Buku ini memberi pemahaman segar ke arah manusia dan budaya Jawa masa depan. Buku yang secara provokatif memaparkan kemungkinan bunuh diri massal kejawaan di tengah keindonesiaan dan keglobalan yang kian menekan.
Pikiran-pikiran Triyanto Triwikromo dalam buku ini menyesatkan. Akan tetapi, perlu dibaca dan dicari pikiran tentang kejawaan yang lebih sesat lagi agar kita lebih paham pada manusia dan budaya Jawa yang kini kian asal crut saja. (Sutanto Mendut, pemikir dan komposer)
Tak ada cara lain, kita harus menyelamatkan Jawa dengan mengaktualisasikan nilai-nilai Jawa itu dalam kehidupan masa kini. Dengan buku ini, Triyanto menggiring kita ke arah yang tak terhindarkan itu. (Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah)
Hanya kesetiaan kepada kejawaan yang membuat Jawa hidup sepanjang masa. Buku Triyanto mengajak kita untuk mengungkapkan kesetiaan itu. (Ahmad Tohari, sastrawan)
Triyanto Triwikromo (lahir di Salatiga, Jawa Tengah, 15 September 1964; umur 50 tahun) adalah sastrawan Indonesia. Redaktur sastra Harian Umum Suara Merdeka dan dosen Penulisan Kreatif Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang, ini kerap mengikuti pertemuan teater dan sastra, antara lain menjadi pembicara dalam Pertemuan Teater-teater Indonesia di Yogyakarta (1988) dan Kongres Cerpen Indonesia di Lampung (2003). Ia juga mengikuti Pertemuan Sastrawan Indonesia di Padang (1997), Festival Sastra Internasional di Solo, Pesta Prosa Mutakhir di Jakarta (2003), dan Wordstorm 2005: Nothern Territory Festival di Darwin, Australia.
Cerpennya Anak-anak Mengasah Pisau direspon pelukis Yuswantoro Adi menjadi lukisan, AS Kurnia menjadi karya trimatra, pemusik Seno menjadi lagu, Sosiawan Leak menjadi pertujukan teater, dan sutradara Dedi Setiadi menjadi sinetron (skenario ditulis Triyanto sendiri). Penyair terbaik Indonesia versi Majalah Gadis (1989) ini juga menerbitkan puisi dan cerpennya di beberapa buku antologi bersama.
Jungkir Balik Jagat Jawa merupakan buku kumpulan esai karya wartawan yang juga cerpenis, Triyanto Triwikromo. Bagi penggemar sastra, nama Triyanto Triwikromo tentu sudah tidak asing lagi. Karya cerpen dan esainya sudah besliweran di media massa. Dengan segala kualifikasi yang dimilikinya, tidak mengherankan kalau tulisan-tulisannya selalu bernas dan berkualitas. Sejumlah cerpennya turut menginspirasi seniman dan penulis lain untuk mengubahnya dalam media yang berbeda, karena memang saking bermutunya. Namanya semakin melejit ketika kumpulan cerpennya, Surga Sungsang: Buku Cerita masuk dalam 5 besar nomine Kusala Sastra Khatulistiwa 2014. Tahun ini, nama Triyanto Triwikomo kembali menjadi sorotan setelah bukunya lagi-lagi masuk dalam 10 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2016. Dengan sederet prestasi tersebut, kita tidak perlu lagi meragukan kehebatan beliau dalam menulis, termasuk di buku ini. Jadi, apa yang ditulis beliau lewat buku ini?
Apakah kita masih menjadi manusia Jawa, Veva? Atau kita hanya tinggal di sebuah dunia yang seakan-akan Jawa? (hlm. 5)
Dalam buku terbarunya ini, penulis menulis banyak tentang Jawa. Diubek-ubeknya Jawa hingga mendetail. Apakah sastra Jawa harus ditulis oleh orang Jawa dengan bahasa Jawa dan berisi Kejawaan? Itu adalah salah satu dari sekian banyak pertanyaan tentang Jawa yang tengah dipertanyakan dan dicoba cari jawabnya di buku ini. Jawa seperti apa yang "diubek-ubek" penulis lewat buku ini? Jawa dengan beragam kejawaannya, mulai dari Serat Gatholoco hingga Jawa Gaul. Bagi penulis, sungsang dan jungkir balik bukanlah sesuatu yang aib. Dalam situasi darurat, boleh saja kaki jadi kepala dan sebaliknya. Bagi orang Jawa, ada kalanya pranata atau aturan kaku itu tidak selalu bisa digunakan untuk merespons dengan baik situasi yang tengah terjadi. Lewat buku ini, penulis sepertinya hendak menunjukkan orang Jawa yang luwes, yang dengan keluwesannya telah mampu membuat bangsa ini lestari. Lewat buku ini, penulis mengajak pembaca untuk mempertanyakan ulang Jawa dengan segala identitas kejawaannya, mulai dari sastra hingga budaya.
Lewat esai-esai bernasnya di buku ini, penulis menyemangati Jawa untuk terus berkembang dengan tetap luwes terhadap perkembangan zaman. Alangkah kerennya jika kelak akan muncul teenlit atau chicklit berbahasa Jawa atau yang bermuatan Jawa yang kental, sehingga Jawa pun menglobal. Keterpurukan karya sastra Jawa saat ini, menurut penulis, hanya bisa diselamatkan dengan melakukan dosa-dosa kultural. Apa itu dosa kultural? Silakan disimak sendiri di buku unik ini. Beberapa esai di buku ini memang terasa berat, tapi berat yang menyenangkan. Kita dipaksa tanpa terasa terpaksa untuk membaca lagi dan lagi. Bagi Anda yang Jawa atau mungkin meminati beragam hal tentang Jawa, buku ini akan menjadi koleksi pustaka yang sangat berharga.
Pikiran-pikiran Triyanto Triwikromo dalam buku ini bisa dibilang "menyesatkan," tetapi menyesatkan yg mengundang pencarian akan pengetahuan. Buku ini memberi pemahaman segar ke arah manusia dan budaya Jawa masa depan. ecara provokatif, buku ini mendorong Jawa menemukan Jawanya lagi. Kita harus menyelamatkan Jawa dengan mengaktualisasikan nilai-nilai Jawa itu dalam kehidupan masa kini. Dan, Triyanto sudah memulainya lewat buku ini.
"Hanya kesetiaan kpd kejawaan yg membuat Jawa hidup sepanjang masa. Buku Triyanto mengajak kita untuk mengungkapkan kesetiaan itu." (Ahmad Tohari)
Ini buku kumpulan esai yang ditulis oleh penulis yang berasal dari Salatiga; Triyanto Triwikromo---juga buku ketiga yang saya baca setelah "Bersepeda ke Neraka" (kumpulan fiksi mikro), dan "Selir Musim Panas" (sehimpun puisi).
Kalau ada satu hal yang mengganggu mata saya selama membaca buku ini, itu karena saya menemukan beberapa kata yang typo seperti petimggi, elamat, jjika, kemudia, dkk. Sungguh, kata tersebut sangat mengganggu mata saya. Ini editor nya gimana sih? Kok ya tidak becus begitu meng-edit naskah sebagus ini.