JURNALISME SASTRAWI satu genre dalam jurnalisme yang pada mulanya berkembang di Amerika Serikat tahun 1960-an. Ia menggabungkan disiplin paling berat dalam jurnalisme serta kehalusan dan kenikmatan bercerita dalam novel. Wawancara bisa dilakukan dengan puluhan, bahkan sering ratusan, narasumber. Risetnya mendalam. Waktu bekerjanya lama, bisa berbulan-bulan. Ceritanya juga kebanyakan tentang orang biasa. Beberapa wartawan majalah Pantau mencoba belajar memakai genre ini untuk mengembangkan jurnalisme berbahasa Melayu. Dari Agus Sopian hingga Linda Christanty memasukkan elemen-elemen jurnalisme sastrawi dalam karya mereka. Dari pembantaian orang Acheh hingga hiruk-pikuk larangan musik Koes Bersaudara, dari soal wartawan Ambon ikut memanasi sentimen Kristen-Islam hingga kemiskinan di Jakarta.
Tepat setengah satu siang setelah makan nasi kuning berlauk ikan, acar, perkedel, dan telur saya duduk menuliskan ulasan buku bagus yang baru selesai dibaca. Biar lebih maknyus. Nasi kuning tadi kutambah sesendok kecil sambal bawang Bu Rudy. Harumnya khas. Pedasnya jangan ditanya. Soal sambal botol yang belakangan selalu menemani menu ini kita bahas di lain waktu.
Judulnya: "Jurnalisme Sastrawi" Edisi Revisi. Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Sekadar tambah informasi. Dari buku inilah lahir antologi "Narasi", terbitan Pindai. Seperti judulnya buku ini menyimpan tulisan-tulisan yang memukau. Mulai dari pengisahan pecahnya demo yang berakhir tragis di Aceh, dualisme media waktu kerusuhan Ambon, asal mula majalah Tempo, hingga pengalaman terjun menemani tentara Rajawali di Aceh. Jurnalisme Sastrawi tergolong buku legendaris karena merupakan bunga rampai tulisan bergenre jurnalisme sastrawi milik majalah Pantau. Media pertama yang mengenalkan genre jurnalisme sastra di Indonesia.
Buku terbitan KPG ini saya beli karena melihat stories dari seorang pengamat media yang sedang kuliah luar negeri. Secepat kilat saya mencoba mencari di lapak daring. Rejeki anak soleh. Kebetulan juga sedang promo ongkos kirim. Tak berselang lama buku itu terbang ke Ambon. Pengalaman membaca buku ini akan saya ceritakan di tulisan ini. Semoga suka.
Diterbitkan Mei 2008, buku yang saya miliki sudah menguning lembaran kertasnya. Terselip pula selembar nota makan donat di Dunkin. Mata saya sampai pedih karena fontnya yang terbilang kecil. Tapi bagi saya itu tidak seberapa karena isinya sungguh berkelas.
Ada 8 cerita dari 8 jurnalis berbeda yang terangkum dalam edisi revisi. Pembacaan pertama, sore itu, dimulai dari "Koran, Bisnis, dan Perang" oleh Eriyanto setelah menelusuri bab pengantar. Saya penasaran dengan bisnis media waktu itu.
Di pengantar, Andreas Harsono, mencoba memberi latar belakang: apa yang membedakan narasi yang disebut jurnalisme gaya baru dengan bentuk laporan jurnalisme umum. Jurnalisme Sastra atau Literary Journalism bukan pekerjaan mudah. Penulisan hasil reportase yang tidak linier seperti hard news, lebih mendalam selayaknya depth reporting, dan tetap mengutamakan disiplin verifikasi fakta di lapangan. Itu kiranya yang membuat Pantau mencoba memberi penghargaan lebih tinggi bagi jurnalis yang mengirimkan laporannya. Sayang Pantau sudah keburu tutup. Namun para jurnalis tempaan Pantau masih bisa kita nikmati tulisannya di berbagai media.
