فرحت كثيراً بتجربته الأولى فى الترجمة، وكنت متحمساً جدا لقراءة هذا العمل،من باب الفضول والمعرفة،لكى أتعرف على ثقافة مختلفة،خصوصا أن الشعر هو أقرب الأنواع الأدبية التى لديها القدرة على تشريح البيئة وتقديم وجهة نظر عن هذه الثقافة وهذه المجتمعات التى تشبه إلى حد كبير مجتمعاتنا الشرقية.
لم يحالفنى الحظ من قبل أن أقرأ لشاعر أندونيسى، تعرفت على هذا الثقافة من خلال هذا الشاعر الكبير" ساباردى جوكو دامونو " وهذا المترجم الرائع والشاعر الصغير سناً والكبير قيمة" عثمان الرومى".
استقبلت أول مخطوط من ديوان" همك دائم" وأنا فى حالة من النشوة والفرح وعندما شرعت فى قراءته أبهرنى هذا الخيال وهذه الأدوات الفنية وهذه التصاوير الفنيةشديدة الروعة والجمال.
ومن أول وهلة يستطيع أى قاريء بسيط أن يلمح تشابه فى المواضيع الإنسانية التى تشبه إلى حد كبير مواضيعنا وافكارنا بالرغم من اختلاف الحدود والأرض والسماء.
وهى أن دلت تدل على شاعر كبير يفهم ماهية الأنسان وقضايا وطنه ومجتمعه الذى تربى فوق رماله وأرضه الخضراء
Riwayat hidup Masa mudanya dihabiskan di Surakarta. Pada masa ini ia sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sejak tahun 1974 ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, namun kini telah pensiun. Ia pernah menjadi dekan di sana dan juga menjadi guru besar. Pada masa tersebut ia juga menjadi redaktur pada majalah "Horison", "Basis", dan "Kalam".
Sapardi Djoko Damono banyak menerima penghargaan. Pada tahun 1986 SDD mendapatkan anugerah SEA Write Award. Ia juga penerima penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar.
Karya-karya Sajak-sajak SDD, begitu ia sering dijuluki, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Sampai sekarang telah ada delapan kumpulan puisinya yang diterbitkan. Ia tidak saja menulis puisi, tetapi juga menerjemahkan berbagai karya asing, menulis esei, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola.
Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti Aku Ingin (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari. Kepopuleran puisi-puisi ini sebagian disebabkan musikalisasi terhadapnya. Yang terkenal terutama adalah oleh Reda Gaudiamo dan Tatyana (tergabung dalam duet "Dua Ibu"). Ananda Sukarlan pada tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya SDD.
Berikut adalah karya-karya SDD (berupa kumpulan puisi), serta beberapa esei.
Kumpulan Puisi/Prosa
* "Duka-Mu Abadi", Bandung (1969) * "Lelaki Tua dan Laut" (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway) * "Mata Pisau" (1974) * "Sepilihan Sajak George Seferis" (1975; terjemahan karya George Seferis) * "Puisi Klasik Cina" (1976; terjemahan) * "Lirik Klasik Parsi" (1977; terjemahan) * "Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak" (1982, Pustaka Jaya) * "Perahu Kertas" (1983) * "Sihir Hujan" (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia) * "Water Color Poems" (1986; translated by J.H. McGlynn) * "Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono" (1988; translated by J.H. McGlynn) * "Afrika yang Resah (1988; terjemahan) * "Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia" (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks) * "Hujan Bulan Juni" (1994) * "Black Magic Rain" (translated by Harry G Aveling) * "Arloji" (1998) * "Ayat-ayat Api" (2000) * "Pengarang Telah Mati" (2001; kumpulan cerpen) * "Mata Jendela" (2002) * "Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro?" (2002) * "Membunuh Orang Gila" (2003; kumpulan cerpen) * "Nona Koelit Koetjing :Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870an - 1910an)" (2005; salah seorang penyusun) * "Mantra Orang Jawa" (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)
Musikalisasi Puisi
Musikalisasi puisi karya SDD sebetulnya bukan karyanya sendiri, tetapi ia terlibat di dalamnya.
