Jump to ratings and reviews
Rate this book
Rate this book
As the world moves into the twentieth century, Minke, one of the few European-educated Javanese, optimistically starts a new life in a new Betawi. With his enrollment in medical school and the opportunity to meet new people, there is every reason to believe that he can leave behind the tragedies of the past. But Minke can no more escape his past than he can escape his situation as part of an oppressed people under a foreign power. As his world begins to fall apart, Minke draws a small but fervent group around him to fight back against colonial exploitation. During the struggle, Minke finds love, friendship, and betrayal—with tragic consequences. And he goes from wanting to understand his world to wanting to change it. Pramoedya's full literary genius is again evident in the remarkable characters that populate the novel—and in his depiction of a people's painful emergence from colonial domination and the shackles of tradition.

477 pages, Kindle Edition

First published January 1, 1985

626 people are currently reading
7596 people want to read

About the author

Pramoedya Ananta Toer

62 books3,102 followers
Pramoedya Ananta Toer was an Indonesian author of novels, short stories, essays, polemics, and histories of his homeland and its people. A well-regarded writer in the West, Pramoedya's outspoken and often politically charged writings faced censorship in his native land during the pre-reformation era. For opposing the policies of both founding president Sukarno, as well as those of its successor, the New Order regime of Suharto, he faced extrajudicial punishment. During the many years in which he suffered imprisonment and house arrest, he became a cause célèbre for advocates of freedom of expression and human rights.

Bibliography:
* Kranji-Bekasi Jatuh (1947)
* Perburuan (The Fugitive) (1950)
* Keluarga Gerilya (1950)
* Bukan Pasarmalam (1951)
* Cerita dari Blora (1952)
* Gulat di Jakarta (1953)
* Korupsi (Corruption) (1954)
* Midah - Si Manis Bergigi Emas (1954)
* Cerita Calon Arang (The King, the Witch, and the Priest) (1957)
* Hoakiau di Indonesia (1960)
* Panggil Aku Kartini Saja I & II (1962)
* The Buru Quartet
o Bumi Manusia (This Earth of Mankind) (1980)
o Anak Semua Bangsa (Child of All Nations) (1980)
o Jejak Langkah (Footsteps) (1985)
o Rumah Kaca (House of Glass) (1988)
* Gadis Pantai (The Girl from the Coast) (1982)
* Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (A Mute's Soliloquy) (1995)
* Arus Balik (1995)
* Arok Dedes (1999)
* Mangir (1999)
* Larasati (2000)

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
3,552 (55%)
4 stars
2,113 (33%)
3 stars
577 (9%)
2 stars
90 (1%)
1 star
71 (1%)
Displaying 1 - 30 of 490 reviews
Profile Image for Weni.
113 reviews40 followers
December 18, 2008
Jika pada buku sebelumnya, Anak Semua Bangsa, Minke mulai mengenal kehidupan rakyat Hindia yang tertindas oleh kekuasaan kolonial, maka buku Jejak Langkah menceritakan perjuangan Minke mempelopori gerakan nasional melalui organisasi modern dan surat kabar.

Pada tahun 1906, Minke mendirikan Syarikat Prijaji bersama Thamrin Mohammad Thabrie, dua tahun sebelum berdirinya Boedi Oetomo (BO). Tahun 1909 Minke menggagas berdirinya Syarikat Dagang Islamijah (SDI), juga bersama Thamrin Mohammad Thabrie, yang semakin hari anggotanya semakin banyak dan merambah ke seluruh pulau Jawa.

Pada tahun 1907 Minke menerbitkan surat kabar pribumi yang pertama, bernama 'Medan'. Kantor redaksinya berada di Jl. Naripan no. 1, Bandung. Dalam mengelola suratkabarnya, Minke dibantu oleh (antara lain) Marko, Sandiman, Hendrik serta istri ketiga Minke, Prinses van Kasiruta, yang berasal dari Maluku. 'Medan' yang tirasnya terus meningkat menjadi tempat mengadu para pribumi lemah yang tertindas dan terdiskriminasi oleh hukum. Apa2 yang disuarakan Minke lewat pers menyebabkan ia dinilai berbahaya oleh pemerintah Hindia Belanda.

Di akhir cerita, Minke ditangkap di saat dia telah bersiap2 untuk pergi berpropaganda bagi SDI (sampai ke luar Hindia). Pdhl ia telah menyerahkan pengelolaan 'Medan' kepada orang2 kepercayaannya dan telah menyerahkan tampuk Pimpinan Pusat SDI kepada Hadji Samadi (ketua Cabang Solo).

Itu kata buku :D
Lalu siapa Minke dalam Tetralogi Buru ini? Nama aslinya memang tidak pernah diungkapkan dalam 3 buku pertama. Tapi di Jejak Langkah disebutkan inisial Minke dalam menulis berita: TAS.
Meskipun saya sudah tau dari teman saya yang merekomendasikan tetralogi ini, saya mencari juga di internet :D

Minke alias TAS adalah RM Tirto Adhi Soerjo, bapak pers nasional yang baru diangkat menjadi pahlawan nasional pada November 2006. Seperti pada buku, th 1906 ia mendirikan Syarikat Prijaji, th 1907 menerbitkan koran Medan Prijaji dan th 1909 mendirikan Syarikat Dagang Islam. Tulisan2 mengenai Tirto Adhi Soerjo bertebaran di internet. Untuk lebih lengkapnya, silakan googling :D
Thamrin Mohammad Thabrie adalah Thamrin Mohammad Thabrie, seorang Wedana Batavia, ayah dari Mohammad Husni Thamrin.
Marko adalah Mas Marko Kartodikromo, anak didik Tirto Adhi Soerjo, yang setelah sang guru meninggal, pindah ke Surakarta dan mendirikan surat kabar sendiri bernama Doenia Bergerak.
Prinses van Kasiruta, istri ketiga Minke, adalah Prinses Fatimah, istri ketiga Tirto Adhi Soerjo, yang lebih dikenal dengan nama Prinses van Bacan.
Hadji Samadi adalah K.H.Samanhudi tentu saja :D

Mempelajari sejarah dari buku Pram ini ternyata menyenangkan. Tidak seperti ketika membaca buku PSPB dulu hehe.
Profile Image for Erik Angriawan.
4 reviews3 followers
August 15, 2011
''Jejak Langkah''


* "...dan modern adalah juga kesunyian manusia yatim-piatu dikutuk untuk membebaskan diri dari segala ikatan yang tidak diperlukan: adat, darah, bahkan juga bumi, kalau perlu juga sesamanya. (''Minke, 2)
* "Ilmu pengetahuan, Tuan-tuan, betapa pun tingginya, dia tidak berpribadi. Sehebat-hebatnya mesin, dibikin oleh sehebat-hebat manusia dia pun tidak berpribadi. Tetapi sesederhana-sederhana cerita yang ditulis, dia mewakili pribadi individu atau malahan bisa juga bangsanya. (''Von Kollewijn, 32)
* "Persahabatan lebih kuat dari pada panasnya permusuhan. (''Bunda/Minke, 46)
* "Dahulu, nenek moyangmu selalu mengajarkan, tidak ada yang lebih sederhana daripada hidup: lahir, makan-minum, tumbuh, beranak-pinak dan berbuat kebajikan. (''Bunda, 65)
* "Setiap hak yang berlebihan adalah penindasan. (''Minke, 82)
* "Orang Belanda sering membisikkan: berbahagialah mereka yang bodoh, karena dia kurang menderita. Berbahagialah juga kanak-kanak yang belum membutuhkan pengetahuan untuk dapat mengerti. (''Minke, 113)
* "Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri. (''Minke, 113)
* "Apa bisa diharapkan dari mereka yang hanya bercita-cita jadi pejabat negeri, sebagai apapun, yang hidupnya hanya penantian datangnya gaji? (''Minke, 163)
* "Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya. (''Minke, 202)
* "Berbahagialah dia yang tak tahu sesuatu. Pengetahuan, perbandingan, membuat orang tahu tempatnya sendiri, dan tempat orang lain, gelisah dalam alam perbandingan. (''203, Minke)
* "Setiap permulaan memang sulit. Dengan memulai setengah pekerjaan sudah selesai, kata pepatah. (''Van Heutsz, 264)
* "...bila akar dan batang sudah cukup kuat dan dewasa, dia akan dikuatkan oleh taufan dan badai. (''Raden Tomo, 277)
* "Jangan Tuan terlalu percaya pada pendidikan sekolah. Seorang guru yang baik masih bisa melahirkan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya, yang sama sekali tidak mengenal prinsip. Apalagi kalau guru itu sudah bandit pula pada dasarnya. (''Frischboten, 291)
* "Tetapi manusia pun bisa mengusahakan lahirnya syarat-syarat baru, kenyataan baru, dan tidak hanya berenang diantara kenyataan-kenyataan yang telah tersedia. (''Minke, 339)
* "Semua ditentukan oleh keadaan, bagaimanapun seseorang menghendaki yang lain. Yang digurun pasir takkan menggunakan bahtera, yang di samudera takkan menggunakan onta. (''Minke, 394)
* "Tanpa wanita takkan ada bangsa manusia. Tanpa bangsa manusia takkan ada yang memuji kebesaranMu. Semua puji-pujian untukMu dimungkinkan hanya oleh titik darah, keringat dan erang kesakitan wanita yang sobek bagian badannya karena melahirkan kehidupan. (''Minke, 430)
* "Di balik setiap kehormatan mengintip kebinasaan. Di balik hidup adalah maut. Di balik persatuan adalah perpecahan. Di balik sembah adalah umpat. Maka jalan keselamatan adalah jalan tengah. Jangan terima kehormatan atau kebinasaan sepenuhnya. Jalan tengah—jalan ke arah kelestarian. (''Minke, 442)
Profile Image for Brian.
362 reviews69 followers
March 25, 2009
The first book in this quartet This Earth of Mankind made me cry. The second book Child of All Nations made me cry. This third installment of the Buru Quartet made me angry. Colonization just sucks. And when a nation of mixed cultures fight each other while working towards independence, freedom if achieved is tainted. Footsteps is the biggest of the quartet and the most political. From what I understand it is also the last of the first person narrative from Minke's point of view. One more to go and I really hope that Indonesia gets it together... but now in 2009 I know how this earth of mankind stands both politically and culturally and I don't know if Minke would be proud.

"So what is the use of the French Revolution then?" and her voice was so gentle, as it had always been ever since the first time I heard it. "You said it was to free men from the burdens made by other men. Wasn't that it? That is not Javanese. A Javanese does something with no other motive than to do it. Orders come from Allah, from the gods, from the Raja. After a Javanese has carried out the order, he will feel satisfied because he has become himself. And then he waits for the next order. So the Javanese are grateful, they give thanks. They are not preyed upon by monsters within themselves."

Although nominated for the Nobel Prize in Literature, Pramoedya Ananta Toer gave up his chance of ever winning when he died. Damn it, why didn't he wait a little longer before dying?
Profile Image for Luthfi Ferizqi.
446 reviews13 followers
May 25, 2024
Setelah melahap lebih dari 700 halaman akhirnya selesai juga seri ketiga atau seri terpanjang dari tetralogi buru ini.