Memang betul membaca narasi seperti di Pindai mengasyikkan betul. Jauh berbeda dari laporan di media biasa. Karya jurnalistik yang dimuat media pada umumnya terbatas. Tidak bisa panjang-panjang. Belum lagi terbentur deadline. Karena penyusunan laporan narasi sendiri dibutuhkan kerja panjang untuk meriset dan menjelajahi berbagai bukti. Bagi yang penasaran bisa lihat majalah "The New Yorker". Dari penuturan Andreas Harsono. Laporan berbentuk narasi yang bagus itu seperti "Hiroshima" John Hersey. Anda juga bisa baca "In Cold Blood." karya Truman Capote. Terbitan Bentang.
Mengutip Septiawan Santana dalam Jurnalisme Kontemporer Edisi 2, "Dalam perkembangannya, sastra menjadi bahan ucap dan ajar di dalam gaya jurnalisme. Penggeraknya, antara lain, ialah Tom Wolfe." Di Indonesia sendiri majalah Tempo pada awalnya juga menghimpun para seniman sebagai penghuni redaksi. Beritanya jadi enak nian dibaca. Meski saya belum pernah membaca Tempo tahun-tahun itu. Itu yang saya tangkap dari pembacaan ulasan-ulasan Tempo, yang diperkuat oleh tulisan Coen Pontoh di buku ini. Perkenalan dengan Tempo pun baru seumur jagung.
Kembali ke laporan mas Eriyanto. Di situ ia mencoba menelusuri bagaimana bisa sebuah kota yang sebelumnya memiliki satu koran harian umum, kemudian pecah hingga menjadi dua kekuatan media yang tumbuh seiring keadaan Ambon yang bergolak. Yang pasti ada nama Dahlan Iskan, dan kelompok Fajar yang berada di dalam pusaran tersebut.
Kemudian. Laporan narasi yang mengagumkan saya temukan di "Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft". Betul-betul hidup tulisan Chik Rini. Merinding sekaligus mencekam rasanya membaca tulisan beliau.
Setelah itu ada jeda beberapa lama sebelum saya melanjutkan pembacaan "Jurnalisme Sastrawi". Bacanya dihemat-hemat. Ada buku lain yang dibaca juga. He-he-he.
Awal bulan Oktober. Saya melanjutkan membaca buku ini. Tulisan kedua saya tamatkan sore itu. "Taufik bin Abdul Halim" milik Agus Sopian.
Di tulisan ini Agus Sopian menelusuri salah satu aksi pengebom di Jakarta itu. Di sini saya mendapati informasi-informasi yang memiliki pertalian dengan kerusuhan di Ambon. Sedikit banyak memori saya kembali ke masa-masa kecil saya.
Dilanjutkan dengan "Hikayat Kebo" punya Linda Christanty. Ceritanya mengalir. Asyik diikuti.
Selanjutnya sejarah Tempo ditulis dengan seru oleh Coen Husain Pontoh. Pasang surut majalah Tempo bisa dibaca di "Konflik Nan Tak Kunjung Padam". Isi kulit Tempo yang saya idolakan seakan diperlihatkan di tulisan ini.
Tadi malam 5 Oktober 2017, bertepatan dengan HUT TNI, giliran narasi seru dari Alfian Hamzah yang kubaca. "Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan". Betul-betul seru. Kendaraan lapis baja. Ransum tentara. Hingga pantat terserempet peluru. Sisi humanis tentara dan perjuangannya di lapangan diceritakan oleh jurnalis yang memperoleh ijin dua bulan menemani perjalanan tentara. Penuh haru melihat betapa tentara juga manusia. Kangen pacar. Anak istri. Setidaknya ini membuka mata saya tentang apa yang terjadi di Aceh. Di daerah konflik. Laporan tentang Aceh dengan nuansa yang berbeda, misalnya dari tulisan mbak Linda Christanty soal perang di Aceh. Baca Seekor Burung Kecil Biru di Naha (KPG). Rasanya kemarin akan kurang lengkap bila tidak membaca laporan mas Alfian.
"Ngak-ngik-ngok" Budi Setyono tentang keberadaan kelompok musik "Koes Plus" juga begitu informatif. Seru.
