Saidi tak pernah berharap takdir menggiringnya ke “kawasan antara”. Ia lahir berkelamin lelaki, tetapi tabiatnya sangat perempuan. Calabai, begitu orang-orang menyebutnya. Ayahnya, Puang Baso, marah dan menolak anak lelakinya menjadi “perempuan”. Tak ingin menggoreskan luka lebih dalam di hati orangtuanya, Saidi memilih pergi. Pertemuan dengan seorang lelaki sepuh bersurban putih di dalam mimpinya telah membakar gairahnya untuk bertualang ke Segeri, negeri bissu, yaitu para pemuka spiritual yang telah melampaui sifat laki-laki dan sifat perempuan di dalam dirinya, bertugas untuk menjaga keseimbangan alam. Di sana ia menekuri ilmu-ilmu warisan leluhur. Di sana pula ia menemukan jati dirinya: menjadi bissu.
Calabai adalah sebuah novel tentang jiwa perempuan yang terperangkap dalam tubuh lelaki—tubuh yang pemiliknya sendiri kerap gagap memahaminya. Calabai mengulik sisik-melik kehidupan bissu, ahli waris adat dan tradisi luhur Suku Bugis, yang dipercaya menjadi penghubung antara alam manusia dan alam Dewata.
Pepi Al-Bayqunie adalah seorang pecinta kebudayaan lokal yang belajar menulis novel secara otodidak. Ia lahir dengan nama Saprillah pada 10 Februari 1977 di Cappasolo, sebuah dusun kecil di Kecamatan Malangke, Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Nama Al-Bayqunie dia ambil dari nama seorang ahli hadis—yang diabadikan sebagai nama grup diskusi ketika menjadi santri di MAN PK Ujung Pandang. Alumnus Tarbiyah IAIN Alauddin dan Antropologi Universitas Hasanuddin ini sangat terinspirasi dengan sesanti Pramoedya Ananta Toer: Menulis adalah bekerja untuk keabadian!
Novelnya yang sudah terbit adalah Tahajud Sang Aktivis (2012), Kasidah Maribeth (2013), Jejak (2015), Calabai: Perempuan dalam Tubuh Lelaki (2016). Pepi bisa dihubungi secara personal melalui surel: pepi_litbang@yahoo.com, Facebook: Saprillah Syahrir Al-Bayqunie, dan Twitter: @anaksyahrir.
Tak pernah ada manusia yang minta untuk dilahirkan dalam tubuh yang tak sesuai dengan jiwanya. Demikian juga dengan Saidi. Ia tak pernah meminta untuk lahir dalam tubuh pria dengan jiwa sehalus perempuan. Ya, ia adalah seorang Calabai. Jiwanya adalah jiwa perempuan yang terjebak dalam tubuh pria.
Saidi pun tak mengerti mengapa menjadi calabai seolah suatu kesalahan. Banyak yang menganggapnya mengada-ada, tak mampu mengendalikan diri. Banyak mata memandang remeh dan telunjuk menuding tak suka akan keberadaannya. Tidakkah mereka mengerti, jiwa Saidi semakin tersiksa?
Dalam kebingungan jiwanya, Saidi memutuskan pergi dari rumahnya. Berjalan megikuti kata hatinya. Menelan semua sakit, deraan, dan siksaan dalam diam. Mengikuti ke mana aliran takdir membawanya.
Perjalanan sunyi yang mengantarkannya pada keajaiban yang membawanya menjadi seorang Bissu, seorang pemuka adat terkemuka di masyarakat Bugis. Sosok yang dipercaya mampu melampaui semua nafsu duniawinya dan merupakan penghubung langit dan bumi. Pergumulan batin seorang calabai yang tak semua dapat ia ceritakan. Perjalanan yang hanya akan ia senandungkan dalam kebisuannya. Kisah yang akan ia bawa selamanya. Sendiri.
Novel besutan Pepi Al-Bayqunie ini ditulis olehnya dengan sepenuh hati, yang lahir dari rasa hormat pada sosok yang menginspirasi novel ini. Berbeda dengan banyak novel yang pernah saya baca, novel ini mampu menjadikan kekayaan budaya bangsa Indonesia bukan hanya sebagai latar belakang cerita, namun sebagai "roh" cerita. Keindahan dan keluhuran budaya terasa kental mewarnai kisah ini.
