa yang diderita Chairil dalam menghadapi kegelisahan hatinya. Cintanya kepada Sumirat yang lebih besar dibanding beberapa perempuan lain yang sempat singgah dalam hidupnya hingga ia bertemu dan kawin dengan Hapsah. Juga sakit yang ia deritakan dan harus mencari uang untuk membayar dokter agar menyuntikan obat ke tangannya sebagai pereda tak juga melulu berhasil. Hingga manusia yang bercita-cita ingin hidup seribu tahun lagi itu harus menyerah kepada waktu dan rasa sakit yang diam-diam menyiksanya.
Chairil wafat dalam semangatnya yang terus berkobar tanpa pernah mati. Chairil yang dianggap plagiat, seorang kawan setia sekaligus pencuri, dan flamboyan yang berbicara seenaknya namun dikagumi banyak perempuan itu, telah mampu menjadi inspirasi bagi mereka yang ingin terus berkarya dan juga hidup seribu tahun lagi.
Menyebalkan adalah saat lo udah curhat sekian panjang dan nggak ke-save sama gr. Ugh... kezel batsi. Akhirnya berhasil menamatkan buku ini setelah niat baca bareng April lalu memperingati hari Puisi nasional, yang juga merupakan hari wafatnya si Binatang Jalang. Puisi yang paling berkesan buat gw adalah "Derai-Derai Cemara" yang ditulis menjelang akhir hayatnya. Ya, selama hampir sebulan lebih berkutat dengan puisi untuk dipentaskan sebagai bentuk apresiasi karya sastra di Sanggar Sastra Balai Pustaka.
Suram memang puisi yang satu itu. Sang flamboyan pun tak kuasa sebelum akhirnya menyerah. Membaca buku ini ada sisi-sisi lain Chairil yang tidak banyak yang tahu, kecuali mereka yang memang menekuni kesusastraan Indonesia. Di halaman terakhir jadi kepikiran untuk napak tilas tempat-tempat yang pernah disinggahi sang manusia yang ingin hidup seribu tahun lagi sekaligus sekali berarti sudah itu mati.
Bicara vitalitas tinggi, tiada yang dapat membendung keinginan besar untuk membaca. Hidup boleh morat-marit tapi kebutuhan mereguk ilmu harus selalu tepenuhi. Tidak punya uang buat beli buku, jadilah Chairil mencuri buku di toko buku di bilangan Senen milik orang Belanda. Tidak apalah mencuri dari orang yang bangsanya sudah menancapkan kuku-kuku imperialisme di ibu pertiwi. Mungkin demikian penguat motivasinya.
Tak kurang Asrul Sani pernah diajak mengikuti aksinya mengutil buku. Konon Sitor Situmorang sempat diajarkan tutorial cara mencuri buku. Jurnalis kenamaan Mochtar Lubis tak segan meminjamkan uang kepada Chairil karena tahu si penyair bohemian ini akan melunasi utang dengan buku-buku bagus hasil curian. Dalam melancarkan aksi mencuri, Chairil Anwar selalu bebas melenggang, kecuali saat mencuri cat dan seprai seorang opsir jepang (kempetai), ia tertangkap, dipukuli, dan diadili.
Kalau dari saya pribadi, kurang menyukai buku ini karena mungkin dari sifat Bapak Chairil Anwar sendiri yang memiliki gaya hidup terlalu bebas atau dalam buku ini disebut gaya hidup "bohemian". Jadi yaa, menurut saya kurang cocok kalau diterapkan di kehidupan saya pribadi, kurang pas. Tetapi kalau dalam penyajian maupun tata bahasa tetap baik. Dan cara Bapak Chairil dalam memperjuangkan kemerdekaan lewat meniup roh ke dalam kata-katanya tentu patut diacungi jempol oleh anak muda bau kencur macam saya, he he. Ini seri buku tempo ke 2 yang saya baca! Untuk kutipan favorit saya dalam buku ini: "Hidup hanya menunda kekalahan".
Buku ini tidak hanya menampilkan kompilasi puisi-puisi bung chairil tapi lebih daripada itu ditampilkan kisah hidup, teladan hidup, serta behind the scene dibalik puisi-puisi yang ditulis. Banyak pelajaran hidup yang bisa dipetik dan membuat pembaca lebih dekat dengan sosok bung chairil ini
Ada salah satu kutipan dari buku ini yang cukup menarik dan bisa menjadi suatu pemantik bagi anak muda saat ini :
Namun di "kampung besar" ini pula Chairil ditempa. Intelektualitasnya berkembang. Bacaannya bertambah banyak. Wawasannya semakin luas.
Secara singkat buku ini mengisahkan kehidupan Chairil Anwar, sejak lahir hingga meninggalnya. Lebih mengulas bagaimana Chairil menjalani hidupnya. Sebagai pembaca aku lebih berharap lebih banyak cerita yang mengulas proses yang dijalani Chairil sampai menghasilkan puisi-puisi cemerlangnya. Misal, seperti yang di buku ini diceritakan untuk puisi Beta Pattirajawane. Bukannya di sini sama sekali tidak diceritakan, tapi lebih baik lagi jika diceritakan secara mendalam.
Buku biografi hasil penelusuran tim Tempo ini memperlihatkan sisi kehidupan Chairil Anwar bukan sebagai sastrawan, tetapi lebih sebagai aktivis kemerdekaan. Kapan dan dimana Chairil berada selama proses perumusan naskah proklamasi hingga kemerdekaan Indonesia diproklamirkan tertulis dengan rapi dan terperinci.
Lewat buku ini saya jadi lebih mengenal sosok lain dari si penyair 'Binatang Jalang' ini.
Selama ini aku cuma tahu sajak-sajak gubahan beliau, tapi nggak banyak tahu soal penyairnya. Aku baca buku ini dengan posisi minim informasi mengenai Chairil Anwar. Mulai dari asal-usul keluarga, kehidupan remaja, kisah romansa, sampai kisah sebelum penyair wafat tertuang dalam buku ini. Menurutku buku ini jadi media perkenalan yang baik dengan penyair yang sering disebut pelopor Angkatan 45 ini.
Setelah membaca buku Aku, saya tergelitik untuk mengetahui lebih lanjut perihal penyair ini. Saya temukanlah buku seri Tempo ini. Buku ini cukup memberikan informasi perihal kehidupan penyair baik pribadi dan juga bagaimana sumbangsihnya pada kesusastraan Indonesia. Terima kasih.
it feels amazing to read each person's biography. rasanya kayak lu hidup di masa kini yang masa lalu.. duh gmn ya TP GITU DEH. gue masih dan akan selalu takjub tentang dunia sastra indonesia, semoga pre-test aku lancar yaAllah aammiin
Kepribadian Chairil dikupas tuntas dalam buku ini. Fakta dan bukti yang ada tertuang jelas dalam buku. Namun saya berharap lebih banyak sajak yang dituang dalam buku.