Hasil pertama dari Revolusi Indonesia adalah “Inlander” atau Bumiputra yang sederajat dengan anjing dalam sebuah negeri yang dijajah menjadi manusia bermartabat di sebuah negeri merdeka. Kemerdekaan itu membuat bangsa-bangsa Bumiputra yang kelak disebut bangsa Indonesia sederajat dengan bangsa lain sebagai salah satu bangsa pembangun peradaban.
Selain menuturkan bermacam fakta dan menganalisisnya, buku ini juga menunjukkan bahwa hegemoni yang mengeksploitasi manusia dan bangsa di dunia masih berlangsung sampai sekarang, dan belum memperlihatkan tanda-tanda akan berakhir.
Linda Christanty kembali menulis untuk kita dalam Para Raja dan Revolusi ini setelah ia menerbitkan karya-karya fiksi dan nonfiksinya yang memperoleh berbagai reaksi dan sambutan di Indonesia dan negara-negara lain.
“Linda Christanty tidak menilai perang secara hitam-putih. Ia juga tidak berkhotbah tentang perlunya menghindari konflik. Ia justru menggambarkan perang dari sudut pandang prajurit, yang tak jarang menjadi korban juga, mengajak pembacanya merenung mengapa perang-perang itu terjadi dan bagaimana hal itu berlangsung dari generasi ke generasi.” (The Nation)
“Pendek dan tajam. Sihir dan militer berhadap-hadapan dalam cerita-cerita Linda Christanty. Meskipun kuda bersayap yang terbang melintasi langit dalam ceritanya berasal dari imajinasi penulis Indonesia pemenang penghargaan ini, tetapi peluru-peluru tajam yang ditembakkan dan orang-orang yang meninggal itu berasal dari pengalamannya sebagai aktivis di masa rezim Suharto dan masa kanak-kanaknya serta kehidupan di Indonesia kontemporer.” (South China Morning Post)
“Linda memiliki kemampuan yang menakjubkan dalam menulis cerita, yang menggiring pembacanya untuk terhanyut. Kematian seekor anjing mungkin peristiwa biasa di mata awam, tetapi dalam persepsi Linda, hal itu dapat berubah menjadi peristiwa yang tidak biasa.” (The Jakarta Post)
“Linda Christanty menulis dengan humor, terkadang lugu, nakal, dan tajam mengenai berbagai pengalaman dalam keluarga dan perjalanan penelitiannya. Ia menjelaskan tentang daerah konflik mulai dari Israel hingga Malaysia, terutama Aceh, pulau di barat Indonesia yang mengalami kehancuran akibat tsunami dan perang dan dampak penerapan syariah. Jangan Tulis Kami Teroris adalah esai-esainya yang luar biasa di Jerman.” (NeueZürcherZeitung)
Linda Christanty adalah sastrawan-cum-wartawan kelahiran Bangka. Pada 1998, tulisannya berjudul “Militerisme dan Kekerasan di Timor Leste” meraih penghargaan esei terbaik hak asasi manusia. Kumpulan cerita pendeknya Kuda Terbang Maria Pinto memperoleh penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2004. Dia sempat bekerja sebagai redaktur majalah kajian media dan jurnalisme Pantau (2000-2003), kemudian menulis drama radio bertema transformasi konflik untuk Common Ground Indonesia (2003-2005). Sejak akhir 2005, dia memimpin kantor feature Pantau Aceh di Banda Aceh.
"Kesewenang-wenangan dan ketidakadilan harus dilawan." (hlm. 130)
Buku setebal 212 halaman ini memuat 15 artikel esai karya Linda Christanty dengan tema dan sorotan yang beragam, mulai dari mitos para keturunan raja Mataram Islam yang konon memiliki tanda sisik di dekat ketiaknya hingga tentang Dewi Ibu. Menarik menyimak tulisan-tulisannya yang seakan lepas dan tidak saling terkait dalam buku ini. Sering kali, Linda memulainya dengan cerita masa kecil atau dongeng yang pernah didengarnya, lalu kemudian pembaca dibawa pada opini psi penulis tentang peristiwa-peristiwa kekinian. Awalnya mungkin pembaca jadi agak bingung mengikuti gaya menulis Linda, terutama bagi pembaca yang terbiasa membaca esai ala buku yang disusun rapi. Esai-esai Linda di buku ini menyerupai artikel opini di koran yang kadang tidak jelas ujung pangkalnya, namun selalu ada benang merah tersembunyi yang dipegang penulis sebelum dia menutupnya dengan simpulan yang simpel.