Seri ketiga ini menceritakan perjalanan hidup Minke menuju proses kedewasaan dan perjuangan dirinya menjadi seorang pionir dalam organisasi pertama di Hindia serta menjadi jurnalis yang terpercaya dan berani.

Saya tahu novel ini terinspirasi dari sejarah nyata seorang Tirto Adhi Soerjo yang sampai saat ini mencoba menahan diri untuk melakukan riset lebih dalam, karena saya masih penasaran dengan seri terakhir.

Saya rasa tidak berlebihan jika masyarakat di Indonesia wajib membaca karya Pram ini, setidaknya sekali seumur hidup. Saya yakin bukan orang pertama yang menyarankan hal ini!
Profile Image for Michiyo 'jia' Fujiwara.
428 reviews
September 29, 2012
Aku lari ke belakang, cepet-cepet mandi. Masuk ke kamar,mengenakan pakaian kemarin. Semua telah terkunci di dalam kopor atau lemari. Kotak kunci pun terkunci. Anakkunci dibawa Prinses tak tahu lagi aku bagaimana kemunculanku. Destar aku pasangkan sekenanya. Dan selopnya yang sebelah.. ah kau selop, dimana pula kau bersembunyi? Mengapa pula kau ikut-ikutan mengganggu aku? Rupa-rupanya anak anjing tetangga sebelah telah menyembunyikannya, atau menggondolnya.

“Piaaaaah!”

“Selop! Mana selop!”

.............

Tak dapat aku melangkah menuruni jenjang sambil berpaling padanya. Dia mutiara yang tak pernah aku kenal selama ini. Prinses telah mendidiknya.

Tak aku sadari kakiku tak berselop.

Ini adalah sebuah hari yang baru..Tahun 1900, STOVIA dan Ang San Mei, 3 hal pembuka yang mewarnai jalan hidup Minke. Lewat Jejak Langkah, Max Tullenaar alias Minke mulai mengkoordinir dalam; organisasi dan jurnalistik sebagai bentuk usaha dari apa yang bisa dia berikan bagi bangsanya.. sebuah bangsa yang bahkan belum memiliki nama.. semua hal ini pasti ada kesulitan; organisasi pertama yang ia dirikan beranggotakan para priyayi statis, tak punya gairah hidup, ingin menghabiskan hidup dengan tenang dalam dinas Gubermen dan ‘Medan’ koran Pribumi berbahasa Melayu pertama yang didirikannya, mendapat pengawasan ketat dari Gubermen serta gangguan dari gerombolan De Knijpers, T.A.I, dan De Zweep yang tak lain; Robert Suurhof, salah satu dalangnya. Kisah yang semakin membuat ku terperosok pada zaman yang terjadi ketika itu; tentang pekik hiroik yang diteriakkan para pejuang Aceh dan Bali, tentang kisah gadis Jepara, dan lagi Minke dengan kisah cintanya; Bunga Akhir Abad, Ang San Mei.. dan Prinses Kasiruta.. Dua diantaranya sudah pergi meninggalkannya..satu peristiwa diujung cerita memaksa Minke untuk meninggalkan apa yang dimilikinya, Apakah Minke akan meninggalkan sang Putri Maluku ini juga..??
Profile Image for Irwan.
Author 9 books122 followers
January 23, 2012
Buku ketiga tetralogi buru ini begitu tebal. Kisahnya panjang dan berliku. Elemen kesejarahan kadang mendominasi elemen mikro kehidupan Minke. Terasa sedikit menunggangi. Tapi aku rasa begitulah hidup dalam masa pergolakan. Hampir saja elemen kesejarahan itu membuatku memberi bintang tiga untuk buku ini. Sampai ketika Prinses van Kasiruta, istri Minke yang bangsawan Maluku itu, menembak gerombolan Robert Suurhof. Yes! Rasain hehehe...

Plot cerita lantas makin deras dan berliku. Seru! Di sela-sela kejadian-kejadian besar, Pram tetap tidak lupa menorehkan hal-hal keseharian dan remeh yang membuat novel ini tetap novel, bukan uraian sejarah. Dan aku terkesan dengan kalimat penutup buku ini:
"Tak aku sadari kakiku tak berselop."
Profile Image for Pras.
36 reviews76 followers
October 30, 2007
Dari dua buku sebelumnya, mungkin jejak langkah dinilai agak membosankan untuk sebagian besar pembacanya. Dialog-dialog panjang Minke dengan dirinya sendiri dan berbagai tokoh pergerakan yang mulai dikenalkan Pramudya memakan hampir 60 persen dari isi buku.
Apabila buku pertama membahas tentang pribadi Minke dan perkenalannya dengan Annelies dan Nyai Ontosoroh dan terlihat sifat pergerakan belum mencapai pikiran Minke dan buku kedua berkutat dengan Konflik Minke dan beberapa pribumi dengan kekuasaan kolonial, maka jejak langkah adalah klimaks dari persetereun atau benturan antara pribumi yang diwakili Minke beserta koran medan priyayinya dan gubermen Hindia Belanda yang diwakili van Heutsz. Sedikitnya konflik pribadi yang dihadirkan di buku ini sesuai dengan arah buku ini secara umum. Pramudya membagi sususan keseluruhan cerita menjadi awal pergerakan secara pribadi dan bagaimana seorang pribadi Pribumi terusik dengan keadaan pribumi di buku Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Pergerakan secara organisasi dan perlawanan lantang di tunjukan pada buku Jejak Langkah ini. Maka dari itu Jejak langkah memuat sedikit banyak interaksi Minke dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti tergambar dalam adegan2 di buku. Terdapat adegan Minke mengikuti kuliah Dr Wahidin yang mengobarkan semangat pergerakan pada siswa2 kedokteran STOVIA, serta dialog segitiga antara Mei tokoh pergerakan Tiong hoa di Hindia dan R.A Kartini dan Minke sebagai penerjemahnya. Dialog yang dirasa tertalu panjang mungkin dikarenakan banyak pembaca menduga buku ini akan sama dengan dua buku sebelumnya, yaitu tentang konflik pribadi minke.
Tapi dengan saratnya muatan tentang fakta sejarah dan dialog-dialog tentang organisasi pergerakan, Pramudya tidak lupa menambahkan cerita pribadi Minke dengan Mei, tokoh baru di Betawi yang merupakan tunangan kawan lamanya Sinkeh yang meninggal di Surabaya, diceritakan di buku sebelumnya.
Dari pembacaan saya atas bagian dari Tetralogi Buru ini, saya berpendapat mungkin Pramudya dapat lebih menambahkan detil pada fakta2 sejarah dalam buku ini. Karena dalam buku ini, ia berniat mengupas habis cerita-cerita, fakta dan memberi gambaran senyata-nyatanya pada pembaca mengenai situasi pada jaman pergerakan sebelum dan sekitar berdirinya Boedi Oetomo. Tidak terlalu banyak karya tulis atau sastra yang menggambarkan era-era kebangkitan bangsa ini, kita hanya tahu fakta-fakta sejarah kering yang kita baca di pelajaran sejarah sekolah.
Tapi mengingat kondisi Pramudya yang merupakan tahanan politik sewaktu ia membuat karya ini, kekurangan detil pada buku ini bisa menjadi pemakluman. Biarpun begitu, detil pada buku ini tidaklah mengecewakan dan bisa menambah perbendaharaan pengetahuan kita tentang sejarah bangsa indonesia di era awal-awal dan perintis kemerdekaan. Yang menakjubkan lagi adalah kemampuan Pramudya meramu fakta sejarah dan mencampurnya dengan roman sejarah hanya dengan bantuan ingatan dan memorinya semata. Ya semua literatur yang dikumpulkanya hanya diingatnya karena semuanya ditinggal di Jakarta sewaktu ia menjalani peran sebagai tahanan politik di Pulau Buru.
Saya rasa buku ini perlu menjadi bacaan sastra wajib bagi siswa sekolah menengah di seluruh negeri ini. Bukan saja ceritanya yang menarik tapi juga muatan nasionalisme yang seakan membakar hati saya sepanjang membaca seri tetralogi Buru. Jarang ada buku yang bisa membuat saya membaca seperti kesetanan; lupa waktu, lupa makan, lupa turun dari bus dan lupa bayar ongkos bus pula..
seperti kata alm. Soe Hok Gie
"Nasionalisme tidak didapat dari doktrin-doktrin yang dijejalkan di kepala kita, tapi dengan melihat langsung tanah air" dan dengan membaca buku ini paling tidak kita bisa melihat tanah air di awal kebangkitannya...

Profile Image for Bernard Batubara.
Author 26 books818 followers
October 25, 2013
Selesai baca "Jejak Langkah", buku ketiga Tetralogi Buru Pram.

Secara umum, konten Tetralogi Buru terbagi menjadi dua: roman dan informasi sejarah. Setelah membaca buku demi buku dalam Tetralogi Buru, saya semakin menyisihkan apa yang tidak begitu saya perlukan/cari dalam buku tersebut. Dalam pada ini adalah, saya lebih fokus mengikuti bagian romannya. Hubungan Minke dengan Mei, ingatan-ingatan dia tentang Annelies, dan permasalahan dia dengan istrinya yang terbaru pada buku ketiga ini, Prinses. Saya juga paling senang setiap masuk bagian-bagian percakapan Minke dengan kedua ibunya: Nyai Ontosoroh (yang banyak memberi wejangan tentang perjuangan-perjuangan Minke) dan Bunda (yang menasehati Minke secara lebih ke dalam, menjadi Jawa, dan isi "pedalaman" Minke, jika meminjam bahasa Pram). Informasi sejarah terkait konflik politik di tempat-tempat di luar Hindia saya anggap pelengkap saja (mungkin bagi pembaca lain justru sejarah ini lah inti dari Tetralogi Buru, tak masalah).

Di Jejak Langkah, Minke mulai belajar berorganisasi, dan membela kepentingan-kepentingan kaumnya dengan cara menulis lebih banyak dan menerbitkan media sendiri. Bagaimana tulisan-tulisannya mempengaruhi tindakan para pejabat tinggi negara dan mengguncang rencana-rencana mereka. Sikap Minke ini mengingatkan saya kembali bahwa: pen is mightier than sword.

4 dari 5 bintang untuk Jejak Langkah, Pram.
Profile Image for Biondy.
Author 9 books234 followers
November 21, 2014
Judul: Jejak Langkah
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantera
Halaman: 724 halaman
Terbitan: 2007 (pertama terbit 1985)

"Jejak Langkah" adalah buku ketiga dari kuartet Buru yang Pramoedya ciptakan selama pengasingannya di Pulau Buru.

Novel ketiga ini menceritakan bagaimana Minke yang telah melakukan observasi dan yang telah tumbuh perasaan nasionalismenya (di buku 1 dan 2), perlahan mulai mengatur perlawanan terhadap cengkraman Belanda.

