Jangan memasuki suatu sistem yang membuat Anda melampiaskan diri. Tapi, dekat-dekatlah dengan sahabat yang membuat Anda mengendalikan diri. Karena Islam itu mengendalikan, bukan melampiaskan. Hidup itu harus bisa ngegas dan ngerem.
***
Cak Nun adalah penjaga Telaga Al Kautsar. Dia mempersilakan siapa pun yang berjumpa dengannya untuk membasuh badan ruhani dan melepas dahaga batin. Dia menemani kita untuk istirahat sejenak dari kerumitan dan menyuguhkan kesederhanaan. Dalam buku ini, sebagaimana dalam kesehariannya, Cak Nun menyampaikan kabar langit dengan bahasa yang membumi. --Candra Malik, Budayawan Sufi
Budayawan Emha Ainun Nadjib, kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953, ini seorang pelayan. Suami Novia Kolopaking dan pimpinan Grup Musik KiaiKanjeng, yang dipanggil akrab Cak Nun, itu memang dalam berbagai kegiatannya, lebih bersifat melayani yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Semua kegiatan pelayannya ingin menumbuhkan potensialitas rakyat.
Bersama Grup Musik KiaiKanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Di samping itu, secara rutin (bulanan) bersama komunitas Masyarakat Padang Bulan, aktif mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.
Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah. “Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuat baik sudah berdakwah,” katanya.
Karena itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama istri dan kelompok musik KiaiKanjeng di taman budaya, masjid, dan berbagai komunitas warga tak disebut sebagai kegiatan dakwah. “Itu hanya bentuk pelayanan. Pelayanan adalah ibadah dan harus dilakukan bukan hanya secara vertikal, tapi horizontal,” ujarnya.
Perihal pluralisme, sering muncul dalam diskusi Cak Nun bersama komunitasnya. “Ada apa dengan pluralisme?” katanya. Menurut dia, sejak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme. “Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar,” ujar Emha. Dia dengan tegas menyatakan mendukung pluralisme. Menurutnya, pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam beda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, dengan Hindu. “Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua,” tutur budayawan intelektual itu.
Ini buku tentang apa? Agama? Sosial? Budaya? Atau apa? Bagi pembaca yang sudah tidak asing lagi dengan tulisan-tulisan oleh Emha Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun sudah tidak aneh dengan sudut pandang beliau yang cukup nyeleneh dalam membicarakan agama. Maka dari itu, buku yang terbit pada tahun 2016 ini berisikan nasihat-nasihat kearifan Cak Nun terhadap kondisi agama, sosial, dan budaya yang masih sangat hangat.
Hidup itu harus pintar ngegas dan ngerem adalah adalah satu bab dari 11 bab yang ada di buku ini. Di dalam buku ini Cak Nun mengajak pembaca untuk beragama tidak sekedar beragama, bukan sekedar menjadi islam tho, tapi menjadi umat Islam yang rahmatan lil alamiin. Melalui bahasa membumi yang beliau gunakan, membahas kabar langit menjadi lebih mudah untuk dicerna. Salah satu anologi yang beliau gunakan adalah ketika membahas masalah tasawuf yang berkaitan dengan syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Bagi pembaca awam seperti saya, bukan hal mudah untuk dapat membedakan hal-hal tersebut dan aplikasinya dalam kehidupan. Namun beliau menganalogikan lewat penjelasan sederhana. "Ketika kamu makan, syariatnya adalah menu, tarekatnya mencari sehat, hakikatnya menjadi sehat, dan makrifatnya sehat."
Terkait masalah bid'ah pun tidak luput dari perhatian beliau. Beliau juga menuliskan berbagai hal mengenai isu yang sangat hangat seperti golongan yang mengkafirkan golongan lain, memanfaatkan setan/iblis untuk mempertahankan iman, mencari lingkungan yang baik, dan tak ketinggalan pula entang kondisi politik dan sosial republik ini.
Buku ini layak dibaca bagi siapapun yang berpikiran terbuka. Jangan bawa prasangka apapun, nikmatilah, pelajarilah, saringlah. Ambil nasihat-nasihat yang baik, jangan masukkan ke hati apabila kamu menemukan pula pandangan yang tidak sesuai denganmu.