Kata pengantar dan isinya yg mencengangkan membuka pikiran. Jernih, historis, jujur, tajam, visioner, optimis, dan faktual. Sejarah berulang. Panta rhei, kata Heraclitus. Kehebohan, kegaduhan politik dan hukum saat ini membuat buku ini justru menjadi sgt bernilai, menjadi kaca pembesar utk memperhatikan proses panjang menjadi Indonesia. Kemampuan penulis memampatkan tulisan dan melakukan pilihan analisis yg tepat menunjukkan seorang Maestro yg memahami polemik bangsanya serta relevansi dan interaksinya dlm masyarakat dunia yg membentuk wajah peradaban. Luasnya wawasan, kedalaman pemahaman, dan pemikiran nasionalis humanis patriotik penulis sgt kental dilatarbelakangi sejarah panjang keluarga penulis dan sikap bathin seorang aktivis demokrasi, kemanusiaan serta gender. Buku ini mencerahkan sekaligus membuat kita waspada tentang arti hidup menjadi suatu bangsa dan negara yg dinamai Indonesia.
Bagi orang yang jarang memperhatikan berita maupun sejarah seperti saya, buku ini terasa menyajikan terlalu banyak fakta untuk dapat dicerna dengan mudah. Meskipun begitu, saya rasa memang sudah saatnya menyeimbangkan pikiran yang selama ini hanya diisi konsep-konsep.
Saya suka pendekatan Linda yang impersonal. Mungkin setelah tahu sisi esaisnya dari Para Raja dan Revolusi, buku kumcer Linda yang saya pinjam dari seorang teman akhirnya akan saya lanjutkan baca.
Hmm, saya jadi ingat dulu pernah ingin menulusuri sejarah keluarga saya. Bagaimana posisi kami dalam masyarakat dari masa ke masa. Mungkin hari Lebaran esok bisa saya jadikan momen untuk mengulik-ulik ingatan sesepuh keluarga. Sebelum mereka mengulik-ulik kabar saya, "calonnya mana?".
Buku esai & reportase yang sangat mencerahkan. Kaya referensi, data, analisis & pengalaman penulisnya. Topik beraneka. Ya, iyalah, namanya juga buku kumpulan esai & reportase. Penulis buku ini mengupas mitos kekuasaan di jawa, bahasa, masa revolusi kemerdekaan, kisah-kisah keluarga yang luar biasa, situasi politik dunia, dll. Beberapa esai sempat bikin kaget, karena isinya lain dengan apa yang saya baca & tahu. Tapi rasa kaget itu saya sadari mungkin sebuah dampak dari banyaknya info & pengetahuan yang tidak lengkap, setengah setengah atau bisa jadi keliru yang saya dapat sbelumnya, yang dikritik penulis lalu membuat dia menulis buku ini. Dari buku ini saya tahu sulitnya perjuangan kemerdekaan dulu. Penjajah mengerahkan bermacam cara, pasukan & bhkan merekrut kaki tangan dari bangsa yang dijajahnya. Tapi paling saya sukai itu esai "Dewi Ibu dan Orang Kasim". Di esai ini ada ungkapan Linda Christanty yang menginspirasi mengenai nasib perempuan dalam kecamuk sejarah Indonesia, di hlm. 151: Pernyaian di masa penjajahan Belanda & Iugun Ianfu di masa pendudukan jepang membuktikan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia tidak hanya serangan fisik, melainkan serangan politik.
Aktivis maupun pembela kaum perempuan harus baca esai ini yang tajam analisis & detail banget datanya.