Saya baru tahu mereka sempat ditahan karena dianggap tidak sejalan dengan kebijakan Bung Karno soal kebudayaan nasional. "Dari Thames ke Ciliwung" soal bisnis air di Jakarta oleh Andreas Harsono menutup pembacaan saya.
Menyambung tulisan Santana, Gay Talese mengatakan, meski seperti fiksi, jurnalisme ini bukanlah fiksi. Ketika membaca liputan-liputan ini betul saja. Seperti yang diungkapkan Tom Wolfe: sebuah bacaan yang amat langsung, dengan realitas yang terasa konkret, serta melibatkan emosi dan mutu penulisnya.
Mau nangis. Ini keren banget, tolong. Saya butuh waktu agak lama bacanya karena memang satu reportase memakan banyak halaman—persis seperti judulnya, Jurnalisme Sastrawi. Saya kagum dengan bagaimana mereka (re: para penulis) mengimplementasikan pedoman standar dalam jurnalisme, 5W1H, menjadi pendekatan baru yang lebih naratif, sesuai ide Roy Peter Clark yang seorang guru menulis dari Poynter Institute, di mana who diubah menjadi karakter, what menjadi plot dan alur, where menjadi latar, when menjadi kronologi, why menjadi motif, dan how menjadi narasi.
Di pengantar juga diceritakan mengapa genre (jika itu adalah sebuah genre) jurnalisme sastrawi ini nggak berkembang di Indonesia. Namun, menjamur dan menjadi reportase super keren di Amerika. Andreas Harsono bilang, jurnalisme sastrawi nggak berkembang karena nggak ada media yang mau menyediakan tempat, uang, dan waktu untuk naskah panjang. Wartawan kita yang baru tumbuh sejak era kebebasan berpendapat setelah Orde Baru tumbang, memang memiliki batas seribu sampai dua ribu kata per cerita. Mereka terbiasa menulis cepat untuk breaking news dan tidak sempat melakukan penggalian fakta lebih dalam.
Adapun menurut saya, reportase paling keren dan membekas yang ada di buku kumpulan reportase jurnalisme sastrawi ini adalah Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan milik Alfian Hamzah yang bercerita soal pengalaman hidup dengan serdadu Indonesia yang bertugas di Aceh. He's really really really doing good. Tulisan itu hidup, dan menggambarkan dengan detail dan jelas bagaimana peristiwa per peristiwa. Seakan-akan membawa saya yang sedang duduk di rumah untuk meliput bersamanya.
Meskipun genre yang diusung adalah jurnalisme sastrawi, itu sama sekali berbeda dengan sastra karena yang disajikan oleh mereka adalah fakta. Novel sejarah pun nggak bisa disebut sebagai jurnalisme sastrawi. Jika ada tokoh atau pelaku sejarah yang disamarkan bukan atas alasan tertentu dan latar cerita tidak jelas, maka cerita itu bukan termasuk ke dalam genre jurnalisme sastrawi. Makanya ada pepatah, seorang wartawan bisa menjadi sastrawan tetapi seorang sastrawan belum tentu bisa menjadi wartawan—tentu karena pekerjaan krusial wartawan adalah mencari fakta.
Pokoknya, saya jatuh cinta pada bagaimana cara para penulis menuturkan masing-masing kisah mereka di sini. Perfect.
Dua cerita pertama mengesankan. Cerita pembantaian di Simpang Kraft terutama. Masuk cerita Kebo, pemulung yang mati dibakar. Ada unsur drama ada unsur riset. Lihat aja tanggal penulisan dan pengumpulan datanya yang dicantumkan pada tulisan tentang Dany, terdakwa pembom Atrium Senen. Satu tahun waktu wawancara dan pengumpulan data, untuk tulisan sepanjang itu. (lupa berapa halaman).
selesai bab Kebo pemulung yang mati terbakar. Bab ini buat saya yang mengambil kacamata peneliti mengingatkan pada metode micro-macro yang pertama kali saya kenal dari tulisan yang dieditori James N. Rosenau. Dalam bab ini kisah Kebo yang menjadi karakter utama dalam tulisan Linda Christanty menjadi sebuah kajian yang mengupa fenomena amuk massa pasca Jatuhnya Rezim Soeharto. Dengan tidak melepas pada kehidupan pribadi Kebo, Linda mengangkatnya sebagai satu kasus dari fenomena besar amuk massa.