Walaupun ada beberapa hal yang kurang sejalan dengan apa yang saya yakini. Tapi, secara menyeluruh, saya pun diajak berbincang dan diskusi serta merenungi. Seperti apa dunia yang tengah saya huni saat ini, kondisinya, konflik-konfliknya. Sejauh ini, Cak Nun memang mengajak kita untuk berpikir secara logis disertai dengan sikap yang semestinya menurut Qur'an dan Sunnah.
Perumpamaannya aneh2, namanya juga caknun 😂 buat yang bawa pertanyaan, nggak dijamin jadi nemu jawabannya, tapi justru malah dibuka lagi opsinya jadi lebih luas. Dijabarkan bahwa hidup ga se-mengerucut itu, dan kalo kita punya sikap dan prioritas, dan paham hak dan kewajiban kita masing2, ga perlu takut sama majemuknya perbedaan pendapat.
Saya pribadi tidak asing mendengar nama Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, namun belum pernah mendengar satupun ceramah yang disampaikan beliau, ataupun membaca buku yang beliau tulis. Buku ini saya beli ketika main-main ke toko buku di Yogyakarta. Iseng mengintip dalamnya "wah lumayan nih buat ngisi waktu bengong" celetuk dalam hati.
Setelah sampai di kamar kumulai menjajal halaman perhalaman buku. Ternyata tidak keliru, buku ini cocok untuk menemani kita dalam istirahat sejenak dari kerumitan hidup dan keramaian hiruk pikuk dunia karena berhasil menyuguhkan angin kesederhanaan dan air ketenangan untuk melepas dahaga batin.
Buku ini berisikan nasihat-nasihat kearifan kehidupan sehari-hari seperti hubungan kita dengan Allah SWT dan perilaku kita kepada sesama makhluk.
Seperti yang dikatakan oleh budayawan sufi, Gus Candra Malik, Cak Nun adalah penjaga telaga Al-Kautsar, yang mampu menyampaikan kabar langit dengan bahasa yang membumi.
Contohnya ketika menjelaskan tentang tasawuf yang berkaitan dengan syariat, tarekat, hakikat dan makrifat, Cak Nun menyampaikan dengan bahasa sederhana "Ketika kita makan, syariatnya adalah menu, tarekatnya mencari sehat, hakikatnya adalah menjadi sehat dan makrifatnya adalah sehat. Makrifat itu tercapainya sesuatu."
Banyak sekali poin yang dibahas terkait Islam, seperti islam adalah agama penuh dengan kelembutan. Juga, bagaimana kita sesama muslim merasa paling shaleh dengan meyakini simbol bahwa kita banyak melakukan peribadahan, padahal kita tidak pernah tahu apakah Allah SWT benar-benar menerima amalan kita.
Tak ketinggalan, di sini dibahas tentang kita dengan mudahnya mengkafirkan saudara sesama muslim, membidah-bidahkan perilaku orang lain, padahal jalan menuju surga-Nya itu tidak harus terlihat tinggi dan paling benar di mata manusia. Yang paling penting bersungguh-sungguh, jujur, tidak pernah berbohong pada siapa pun, beres, pasti mendapatkan surga
Teruslah belajar. Mari dapatkan surga-Nya bareng bareng. Ajak-ajak lah, tidak akan merepotkanmu kok. HeHe
Karena Islam itu mengendalikan, bukan melampiaskan. Hidup itu harus bisa ngegas dan ngerem.
Saya sangat bersyukur kepada Allah SWT karena memberikan rezeki dan kesehatan kepada Emha Ainun Nadjib, sehingga dengan ridho-Nya pula Mbah Nun dapat menuliskan buku terbarunya ini. Teruntuk penerbit Noura Books saya juga menyampaikan rasa hormat dan terima kasih sedalam-dalamnya karena mau untuk menerbitkan segala pemikiran Emha Ainun Nadjib sehingga pembaca dapat membacanya berulang-ulang agar semakin paham.