Penulisnya berhasil menyajikan berbagai informasi tentang bissu, calabai, adat yang berlaku, dan lain-lain dengan indahnya, tanpa kesan menggurui. Membaca novel ini membuat saya ingin menjejakkan kaki ini ke Bola Arajang, menyentuhnya dengan kedua telapak tangan ini. Merasakan aura luhur bangsa ini.
Ini kisah tentang bissu. Bissu mengingatkanku pada hakikat Semar dalam Filsafat Jawa. Ora lanang, ora wadon; yo lanang, yo wadon (bukan lelaki, bukan perempuan; ya lelaki, ya perempuan). Ardhanareswara.
Saya merasa ingin membaca buku tentang Bissu yang lebih menyenangkan. Buku ini bagus, tapi mungkin karena merasa sebagai novel pertama tentang bissu, ia menjelaskan banyak hal seolah buku ini serasa menjadi buku catatan tentang bissu.
Wow, saya lumayan terkejut membaca novel ini. Sebelumnya hanya mendengar dari teman-teman bersuku bugis bahwa di Makassar ada istilah calabai dan mereka punya posisi sendiri di tatanan hidup sosial masyarakat Makassar. Saya tidak pernah punya bayangan lebih lagi di luar itu dan buku ini membuka banyak hal kepada saya. Benar-benar informatif. Di samping itu, buku ini memberi sensasi yang campur aduk dalam perasaan saya, antara sedih, haru, kagum, tidak sepakat, ingin membela, simpati, bertanya-tanya, penasaran, khawatir ah pokoknya campur. Buku ini, seperti buku-buku bagus lainnya, memberikan saya banyak pertanyaan-pertanyaan baru dan keinginan untuk mengetahui hal-hal lain lebih banyak lagi. Buku ini tidak membuat saya menangis, tapi cukup banyak membuat saya merinding dan berkaca-kaca. Bagian paling berharga yang saya dapat dari buku ini mengingatkan sekali lagi pemahaman sederhana ; menghargai siapapun, seberapapun berbedanya ia dengan kita, karena semua pada hakikatnya sama, diciptakan dari tuhan yang sama.
bagus banget. membantu kita memahami adat, tradisi, budaya. juga mengantarkan kita pada pemahaman-pemahaman akan Kuasa ciptaanNya dan mungkin juga tujuan penciptaan itu.
Dalam novel berjudul Calabai karya Pepi Al-Bayqunie misalnya, diungkap kisah perjalanan seorang Calabai menjadi seorang bissu. Bissu adalah pendeta dalam kepercayaan setempat yang menjaga keseimbangan alam (dua dunia).
Pepi secara tersirat mengatakan bahwa kehadiran Calabai ke dunia adalah bentuk dari ketidakseimbangan. Ayah Saidi adalah seorang tentara yang memiliki kebencian berlebihan terhadap kaum bissu yang pernah secara membabi buta membantai kaum bissu. Kebencian yang berlebihan ini adalah ketidakseimbangan itu. Sebagaimana cara hidup lelaki, yang ketika mengalami kemunduran, akan merindukan cara hidup perempuan. Jiwa perempuan yang lahir akibat ketidakseimbangan itu menjadi jiwa pada anak laki-lakinya yang sudah lama ditunggu kelahirannya.
Seorang Calabai pada dasarnya harus menyadari jalan menjadi Bissu. Menjadi Bissu dalam kepercayaan leluhur bukanlah sebuah aib. Menurut Pepi, Bissu sendiri bermakna bersih atau suci. Bissu yaitu para pemuka spiritual yang telah melampaui sifat laki-laki dan sifat perempuan di dalam dirinya. Bissu bukan pria. Bukan juga perempuan. Tapi, juga bisa disebut pria dan perempuan. Maksudnya, Bissu telah melampaui jenis kelamin. Mereka bertugas untuk menjaga keseimbangan alam. Seorang calabai harus membersihkan diri dari hasrat duniawi ketika menempuh jalan bissu. Seorang Bissu tidak memiliki nafsu seksual yang berkobar-kobar. Seorang Bissu sejati adalah dia yang telah melampaui nafsu seksualnya. Karena sifat-sifat itulah, seorang Bissu menjadi penghubung antara alam Dewata dan alam manusia.
Susah untuk saya menemukan kekurangan dari buku yang diangkat dari kisah nyata Puang Matoa Saidi. Kisahnya sangat inspiratif, mengalir, dan sarat akan kebijaksanaan dan pengetahuan baru soal budaya Bissu, yang saya rasa, tanpa buku ini, saya pasti tidak akan pernah tahu kalau tradisi seperti ini pernah ada di Indonesia.