Dari paparan Linda Christanty tentang sosok Kebo di bab itu, saya ingin mencuplik kalimat saya pribadi yang pernah saya ucap ketika mereview buku Segelas untuk Berdua, sejarah adalah persoalan mencatat, sejarah individu adalah persoalan mencatat dengan kepekaan untuk menelusup ke relung kemanusiaanya. Sisi humanis Kebo tetap terangkat tanpa terlalu terjebak dalam persoalan benar salah yang menghakimi. Sosok Kebo yang kerap ribut dan ringan tangan dengan istrinya, serta kerap berhubungan dengan wanita yang bukan istrinya dibarengi dengan gambaran kebo yang menyayangi anak kecil, sambil tidak lepas dari pertanyaan besar, "Apakah pantas penghakiman dengan cara membakar?" Pertanyaan yang dilempar bukan saja kepada pelaku, tetapi kepada masyarakat luas dan juga aparat pemerintah sebagai personifikasi negara.
Dilanjoooot bacanya!
Upadate
tinggal dua bab terakhir. beberapa tulisan ke belakang makin susah membedakan genre ini dengan in depth reporting. karena rumus 5W+1H gaya jurnalisme sastrawi seperti tidak sepenuhnya mudah untuk dipalikasikan. Karakter yang kuat dalam beberapa cerita memang sepertinya kurang mudah untuk dijalankan.
Ketika Andreas Harsono menyatakan, “Kesimpulan diskusi, tak mungkin bikin media dengan narasi di Jakarta. Negeri ini ditakdirkan bernasib malang!” Malang – kata yang tepat untuk menggambarkan ketika Indonesia masuk peringkat 60 dari 61 negara saat dites minat baca masyarakatnya, berdasarkan survey yang dilakukan oleh Most Literate Nation in the World. Sedangkan banyak statement bermunculan terkait dengan kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari minat baca masyarakatnya. Literasi di Indonesia masih lemah. Itu salah satu penyebab majalah Pantau harus tutup usia. Bahkan sekarang, perhatian masih tertuju ke masyarakat Jakarta – yang memiliki penduduk padat di Indonesia – dengan realitas bahwa jarang ditemui masyarakat sedang membaca ketika sedang berada di waktu luang (entah menunggu kereta, duduk di bis, atau menanti pesawat di bandara).
Jika dikerucutkan menjadi bacaan yang sifatnya memberikan informasi – atau terkait juga dengan pers, maka jurnalisme sastrawi merupakan hal yang tepat untuk menuntaskan dahaga para pencari fakta dan realita, tanpa nama samaran sedikitpun. Pembaca akan ‘dituntut’ untuk menghabiskan laporan yang sifatnya panjang, dalam, dan.. terasa ini – seperti yang diutarakan Linda Christanty.
Seperti saya, yang mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada Sebatas pengetahuan saya, mereka adalah pionir dari jurnalisme sastra Indonesia. Mohon dikoreksi jika saya salah. Tida ketinggalan rasa terima kasih saya kepada Rasdian A. Vadin, dosen fotografi jurnalistik saya yang merekomendasikan buku ini. Setidaknya, mereka menstimulus saya agar dapat merealisasikan kembali jurnalisme sastra di Indonesia di masa yang akan datang. Semoga..
Jurnalisme Sastrawi, genre jurnalistik ini dibelahan Amerika sudah dikenal sejak 1960-an. Tetapi untuk Indonesia, aliran ini masih ‘kenalan baru’ dikalangan awak media cetak. Fakta liputan mendalam yang dirangkai dalam keindahan sastra, menghasilkan laporan jurnalistik jauh lebih menyentuh layaknya fiksi.