Sebagaimana dikabarkan dalam catatan pembuka, buku Mbah Nun ini menyampaikan kabar langit dengan bahasa yang membumi. Memang benar begitu adanya. Mbah Nun membuka intisari yang lengkap tentang bagaimana kita harus menyikapi apa-apa yang terjadi belakangan ini dengan cara pikir yang berbeda. Mbah Nun mengantarkan sebuah dialektika berpikir yang sederhana namun tetap tidak terlepas dari pangkuan Ibu Al-Quran.
Terlalu banyak quotes yang bisa diambil dari buku ini. Kalaupun sempat, akan saya rangkumkan quotes versi saya dalam tulisan lain. Yang terpenting, saya menemukan kembali sebuah konsistensi. Saya tidak perlu menemukan kembali relasi antara konteks kekinian dengan relevansi materi buku ini. Saya perlu sebuah sikap dan pernyataan tegas bahwa apa yang disampaikan oleh Mbah Nun lewat forum lingkar Maiyah dapat ditemukan dan ditelusuri kembali dalam buku ini.
Bagi pembaca yang sudah akrab dengan ceramah dan tulisan-tulisan Mbah Nun, tentu proses identifikasi keselarasan sikap dan ucapan itu akan menjadi sangat mudah. Lain halnya bagi pembaca yang baru berusaha memahami Emha. Akan berlangsung segenap pengalaman jiwa dan raga untuk melepaskan diri dari ikatan mainstream untuk kemudian menjernihkan hati dan pikiran untuk menerima rentetan pesan Mbah Nun.
InsyaAllah, buku ini akan menjadi media belajar bagi siapapun. Media pembelajaran bagi kita semua untuk selalu mawas diri, untuk selalu sadar bahwa ada kalanya hidup itu tidak selalu harus ngegas. Ada waktunya hidup mempersilakan kita untuk ngerem, untuk menahan. Supaya kita sampai tujuan dengan selamat. Selamat di dunia dan selamat di akhirat. InsyaAllah.
"Ibadah bukan hanya kepada allah,tapi juga untuk selalu bikin orang lain aman dan percaya sama kamu"
"Bukan soal umur atau kesehatan, kita semua bisa mati kapan saja"
"Hidup jangan dibikin susah. Semua itu nikmat, Semua itu rahmat "
dan masih banyak lagi sepenggalan kata-kata bijak yg nyeleneh dari Caknun dibuku ini. Sangat inpiratif dan ringan untuk dihayati dan berat untuk dijalani,bagi orang-orang yang masih baper. Klo saya sih baru belajar untuk menjadi lebih ikhlas dari setiap apa yang saya lakuin dikehidupan ini. Buku ini bisa jadi salah satu favorit di tahun 2018 ini yang dimana saya baru mengenal sosok beliau yang sering disapa Caknun,dan diakhir tahun ini berkesempatan ketemu beliau setalah membaca beberapa buku beliau yang mengenalkan kita agama,sosial dan budaya. Beliau sosok yang selalu memberikan sharing atas ilmu yang salama ini beliau pelajari,nikmatin dan disampaikan kembali ke generasi selanjutnya dengan bahasa dan penyampaian yang selalu buat pendengarnya "bikin mikir".
Dan dikembalikan kembali bagi kita para pembaca, pro/kontra dari setiap apa yg beliau sampaikan ya kita selalu ambil baiknya saja. Dan jika memang masih banyak kontra,coba boleh dikoreksi kembali yang salah pribadi kamu atau orang lain yg buat kamu jadi korektor yang bner.
Cak Nun dengan segala kontroversi dan beberapa pernyataan yang kerap dianggap nyeleneh oleh masyarakat awam, justru menjadikan saya tertarik untuk melihat lebih dalam samudera pemikiran Cak Nun melalui berbagai full video ceramah beliau yang beredar di jagat dunia maya dan alhamdulillah berkesempatan sekali untuk hadir secara langsung pada acara pengajian yang dihadiri beliau.
Buku ini merupakan nasihat-nasihat cak nun yang dihimpun dalam ceramah-ceramahnya. maka tidak heran ketika membaca buku ini seperti diberi guyuran siraman nasihat kebajikan secara langsung oleh beliau. karena gaya bahasanya pun sudah disesuaikan persis khas gaya bertutur cak nun.