Pernah dengar pepatah 'di belakang pria yang hebat terdapat seorang wanita yang hebat'? Dalam kasus Minke, ada banyak wanita hebat. Salah satu hal yang paling menonjol dari kuartet Buru adalah peranan wanita pada kesadaran Minke akan nasionalisme. Ada 5 wanita yang memicu kesadaran Minke dalam membentuk organisasi yang memulai kebangkitan penduduk pribumi.

Yang pertama adalah Nyai Ontosoroh yang mulai menyadarkan Minke bahwa penduduk pribumi pun sebenarnya memiliki kemampuan yang sama dengan pihak Belanda. Hal ini terbukti dari kemampuan Nyai mengurus perusahaan suaminya, seorang pengusaha Belanda yang kurang mampu mengurus perusahaannya, sehingga berkembang dengan baik. Nyai Ontosoroh jugalah yang pertama membangkitkan semangat Minke untuk terus menulis.

Yang kedua adalah Annelies, istri pertama Minke, anak dari Nyai Ontosoroh. Perceraian paksanya yang berakhir dengan kematian Annelies membuka mata Minke akan ketidakadilan yang dialami penduduk pribumi. Minke yang meruapakan anak bupati yang selalu merasakan fasilitas yang baik, akhirnya mulai sadar akan kondisi Hindia Belanda yang sebenarnya.

Yang ketiga adalah Ang San Mei. Ang San Mei adalah tunangan dari sahabat Minke, Khouw Ah Soe. Khouw Ah Soe yang telah meninggal menitipkan surat pada Minke untuk disampaikan pada gadis itu. Sejak pertemuan pertamanya dengan Ang, Minke sudah jatuh hati padanya. Bukan hanya karena kecantikannya, tapi juga karena kecerdasan gadis itu.

Lewat Ang inilah untuk pertama kalinya Minke mulai awas tentang 'organisasi'. Ang yang tergabung dalam sebuah organisasi pemuda Tionghoa memberi Minke sebuah titik awal untuk memulai organisasi pribumi. Hal ini tumbuh semakin kuat setelah dia menghadiri kuliah umum seorang dokter Jawa yang menyadarkan Minke betapa tertinggalnya penduduk pribumi dari penduduk Tionghoa dan Arab di Hindia. Kedua bangsa itu telah memulai organisasinya sendiri untuk meningkatkan kualitas hidup golongannya, sementara penduduk pribumi belum ada yang berani untuk mencetuskannya.

Yang keempat adalah ibu Minke sendiri. Seorang wanita Jawa tulen yang bahkan berani melawan suaminya, yang merupakan hal yang sangat berani mengingat kondisi patriarkal pada zaman itu, untuk bertemu dengan anaknya. Rasa cintanya pada sang anak membuatnya mampu memberi restu pada Minke untuk mempersunting Ang San Mei, sekaligus menguatkan hati Minke untuk menjadi 'dalang yang benar'.

"Tapi ada kekuatan besar penelan kebajikan tapi enggan terbagi." (Minke)
"Guru-guru nenek-moyangmu juga sudah tahu itu, Nak. Mereka menamainya buto. [...] Dan mereka tidak pernah menang melawan para satria nenek-moyangmu."
"Sekarang ini mereka terus-menerus menang."
"Itu di tangan yang salah."
"Bunda, sahaya akan jadi dalang yang tidak salah itu." (hal. 85)

Yang kelima adalah Prinses van Kasiruta, istri ketiga Minke. Prinses membantu Minke menjalankan 'Medan', koran pribumi pertama yang Minke dirikan. Berbeda dengan kedua istri pertamanya, Prinses adalah sosok wanita yang lebih keras secara fisik. Dia bahkan berani membalas dendam pada orang-orang yang telah mengeroyok Minke, karena tidak suka pada pemberitaan di 'Medan', dengan cara menembak orang tersebut.

Usaha pertama Minke dalam mendirikan organisasi tidak berjalan mulus. Organisasi perdananya, 'Syarikat Priyayi', terpaksa mati suri karena kasus penyalahgunaan uang oleh pengurusnya.

Minke tidak berlama-lama dalam kekecewaannya. Dia segera bangkit lagi dan mendirikan koran 'Medan Priyayi' yang menjadi koran pribumi pertama. Dengan bantuan Nyai Ontosoroh, yang kini telah menikah dengan Marais dan pindah ke Perancis, Minke memperoleh bantuan tenaga hukum untuk korannya.

Kedatangan Hendrik Frischboten, tenaga hukum yang dikirimkan oleh Nyai Ontosoroh, dan istrinya Mir, yang merupakan sahabat lama Minke, memulai babak baru dalam hidup Minke.

Dengan bantuan Hendrik, 'Medan' menjadi tempat penyuluhan masalah hukum oleh penduduk pribumi dan berhasil menjadi salah satu koran dengan oplah terbesar.

Selain mengurus 'Medan', Minke juga mengurus berdirinya suatu organisasi baru yang menggantikan 'Syarikat Priyayi'. Kali ini Minke mendirikan 'Syarikat Dagang Islamiah'. Belajar dari kesalahannya dulu, Minke tidak mau organisasinya terdiri hanya dari para priyayi yang bersikap pasif. Selain itu Minke yang sadar akan pentingnya perdagangan bagi ekonomi suatu bangsa, memutuskan untuk membentuk sebuah syarikat dagang.

Idenya ini sendiri sebenarnya ditentang oleh Douwager, seorang jurnalis Belanda yang menggiatkan kesadaran akan arti nasionalisme. Douwager mengkritik penggunaan kata 'Islamiah' karena menurutnya hal itu merujuk pada eksklusivitas agama tertentu. Walau begitu, Minke tetap pada pendiriannya karena dia punya pertimbangan lain.

"Tapi nasionalisme tak bisa berlandaskan agama. Agama itu universal, buat setiap orang. Nasionalisme untuk bangsa sendiri, garis terhadap bangsa-bangsa lain." (Douwager)

"Landasan itu tidak bisa jadi dengan sendirinya. Semua yang serbacita digalangkan landasannya dulu. Apa salahnya jika begitu banyak orang yang setuju? Kan itu juga pendidikan ke arah demokrasi? [...]" (Minke)

"Tetapi bukankah Tuan masih tetap sependapat denganku, bahwa pikiranku tidak keliru?"

"Tetap, Tuan, hanya waktunya belum tepat." (hal. 539-540)

Dalam perjalanannya Minke mengalami banyak tantangan. Oplah 'Medan' yang mulai turun karena kemunculan koran 'Sin Po', kehadiran orang-orang yang membenci dan bahkan melukainya, perpecahan dalam tubuh SDI, bahkan hingga rasa ragunya karena dia tidak kunjung punya anak.

Satu hal yang menarik di buku ini adalah pergulatan Minke di luar koran dan organisasinya. Pergulatannya akan hubungan gelapnya, kalau tidak mau dibilang perzinahannya, dengan Mir Frischboten.

Mir yang juga merupakan sahabat lama Minke ternyata tidak bahagia dengan pernikahannya. Suaminya, Hendrik, memiliki masalah seksual yang membuat mereka tidak bisa dikaruniai anak. Hal ini membuat Mir 'memaksa' Minke untuk menjalin hubungan dengannya.

Hal ini menarik, karena menunjukkan suatu kelemahan Minke yang membuatnya tampak manusiawi. Tentunya Minke salah dalam hal ini, apalagi mengingat dia sudah menikah dengan Prinses saat itu, tapi tetap memberikan sentuhan tersendiri pada cerita.

Lalu bagimana Minke akan mengatasi semua tantangan yang dia hadapi? Bagaimana dengan hubungan gelapnya bersama Mir? Semua jawabannya bisa diperoleh dalam novel Jejak Langkah ini.

Jadi, secara keseluruhan...

Saya benar-benar suka novel ini. Jumlah halamannya memang jauh lebih tebal daripada Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa, tapi saya sangat menikmatinya. Membaca buku setebal ini sama sekali tidak membuat saya capek. Justru saya ingin terus membacanya dan ketika harus berhenti untuk istirahat atau kegiatan lain, saya merasa harus berpisah dengan seorang kerabat yang begitu dekat dan tidak sabar menantikan perjumpaan berikutnya. Terdengar lebay? Percayalah, memang tepat seperti itulah yang saya rasakan.

Sayangnya masih ada typo bersebaran di buku ini. Semisal kata 'tuna-tuan' di hal. 39, typo 'perkawa' di hal. 374, dan typo 'kelom-pok' di hal. 395. Masih ada beberapa lagi sih, hanya saja tidak saya catat.

Siapa sebenarnya Minke?

Minke adalah tokoh yang berdasarkan seseorang pada dunia nyata. Minke yang dalam tulisannya dikenal dengan inisial TAS merujuk pada Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Nasional (dikukuhkan oleh pemerintah pada 1973) dan seorang Pahlawan Nasional berdasarkan Keppres RI no 85/TK/2006.

Kesamaan antara tokoh Minke dan Tirto Adhi Soerjo bisa dilihat dari koran dan organisasi yang mereka dirikan. Sama seperti Minke, TAS juga mendirikan koran bernama Medan Prijaji pada 1907 dan organisasi Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia pada tahun 1909.


Halaman depan Medan Prijaji, 2 April 1910

Buku ini untuk tantangan baca:
- 2013 Membaca Sastra Indonesia
- 2013 Read Big Reading Challenge
- 2013 Serapium Reading Challenge
- 2013 Indonesian Romance Reading Challenge
- 2013 Finishing the Series Reading Challenge
109 reviews
March 21, 2020
Seperti biasa, aku menjadi begitu emosional ketika tiba di halaman-halaman terakhir!

Memang luar biasa betul pengaruh suatu karya tulis. Ia mampu membawa pengetahuan baru, mencerahkan pikiran, membuka mata, membuat manusia berpikir dan berpikir. Dalam Jejak Langkah aku memahami bahwa pengorganisasian massa bukanlah suatu hal yang mudah, lebih-lebih lagi membuat mereka paham mengapa mereka harus terorganisir. Entah itu untuk boikot, angan untuk menghapus kebudayaan feodalistik, atau hanya sekadar dapat menguping pembicaraan para tetangga yang sudah lebih dahulu berserikat. Dan berbahagialah mereka yang mampu dan mau menulis, setidaknya ia punya keleluasaan lebih untuk menggerakkan sesama.

Aku begitu mencintai Minke ketika ia membantah perkataan bundanya tentang petani--bahwa "makin dekat pekerjaan seseorang pada tanah, makin tak ada kemuliaan pada dirinya, makin tidak terpikirkan dia oleh siapapun." Dengan percaya diri Minke tegaskan bahwa, laiknya Bisma, siapapun yang bersinggungan dengan bumi akan abadi. "Bumi adalah petani, Bunda, petani, petani itu juga" (hal. 632). Bahwa dalam beberapa kepercayaan, manusia berasal dari tanah dan kembali kepadanya juga; mungkin tanah memang mengekalkan manusia. Namun, lebih daripada itu, tanah memberi kita hidup. Dan selamanya kita takkan pernah bisa membayar utang kepada tanah yang dengan tabah bersedia kita injak-injak dan gunakan atas dasar keserakahan.