* Album "Hujan Bulan Juni" (1990) dari duet Reda dan Ari Malibu. * Album "Hujan Dalam Komposisi" (1996) dari duet Reda dan Ari. * Album "Gadis Kecil" dari duet Dua Ibu * Album "Becoming Dew" (2007) dari duet Reda dan Ari Malibu * satu lagu dari "Soundtrack Cinta dalam Sepotong Roti", berjudul Aku Ingin, diambil dari sajaknya dengan judul sama, digarap bersama Dwiki Dharmawan dan AGS Arya Dwipayana, dibawakan oleh Ratna Octaviani.
Ananda Sukarlan pada Tahun Baru 2008 juga mengadakan konser kantata "Ars Amatoria" yang berisi interpretasinya atas puisi-puisi SDD.
Buku
* "Sastra Lisan Indonesia" (1983), ditulis bersama Subagio Sastrowardoyo dan A. Kasim Achmad. Seri Bunga Rampai Sastra ASEAN.
Membaca kumpulan puisi ini kembali seolah disodorkan sesuatu yang sudah saya tahu hanya dikemas ulang. Kebetulan bapak punya kumpulan puisi ini berjudul sama terbitan 1969. Sudah baca juga dan rasanya isinya sama saja. Hanya di kemasan kali ini hadir pula bonus 4 lagu musikalisasi puisi dari Sapardi DD. Puisi-puisi Sapardi memang kerap sekali digubah menjadi musikalisasi puisi dan enggak kalah ciamik juga jadinya. Mendapatkan buku ini kembali dikemas dengan segar ditambah bonus cd lagu dan 5 judul lainnya yang terbit ulang rasanya menjadi keharusan untuk segera mengoleksinya. Bukan begitu?
Membaca kumpulan puisi ini di burjo. Di depan saya ada asbak yang di atasnya ada bungkus makroni. Lalu ada teteh-teteh yang keliru menyajikan saya torabika padahal yang saya pesan coffemix.
Membaca puisi-puisi di buku ini membuat saya hadir di dalam suasana yang sepi. Di otak saya berlalu-lang gambar-gambar dari setiap baris yang ditulis Sapardi. Secara bebunyian pun puisi ini enak untuk dibaca.
Selalu suka dengan sajak eyang Sapardi. Pilihan diksi dan rima yang sempurna mungkin mempermudah pemahaman terhadapa sajak- sajak beliau. Penggunaan segala majas dengan bahasa sederhana yang membuatku menyukai puisi dari dulu. How i missed him :(.
Di buku ini ada bonus cd musikalisasi yang belum aku dengar. Aku selalu suka karya AriReda, tapi ini bukan dari mereka, let me play it when i find cd player or laptop. Oh how i missed bang Ari too :(.
Menjajal lagi karena sebelumnya sempat mencoba (dengan karya yang lain), tapi sepertinya kesannya tetap sama. Puisi-puisinya begitu luhur, saking luhurnya (ketinggian, kalau kata orang Sunda) saya kurang bisa mencernanya. Terasa abstrak. Tidak semua memang, tapi kebanyakan. Jadi, mungkin ini buku terakhir Eyang yang kubaca untuk saat ini. Entah untuk beberapa bulan atau tahun ke depan.
"duka-MU abadi" adalah buku kumpulan puisi pertama Pak Sapardi, yang berisi puisi-puisi beliau yang ditulis pada 1967-1968.
Sebenarnya buku ini saya beli dalam rangka mencari teks untuk lagu yang (waktu itu) akan dikomposisi oleh Mas Ananda Sukarlan. Dibeli bukan karena ini kumpulan puisi yang terbaik dari Pak Sapardi (terus terang, saya juga tidak terlalu tahu banyak tentang karya-karya beliau), tapi lebih karena buku ini memuat "Sonet: Hei! Jangan kaupatahkan" yang telah dimusikalisasi oleh AS.
Membaca sajak-sajak di buku ini, terasa banyak kesedihan: kesedihan dalam pengorbanan, kesedihan dalam kedukaan, kesedihan dalam doa, kesedihan dalam pertemuan dan perpisahan, kesedihan dalam cinta, bahkan kesedihan di antara gerimis dan hujan, di antara bunga di taman, dan di antara angin pagi. Kesedihan yang membawa pengertian baru tentang kesedihan.
Tidak salah memang kalau A. Teeuw menulis, "... sajak yang indah, yang malahan membebaskan hati saya sambil menjadikannya sedih."
Walaupun kemudian pada akhirnya, AS memutuskan untuk memakai sajak-sajak pendek Joko Pinurbo untuk lagu yang kami pesan, saya merasa beruntung bisa membaca buku ini.
'hanyutkan, sungai, beribu kata, lagu, dan tanda mata yang tak sempat dialamatkan kepada Dunia' diambil dari "Mengalirlah, Sungai" (Sapardi Djoko Damono, 1967)
saya menyukai serial sonnet, hujan, dan berjalan di belakang iringan jenazah. yang terakhir ini sunguh simple namun menerenyuhkan... untuk tidak bilang horror dalam bentuk yang indah.
sungguh pengantar ke kecintaan pada karya karya sapardi berikutnya
Buku setipis ini ternyata meninggalkan kesan yang tebal. If I could have a rationalization for every brokenhearted, then I will tell the same thing as he wrote, "Dukamu abadi."
hari pun tiba. kita berkemas senantiasa. kita berkemas sementara jarum melewati angka-angka kau pun menyapa: ke mana kita tiba-tiba terasa musim mulai menanggalkan daun-daunnya
tiba-tiba terasa kita tak sanggup menyelesaikan kata tiba-tiba terasa bahwa hanya tersisa gema sewaktu hari pun merapat jaram jam hibuk membilang saat-saat terlambat
(hari pun tiba)
oh, saya jadi tahu kenapa kumpulan sajak duka-Mu abadi ini difavoritkan banyak pembaca dan menjadi salah satu buku puisinya yang populer dan terbaik.
baru membaca tiga puisi di awal buku, saya tak kuat. saya perlu jeda. saya membacanya lagi dari awal. sebab membaca sajak Sapardi, seperti melumat bibir kekasih, kau perlu melakukannya pelan dan penuh khidmat.
secara menyeluruh, duka-Mu abadi adalah sajak-sajak implisit dan penuh personifikasi—karena puisi-puisi di sini adalah puisi lamanya, terbit pertama kali pada tahun 1969. maka kau perlu menyelaminya dalam-dalam, bukan sekadar berenang di permukaan. akan ada puisi-puisi yang membuatmu termenung, berjeda, memikirkan, "ini apa, ya, maksudnya?" dan kupikir, alasan lain yang menjadikan buku ini terbaik, karena 'nada'nya yang enak dilafalkan. seperti kau mendengar lagu-lagu berbahasa asing dengan instrumen apik, kau tetap dapat menikmatinya meski tak tahu makna liriknya.
ada banyak kata yang berada di tengah kalimat tapi menggunakan huruf awalan kapital. seperti Bunga, Cahaya, Hari Hidup, Kata, dan lainnya. seolah kata-kata itu adalah sosok agung seperti Tuhan.
selain puisi Pada Suatu Hari Nanti yang bertebar di media sosial setelah meninggalnya eyang di bulan juli lalu, dalam duka-Mu abadi ada juga puisi-puisi tentang kematian; Saat Sebelum Berangkat, Berjalan di Belakang Jenazah, Sehabis Mengantar Jenazah.
di lembar pertama tertulis, "buatmu, Mu". ketika aku membaca puisi-puisi di dalamnya, kudapat menghayati bahwa inilah karya intim antara eyang dengan tuhannya. puisi-puisi yang banyak ditujukan buat-Nya.
kita berkata: jadilah dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut di atasnya: langit dan badai tak henti-henti di tepinya: cakrawala
(atas kemerdekaan)
ada bonus CD Sebuah Taman Sore Hari berisi 4 musikalisasi puisi eyang. tapi saya belum punya lagi DVD. nanti kalau punya, tentu akan mendengarkannya.
pergilah kerna malam sudah reda. kau menolehku ke padang mana lagi, ke laut (mencapai sunyi) tapi sudah tiba saatnya, berdukalah
Kalau sudah baca kumpulan sajak Hujan Bulan Juni, saya sarankan untuk mempertimbangkan kembali pilihan untuk membeli buku ini.
Seperti di review-review sebelumnya, goresan-goresan di buku ini kebanyakan telah termuat di buku Hujan Bulan Juni. Hanya beberapa tambahan puisi baru dan CD Musikalisasi Puisi (yang sejujurnya mengecewakan saya) Memang, puisi SDD ketika dimusikalisasikan akan jauh lebih mempesona dibandingkan dibaca saja, namun (menurut saya) tidak dengan yang di CD.
Sejauh ini, puisi yang membekas di dalam buku puisi ini adalah "Prologue"
Aku suka dengan puisi puisi yang ditulis oleh penulis. Terus yang bikin suka lagi adalah aku dapat kaset berisi lagu puisi gitu, keren deh. Yaa karena aku masih pemula dalam membaca buku sastra puisi seperti ini jadi butuh waktu yang agak lama untuk ku agar bisa memahami puisi nya
tetep indah. dan dari semua cetakan ulang buku puisi sapardi, sebenarnya yang paling kutunggu adalah buku ini..... karena konon ini yang paling kueren. dan emang bener sih
Membaca kumpulan puisi ini di burjo. Di depan saya ada asbak yang di atasnya ada bungkus makroni. Lalu ada teteh-teteh yang keliru menyajikan saya torabika padahal yang saya pesan coffemix.
Sebelum "Aku Ingin", sebelum "Hujan Bulan Juni", ada "Duka-Mu Abadi".
Dalam buku ini, kita dapat melihat ciri khas Sapardi yang kita kenali lewat sajak-sajaknya yang populer. Ibarat pelukis, Sapardi adalah penyair beraliran impresionis. Pengalaman-pengalaman yang terasa biasa saja bagi orang-orang kebanyakan seperti cahaya matahari, hujan gerimis, atau bunga mekar berwarna-warni di taman adalah pengalaman yang sangat intens bagi Sapardi. Hal ini terlihat dari diksi yang digunakan untuk menggambarkan objek-objek tersebut, seperti: "kabut cahaya", "ranting-ranting cuaca", "bulu-bulu cahaya", "serbuk hujan". Tak jarang beliau menyandingkan kata yang memberi kesan "keras" dengan kata yang memberi kesan "lembut", seperti: "sengit cinta kita", "jerit bunga-bunga rekah", "raung warna". Dalam "aliran" ini, saya belum menemukan penyair yang lebih baik dari Sapardi.
Hal lain yang menarik dalam buku ini adalah cara Sapardi memandang Tuhan. Dalam buku ini terdapat sajak-sajak yang bertema Ketuhanan. Aspek ketuhanan yang diangkat Sapardi dalam buku ini bukan relijiusitas, tapi lebih merupakan spiritualitas. Sapardi tidak mengangkat fenomena atau ritual dari agama tertentu, tapi pengalaman Ketuhanan yang universal. Dalam sajak-sajak tersebut terlihat bahwa bagi Sapardi, Tuhan bukanlah sosok Maha Kuasa yang di hadapanNya manusia lemah dan tak berdaya. Tuhan adalah Kesunyian, Sepi yang purba yang ada dalam diri manusia. Menggapai Tuhan berarti me-"niada"-kan diri ("sepasang Tiada...sepi meninggi").
Bagi orang yang mengenal Sapardi lewat potongan puisi "Aku Ingin" di undangan-undangan pernikahan atau "Hujan Bulan Juni" di buku teks Bahasa Indonesia SMP, Duka-Mu Abadi adalah buku yang tepat untuk mengungkapkan betapa kerennya penyair yang satu ini.
Baca buku Duka-Mu Abadi setelah baca Mata Jendela rasanya kayak deja vu. Soalnya ada beberapa puisi dari Mata Jendela yang ada dalam buku ini juga.
Puisi-puisi Sapardi bukan tipe meledak dan menikam. Melainkan menghanyutkan.
Dan ketika membaca buku ini, waktu serasa membeku. Maksudku, puisinya menceritakan sebuah momen, yang barangkali hanya berlangsung sekian detik dan saat itu juga, yang selama ini tidak pernah kuperhatikan. Atau lebih tepat, membaca puisi-puisi Sapardi seperti sedang menatap dan merasakan sebuah gambar fotografi. Dunia membeku dan jarum jam pun berhenti, memberikan waktu bagi pembaca untuk merasakan momen lebih lama sepuasnya.
masih terdengar sampai di sini dukaMu abadi. Malam pun sesaat terhenti sewaktu dingin pun terdiam, di luar langit yang membayang samar kueja setia, semua pun yang sempat tiba sehabis menempuh ladang Qain dan bukit Golgota sehabis menyekap beribu kata, di sini di rongga-rongga yang mengecil ini
kusapa dukaMu jua, yang dahulu yang meniupkan zarah ruang dan waktu yang capai menyusun Huruf. Dan terbaca: sepi manusia, jelaga
Saya seperti dibawa kembali pada kegelapan. Merasa dibuat paham pada Sesuatu yang selama ini selalu ada.