Secara garis besar dalam buku ini Cak Nun mengulas dan memberikan tanggapannya atas persoalan yang terjadi di masyarakat khususnya soal pola toleransi dalam kemajemukan dalam masyarakat dan khususnya keragaman dalam internal tubuh Islam itu sendiri serta pandangan hidup kita sebagai warga negara dan hamba Allah.
bagian yang menarik dalam buku ini Cak Nun kerap memberikan analogi menarik contohnya ; Islam itu diibatkan sebagai singkong yang dapat diolah menjadi getuk, keripik, dan lain sebagainya. Maka tak perlu pusing untuk meributkan mana yang paling singkong (Islam) intinya sama-sama mencari atau berupaya mendekati Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad.
Bahasa yang digunakan ringan banget. Kalau yang suka nonton ceramah-ceramah Cak Nun pasti hafal deh gayanya. Nah demikian pula di buku ini tidak jauh berbeda bahasanya.
Meskipun begitu, kalau saya bilang baca buku Cak Nun apalagi tentang Islam gini kudu terbuka banget pikirannya. Dan mungkin butuh bimbingan. Saya sendiri beberapa kali harus nanya ke suami, “Ini maksudnya apa? Kok gini ya, Sayang?” Biar saya nggak salah paham.
Cak Nun itu nyeleneh. Jadi jangan diikutin mentah-mentah. Tapi kita harus paham hakikat tulisanny. Misalnya dalam tulisan ini,
Entah itu mazhab empat, entah ditambah wahabi, itu semua tafsir. Tidak sama dengan Al-Qur’an. Tidak sama dengan Allah dan Kanjeng Nabi Saw.
Sebaiknya, jangan terlalu fanatik dengan siapa pun, kecuali Allah dan Kanjeng Nabi Saw. Jangan sampai tertipu dengan sesuatu yang bisa menyebabkan hubungan kamu dengan Allah terganggu. (hlm. 60)
Menurut saya, ini adalah salah satu buku Cak Nun yang paling 'enteng' dibaca, tapi tetap tidak kehilangan kedalamannya. Ada beberapa bagian yang perlu dibaca berulang-ulang dan perlahan-lahan supaya bisa menangkap apa pesan yang dimaksud oleh Cak Nun. Meski ada beberapa hal yang tidak sejalan dengan apa yang saya pahami dan yakini, tapi sebagai teman diskusi dan membuka ruang dialog, buku ini perlu dibaca dan direfleksikan dengan suasana kekinian supaya pesannya menjadi hidup dan relevan. Ini adalah buku yang cocok dibaca sore-sore, ketika waktu sedang senggang dan urusan sedang tidak terlalu padat. Juga enak dibaca ketika jiwa dan raga sedang lelah karena banyaknya aktivitas dan menuntut disegerakannya tetirah. Terima kasih Cak Nun, terima kasih penerbit Noura.
Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, nama yang tidak asing bagi saya, namun saya belum pernah sekalipun mendengarkan beliau bertutur secara langsung, hanya melalui video-video dan tulisan-tulisan beliau. Beberapa lalu dapat buku ini gratis dari salah seorang teman, sebagai bonus karena saya telah membeli beberapa bukunya. Alhamdulillah. Buku ini sempat tergeletak lama karena otak saya belum mau berfikir terlalu berat, karena awalnya saya berfikir ini buku yang berat. Buku ini berisi nasihat-nasihat kehidupan sehari-hari yang menjelaskan tentang hubungan manusia dengan pencipta dan hubungan antar sesama makhluk. Penyampaian yang jelas dan contoh sederhana yang mudah kita temui dikehidupan sehari-hari, membuat buku ini terasa dekat dan sangat mudah diterima. Bahasan dalam buku ini tak jauh dari kehidupan beragama, ada sekelompok yang merasa paling shaleh karena yakin telah melakukan banyak peribadatan, padahal kita tidak pernah bisa memastikan apakah Allah benar-benar menerima ibadah kita. Ada pula sekelompok yang mudah mengkafirkan kelompok lain, membidah-bidahkan perilaku kelompok lain, padahal menjadi paling benar dimata manusia belum tentu benar dihadapan Allah dan belum tentu juga menjadi jalan untuk mendapatkan surga. Yang penting menjadi manusia yang jujur. Perihal berbuat baik, Cak Nun menuturkan sebuah nasihat, “jangan berbuat baik ketika kamu tidak menikmatinya”, jika perbuatan baik yang kita lakukan tidak bisa kita nikmati, artinya kita melakukannya karena terpaksa, kita tidak ikhlas dan tidak tulus. Cak Nun melalui buku ini memberikan nasihat kepada kita bahwa hidup harus pintar ngegas dan ngerem dalam perbuatan maupun ucapan. Hidup itu simple dan nggak ribet!