Dari buku ini saya baru mengetahui dulu negara Cina di masa Ching hancur akibat narkotika & harus berperang melawan negara kerajaan Inggris yang memasok narkotika/candu. Pejabat & rakyat Cina kecanduan semuanya. Ching melawan tapi malah diserang oleh Inggris yang ingin memaksa orang-orang di negara itu terus memakai candu. Berkebalikan dengan keadaan sekarang. Sekarang ini negara Cina menjadi salah satu pemasok narkotika terbesar di dunia, yang bukan rahasia lagi. Negara Filipina yang diperintah Duterte harus melawan keras sampai memburu & membunuh pedagang-pedagang narkotika. Kata teman saya di Kalimantan, narkotika dari Cina mengalir deras masuk ke Kalimantan. Melemahkan suatu bangsa bisa dengan senjata dan penguasaan ekonomi, tapi bisa juga dengan zat adiktif yang merusak sel-sel otak!
Esai "Membunuh Atas Nama Tuhan" membuat hati miris. Dari buku ini saya belajar mengenai penyebab perang, kekerasan, teror. Semua diawali oleh ketidakadilan penerapan hukum & kelambanan pemerintah bertindak atau malah membiarkan katanya. Linda melancarkan kritik terhadap cara penanganan aparat terhadap pelaku teror. Di hlm. 191 ada kutipan tentang penembakan Santoso di Poso, yang menurutnya harus ditangkap hidup hidup untuk diinterogasi demi kepentingan & keselamatan nasional bukan dibunuh: Tindakan AD (Angkatan Darat) terhadap Santoso mengulangi kesalahan yang telah mereka lakukan di masa lalu & sangat merugikan negara Indonesia, yaitu ketika mereka berhasil menangkap Dipa Nusantara Aidit &membunuhnya sebelum informasi penting berhasil digali tuntas dari ketua PKI itu. Akibat peristiwa tersebut masalah seputar 1965 tidak akan tuntas hingga ke masa depan.
Penulis buku ini pun sangat sangatlah dekat dengan tiap topik yang dibahas. Kalau bukan pengalaman pribadinya dan orang-orang terdekat, Linda menulis berdasarkan wawancara-wawancara dengan saksi-saksi peristiwa. Esai "Charlie Hebdo dan Monumen Kegilaan" dibuka dengan penuturan temannya sendiri yang bernama Gilles, seorang keturunan Aljazair-Perancis, mengenai rasialisme di Perancis. Dalam esai "Membunuh Atas Nama Tuhan", Linda mengetahui eksekusi wartawan Amerika yang dilakukan ISIS dari Twitter rekannya sendiri yang bekerja menjadi editor media di Boston, Amerika Serikat dan rekan si wartawan yang dieksekusi itu. Di esai terakhir di buku ini walau Linda tidak menyebut nama yang berkomunikasi dengannya mungkin untuk melindungi orang itu, jelas temannya berada di daerah berbahaya di kancah konflik dunia lalu... bom bunuh diri meledak sehingga seluruh manusia dalam satu gedung harus dievakuasi!
Paling sedih baca esai terakhir di buku ini. Esai paling indah, namun paling menggugah. Bikin tercenung juga. Baca saja buku ini agar mengetahui isinya dengan lengkap.
Membaca Para Raja dan Revolusi di beberapa bagian membuat saya terhentak-hentak. Berusaha memahami makna dari tulisan Linda Christanty, tentang pertentangan/friksi/kekerasan yang terjadi di negara tercinta ini. Bahkan ketika membaca kata pengantar Linda Christanty yang secara terang-terangan mengedepankan isu Jawanisasi - yang bagi saya sudah lama tidak terdengar. Atau tentang Ahok dengan reklamasinya - yang bagi saya berat sebelah, tanpa melihat sejarah tentang teluk Jakarta itu sendiri.
Atau di beberapa bagian tulisannya mengenai tragedi kekerasan di POSO, yang mengesampingkan hasil penelitan bertahun-tahun, bahwa kekerasan agama terpanjang di Indonesia terjadi karena agama dijadikan kuda tunggangan dalam perebutan kekuasaan.