Ada banyak yang ingin aku sampaikan dalam ulasan ini, tapi baiknya aku biarkan kabur agar siapapun yang membaca ulasan ini tetap tergerak untuk membaca roman ini. Biar aku tutup dengan kutipan yang sungguh memantikku lagi untuk terus berani melangkah ke depan:

Betapa indahnya hari yang akan datang itu... Tidak, aku dan kami tidak ragu lagi. Gadis Jepara telah memberi contoh bagaimana akhir dari satu keraguan, orang akan menjadi kurban daripadanya. Kalau orang toh jadi kurban, jadilah setelah menaklukkan keraguan sendiri. (hal. 629)


Semoga aku bisa menaklukkan keraguanku sendiri ya, Minke. Walaupun kau begitu mudah jatuh hati pada perempuan yang indah--aku tidak mengidolakan watak filoginismu, tetapi kau selalu berhasil mengingatkanku akan hal-hal yang seringkali luput pada insafku.
Profile Image for Ime'... Imelda.
96 reviews15 followers
July 1, 2008
Gue sebenarnya bingung mau ngasih buku yang satu ini angka berapa, tapi gue bulatkan tekad untuk ngasih 4 bintang untuk buku yang satu ini. Jejak Langkah adalah buku ketiga dari tetralogi Buru.

Jejak Langkah bercerita tentang sejarah berdirinya beberapa organisasi besar di awal masa perjuangan Indonesia. Sebut saja Boedi Oetomo, Sjarikat Dagang Islamijah dan lain sebagainya. To be honest, di pelajaran sejaran Indonesia, periode ini adalah periode yang paling gue benci; perjuangan Indonesia di kalangan terpelajar. Namun bukan hanya itu saja, sisi manusia Minke tetap menjadi sorotan. Seorang pria yang memiliki mimpi namun di beberapa aspek kehidupannya, (menurut gue) sedikit labil. Hanya saja, gue memang sangat menghargai seorang Minke, setidaknya, walaupun dia keras kepala luar biasa, dia tetap mau mengambil langkah awal untuk memulai segala sesuatu.

Apa yang gue rasa’in waktu baca buku ini adalah gimana untuk bisa mengubah dunia diperlukan satu langkah awal. Sama seperti yang dikatakan oleh Neil Amstrong, one step of a human a big leap for mankind.

Semakin kesini, gue jadi semakin mengerti mengapa buku ini sempat dilarang untuk beredar. Buku ini bersifat sangat netral (menurut gue), karena bisa menuding baik pihak penjajah maupun pihak pemerintah. Dari buku ini juga gue belajar, bahwa negara ini nggak punya salah apa-apa, yang salah adalah motivasi yang dimiliki manusia-manusia pembentuknya.

Selalu juga, gue sangat senang dengan filsafatnya dan tentu saja, gaya menulis Pramoedya yang sangat khas.

Empat bintang dari gue.
Profile Image for Hardini.
19 reviews8 followers
August 20, 2009
... " jangan kehilangan keseimbangan ! berseru-seru aku pada diri sendiri, memperingatkan. dimana -mana aku harus tolak persembahan gelar, jongkok, dan sembah karena kita sedang menuju ke arah masyarakat, dimana setiap manusia sama harganya, dibalik seriap kehormatan mengintip kebinasaan. dibalik hidup adalah mautdibalik kebesaran adalah kehancuran.dibalik persatuan adalah perpecahan dibalik sembah adfalah umpat maka jalan keselamatan adalah jalan tengah. jangan terima kehormatan atau kebinasaan sepenuhnya ... "

anak-anak buah minke dibuku ini benar-benar membuatku gemes.Bwuodoh! kt minke. Kwerbau!kt minke. toh begitu ia serahkan juga dirinya untuk menanggung semua kelakuan anak-anak buahnya sebagai tanggung jawabnya sebagai pimpinan yang memimpin mereka dan tetap melindungi.
Profile Image for Hamdanil.
143 reviews12 followers
February 5, 2017
Another solid Buru novel. I read the English translation because I got it in the US before I found the original Indonesian. In this novel, pergerakan nasional is at its peak and the hero has a roles in Budi Utomo and especially Sarekat Dagang Islam. He's painted as a very important pergerakan figure, will need to check with history sources to see how much is true. But it is very cool to see the novelization of pergerakan struggle, the challenge of standing up to the colonial power, and educating the Indonesians who at this time received very little education from the government, and so on, even if it's just the imagination of the author.
Profile Image for Desti Astiani.
123 reviews13 followers
December 21, 2020
3 hal menarik ketika aku membaca 20 halaman pertama:

Pertama, aku langsung bisa membayangkan Minke ada di Kawasan Gambir, Jakarta Pusat. Minke datang ke Betawi kotta. Ibukota Hindia yang dibangun Gubernur Jendral Jan Pieterz. Di benakku langsung ada gambaran ooh... Jakarta tempo dulu, ya Batavia. Menyaksikan Minke tiba di Weltervreden, Gambir kalau kata orang Betawi. Lebih tepatnya Koningsplein, orang Betawi bilang Lapangan Gambir, tempat Pasar Gambir, yang kalau dia mau meneruskan perjalanan harus pindah ke trem Messter Cornelis atau pindah delman.
Kedua, aku masih tetap suka dengan gaya bahasa dan penyampaian cerita Minke sebagai sudut pandang orang pertama, sama seperti cerita-cerita yang sebelumnya di Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Apalagi penegasan setiap kalimat yang Minke ucapkan.
Ketiga, aku menemukan sosok Minke yang tampak lebih berani, melawan saat dibuli di sekolah barunya.

Itulah 3 hal menarik pada 20 halaman pertama, yang akhirnya membuatku memutuskan untuk melanjutkan baca buku ini.

Minke datang ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya di S.T.O.V.I.A. untuk menjadi seorang Dokter. Hadirnya tokoh Dokterjawa pada cerita ini membuat Minke memahami tugas seorang Dokter bagi sebuah bangsanya. Aku sendiri ketika membacanya memunculkan banyak pertanyaan. Sebenarnya apa cita-citanya Minke? Berhasilkah Minke menjadi seorang Dokter? Apakah sangat mulia cita-citanya Minke sebagai orang yang terpelajar? Aku sudah menemukan jawabannya.

Seperti yang tertera pada bagian blurb buku ini, Jejak Langkah adalah fase pengorganisasian perlawanan. Selain menceritakan Minke yang memilih jalan jurnalistik lewat koran Medan Prijaji, juga menceritakan tentang terbentuknya organisasi Boedi Oetomo dan Syarikat Dagang Islam.

Di Jejak Langkah banyak nama-nama tokoh baru yang hadir di kehidupan Minke. Mulai dari nama-nama tokoh yang mampu mengisi hatinya dan mendukungnya silih berganti, sampai nama-nama tokoh yang mampu mematahkan kerja kerasnya, kemudian yang telah lama pergi pun muncul kembali.

Karakter Minke di Jejak Langkah ini lebih banyak perkembangannya. Cerita semakin seru setelah bab 12. Mulai membahas masalah pribadi Minke, yang merasa gagal menjadi seorang jantan philogynik yang telah beberapa kali menikah dan semakin merisaukan dirinya untuk siapa dia bekerja tanpa mengenal lelah?
Profile Image for ki.
82 reviews6 followers
Read
July 13, 2025
Aku terikat pada bumi dan manusia dan bangsa Hindia. Di Hindia pengabdianku. Hanya di Hindia aku dapat bangunkan sesuatu yang berarti. Di negeri lain mungkin aku hanya selembar daun kering permainan angin.

Buku ketiga dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Jejak Langkah menandai fase penting dalam hidup Minke, ketika ia mulai menunjukkan kematangan dalam cara berpikir dan bersikap, serta mengubah pemikirannya menjadi tindakan nyata. Tidak lagi sekadar pelajar atau penulis, melainkan mulai menyusun langkah-langkah untuk melawan ketidakadilan melalui organisasi dan pers.

Pram menggambarkan bagaimana Minke beralih dari dunia pendidikan ke dunia perlawanan, dan memperlihatkan betapa beratnya menjadi orang yang berpikir bebas di tengah tekanan kolonialisme dan budaya feodal. Setiap langkah terasa seperti pertaruhan; semakin jauh melangkah, semakin besar pula perlawanan yang harus dihadapi.

Buku ini menyoroti transformasi Minke menjadi sosok yang sadar bahwa perjuangan tidak bisa dilakukan sendiri, tetapi harus lewat penyatuan rakyat. Pram memperlihatkan betapa pentingnya pendidikan, media, dan kesatuan sebagai alat perlawanan terhadap sistem kolonial. Juga menggambarkan bagaimana ide-ide tentang nasionalisme, keadilan, dan emansipasi mulai bertumbuh di tengah masyarakat yang masih dijajah dan terpecah. Dengan membaca buku ini paling tidak kita bisa melihat tanah air di awal kebangkitannya.

Kalau dalam Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa saya masih terbayang figur Iqbaal sebagai Minke, maka di Jejak Langkah, seluruhnya pudar. Yang tersisa adalah sosok RM Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Indonesia yang benar-benar hidup di antara halaman-halaman buku ini.
1 review
November 30, 2017
Ulasan Jejak Langkah