Satu hal yang paling diinget dari buku ini adalah pemahaman tentang terjemahan al-qur'an yang ternyata berdampak sangat besar pada mindset. Terjemahan "sesudah kesulitan ada kemudahan" sesungguhnya kurang tepat, jika demikian seharusnya sebuah ayat berbunyi Fa inna "badal" usri yusra, kenyataannya ayat tersebut berbunyi Fa inna "ma'al" usri yusra yang berarti "Bersama kesulitan ada kemudahan". Jadi jika mengalami kesulitan kita diwajibkan untuk mencari apa yang menjadi kemudahan bersama dengan kesulitan itu. Sehingga kita tidak terlalu larut dan fokus pada kesulitan saja.
Nasihat-nasihat kearifan tentang kehidupan, bahwa kita hidup sebagai manusia harus pintar ngegas & ngerem atas segala tindakan, perbuatan, dan lainnya. Saat membaca buku ini, bahasannya ringan sekali. Rasanya seperti didongengi langsung oleh Mbah Nun.. Hidup itu simpel nggak ribet, hidup yang sesuai syariat Islam pun nggak seserius itu, dari buku ini aku jadi tahu banyak hal baru dan banyak quotes-quotes yang maknanya sangat bagus.
Banyak ekspresi dan kalimat yang sifatnya aurat. Artinya, jangan lantas semuanya diomongkan.
Berisi sebelas esai yang ditulis oleh Caknun. Isi dari setiap esai bertema ketuhanan, sosial, politik, dan budaya. Dari tulisannya ini, saya jadi banyak mendapatkan pemahaman baru tentang hubungan manusia kepada Tuhan dan bagaimana manusia menyikapi kehidupannya dengan baik. Untuk bagian politik, pembahasannya pun sangat relevan dengan kondisi yang dirasakan sekarang.
Salah satu buku Cak Nun kesukaan saya. Memang beliau ini termasuk mutiaranya Indonesia: berani banget. Kalau senang dg perspektif baru dan mampu berpikir terbuka, buku ini bisa memberi banyak wawasan dan momen “Oh, iya ya.”
Di dalam buku ini sangat banyak mengajarkan tentang kehidupan kita bermasyarakat. Bagaimana dan apa yang harus kita lakukan ketika bersosialisasi kapan harus ngegas atau ngerem. Sangat bermanfaat sekali
buku ini layak dibaca bagi berpikir terbuka. Nikmatilah, pelajarilah dan saringlah. Disini cak nun menuliskan pandangannya tentang islam yang hanya bukan islam tok tapi islam yang rahmatan lil alamiin.
satu yang paling membekas setelah membaca buku ini adalah “4 matriks” memandang posisi kita dalam hidup. (1) tahu banyak tentang banyak hal, (2) tahu banyak tentang sedikit hal, (3) tahu sedikit tentang banyak hal, dan (4) tahu sedikit tentang sedikit hal.
Menurutku buku yang mindblowing.. kita diajak ke kanan ke kiri ke depan ke belakang dengan das des.. jadi pastikan kamu tidak menelan mentah2.. apa ini yang dimaksud ngegas & ngerem.. entahlah.. bisa jadi begitu..
Bahasanya ringan..Mudah dicerna tapi tetap harus mikir sih hihihi. Khas pengajian maiyah cak Nun. Menyederhanakan pemahaman yg sulit dipahami. Menyenangkan untuk dibaca.
Bacaan bagus.. Salah satunya menumbuhkan kesadaran agar hidup tak bablas, harus mengerti kapan harus ngegas atau ngerem supaya "baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur".