Iwan Simatupang dilahirkan di Sibolga, Sumatera Utara, 18 Januari 1928, dan meninggal di Jakarta, 4 Agustus 1970.
Sastrawan yang pernah memperdalam antropologi dan filsafat di Belanda dan Perancis serta sempat meredakturi Siasat dan Warta Harian. Ia dikenal dengan novel-novelnya yang mengusung semangat eksistensialisme: Merahnya Merah (1968), Kooong (1975; mendapat hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P dan K, 1975), Ziarah (1969), Kering (1972). Dua novel yang disebut terakhir diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris.
Cerpen-cerpennya dikumpulkan dalam Tegak Lurus dengan Langit (1982), sedangkan puisi-puisinya dalam Ziarah Malam (1993).
Saya lebih suka cerpen-cerpen awalnya ketika ia bermain-main dengan narasi melalui cerita yang entah maksudnya apa. Pola ceritanya bagai milik dia sendiri. Dua cerpen pertamanya, Lebih Hitam dari Hitam" &"Monolog Simpang Jalan", misal: tokoh utama tanpa nama dan tanpa harapan terlibat dengan orang bermasalah, lalu orang itu hilang begitu saja. "Kereta Api Lewat" di Jauhan" menawarkan paragraf pembuka yang kurang ajar: lucu sekaligus getir. Nuansa cerpennya yang mengambang dengan twist yang malu-malu mulai kuat dalam "Tanggapan Merah—Jambu Revolusi". Walau sudah tampak mapan dalam "Patates Frites", Iwan masih mendobrak gaya sendiri, khususnya melalui tema orang-hilang-yang-muncul-kembali pada "Tunggu Aku di Pojok Jalan itu" sampai "Tegak Lurus dengan Langit" sebagai puncaknya—yang tak bisa tidak mengingatkan pada keluarga Wiji Thukul. Semakin ke belakang, ceritanya makin sederhana dan terang-terangan menyampaikan maksud—tidak asik lagi karena seolah bisa dilakukan siapapun juga dengan lebih baik.
Kumpulan cerita berisi lima belas cerpen karya Iwan Simatupang ini sebagian besar ceritanya berkisah tentang orang-orang kecil, kisah-kisah miris, tragis, sekaligus kritis. Aku suka kisahnya yg berjudul "Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu", "Tegak Lurus dengan Langit", dan "Di Suatu Pagi" (karena yg ini kisah yg rasanya paling segar dan ceria dibanding kisah-kisah lainnya :P).
Kumpulan tulisan seorang absurdis. Cerita-ceritanya memiliki karakteristik khas. Iwan begitu dalam menggali kesepian manusia, irasionalisme, tragedi, ironi beserta bias-biasnya.
Karya Iwan Simatupang memang lebih enak dinikmati dalam bentuk novel daripada cerpen. Cerpen-cerpennya tidak buruk, tapi terkesan tanggung, terlalu singkat untuk menampung tulisannya yang disesaki banyak ide itu. Selain itu terlihat juga pengulangan tema yang membuat beberapa ceritanya terasa repetitif. Namun, harus diakui judul "Tegak Lurus Dengan Langit" itu memang catchy sih, dan itu juga menjadi salah satu cerpen yang unggul di buku ini, dengan pembukaan yang kuat dan akhir yang genap.
Cerpen-cerpen yang "Iwan" banget. Cerpen-cerpen awal kusuka. Semakin ke belakang cerpen-cerpennya terkesan biasa dan agak hilang magis Iwan yang ada di awal
1. lebih hitam dari hitam 2. monolog simpang jalan 3. tanggapan merah jambu tentang revolusi (yang ini masih meraba maknaa) 4. kereta api lewat di jauhan 5. patates frites 6. tunggu aku di pojok jalan itu 7. tegak lurus dengan langit 8. tak semua tanya punya jawab 9. oleh-oleh untuk pulau bawean (ini musti dibaca dengan mngerti konteks jaman, sepertinya) 10. prasarana, apa itu, anakku? 11. aduh... jangan terlalu maju, atuh! 12. husy! geus! hoechst! (masih merabaaa..) 13. di suatu pagi 14.seorang pangeran datang dari seberang lautan 15. dari tepi langit yang satu ke tepi langit yang lain.
dibanding tiga novelnya yang sudah saya baca (Ziarah, Merahnya Merah dan Kooong), kumpulan cerita dalam buku ini seperti membatasi gerak penulisnya. saya merasa cerpen-cerpen Opung Iwan Simatupang ini terlalu padat. bahasanya rapat. pergerakan tokohnya juga cepat. saya merasa kata-kata terlalu banyak berjejalan, jadi kurang mengalir. tapi khas tulisan-tulisannya, pergerakan tokohnya kuat. dan selalu, ada kesunyian yang mengapung di setiap ceritanya.
paling menikmati cerpen berjudul Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu. ada perasaan "entah" yang tiba-tiba menyeruak ketika membacanya. kombinasi antara ironis dan sunyi yang mengambang.
Yang paling saya ingat di kumpulan cerpen ini adalah salah satu bagian pada cerpen terakhir. Tokoh utama yang seorang anak kecil, disoraki teman-temannya karena kemaluannya kejepit ritsluiting :D. Saya membayangkan cerpen ini dibaca pada masa ia ditulis, di jaman ritsluiting masih barang langka. Pasti lucu sekali.
This entire review has been hidden because of spoilers.
i read this book (well the older print) in high school. iwan is one of the writer that made me fell in love with writing. the kind of stories in this book is what my brother would describe as 'wicak banget' (very wicak. or very me, for this case).
Hidup manusia tidak pernah lepas dari situasi kekacauan. Dan Iwan mencoba menggambarkan peristiwa kekacauan yang dialami tokoh-tokohnya, sekaligus bagaimana mereka keluar dari kekacauan itu.