Buku Jejak Langkah merupakan buku ketiga dari tetralogi Pulau Buru yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer. Tiga buku pertama pada dasarnya membahas tentang perjalanan hidup seorang Minke. Pada buku keempat, tokoh Minke menjadi Tirto. Minke dan Tirto merupakan orang yang sama tetapi Tirto adalah sosok Minke dalam kehidupan asli.
Jejak Langkah melanjutkan perjalanan hidup Minke yang sudah diceritakan pada buku-buku sebelumnya, Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa . Pada bagian awal buku, Minke berada di dalam sebuah trem yang sedang menuju ke Betawi, disebutkan juga bahwa tujuan ia datang ke Betawi adalah untuk menuntut ilmu kedokteran di STOVIA. Sesampainya Minke di STOVIA, Minke dikucilkan dan direndahkan oleh pelajar lainnya. Kopor dan lukisan yang ia bawa ditendang dan diolok-olok. “Lihat ini! Hanya anak dusun busuk berkopor lebih busuk semacam ini.” (Halaman 15). Hal yang sama juga terjadi saat ia berada di asrama STOVIA, ia direndahkan karena ia adalah seorang pribumi. Minke tidak diam saja, ia membalas olokan mereka dengan melayangkan tendangannya ke salah satu dari mereka dan mematahkan dua gigi dari orang tersebut. Kejadian ini menemukan Minke dengan Partotenojo. Partotenojo atau yang biasa dikenal dengan Partokleoooo juga seroang pribumi yang sedang menuntut ilmu kedokteran di STOVIA. Mereka berteman sejak saat itu.
Keesokan harinya, Ter Haar datang menemui Minke di asramanya dan meminta Minke untuk mengikuti sebuah konferensi di De Harmonie. Minke menyetujui dan mereka datang ke konferensi tersebut bersama-sama. Konferensi tersebut dihadiri oleh para petinggi, termasuk Gubernur Jenderal yang pernah berperang di Perang Aceh. Minke tidak banyak bicara saat konferensi tersebut berlangsung, ia hanya memperhatikan apa yang dibahas oleh para petinggi dan berkomentar dalam hatinya. Ia menyimpulkan bahwa Van Heutsz adalah seorang pembunuh dan memiliki niat jahat. Saat konferensi hendak berakhir, ia diminta untuk angkat bicara dan ia mengajukan sebuah pertanyaan yang berhubungan dengan pabrik gula. Masalah tersebut juga pernah dibahas dalam dua seri tetralogi Pulau Buru sebelum Jejak Langkah . Pertanyaan yang diajukan oleh Minke diremehkan dan dianggap tidak berbobot, ia merasa hal ini terjadi hanya karena ia seorang pribumi. Setelah konferensi tersebut berakhir, Ter Haar mengantar Minke kembali ke asramanya dan Minke diberi peringatan bahwa banyak orang yang memiliki niat jahat meskipun dari depan ia terlihat seperti orang baik.
Beberapa hari telah berlalu, Minke pergi mengunjungi sebuah daerah yang berisi orang-orang Tionghoa untuk mengantarkan surat kepada seseorang. Surat tersebut berasal dari sahabat Minke yang sudah meninggal dan ditujukan untuk tunangannya, Ang San Mei. Pertama kali Minke melihat Ang San Mei, diceritakan bahwa ia jatuh hati. Minke pulang ke asramanya dan ia merencanakan untuk pindah ke rumah Ibu Badrun setiap akhir pekan. Ibu Badrun adalah sosok yang sangat baik hati dan selalu membantu Minke. Minke mulai sering mengunjungi Mei dan setelah mengenal Mei lebih baik, Ibu Badrun meminta mereka untuk menikah agar orang-orang tidak punya anggapan buruk terhadap hubungan mereka. Minke dan Mei menikah di kampung dimana Minke dulu dibesarkan. Setelah mereka kembali ke Betawi, Minke kembali tinggal di asrama dan Mei tinggal di rumah Ibu Badrun. Suatu hari, ada sebuah konferensi yang sedang berlangsung dan Minke mengikuti konferensi tersebut, ia juga mengajak Mei bersamanya. Dalam konferensi tersebut, seorang dokter memberikan sebuah pidato dimana ia menyarankan para pribumi yang bersekolah kedokteran untuk membuat sebuah organisasi, “ia berseru agar dimulai mendirikan organisasi sosial, memajukan anak-anak bangsa, mempersiapkan mereka memasuki jaman modern, jaman kemajuan, jamannya sendiri.” (Halaman 186). Ide yang dikemukakan oleh dokter tersebut memiliki niat yang baik. Jika dihubungkan dengan era globalisasi saat ini, pribumi memang harus berusaha untuk memajukan kebudayaan Indonesia karena persaingan yang semakin tinggi. Dalam dunia pekerjaan, banyak pribumi yang kurang unggul dan kalah dalam persaingan karena tingkat pendidikan mereka yang lebih rendah dari pesaing lainnya.
Dukungan yang diberikan dari Mei membuat Minke bersemangat untuk membentuk sebuah organisasi yang berisikan orang-orang pribumi. Dukungan yang diberikan dari Mei tidak berlangsung lama. Silang dua tahun pernikahan mereka, Mei tidak pernah berada di rumah lagi, ia selalu pergi bekerja untuk membela bangsa dan negaranya. “Dulu dia memang baik, penurut, selalu tinggal di rumah pada waktunya. Sekarang jarang kelihatan dan nampaknya lebih suka di jalanan.” (Halaman 218). Kesibukan Mei menyebabkan kondisi tubuhnya lemah dan rentan terhadap penyakit, ia mulai menunjukkan gejala-gejala hepatitis dan matanya mulai menguning. Parahnya penyakit Mei mengharuskan ia untuk dirawat di rumah sakit dan Minke selalu menemaninya semasa itu. Dua bulan ia dirawat, tubuh Mei sudah terlalu lemah dan akhirnya ia meninggal. Minke dikeluarkan dari STOVIA dan dipecat dari pekerjaannya karena kelalaiannya. Meskipun tawaran pekerjaan-pekerjaan baru selalu datang, ia menolak setiap tawaran tersebut sampai suatu hari ada seseorang yang datang menawarkan Minke untuk menjadi pemegang kekuasaan kedua dari sebuah perusahaan. Ia menerima tawaran tersebut. Setelahnya, ia berusaha untuk membentuk sebuah organisasi. Organisasi tersebut diminati oleh banyak pribumi, tetapi mereka semua memiliki pendidikan rendah. Oleh karena itu, konflik sering terjadi diantara mereka, tetapi Minke selalu berhasil menyelesaikan masalah tersebut dengan bermusyawarah. Sampai akhirnya, masalah yang terjadi sudah terlalu banyak dan tidak dapat diselesaikan lagi, Minke mengakhiri organisasi tersebut.
Dengan berakhirnya organisasi tersebut, Minke pergi ke Yogyakarta untuk mengikuti sebuah konferensi yang diadakan oleh Boedi Oetomo. Dalam perjalanannya ke Yogyakarta, ia bertemu dengan teman lamanya, Mas Sadikoen. Mereka membicarakan tentang artikel boikot yang pernah Minke tulis. Dalam konferensi itu, Minke tidak menikmati waktunya, ia memiliki pendapat negatif terhadap Boedi Oetomo karena organisasi tersebut berisi para petinggi yang tidak ia sukai. Selama ia berada di Yogyakarta, ia dikenalkan kepada Hans, salah satu teman Sadikoen. Hans biasa dikenal dengan panggilan Haji Moeloek. Awalnya Hans ingin meminta bantuan kepada Minke tetapi ia memulainya dengan menyarankan Minke untuk menulis surat kabar menggunakan bahasa Jawa, dan akhirnya ia meminta Minke untuk menerbitkan tulisan Hans. Minke berkata bahwa ia akan mempertimbangkan hal tersebut. Minke kembali ke kampung dimana ia dibesarkan. Disana, ia bertemu dengan Ayah dan Bundanya. Ia bercerita bahwa ia ingin membentuk sebuah organisasi. Di kampungnya, ia juga bertemu dengan Prinses yang berasal dari Kasiruta. Minke meminta bantuan Prinses untuk membuat sebuah majalah wanita dan Prinses juga tertarik dengan ide yang diajukan oleh Minke.
Di rumah Minke yang terletak di Bogor, ia bertemu dengan temannya yang berasal dari Eropa, Mir Frischboten. Mir bercerita bahwa suaminya sedang sakit dan tidak bisa disembuhkan. Mir berusaha merayu Minke untuk memiliki anak bersama dengannya, karena Mir tidak kunjung dianugerahi seorang anak. Pertemuan Minke dengan Pengki menjadi solusi dari sakit yang dialami oleh Hans, ia dibawa ke sinse dan didiagnosa bahwa ia bisa disembuhkan dalam waktu satu bulan. Setelah Hendrik sembuh, Tuan Raja, Ayah dari Prinses, meminta Minke dan Prinses untuk menikah dan mereka menyutujui ide tersebut. Minke melihat perdagangan yang dilakukan oleh para pribumi dan ia tertarik dengan hal tersebut. Ia pun memiliki sebuah ide untuk membentuk sebuah organisasi yang memiliki persyaratan sebagai berikut: “Jadi Tuan setuju kalau organisasi itu didirikan, berawatak bangsa-ganda, bahasa Melayu, bukan prijaji, golongan dagang, golongan bebas, dan beragama Islam?” (Halaman 522). Berdasarkan persyaratan tersebut, Syarikat Dagang Islam (SDI) pun terbentuk. Bagian keuangan dari organisasi tersebut dipegang sendiri oleh Minke karena ia merasa divisi tersebut adalah unsur terpenting dari sebuah organisasi.
Besarnya nama SDI menyebabkan SDI mengalami banyak konflik dan permasalahan. Salah satu konflik yang dialami adalah penolakan kaum Arab terhadap pedagang kulit di Jawa Barat. Minke beranggapan “SDI bermaksud untuk mengembangkan perdagangan. Yang datang justru sebaliknya.” (Halaman 545). Anggapan tersebut memiliki arti, tujuan utama dari SDI sendiri adalah untuk membantu orang-orang agar mereka bisa berdagang, tetapi banyak konflik yang datang justru menentang ide tersebut.
Akhirnya Minke berhasil menerbitkan majalah wanita yang dibentuk bersama-sama dengan Prinses. Setelahnya, ia mendapat surat yang berisi sebuah teror, tetapi ia menghiraukan hal tersebut dan merayu Prinses untuk memiliki seorang anak bersamanya, “peduli apa dengan De Knijpers.” (Halaman 564). Surat teror tersebut berasal dari musuh lamanya, Robert Suurhof, yang pernah berusaha untuk membunuh Minke di buku kedua. Diketahui bahwa Minke ternyata memiliki sebuah masalah, ia mandul, dan masalah ini tidak bisa disembuhkan meskipun ia telah mendatangi sinse.
Banyaknya konflik yang dialami oleh SDI menyebabkan SDI terpecah menjadi dua bagian: Sjarikat Dagang Islmijah dan Sjarikat Dagang Islam yang dipimpin oleh Minke. Robert Suurhof mengganti nama organisasinya dengan De Zweep dan ia menyerang Minke. Minke didatangi oleh Teukoe Djamiloen, seorang polisi yang menyamar sebagai seseorang yang sedang membutuhkan pertolongan. Minke ditangkap oleh Teukoe Djamiloen atas tuduhan tidak pernah melunaskan hutang. Penangkapan Minke menyebabkan ia harus bercerai dengan Prinses. Dikatakan bahwa Minke akan ditangkap dan kemungkinan akan diasingkan dari pulau Jawa. Buku ini berakhir dengan Minke yang ditangkap di rumahnya sendiri.
Buku ini mengajarkan pembacanya untuk memperjuangkan hak mereka dan memajukan budaya Indonesia yang baik. Jika dihubungkan dengan kehidupan saat ini, sikap Minke memang patut untuk dicontoh. Minke yang pantang menyerah dan selalu memperjuangkan apa yang ia percayai bisa kita dijadikan contoh dan diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Dalam era globalisasi ini, kita juga harus memperjuangkan hak kita sebagai pribumi. Banyak pribumi yang kurang unggul dalam memenangkan persaingan di dunia pekerjaan karena tingkat pendidikan mereka yang rendah.
Profile Image for Adam.
32 reviews
May 16, 2025
(4.4/5)

Buku ke-3 dari Tetralogi Buru.