Linda berusaha mengambil benang merah antara masa lampau dan masa kini, bahwa selama perimbangan kekuatan masih timpang, maka tindakan ekstrim atas nama agama atau ideologi apapun pasti terus terjadi.
Tapi sayangnya Linda lupa memotret bahwa alasan utama kita memerangi terorisme di Indonesia adalah untuk menjaga Kebhinekaan Indonesia, Linda lupa melihat kenyataan bagaimana kaum Khilafah berusaha mengganti Negara Indonesia menjadi negara syariah, bagaimana anak-anak dicuci otaknya untuk berjihad memerangi Kafir.
Linda dengan begitu gamblangnya memotret pemilihan Panglima TNI Indonesia karena unsur diskriminasi Sunda, tanpa mungkin mencari sebab alasan penggantian tersebut.
Saya membayangkan, jika buku ini dibaca oleh mereka yang 'sempit' pemikirannya, atau oleh mereka yang tidak berusaha mencari-tahu atau membaca penelitian lainnya, bisa dibayangkan apa yang terjadi. Buku ini, jika dibaca dengan 'telanjang', seperti khotbah yang dilakukan saat Pilkada kemarin, mengusik sentimen perbedaan agama, ras dan suku.
Mereka yang membaca buku ini harus memberikan ruang untuk menerima dan mencermatinya dari sudut pandang yang berbeda, karena bagi saya buku ini memberikan gambaran betapa sebenarnya peristiwa-peristiwa yang digambarkan Linda di masa kini, bukanlah peristiwa yang baru. Peristiwa-peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini di dunia, sudah terjadi bahkan sebelum kita lahir.
Saya jatuh cinta dengan tulisan Linda Christanty yang dibukukan dalam "Burung Kecil Biru di Naha". Yang satu ini sama-sama kumpulan esai yang sama-sama kritis, menarik, dan membuka wawasan, tapi terasa tidak lebih apa adanya.
Buku kumpulan tulisan ini adalah sebuah otobiografi politik. Belum pernah membaca buku semacam ini sebelum ini. Penulis mengerti sejarah, politik, dan konflik yang ditulisnya. Dia mengalami dan berhubungan dengan orang-orang yang mengalami di berbagai-bagai tempat.
Dulu Linda menetap di Aceh cukup lama untuk menuliskan mengenai Acheh. Sempat sekali mendengar dia menuangkan pemikiran-pemikirannya dalam sebuah acara diskusi di Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe. Dia pernah mengajar anak-anak Aceh mengenai ilmu menulis dan jurnalistik supaya dapat mengungkapkan kebenaran dari masa lalu kami. Ada beberapa tulisan dia menyinggung Aceh dalam buku ini. Karena sejarah sering kait mengait, terselip pemaparannya mengenai perlawanan orang Aceh menghadapi kelicikan dan kekejaman penjajah Belanda dalam tulisannya mengenai peran dan pengorbanan orang-orang Sunda demi kemerdekaan Indonesia. Kebenaran menyakitkan didengar. Menolak kebenaran = memihak kesewenang-wenangan!
Saya mengagumi tulisan-tulisan, ketajaman analisis dan kemampuan Linda menuturkan persoalan yang terjadi di dunia dan sekitar kita dengan cerdas. Tak terkecuali dalam buku ini, Linda mengajak kita untuk melihat pelbagai persoalan yang terjadi di konteks nasional dan global dengan lebih kritis dan bijak. Buku ini berisikan informasi dan pengetahuan penting yang sering luput dari narasi sejarah kebangsaan serta dari berita-berita yang disuguhkan oleh media. Buku ini membuka mata saya untuk lebih dapat memahami dan bersikap tentang kejadian dan fenomena yang terjadi di masa lalu dan keterkaitannya dengan konteks kekinian. Buku yang lebih dari layak untuk direkomendasikan kepada yang ingin adil dalam menilai dan bersikap sejak dalam fikirannya!