“Saya selalu mengibaratkan kejadian di muka bumi ini dengan lautan. Sebenarnya semua ciptaan-Nya telah terasing di lautan-Nya. Semua orang tenggelam di laut semesta. Bergoncangan, beradu dengan ombak. Kita menangis saat bahagia dan kita tertawa saat bersedih. Dan pada akhirnya orang-orang yang kita cintai akan pergi. Sampai nanti kita sendiri juga pergi.” – Pantai Cermin
Elegi memuat 13 cerita pendek dan 6 fragmen yang berkisah tentang kepergian, kehilangan, dan kematian dalam beragam caranya. Cerita pendek dan fragmen dalam kumpulan ini bertutur tentang kehidupan sehari-hari orang-orang yang merasa bosan di perkotaan maupun kehidupan orang-orang yang merasa binasa di pedesaan. Beberapa cerita juga bereksperimen dengan hal-hal yang ganjil. Sekian cerita dengan lincah menggerakkan kejiwaan para tokohnya lewat sudut pandang orang-orang yang dianggap gila oleh masyarakat hingga kisah futuristik yang mengajak pembaca bergerak maju-mundur dalam ruang dan waktu bersama suatu dinasti keluarga superkaya yang hadir dari masa depan. Dengan semua eksperimen itu, Dewi Kharisma Michellia merefleksikan hidup para tokohnya yang berperangai ganjil beserta ratapan-ratapan hidupnya—menjadikan cerita-cerita pendek dalam kumpulan ini selayaknya sebuah elegi, lantunan cerita tentang orang-orang yang hilang dan tentang kehilangan itu sendiri.
Dewi Kharisma Michellia was born in Denpasar, 1991.
Her work, Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya (A Long Letter of Our Million Light-Years Distance) was published by Gramedia Pustaka Utama in 2013 after winning the 2012 Jakarta Art Council Novel Contest, which later short-listed as the 2013 Khatulistiwa Literary Award. In 2016, A Copy of My Mind, a film-to-novel adaptation, published by Grasindo. Still at the same publisher, in 2017, her first collection of short stories, Elegi (The Elegy), was published. In 2015, she received the Taruna Sastra award from the Language Development and Fostering Agency. In 2017, she spent writing residency in Orly and Paris, France funded by the National Book Committee. In 2018, she joins Ruang Perempuan dan Tulisan (Women Writers Room and Writings). Later in 2022, the collective published a book on forgotten women writers in Indonesia.
She has served as managing editor for various online publications since 2013, jakartabeat.net and jurnalruang.com, and literary criticism site tengara.id, also edits and translates fiction and nonfiction books. She is currently a member of the literary committee of the Jakarta Arts Council for the 2023-2026.
DNF at page 125 (so close to the end but I just can't go on...)
Aku tidak menemukan satupun cerpen favorit. The stories were really, really dull. Satu hal positif dari cerpen-cerpen disini, suka dikasih twist yang asik!
Dari pertama kali membaca cerpen Mimi di Tempo 2012 lalu Pantai Cermin, saya sudah suka sekali dengan gaya penceritaan yang tenang dan sepertinya tidak ada kalimat yang sia-sia. Dan satu lagi, Mimi tidak terjebak untuk bermanis-manis dengan lokalitas Bali, tempat darahnya tumpah pertama kali. Dan itu menurutku hal yang luar biasa. Dan di cerpen ini, saya suka sekali dengan pilihan tema yang diambil Mimi, soal kesendirian dan kematian.
Cerpen favorit saya adalah 1. Penulis Fiksi 2. Putusan Ely 3. Tanda
Dan di Putusan Ely, yang dulu di Media Indonesia berjudul Keputusan Ely, ada satu frasa yang semenjak pertama kali membaca sampai sekarang saya masih ingat. Bahkan suara burung-burung pada pohon akasia yang berkicau sepanjang hari sudah dia masukkan ke dalam setoples Kalimat ini ajaib sekali menurut saya. Selain manis, juga ada ruang kosong yang membuat kita bebas memasukkan imajinasi paling liar sekali pun. Duh, semakin gayeng ya Mimi.....
Paling suka sama cerpen "Forum Keluarga" soalnya ngingetin saya sama dua cerpen yang pernah saya baca ; dari Borges dan Edgar Allan Poe...kisahnya tentang konflik 2 keluarga yang udah terjadi secara turun-menurun...
1. Penulis Fiksi Setelah baca endingnya baru sadar cerita ini mirip Stranger Than Fiction. Mungkin penulisnya terinspirasi he he. Tapi sama sekali tidak sadar sampai ending. Jadi Michelle jenius menuliskan alur yang penuh misteri sampai pembaca menemukan ujungnya: ya ampun endingnya!