Novel ini terasa sangat teknikal terkait ide pembuatan serikat pribumi di tahun 1910-an. Di Novel ini Minke digambarkan sudah memiliki kedewasaan intelektual dan emosi dalam membangun pergerakan nasional. Melalui kedewasaan ini, pembaca dibawa untuk memahami duduk perkara kelompok dalam memperjuangkan haknya sebagai sebuah kelompok serikat formal. Ternyata tidak mudah. Pribumi masih terkengkang oleh paham primodialis dan narsistik terhadap golongannya sendiri.

Minke yang sudah melewati berbagai perkembangan karakter, di "Bumi Manusia", Minke mulai memahami duduk perkara pengetahuan dan realita diskriminasi di Hindia, di "Anak Semua Banga", Minke mulai memahami duduk perkara kerakyatan dengan realita diskriminasi gula terhadap ekonomi pribumi, di "Jejak Langkah", Minke melihat masalah kerakyatan dan duduk perkara Hindia dalam skala multi-etnis dan politik formal.

Buku ini terasa teknikal tetapi seperti biasa, Pram memberikan poin dramatis di 100 halaman terakhir terkait bagaimana Minke akan berkembang di novel selanjutnya.

Rumah Kaca mungkin akan lebih membosankan untuk dibaca tetapi tetap penting untuk dipahami.
Profile Image for Putri Dyah.
52 reviews4 followers
January 24, 2014
Selamat tinggal kekasihku, rengguk hidup ini sampai ke dasar cawan. Capai cita cita mudamu sampai setinggi langit biru, rampas segala yang menjadi hakmu.

Deg. Selalu sedih dengan kata perpisahan. Ending yang begini buat makin penasaran sama buku ke empatnya.

Overall cerita dibuku ini selalu menginspirasi untuk memikirkan hak hak orang kecil, persatuan bangsa, perubahan, pemberontakan kearah yang lebih baik,. Dan review tentang pelajaran sejarah di masa berdirinya organisasi organisasi indonesia pra kemerdekaan. Coba aku baca novel ini dari dulu dulu, pasti pelajaran sejarah nilainya bagus. Ini cara mempelajari sejarah indonesia dengan penyampaian yang mudah dimengerti. Dibalut cerita roman minke.

Saya yang masih baru baca buku sastra macam ini, masih sering pusing sama bahasa indonesia lama yang sering dipakai di novelini, jadi perlu baca sampai dua kali intuk kalimat2 susah. Dan percakapan percakapannya yang kadang pakai bahasa melayu lama. Tapi alur yang nggak ketebak, cerita yang nggak biasa, jadi pengalaman tersendiri dan menambah sudut pandang lain ttg indonesia.
Profile Image for Pera.
231 reviews45 followers
September 4, 2008
Menarikkah buku ini tanpa alur sejarah didalamnya?.

Sejarah Indonesia adalah daya tarik buku ini.
Membaca novel ini adalah cara belajar Sejarah yang lebih menyenangkan, dari pada menghapal point-point, tahun dan nama Raja-raja dalam buku pelajaran Sejarah dibangku sekolah dulu.
Serasa mundur berabad-abad dan melihat kegelisahan pemuda masa lalu. Pergulatan Menggugat identitas diri, atau menjual diri pada Belanda.

Ternyata Budi Utomo tak semegah bayanganku di buku sejarah bangku sekolahan.
Ternyata Kartini....

Perlahan melahap buku ini. Semangat Organisasinya masih bisa menjadi inspirasi.

Salut untuk siapapun yang berjuang untuk Negeri ini.

Merdeka!!!
Profile Image for Jong.
9 reviews
Read
March 7, 2009
Minke akhirnya sampai di Betawi. Masuk STOVIA dan bertemu dengan calon-calon dokter pribumi lainnya.
Di buku ini, setelah disadarkan oleh Dokterjawa dan lain-lain, Minke mulai membuat organisasi.
Pram berhasil menanamkan sebuah pemikiran ke pembaca: sebuah organisasi, jika sistemnya berjalan dengan baik, akan memberikan efek yang sangat dahsyat bagi perjuangan.
Setelah kehilangan Annelis, Minke bertemu Ang San Mei. Seorang pelarian dari Tiongkok, China. Seorang anggota Angkatan Muda. Minke mempersunting Mei, namun akhirnya Mei meninggal karena terkena penyakit.
Profile Image for Lisa.
3,781 reviews491 followers
September 1, 2019
Footsteps (Jejak Langkah) is the third in the Pramoedya Ananta Toer’s Buru Quartet, the series of four novels tracing Indonesia's 'awakening' that Toer wrote while in prison on the island of Buru. (See my review of Book 2 for the background to this, and also for my thoughts about the translation and introduction which apply equally to this volume). Footsteps is a more 'political' novel, and belongs in that distinctive category of historical fiction as activism, that is, it's written by authors redressing the hidden stories and silences of colonised peoples in well-researched fiction. Toer had spent years researching the life of Tirto Adi Suryo, who was the inspiration for this quartet, but Toer's papers were all destroyed when he was arrested and held without trial for fourteen years.

Notwithstanding that setback, Toer created this novel from memory, telling the story of a man honoured in 2006 as a National Hero of Indonesia. Toer's central character Minke appears to be a reasonably authentic recreation of Tirto's life, (though the Wikipedia entry in English includes nothing about his personal life, which in the quartet so far, includes three wives.) As Max Lane explains in the Introduction, Tirto was editor of the first Native-owned newspaper and co-founder of the first magazine for women; he initiated a legal advisory service; he co-founded a modern political organisation devoted to developing what would become Indonesian nationalism; and he was a pioneer of indigenous literature in a language of the nation yet to be born.

NB: My use of terms to describe different ethnic groups and social divisions are those that are used in the book. 'Indonesians' would be anachronistic in the era of the Dutch East Indies, and Toer uses terms like Native, Indo, Indisch, and regional descriptors such as Javanese, Moluccan and Balinese to indicate racial differences while also indicating social differences with terms of address in different languages, like Mas, Gusti Kanjeng, Haji, Sinyo, Meneer, Mevrouw, Ndoro, Teukoe and Princess.

Books 1 & 2 — This Earth of Mankind (see here) and Child of All Nations (see here) trace the influences on Minke, born into the aristocatic priyani caste and expected to surrender to work as a salaried administrator like his father. But these characters show him a different path to take:

Annalies, his first Indo (Eurasian) wife, who died after 'repatriation to the Netherlands, because her citizenship was reverted there in order to prevent her inheriting Javanese assets from her Dutch father;
Nyai Ontosoroh, Annalies' mother and concubine to a failed Dutch businessman, whose self-taught efforts rescued the business and whose courage and understanding of the modern colonial world alerted Minke to much injustice; (See The Girl from the Coast for Toer's representation of what concubinage was like);
Jean Marais, a French veteran of the war in Aceh who taught Minke to connect with his own people rather than the Dutch at his elite school;
Khouw Ah Soe, an activist for the progress of Chinese people in Java, who was killed by assassins from a Chinese secret society;
Thoenodongso, a peasant who led an uprising against the colonial sugar barons;
Magda Peters, his Dutch teacher at the elite HBS school, who recognised Minke as a future leader (and got herself sent back to Holland because of it); and
Herbert de la Croix, a liberal Dutch administrator and his two daughters, who return to Holland in disillusionment.

So, Footsteps starts in 1901 with Minke at the medical school for Natives. This school was a belated initiative by the Dutch in the wake of international embarrassment about their colonial regime, but its graduates are condemned to serve only as badly-paid doctors attempting to lift the life expectancy of Natives from a shocking 40 years. Minke makes few friends, but is visited by Ter Haar, a liberal Dutch journalist who improves his status at the school by engineering invitations to the Harmoni Club, where he meets Van Kollewijn, a liberal MP espousing the Ethical Policy aimed at improving the welfare of the Natives; General van Heutsz, the man who led the slaughter against the Acehnese; and Marie Van Zeggelen, an author who wrote books supportive of Native freedom including a biography of Kartini, (a pioneer of girls' education who is referenced in Footsteps as 'the girl from Jepara). These contacts with powerful people enable Minke to flout school rules with impunity, but he ends up abandoning his course to take up journalism.

Footsteps isn't a book that flows smoothly; Toer was at pains to make various political points, and so there are jerky sequences of events and occasionally awkward conversations that are included as activism rather than as part of a credible plot. His Native characters are generally more convincing than the stereotypes he uses to convey opinions held by colonials or ethnic identities not from the Indies. Two topics discussed in an unlikely conversation between a very young Minke and these powerful people are raised at the ironically-named Harmoni club:

Van Kollewjin talks about Holland owing a moral and financial debt to the Indies because exports under the Culture (Forced Cultivation) System saved Holland from bankruptcy, paid for Holland's infrastructure development and provided it with capital for expansion.
Marie Van Zeggelen tackles General Van Heutsz over his use of the word 'unify' instead of 'expand' to describe the conquest of Aceh. He talks of 'pockets' of 'political enclaves' 'destabilising the Indies' and how they must be brought to 'acknowledge the sovereignty of Her Majesty'. Ter Haar and Van Zeggelen argue that they are independent states, and that the aim of these operations is conquest not unification. They ask what his plans are for East Papua and Southeast Papua, while sarcastically noting that West Papua is a heavy burden for the Indies.

Questions of (and activism in support of) recompense for Holland's moral and financial debt, and the territorial integrity of Papua and Aceh under Indonesian sovereignty remain pertinent today.

To read the rest of my review please visit https://anzlitlovers.com/2019/09/01/f...
Profile Image for Moushine Zahr.
Author 2 books83 followers
January 9, 2019
This is the third book of the Buru Quartet I've read and the 4th novel I've read from the greatest Indonesian author of all time, Pramoedya Ananta Toer. I've loved reading each and everyone of his novel and never been disapointed. He was a great storyteller captivating readers from begining to end. The author mixes well between the story of a nation and the individual story of the main character.

In this 3rd book, the main character Minke, now an educated young adult, returns to his native country after spending years studying and writing short stories in Europe. At the beginning of the 20th century, he returns to the not yet unified Indonesia and still occupied by Netherland. First, while he's confident in his future embracing modernism and the new century, he hesitates in what he wants to do in his personnal and professional life. Then, after firt few experience with mild results, he throws himself into journalism and creating associations to empower indiginous people against the occupying powers.

The quartet main theme is struggle against colonialism throught different perspectives. The first 2 books were a coming of age of a young teenage educated in a traditional family discovering life outside protection of family, the real life, and his country. In this book, Minke is a confirmed man who tries to bring his fellow citizens to grow up from tradional education to a well organized and educated country like several other Asian countries had done prior to them. In this book, readers discover Indonesia before the country was unified, while still under occupation, and trying to bring itself together and up into the new century so not to be left behind.