Gaya penulisan si penulis enak sekali dibaca. Meski sarat muatan sejarah dan tradisi, informasi dikemas dengan apik dalam jalan cerita yang runut. Sejauh ini saya tidak menemukan salah ketik satu pun, yang mana adalah hebat pada zaman sekarang tidak ada saltik.
Kisah dibuka dengan masa kecil Saidi yang terlahir sebagai Calabai alias jiwa perempuan yang terkurung dalam tubuh laki-laki. Menjadi Calabai, seperti pada umumnya, bukan sebuah kebanggaan, terutama untuk Baso, bapak Saidi yang sudah sejak lama mengidam-idamkan anak lelaki. Masa kecil Saidi tidak indah, tetapi juga tidak berlebihan buruknya seperti di sinetron azab pastinya. Berbekal mimpi yang sulit untuk ia tafsirkan, Saidi pun merantau ke Segeri, negerinya para Bissu. Dan di sanalah perjalanannya untuk menjadi Bissu dimulai.
Sayang sekali buku ini jarang orang yang tahu. Mungkin suatu hari bisa diterbitkan massal agar bangsa Indonesia lebih mencintai budayanya sendiri, tidak lupa jati diri bangsa, dan tentunya tidak melupakan bahwa kita pernah menjadi bangsa yang penuh dengan toleransi. Tema yang sangat relevan dan perlu ditekankan saat ini pada khususnya.
Novel ini bercerita mengenai alur hidup Saidi, seorang laki-laki berjiwa perempuan (Calabai) yang akhirnya menjadi Bissu. Di bagian awal novel sudah disuguhi konflik batin yang dirasakan Saidi perihal jiwa perempuan dalam dirinya yang selalu disangkal oleh ayahnya. Seakan menjadi calabai adalah aib, padahal tak ada manusia yang bisa memilih menjadi apa ketika ia dilahirkan.
Keberanian Saidi untuk pergi merantau membawanya sampai ke Segeri, negeri para Bissu. Bissu adalah tokoh spiritual dalam tradisi Bugis yang dipercaya menjadi penghubung antara alam manusia dan alam Dewata. Semua Bissu adalah calabai, tapi tidak semua calabai bisa menjadi Bissu. Menjadi Bissu tidaklah mudah, mereka yang terpilih adalah yang dapat melampaui semua hawa nafsu duniawinya.
Salah satu bagian yang menyita perhatianku ada di halaman 301-302, yaitu percakapan antara tokoh Saidi dan Kiai Kusen.
"Yang dilarang adalah perilakunya. Perilaku memang bisa diatur-atur."
Novel ini berhasil menyatukan adat, budaya, dan agama yang sebenarnya adalah bahasan sensitif namun bisa dikemas menjadi satu tulisan yang apik.
i will never stop being thankful to my dad for gifting this book to me because of how much this is a soul-touching read
this book introduces us to the diverse gender expression and identities that exist in the bugis society. the author does a lovely job thoughtfully navigating the spiritual beliefs and bugis culture of bissu and calabai and its co-existence with current common societal and religious norms. i adore saidi, the main character, and her journey to accepting herself and becoming a bissu. i feel for her so, so much and root for her happiness and success to achieving her dreams and finding joy and love for herself against all odds
all in all this book is a reminder of: (1) the beauty that is our ancestral beliefs and rich culture, (2) the importance of kindness, acceptance, and tolerance, and lastly (3) that queer people and culture do exist, have existed, and will continue to exist. isn't that just beautiful?
Tuntas sudah saya membaca buku berjudul Calabai, karya Pepi Al-Bayqunie, terbitan Javanica tahun 2016 lalu. Buku yang terinspirasi dari perjalanan hidup seorang bissu suci di Sulawesi itu, sungguh membuat saya larut dalam hegemoni haru yang berkepanjangan.
Buku setebal 385 halamain ini mengantarkan saya pada sisik melik kehidupan para bissu, ahli waris adat dan tradisi luhur suku Bugis yang dipercaya menjadi penghubung antara alam manusia dan alam Dewata.
Beberapa tahun silam, saya pernah diceritakan tentang keberadaan bissu di Sulawesi oleh salah seorang sahabat. Sahabat itu adalah alumni Universitas Hasanuddin Makassar. Dia berkisah tentang sosok bissu yang keseluruhannya adalah calabai. Mereka adalah para pemangku adat yang memiliki kesaktian berupa kebal terhadap benda tajam.
Cerita itupun dibenarkan dalam buku ini. Bissu memang memiliki kesaktian berupa ilmu kebal dan kemampuan supranatural sehingga dipercaya bisa berkomunikasi dengan dunia lain. Mereka adalah pemuka spritual yang telah melampaui sifat laki-laki dan perempuan di dalam dirinya. Mereka adalah para pengemban tugas sebagai penjaga keseimbangan alam.
Namun yang menarik perhatian saya tak hanya itu, yang membuat saya tertegun adalah bagaimana para bissu menjaga adat istiadat dan warisan para leluhur mereka selama ratusan bahkan ribuan tahun. Bagaimana mereka mengesampingkan nafsu duniawi demi menjaga keberlansungan hidup masyarakat Bugis.
Buku ini dengan apik menyajikan penggalan kisah perjalanan hidup Puang Matoa Saidi. Seorang yang ditunjuk dewata untuk mengemban tugas suci sebagai bissu tertinggi. Seorang yang telah mencapai tingkatan spritiual yang tinggi dalam dunia kebissuan, lalu mengabdikan dirinya demi menjaga cita-cita para leluhur suku Bugis.
Layaknya kebanyakan orang diluar sana, Saidi terlahir dengan kelamin laki-laki. Namun, tabiatnya sungguh menyerupai perempuan. Orang-orang dikampungnya, Lappariaja, Sulawesi Selatan menyebutnya calabai.
Bagi masyarakat bugis, calabai adalah sebutan bagi laki-laki yang memiliki tabiat menyerupai perempuan. Calabai tak sepenuhnya bisa diterima dengan baik ditengah masyarakat. Saidi tidak tumbuh dalam iklim sedemokratis seperti sekarang. Dahulu, terlahir sebagai calabai adalah duka bagi sebagian orang. Mereka akan mendapat pengadilan sosial, dijustifikasi sesuka hati atas nama tuhan dan agama.
Tak terkecuali Puang Matoa Saidi, hukum ini juga berlaku padanya. Takdir hidup yang menggiringnya sebagai calabai bukanlah sebuah berkah di masa kecil. Bahkan dalam usia yang masih belia, Saidi harus menanggung beban yang begitu besar. Terlebih lagi ketika ayahnya, Puang Baso, marah dan menolak ketika mengetahui tabiat Puang Matoa Saidi. Ternyata anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga itu, adalah seorang perempuan yang bersemayam dalam tubuh laki-laki.
Tak ingin menggoreskan luka lebih dalam di hati orangtuanya, dengan berat Saidi memilih pergi. Meninggalkan keluarga tercinta, maninggalkan kampung halamannya. Dia memilih berpetualang, mencari jati diri hingga kelak menjadi sosok yang kehadirannya dirindukan setiap orang.
Sepintas, Saidi serupa remaja yang hendak menemukan jawaban. Dia tidak mengerti dengan takdir. Bukankah Tuhanlah yang menghendekinya terlahir sebagai calabai? Lalu mengapa orang-orang diluar sana selalu mengatasnamakan tuhan untuk menabur orkestra sakit hati di dalam dadanya. Setidaknya, pertanyaan inilah yang selalu membayangi benak Saidi, sebelum Daeng Madenring, lelaki tua yang belakangan menjadi ayah angkat Saidi membawanya ke Segeri, negeri para bissu.
Di Segeri, Saidi bertemu dengan orang-orang yang menginspirasi hidupnya. Tak seperti di kampung halamannya, di Segeri, bissu begitu dihormati. Di sana, bissu memegang perananan penting ditengah masyarakat yaitu sebagai pemangku adat.
Satu hal yang membuat saya antusias membaca adalah saya banyak menemukan hal baru di dalam buku ini. Saya menyukai gaya kepenulisannya yang berisi penjelasan-penjelasan singkat tentang budaya suku Bugis di Sulawesi. Penulis mengisahkan sesuatu dengan sederhana, sehingga mudah dipahami pembaca.
Di banyak bagian, saya menemukan beberapa referensi tentang I La Galigo, sebuah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis. Bentuknya berupa kitab yang berisi puisi bahasa Bugis dan ditulis dalam huruf Lontara kuno. Para bissu tentu sangat mahir membacakan kitab ini.
Di bagian yang lain, saya juga menemukan ritual Mappalili. Sebuah upacara adat turun sawah yang dipimpin lansung oleh bissu. Upacara ini digelar untuk meminta rahmat kepada sang Pencipta sebelum masyarakat memulai aktivitas pertanian.
Pada saat upacara berlansung, para bissu juga menampilkan atraksi berupa tarian Manggirik. Sebuah tarian fenomenal dalam dunia bissu. Disinilah ajang unjuk kebolehan bagi mereka. Para bissu memamerkan ilmu kebal kepada segenap penonton. Keris yang semula diselipkan dipinggang saat acara dimulai, kini dicabut. Lalu dengan berani mereka tusukkan keris tersebut ketubuhnya.
Begitulah calabai. Pepi Al-Bayqunie dengan santai menjelaskan sisik melik kehidupan Puang Matoa Saidi dalam bukunya. Betapa panjangnya perjalanan yang harus ditempuh laki-laki gemulai itu, hingga mengantarkan dirinya sebagai bissu tertinggi. Pepi juga secara gamblang menjelaskan semua rutinitas para pemangku adat suku Bugis itu satu persatu. Ceritanya mengalir, pembaca digiring keadalam dunia spritualitas bissu yang dipenuhi aura mistis.
Di akhir kisah, Saidi akhirnya menemukan jawaban atas takdirnya. Di akhir perjalanan panjang itu, dia memahami bahwa segala kepedihan di masa belia, adalah cara Dewata menjadikannya sebagai orang yang begitu dihormati dan diagungkan.
saya merasa tidak rugi memberi buku ini bintang 5, meski kadang-kadang deskripsinya terlalu panjang-panjang hingga saya bosan. tapi itu tak mengapa, tak mengurangi kilauan mutiara pemahaman budaya yang tersimpan dalam buku ini. tak hanya budaya tentu, pergesekannya dengan norma sosial dan agama tentunya menambah spesial buku Pepi ini.
well, Mas Pepi... aku pengagummu kali ini. kamu berhasil membawa dan memperkenalkan Bissu kepada kami (saya maksudnya).
Calabai adalah sebuah novel tentang jiwa perempuan yang terperangkap dalam tubuh lelaki—tubuh yang pemiliknya sendiri kerap gagap memahaminya. Calabai mengulik sisik-melik kehidupan bissu, ahli waris adat dan tradisi luhur Suku Bugis, yang dipercaya menjadi penghubung antara alam manusia dan alam Dewata.
Sebuah kisah nyata yang membuat saya merasa tergoda untuk membacanya. Berdasarkan kehidupan seorang calabai yang bernama Saidi. Kisah ini bertutur tentang kehidupan komunitas bissuyang tinggal di Segeri. Para bissu adalah calabai, seorang laki-laki dengan jiwa perempuan. Bissu dianggap sebagai wakil dewata di bumi.
Mereka sebenarnya sudah melampaui batasan jenis kelamin. Bebas dari kekotoran perempuan dan kebejatan laki-laki, begitu yang teryera dalam buku ini.
Calabai Oleh: Pepy Al-Bayqunie Penerbit: Javanica . Menjadi seorang calabai adalah penderitaan berat bagi Saidi. Bukan hanya dipandang aneh oleh lingkungan, namun juga mendapat tekanan dari keluarga. Penderitaan yang terus ia rasakan, membuatnya berani mengambil keputusan untuk keluar dari rumah meninggalkan ibu yang sangat dicintai dan tulus menyanyanginya. Sementara ayahnya sangat keras menolaknya keadaanya, laki-laki berperilaku perempuan. Takdir hidupnya mengantarkanya sampai ke Sageri, dan berkenalan dengan tradisi Bissu masyarakat Bugis. Hingga kemudian ia terpilih sebagai Puang Matoa. . Buku ini tersinprasi dari kisah hidup Puang Matoa Saidi yang menjadi tokoh utama dalam buku. Cerita dimulai dari kebingungan seorang Saidi atas dirinya, perjalanan batin, hingga ia menemukan jawaban atas dirinya. Membaca buku ini, kita akan banyak memahami kebudayaan Bugis dan kehidupan para calabai. Membuat pengetahuan dan rasa kita lebih kaya. . #gitavlibrary #salamlestari #novelcalabai #novelbugis #bookstagram #bookslover #literasi