2. Kompilasi Kehilangan Sesuai judulnya, cerpen ini berisi kompilasi kehilangan dari beberapa orang yang saling mengenal. Seperti efek domino. Tapi bagian terbaik justru di pembuka cerpen. Kisah seorang gadis yang merasa hidupnya sudah tuntas dan membakar seluruh dokumen pribadi dan ijazahnya, lalu bunuh diri.
3. Rindu Dalam launching bukunya di Jakarta, Michelle bilang cerpen ini terinspirasi dari novel Memoirs of A Geisha. Entah mengapa saya merasakan kegetiran yang sama dengan membaca novel itu. Saya suka kutipan ini: "Ketika kau akhirnya tahu siapa yang akan mencintaimu untuk selamanya dan berada di sisimu sampai kapan pun juga, apa hatimu tidak akan tergerak untuk menghabiskan sisa hidupmu dengan orang itu sampai ajal menjemputmu?" Tapi si Jo malah pergi. 'Dan tidak akan ada seorang pun yang menyerupainya seumur hidupku'.
4. Keberangkatan Ternyata dengan ruang sempit cerpen, Michelle bisa memasukkan cerita yang demikian kompleks.
5. Rekan Bicara Michelle tahu pasti fragmen ini mirip sekali dengan cerita saya dan (mantan) kekasih saya. Terima kasih sudah menulis ini Mi, meskipun kamu menulisnya jauh sebelum saya merasakannya.
6. Cerita Penunda Rutinitas Cerita yang manis tapi getir.
7. Perpisahan Maafkan jika saya salah. Tapi membaca cerita ini saya membayangkan penulis sedang menghadiri pemakaman ibunya. Saya sangat merasakan kehilangan itu. Cerita yang sangat intim memasuki batin tokoh.
Secara keseluruhan, buku ini adalah sekumpulan cerita kehilangan yang menyayat dengan lembut sehingga membentuk elegi yang melelapkanmu dalam duka cita yang intim.
Saya benar-benar menyukai kumpulan cerpen dan fragmen dalam buku ini. Saya langsung penasaran ingin tahu sumber inspirasi dan asal-usul penulis- saya langsung cari dan cek instagram-nya. Ide-idenya brilian sekali. Beberapa cerita berjenis science-fiction dan dituliskan dengan sangat menarik, tidak bikin bosan, terasa mengada-ada ataupun menggurui. Setelah lihat instagramnya, saya lihat bahwa Nirwan Dewanto pernah mengusulkan penulis untuk menekuni genre science-fiction. Sungguh saya sangat mendukung ide ini. Saya jadi tidak sabar membaca buku-buku penulis lainnya!
Hampir semua cerpen membahas kehilangan, kenihilan, dan kematian. Cerita-cerita yang mengalir dengan datar dan seolah tanpa memiliki konflik. Indah dan menyenangkan membaca cerpen-cerpen seperti ini.
Mereka yang selalu tersenyum bukan karena bahagia, melainkan karena telah terbiasa (Pantai Cermin, 4)
Bagimu, pernikahan adalah tentang siapa yang kau ajak mengobrol di masa senjamu (Rekan Bicara, 136)
Favorit: Kompilasi Kehilangan, Rekan Bicara, Hidup Kita Selepas Elegi
13 cerpen dan 6 fragmen yang bicara tentang kehilangan, kepergian, hingga kematian. Merinding di awal, speechless ditengah, dan tenang di akhir. Seperti itulah mood saya membaca buku Michellia ini. 1. Penulis Fiksi. Sebenernya ini adalah kisah romantis. Tapi Mi menceritakannya dengan sangat² berbeda. Kau percaya akan bertemu dengan orang yang kau cintai dengan cara bunuh diri? "Kau seperti sudah bisa menebak apa yang akan kukatakan. Lagipula disaat kau tak tahu jalan apa yang akan kau pilih, bukannya lebih baik jalan yang telah dipilihkan orang lain untukmu" (hal. 21) 2. Kompilasi Kehilangan. Saya ikutan depresi baca kisah 3 sahabat yang melalui hal² tragis. Meski endingnya ga seserem itu, tapi jadi orang yang berbeda, sepertinya juga menyeramkan. "Apa sebenarnya arti dari doa? Apakah sebenarnya arti dari takdir- nasib, hari baik, dan hari kelahiran? Rantai-rantai yang berpisahan, tetapi sesungguhnya bersatuan" (hal 57) 3. Keberangkatan. Speechless tiada tara. Kupu² berterbangan di perutku saat tahu kisah Diandra.
Mi sukses membuat saya terlempar ke masa depan, dimana saat nantinya ada kata "kehilangan" dalam kamua hidup saya, dan dalam kamua hidup semua manusia yang hidup. Klise memang jika kita hanya melihat rasa kehilangan seseorang hanya dengan berucap "sabar ya", mungkin melanjutkan hidup itu mudah, tapi meninggalkan semua rasa kehilangan itu yang tidak mudah. Mereka yang terpapar rasa kehilangan, takkan lagi menjadi pribadi yang sama.
________ "Bagimu, pernikahan adalah tentang siapa yang akan kau ajak bicara dimasa senjamu. Karena dimasa itu, ada yang percaya tubuh kita yang menua dari waktu ke waktu takkan dapat menikmati seks yang hebat, atau melakukan hal-hal liar lagi. Kelak dimasa tua, kita akan menjadi dua orang kesepian yang butuh rekan bicara" (hal 136).
"Saat kau. mendapati potongan-potongan puzzle kamu bukan berusaha mencari kesamaannya, untuk dapat menyatukannya, Tapi kamu mencari kecocokannya" (hal 150).
Yups, Mi membuat ending buku ini tak se-getir judulnya.
Buku yang sudah lama bertengger di TBR alias ingin kubaca. Aku pribadi tidak ingat apa yang menarik perhatianku kepada buku ini. Kemungkinan besar ilustrasi sampulnya yang cukup menarik. Sekitar 1-2 minggu yang lalu, waktu mendapati buku ini sedang didiskon di Gramedia, aku pun tidak berpikir panjang untuk membelinya. Kumpulan cerpen sederhana untuk menambah jumlah buku yang dibaca tahun ini.
Sejujurnya, aku tidak kenal nama penulisnya sama sekali. Atau ilustrator yang membuat desain sampulnya. Atau tema ceritanya. Jadi aku tidak punya ekspektasi apa-apa terhadap isinya.
Karena bukunya singkat, ulasanku pun akan singkat pula. Aku pribadi tidak merasa tergugah luar biasa atau kecewa tanpa akhir dengan buku ini. Secara keseluruhan, menurutku isinya standar saja. Gaya bahasanya lumayan oke, tapi strukturnya masih agak berantakan dan banyak bagian tidak relevan yang dijejalkan di masing-masing cerita. Tidak ada cerita yang terlalu menyentuh hati atau membuat pusing. Meskipun begitu, kalau harus memilih cerita-cerita favoritku di sini, aku akan memilih yang berjudul "Ziarah" dan "Rekan Bicara."
"Rekan Bicara," terutama, menurutku sungguh aneh. Topiknya sangat sesuai dengan hidupku, ceritanya sederhana dan menarik, tapi yang paling unik adalah cerita ini ditulis pada ulang tahunku 5 tahun silam. Kebetulan macam apa ini?
Untuk bacaan pengisi waktu, aku bilang buku ini boleh dijadikan pilihan. Untuk pengamatan karya sastra, mungkin agak kurang tepat karena masih bisa dikembangkan dengan lebih baik lagi. Apa aku merekomendasikannya? Tidak juga, tapi aku tidak mengecamnya.
Nano-nano. Layaknya permen yang digadang-gadang menyajikan rasa beragam yang fenomel, demikian juga buku ini. Membaca buku ini membuat perasan bercampur beragam menjadi satu. Ada 13 cepen dan 6 fragmen. Mulai dari Pantai Cermen, Penulis Fiksi, Keberangkatan, 22 Jam, Rekan Bicara, hingga Perpisahan.
Favorit saya adalah Keberangkatan. Kisah ini memberikan pesan bahwa apapun itu, sebaiknya tak ada rahasia dalam keluarga, karena kita tak akan pernah tahu bagaimana dampak dari rahasia yang diketahui anggota keluarga justru dari orang lain.
Begitulah. Ternyata, saya sempat baca beberapa buku namun tak tuntas karena lupa diletakkan di mana. Salah satunya buku ini. Maka saya hanya perlu baca 1/2nya lagi hi hi hi, RC terpenuhi. Payah ini, musti mulai disiplin meletakkan buku yang sedang dibaca.
faktanya, banyak sekali karya penulis Indonesia yang menarik dan enak dibaca tetapi under-rated. buku ini salah satunya. terus terang, ini salah satu buku Dewi Kharisma yang pertama kali saya baca. dan saya kaget, betapa cara bertutur Dewi di buku ini sangat memikat, sangat menyastra, sangat berkarakter. tak peduli beberapa kali dia bertransformasi menjadi karakter maskulin, feminin, atau binatang sekalipun, Dewi seakan menguasai medannya. Sukak! Saya rasa setelah ini bakal baca karya milik Dewi Kharisma yang lain.
Berbulan-bulan baca ini. Baca karya penulis sebelumnya yaitu SPTJKYJTC makanya memutuskan baca ini. So far, selalu suka dengan ide dan imajinasi penulis yang kayaknya ga ada batasnya, bisa banget bikin genre sci-fi atau tiba-tiba crime atau cuma romance melo sendu berganti-gantian. Suka dengan cliff hanger ending dan plot twist yang bejibun, tapi kadang di beberapa cerita malah jadi ga beraturan dan dampaknya saya ga nangkep maksud apapun. Favorit saya: Rindu, Keberangkatan, Semiliar Perbedaan, dan Perpisahan.
Buku ini mengajak para pembacanya untuk turut serta mencicipi segala kesedihan dari berbagai macam sudut pandang dan kondisi. Menunjukkan padaku bahwa ada berbagai macam hal mulai dari yang kecil atau yang besar sekalipun yang ternyata mampu mengundang luka.
Pada dasarnya, cerita-cerita dalam buku ini mengalir dengan begitu santai. Tapi cukup menghujam pula, untuk membuatku merasa tersentil dan tersenyum miris di waktu yang bersamaan usai membacanya.
Menurutku, Elegi merupakan buku yang cocok untuk menemani kita saat berduka dan teman yang cocok untuk berbagi kehilangan.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Bahasanya sangat kesusastraan sekali, butuh mikir berkali kali buat ngerti maksudnya apa. Walaupun beberapa cerpen sebenarnya relate di kehidupan sehari-hari. Jadi berkelas karena gaya kepenulisan nya.
"Saya selalu mengibaratkan kejadian di muka bumi ini dengan lautan. Sebenarnya semua ciptaan-Nya telah terasing di lautan-Nya. Semua orang tenggelam di laut semesta. Bergoncangan, beradu dengan ombak. Kita menangis saat bahagia dan kita tertawa saat bersedih. Dan pada akhirnya orang-orang yang kita cintai akan pergi. Sampai nanti kita sendiri juga pergi." -Hal.3 • Sisi melankolis saya serasa diombang-ambingkan dalam pusaran kegetiran ketika membaca satu per satu cerpen maupun fragmen dalam buku ini. Tiap karakternya seolah mengajak saya untuk turut merenung dan menikmati kesedihan hidup. Ya, kesedihan memang patut dinikmati sebagaimana kebahagiaan karena toh ia juga bagian dari hidup.
Ele.gi (n) syair atau nyanyian yang mengandung ratapan dan ungkapan dukacita (khususnya pada peristiwa kematian)
Buku ini di tulis oleh Dewi Kharisma Michellia berisi 13 cerpen dan 6 fragmen yang berisi tentang kematian, kehilangan, dan kepergian dalam beragam cara. Cocok buat kalian yang sedang membutuhkan arti dari sebuah kematian, kehilangan, dan kepergian. Untuk kalian yang tengah mencari makna dibalik proses kehidupan tersebut. . Elegi mencerminkan segala bentuk perpisahan secara nyata dan apa adanya. Ya, karena memang seperti inilah kehidupan kita, tidak selamanya sesuai dengan apa yang kita harapkan. . Saya menyukai semua tulisan di dalam buku ini baik itu cerpen maupun fragmennya. Pertama kali bagi saya bisa menyelesaikan sebuah kumcer dari awal hingga akhir tanpa meloncati susunannya. Karena dulu saya selalu berpikir, kumcer bisa dibaca dari mana saja bahkan tidak habis pun tidak mengapa. Tapi entah kenapa berbeda dengan Elegi yang secara tidak langsung membuat saya patuh untuk menghabiskan semua cerita secara runtut. . Saya merekomendasikan buku ini untuk kalian yang belum, akan, sedang, dan telah memaknai kehidupan beserta isinya. Pertemuan dan perpisahan. . "Orang-orang mati adalah hal yang wajar. Setelahnya, akan ada kelahiran baru. Bagi sebagian orang, dunia serupa bayang-bayang yang timbul tenggelam. Semakin kau bergerak ke arahnya, segalanya semakin kabur kau lihat. Kabut yang lebih tebal memenuhi pandanganmu setiap kali kau berusaha menembusnya. Segalanya tak akan benar-benar nyata. Sampai kau mati. Dan saat mati, segalanya akan telah kau lupakan." Hlm 123
Omong-omong benar juga ucapanmu dulu soal kematian. Kesedihan ditinggal mati selalu merupa dalam ujudnya yang cengeng dan berkarib dengan kerinduannya yang abadi. Pada masa-masa tertentu dalam hidupmu, kedua-duanya sama-sama bisa jadi tak berperi dan tak terpenuhi. (Hidup kita selepas elegi, P.143)
Ini memang kumpulan cerita pendek tentang orang-orang yang hilang dan kehilangan itu sendiri.
Kinda meh. Suka ga runut jadi kadang di tengah-tengah aku bingung dia yang disebut-sebut dari tadi ini dia yg ini apa dia yang itu. Ada beberapa cerita yang lumayan, tapi pemilihan kata dan narasinya kurang nendang buat aku.