This book is a must read book like any book of Pramoedya Ananta Toer. I can't wait to buy and read the 4th book of the buru Quartet.
Profile Image for Sarita.
98 reviews20 followers
January 27, 2021
“After seeing the situation in South Africa, Edu came up with some ideas that might be of use to us. In South Africa, you see, there are three peoples –English, Dutch, Natives –as well as various Asian aliens such as the Slameier exiles from Java, Indians, and Arabs. The war over who would rule South Africa was indeed won by the stronger army of England. But even with the British victory, it is the Dutch who still hold power over the Natives and the other colored peoples. The Natives remain a subjugated people.”
“Everyone knows that, Wardi. The Natives remain oppressed.”
“Yes, that is the fate of a people who have not progressed.”
“It’s not a question of not having progressed. The Natives are not allowed to progress, they are not educated to advance themselves. These are two quite different things both in substance and appearance.”


Jejak Langkah (Footsteps) is the third volume of Tetralogy Buru (Buru Quartet) by Pramoedya Ananta Toer. In earlier novels he told how he found out the hard way what it meant to be a Native in the apartheid of the Netherlands Indies, what “entering into the modern world” really meant, what real and cruel injustice was, and to what heights a Native could rise, if he or she refused to be cowed by the colonial world. This third volume is not a story of another revelations. It is truly a beginning Minke goes beyond simply wanting to understand the world to wanting to change it, not just for himself but for all the people of the Indies.

In Footsteps Minke leaves Surabaya for Batavia, the capital of the Netherlands Indies. He arrived to study at the only school of higher learning in the Indies for Natives, the medical school for native doctors. Batavia at that time was the intellectual and political center of the colony. He has left behind the people who played such an important role in opening his youthful eyes to the world around him only to meet even more worldly characters in Batavia.

Through his experience, he understands the importance of formal organization to fight colonialism. Together with his friends and wife, he established the first Native-owned daily paper and instigate the first “legal aid service” for the Natives. Eventually he co-found the first modern political organization which presents him another sets of problem: some gentry felt that they should lead the organization, some traders feel that the union should be the union of traders while some Muslims felt it should be built on Islamic values. But most of all, throughout the story Pramoedya presents how Javanese felt superior above other ethnicities. This novel is set in a time prior to the establishment of an official national language, when the choice of language was intimately tied up with social status and power.

“In branch meetings where everyone understands Javanese there is no need to use Malay. But at congresses at the national level or when you’re communicating with the national level, you must use Malay.”
“Why should Javanese be subordinated to Malay?”
“You have to be practical, Mas. In these times whatever is impractical will be pushed aside. Javanese is not practical. All the levels it contains are just pretentious ways of allowing people to emphasize their status. Malay is simpler. The organization doesn’t need statements as to everyone’s social status. In any case, all members are equal. No one is lesser or greater than another.”
“But Javanese has a richer literature. It has a greatness because of that which Malay does not have.”
“You are not mistaken. When the Javanese held sway over all the islands of Nusantara, the language of diplomacy was also Javanese. But that time has passed. The times have changed and so have the demands of the times… our organization is not a Javanese organization, but an Indies organization.”
“But the other people outside Java, they have no history or heritage of any worth.”
“Oh, no! everyone has such history and heritage. In any case, our business is not the past but the present. The modern present.”


Like in previous novels, Pramoedya Ananta Toer presents many strong female characters. A Chinese youth who smuggled herself into the Indies to bring the message of the awakening of Asia to the Chinese community of the Indies, a Sundanese woman who established school for girls, a rebellious Javanese woman who is caged at her parents’ home, a Dutch journalist friend, and many more.

“In my opinion, no people anywhere can be respected if their women are oppressed by their men as is the case with my people.”

This story reminds us to fight for justice although we don't always know how and where to start. To understand that in the process, we might be presented with even greater challenges. It also takes certain courage to confront ourselves and beliefs in order to achieve it. We owe our freedom to those brave souls before us.
Profile Image for Wenli.
237 reviews
May 4, 2025
What is going on?? The timeline is dramatically different from the first two! Time skips so far and I don’t think we had adequate time to observe Minke grow up.

The books in this series always really pick up the pace near the end of each book, which makes me want to read the next book…but it takes me a while to get into each book.

I don’t know if I particularly enjoy the writing of this one. I think the translation is solid, but I found the most engaging elements of this book to be the plot developments. The previous two books did a better job of character development and exploring new ideas. While reading the first two books, I felt like I was still getting familiarized with Indonesian culture and terminology that gave it a surreal quality. I don’t know if I got used to it by book 3, or if the plot is just more focused on the organizational development of the Sarekat and Medan, which by nature, is more accessible to someone with a western cultural background.

I also did some light background reading on the writer that Minke is based on. I can’t believe Minke’s based on a real historical figure given some of the things that happen to him.

Profile Image for Faiz • فائز.
357 reviews3 followers
October 19, 2025
Jejak Langkah ialah karya ketiga sekaligus yang paling kritikal dalam tetralogi Pulau Buru. Adalah demikian kerana pada novel ini, organisasi mulai ditubuhkan oleh Pribumi. Minke meninggalkan Sekolah Dokter dan menerbitkan koran (surat khabar) sendiri. Dokterjawa yang mengelilingi Hindia menjadi titik mula kepada pergerakan Minke ini. Perkahwinannya dengan Ang San Mei, yang tidak begitu lama kerana kematian perempuan Tionghua turut menjadi pendorong kepada Minke.

Semboyan kebangsaan mulai bertiup dengan kencang, melalui koran, kemudian organisasi. Saya bagaimanapun, sedikit terkejut tatkala membaca novel ini: organisasi ialah hal yang begitu asing sekali dalam kalangan Pribumi! Priyayi dan bupati sendiri tidak menyokong organisasi Pribumi pada peringkat awal.

Namun, saya tidak merasakan saya mampu menamatkan novel ini. Selepas halaman 484, saya tidak berupaya lagi membaca halaman yang seterusnya. Terlalu banyak dialog dan semakin sukar difahami dengan kemunculan watak demi watak yang mendadak. Maaf ya Pak Pram. Semoga saya diberikan kekuatan kelak untuk menamatkannya.

DNF, pada halaman 484.
Profile Image for Rei.
366 reviews40 followers
December 11, 2020
JEJAK LANGKAH OLEH PRAMOEDYA ANANTA TOER

“‘Kami berdua kawin untuk kami sendiri,’ kataku pendek. “Adapun baik dan buruknya kami sendiri juga yang menanggungkannya. Kami tidak mencampuri dan tidak ingin dicampuri oleh siapa pun.’” -hal 174.
“Perjuangan di zaman modern membutuhkan cara-cara yang modern pula: berorganisasi. Menjadi raksasa, kata dokter jawa pensiunan itu. Dengan bagian-bagian tubuh yang lebih kuat dari jumlah perorangan yang tergabung di dalamnya.” -hal 255.
“Semua yang kami lawan berasal dari satu sumber, kata Mei pada suatu kali: keterbelakangan kami sendiri, kebanggaan-kebangsaan yang dungu, berlebihan dan tanpa dasar…” -hal 268.
“Meniru atasan jadi pola kebajikan. Tak peduli atasan itu iblis atau hantu dari neraka yang belum terdaftar. Dengan meniru atasan orang semakin mengurangi tanggung jawab pribadi, yang memang sudah kurang dari hanya pas-pasan.” -hal 296.
“Aku simpulkan, setidak-tidaknya sementara: B.O. (Budi Utomo) memisahkan diri dari bangsa-bangsa terperintah Hindia selebihnya, dia telah bikin sempit hidup sendiri. Hindia bukan Jawa. Hindia berbangsa-ganda, organisasinya wajar kalau berwatak bangsa ganda. Jawa sebagai pulau sudah berbangsa ganda. Hindia berbangsa-ganda memang kenyataan kolonial.” -hal 391.
“Tuan-tuan akan belajar melihat kenyataan: Hindia berbangsa-bangsa, bukan hanya Jawa.” -hal 392.
“’Boycott, Tuan,’ kata Frischboten. Kemudian ia terangkan tentang ajaran Kapten Boycott. Bukan golongan kuat saja punya kekuatan, juga golongan lemah, asal berorganisasi. ‘Dan hanya dengan organisasi, Tuan, golongan lemah bisa menunjukkan kekuatan diri sebenarnya. Boycott, Tuan, perwujudan kekuatan dari golongan lemah.’” -hal 396.
“Yang terpenting di dalamnya hanya satu, unity of mind. Itu tidak bicara tentang agama, keterpelajaran, apalagi jabatan. Hanya kesatuan sikap, keseiasekataan golongan lemah. Dan golongan lemah mempunyai banyak kepentingan bersama justru karena kelemahannya, yang dapat mempersatukan.” -hal 397.
“’Di Hindia ini, Tuan, sejauh kuperhatikan, begitu seseorang terpelajar mendapat jabatan dalam dinas Gubermen, dia berhenti sebagai terpelajar. Kontan dia ditelan oleh mentalis umum priyayi: beku, rakus, gila hormat, dan korup. Nampaknya yang harus dipersatukan memang bukan kaum priyayi, justru orang-orang yang sama sekali tidak punya jabatan negeri.’” -hal 464-465.
“’…semakin jauh orang dari jabatan negeri, semakin bebas jiwanya, semakin bebas sepak terjangnya, karena memang pikirannya lebih lincah, bisa produktif dan bisa kreatif, mempunyai lebih banyak inisiatif, tidak dibatasi dan dibayang-bayangi ketakutan akan dipecat dari jabatannya.’” -hal 465.
“Keadilan harus berdiri tegak, juga di negeri jajahan ini. Siapa lagi kalau bukan pribumi sendiri harus mengurus dan menegakkan? Karena keadilan adalah khas urusan manusia, bisa tegak hanya oleh manusia.” -hal 596.

Minke berangkat ke Betawi, semangat hendak menuntut ilmu di STOVIA. Namun ia dikecewakan oleh pelbagai hal: diskriminasi dan cita-cita dangkal para rekannya sesama pelajar. Minke semakin gelisah ingin melakukan sesuatu. Dalam kegelisahannya, ia bertemu dengan orang-orang yang semakin mengobarkan rasa nasionalismenya (walau saat itu Minke belum menyadari idenya tentang nasionalisme). Ter Haar, seorang Belanda liberal yang pro-pribumi. Ang San Mei, gadis Tionghoa yang tergabung dalam kelompok revolusi Angkatan Muda Tiongkok. Saking kagumnya terhadap Mei, Minke sampai jatuh cinta dan mereka menikah. Seorang pensiunan dokter jawa yang menekankan bahwa pribumi perlu berorganisasi agar bisa bangkit dari tekanan pemerintah kolonial. Ia juga sempat berdialog dengan RA Kartini (yang dalam buku ini disebut si Gadis Jepara) yang ingin memperjuangkan pendidikan bagi kaum wanita demi membebaskan mereka dari adat dan tradisi yang patriarkis.

Jejak Langkah adalah masa di mana kegelisahan Minke mulai berkembang menjadi tindakan. Ia mendirikan Medan Priyayi, sebuah surat kabar yang mempekerjakan pribumi seluruhnya, dan organisasi Syarikat Dagang Islam. Perjuangannya penuh hambatan, dimulai dari minimnya pengalaman, golongan Indo yang iri karena kedudukan mereka mulai tergeser oleh kemajuan pribumi, hingga peringatan-peringatan dari Pemerintah Hindia Belanda sendiri. Namun tanpa kenal takut ia maju terus, bahkan memperjuangkan nasib petani yang tanahnya direbut dengan semena-mena oleh pabrik gula.

Minke yang bertemu banyak orang yang inspiratif dan selalu haus pengetahuan dan informasi membuat jalan pikirannya menjadi teramat kritis. Ia bahkan mengritik Budi Utomo, yang sekarang kita kenal sebagai pelopor organisasi berbasis pendidikan. Menurut pandangannya, Budi Utomo terlalu eksklusif, khusus bagi orang Jawa, padahal rakyat Hindia terdiri atas bangsa-bangsa yang berlainan, itupun baru Pulau Jawa saja. Dalam buku ini, Minke sudah mencetuskan ide tentang Bhinneka Tunggal Ika, ingin mempersatukan Hindia yang berbangsa ganda dalam satu wadah organisasi. Tujuannya tak lebih hanya untuk melindungi pribumi dari kesewenangan Pemerintah Belanda dan antek-anteknya: Indo dan priyayi.

Membaca buku ini membutuhkan waktu lama bagiku, terutama karena aku ingin menyerap dengan sungguh-sungguh berbagai ide yang dicetuskan oleh Minke dan banyak tokoh lainnya. Kenyataan bahwa buku dengan ide-ide nasionalisme secemerlang ini dulu malah dilarang sungguh mengiriskan.

Satu hal lain yang kukagumi dari Pramoedya Ananta Toer: beliau sukses mengambil hatiku karena cenderung mengglorifikasi tokoh-tokoh perempuan dalam karya-karyanya. Sebut saja Nyai Ontosoroh, Surati alias Nyai Paina, Ang San Mei, Gadis Jepara (RA Kartini), Prinses van Kasiruta (Siti Fatimah dari Kesultanan Bacan), bahkan Piah, pembantu rumah tangga Minke di Buitenzorg. Beliau juga mengritik terbitnya buku Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht), karena menurutnya, tak mungkin sesedikit itu surat-surat Kartini, dan bahwa isinya terlalu dangkal tidak sejalan dengan isi pikiran Kartini yang sempat dicurahkannya lewat korespondensinya dengan Ang San Mei.
1 review
December 1, 2017
Jejak Langkah yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer merupakan roman ketiga dari Tetralogi buru yang menceritakan kehidupan dari tokoh Minke. Minke adalah tokoh yang hidup pada masa penjajahan Belanda dan merupakan anak dari Bupati Jawa Timur. Dalam roman Jejak Langkah, Pramoedya Ananta Toer banyak mencurahkan pendapat dan kritiknya terhadap pemerintahan Belanda beserta kejadian-kejadian lainnya pada masa penjajahan melalui tokoh Minke.

Roman Jejak Langkah diawali dengan cerita mengenai pengalaman Minke bersekolah di STOVIA—sekolah kedokteran dengan gaya belajar Eropa yang dibangun oleh pemerintah Belanda untuk pribumi. Hidup Minke selama di STOVIA tidak mudah. Banyak dialaminya kekerasan dan penindasan dari senior. Belum lagi masalah-masalah personalnya yang secara tidak langsung mengganggu proses belajarnya selama di STOVIA. Namun, karena Minke adalah seorang tokoh yang kuat dan berani, Minke berhasil menghadapi masalah-masalah tersebut tanpa menurunkan harga dirinya.

Dalam roman ini, Pramoedya Ananta Toer menggambarkan tokoh Minke melalui sikap dan tingkah laku Minke. Salah satu watak Minke yang paling berkesan bagi saya adalah bagaimana Minke bisa merubah suatu musibah menjadi keberhasilan. Minke mampu menemukan kesempatan di tengah sebuah masalah atau kegagalan. Ditambah dengan watak Minke yang adaptif dan inovatif, Minke mampu menggunakan kesempatan tersebut secara bijak untuk menghasilkan sesuatu yang berpengaruh positif bagi dirinya dan orang di sekitarnya.

Contoh kejadian dalam roman Jejak Langkah yang menunjukkan bagaimana Minke merupakan seorang individu yang adaptif dan inovatif terdapat dalam bagian dimana Minke membangun berbagai organisasi. Sebagai seseorang yang visioner, Minke memiliki visi untuk memperbaiki kondisi Indonesia, baik dalam bidang perdagangan maupun pers, melalui organisasinya. Proses pembentukan organisasi-organisasi tersebut pun tidak mulus; Minke dihadapkan dengan banyak masalah dari berbagai pihak, termasuk pihak Gubermen. Bahkan, salah satu organisasi Minke gagal. Melalui masalah ini Pramoedya Ananta Toer menggambarkan tokoh Minke yang bersifat pantang menyerah, bekerja keras, dan mampu menyelesaikan konflik.

Berkat watak Minke yang pantang menyerah, bekerja keras, dan mampu menyelesaikan konflik, Minke mampu menghasilkan berbagai karya yang menjadi inspirasi bagi kaum pribumi lainnya. Karya-karya Minke menemani hari-hari dari banyak pribumi baik di Batavia maupun di luar Batavia. Bahkan, banyak pribumi yang setia menunggu karya-karya baru dari Minke. Karya-karya Minke ini lah yang mendorong kaum pribumi di Indonesia untuk terus berjuang dalam kehidupan. Sayangnya, pastinya ada beberapa kelompok yang tidak senang dengan aktifitas dan karya Minke sampai akhirnya berniat mencelakakan Minke.

Selain menggambarkan watak Minke dalam roman Jejak Langkah, Pramoedya Ananta Toer juga menuliskan kritik dan opini pribadinya terhadap kejadian-kejadian pada masa penjajahan yang tercatat dalam sejarah. Salah satu kritik yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam roman ini adalah menyangkut organisasi Boedi Oetomo. Sebagai penulis yang baik, Pramoedya Ananta Toer berhasil mencurahkan opininya melalui tokoh Minke tanpa membuat kesan bahwa sang penulis terlalu melibatkan pendapat dirinya sendiri ke dalam karyanya. Cara Pramoedya Ananta Toer menulis kritiknya terhadap Boedi Oetomo sangat natural, hingga terkesan bahwa kritik tersebut hanya berasal dari Minke, bukan dirinya. Pembaca pun tidak akan merasa terganggu dengan kritik dan opini pribadi yang Pramoedya Ananta Toer campurkan ke dalam roman ini.

Secara keseluruhan, roman Jejak Langkah ini bisa dianggap sebagai salah satu karya fiksi yang sempurna. Dalam roman ini, Pramoedya Ananta Toer mampu mengangkat kejadian-kejadian nyata (non-fiktif) dan mencampurkannya dengan unsur-unsur fiktif. Roman Jejak Langkah ini juga mengandung berbagai unsur humor dan bagian-bagian menyenangkan di tengah jalan cerita yang serius. Selain itu, Pramoedya Ananta Toer berhasil menggambarkan perkembangan watak Minke dengan sangat baik dan jelas dari awal roman hingga akhir. Perkembangan watak Minke yang dikarang oleh Pramoedya Ananta Toer bukan merupakan perkembangan watak yang sederhana. Perkembangan watak Minke yang rumit ini mengundang para pembaca untuk ikut berpikir dan menganalisa tokoh Minke, membuat roman ini menjadi lebih menarik. Terdapat juga banyak moral dan pesan bermanfaat dalam roman ini yang bisa kita terapkan dalam kehidupan kita.

Secara fisik, roman Jejak Langkah dicetak dengan kualitas yang baik. Sampulnya memiliki desain yang sederhana tetapi tetap menarik. Kualitas kertas dari sampulnya sendiri pun cukup tebal sehingga tidak mudah rusak. Kertas yang digunakan untuk halaman roman ini tidak terlalu tebal dana tidak rapuh sehingga roman ini mudah dibawa dan tidak berat. Cetakan huruf di kertas roman ini juga tebal dan jelas dengan ukuran yang tepat, memberikan kenyamanan bagi para pembaca.

Satu hal yang perlu diketahui oleh orang-orang yang ingin membaca roman Jejak Langkah adalah roman ini memiliki jalan cerita dan konflik yang berat. Terdapat banyak unsur sejarah dan politik dalam roman ini sehingga orang-orang yang tidak mempelajari sejarah Indonesia dan ilmu politik akan mengalami kesulitan dalam memahami cerita yang diangkat oleh Pramoedya Ananta Toer. Selain itu, bahasa yang digunakan oleh Pramoedya Ananta Toer bisa dianggap cukup sulit, sehingga para pembaca yang kurang paham bahasa Indonesia atau yang jarang membaca akan mengalami kesulitan dalam memahami jalan cerita serta pesan dari Pramoedya Ananta Toer.
Profile Image for Andrew.
2,258 reviews928 followers
Read
May 11, 2018
Another continuation of the story of Minke, this time with politics at the absolute forefront. Rather than being the story of a youth in the colonial Indies, with political themes always looming over the background, Footsteps is a novel all about the struggle, Brechtian as hell. Rabble is roused. I'm not sure whether that helps -- it can be leadenly didactic at times -- but it's definitely quite different from the other two volumes, although again with the same remarkable use of different languages as different contexts conveying different meanings. I still liked it, but it didn't sing in quite the same way as volumes 1 and 2. Onto House of Glass.
Profile Image for Ajeng.
58 reviews2 followers
November 28, 2020
3 dari 4 - Tetralogi Buru.

DAMNNNNNN that was such a long journey but an exciting one. Buku ketiga menceritakan proses pergerakan nasional mulai berjalan, di mana Minke dan kawan-kawan membangun dan menggunakan media cetak maupun organisasi untuk menyebarluaskan pesan 'nasionalisme'. Part ketiga ini paling panjang dari empat bagian tetraloginya, tapi sama sekali nggak kerasa bosan soalnya plotnya cepat dan praktis - walaupun ada beberapa bagian yang terkesan 'dry' dan nggak perlu dielaborasi panjang lebar. Yang bikin lebih suka lagi adalah detail-detailnya, benar-benar berasa dibawa ke jaman pergerakan masa lampau. INTINYA TOP NOTCH.
Profile Image for Rizka.
50 reviews
April 18, 2025
setelah membaca anak semua bangsa aku berpikir buku keduanya tuh udah GONG JDERR TERNYATA justru jejak langkah yang lebih GONGGGGGGG meneruskan perjalanan minke dimulai dari ketidaksukaannya saat ia harus mengenakkan destar jawa sampai yang berubah total memperjuangkan sebangsanya melalui perjuangan pers #thedevelopment!!
aku beneran dibikin kosong selama baca buku ini banyak banget pengetahuan baru yang di di dapat, bukan hanya sekedar fiksi, banyak sekali tokoh asli nasionalis yang berkesinambungan hadir untuk mengisi cerita pada masa kolonial Indonesia.
Endingnya menyayat hati, teriris ku dibuatnya😭
WHAT A ROLLERCOASTER READ!!!
Displaying 1 - 30 of 490 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.