Delapan orang jurnalis majalah Pantau, berhasil mengumpulkan fakta sedetail-detailnya dari setiap peristiwa dalam delapan laporan mendalamnya. Setiap detail langkah, suara, cakap, tawa, tangis, bau adalah fakta,fakta dan fakta. Inilah yang membuat karya sastra tersebut masuk dalam karya jurnalistik, bukan sastra-fiksi dengan latar sejarah.
Framing-nya sangat eksplisit, hampir tak ada yang ditutupi. Sehingga kita tidak hanya tahu tetapi bisa merasakan bagaimana wartawan Indonesia meliput dan jadi saksi pembunuhan orang Aceh. Atau bagaimana konflik di Maluku mempengaruhi pemberitaan media massa lokal. Hingga, seluk-beluk privatisasi perusahaan air minum di Jakarta.
Sesuai judul buku: mendalam dan memikat. Buat saya tidak ada satu pun liputan dalam buku ini yang tidak mendalam dan tidak memikat. Setiap liputan punya kekuatan tersendiri: liputan Simpang Kraft dan Jawa Pos dalam konflik agama di Maluku memberi pesan besar bahwa tidak mudah menghasilkan pemberitaan yang independen; liputan "sekolah" menggunakan sudut pandang yang menarik yaitu kehidupan para tentara Indonesia di medan konflik, juga liputan Kebo menyiratkan situasi politik-ekonomi yang lebih besar dari sekedar membakar seorang pemulung; liputan Koes Plus yang mesti dipenjara memberi pandangan baru akan Soekarno (saya baru tau apa itu musik ngak-ngik-ngok hihihi); terakhir, liputan privatisasi air di Jakarta yang berdampak erat terhadap hajat hidup karyawannya dan masyarakat luas.
Istilah jurnalisme sastrawi sudah ada sejak tahun 1960an sehingga kini bukanlah hal baru di dunia, tetapi merupakan hal baru di Indonesia karena belum ada wartawan yang menyentuh genre ini hingga era reformasi dimulai. Namun, mengutip ulang kegelisahan dalam pengantar buku ini: apakah ada wartawan Indonesia yang siap bergelut di genre jurnalisme sastrawi? Karena jelas butuh pengorbanan waktu yang tidak sebentar, biaya yang mungkin tidak sedikit, dan tenaga yang pasti selangit, bahkan hanya untuk menghasilkan satu buah artikel untuk dibaca. Artikel yang punya kualitas kedalaman setara laporan investigasi, lalu diramu sedemikian rupa dengan menambahkan sisi psikologi, dan menuntut kemampuan bercerita si wartawan.
Tugas yang berat. Sayangnya, Majalah Pantau yang gulung tikar mungkin merupakan bukti bahwa genre jurnalisme sastrawi belum bisa diterima masyarakat Indonesia. Belasan tahun kemudian, masa kini, apakah kecenderungan ini masih sama?
Gw sebenernya terjebak waktu baca buku ini... awalnya mau PDKT sama seseorang yang suka buku ini... :D tapi setelah gw baca... ternyata nggak mengecewakan... bukunya cukup bagus... artikel2 yang dimuat di buku ini diceritakan selayaknya novel... maksudnya cara penuturan ceritanya... itu kek baca novel... jadi yah... cukup enak lah buat dibaca... cerita2nya juga menarik banget... dan beragam... dari hal2 yang ngejelimet sampe ka hal yang mungkin buat sebagian orang nggak penting... tapi menjadi penting kala dibaca! cerita yang paling gw suka adalah tuliasannya cik rini... tentang "perang" GAM dan TNI di Aceh... menyentuh banget... benr2 bikin mikir... tanpa menyudutkan salah satu pihak... tapi nggak juga membela... pokoknya bagus lah... Cerita tantang "jatuh bangun"-nya majalah tempo juga menarik banget... jadi dapet pengetahuan2 baru deh... Buku yang "serius" tapi enak dibaca... It is good!!
Begitulah.. sekelompok wartawan Indonesia berusaha mengembangkan genre jurnalisme sastrawi di negri ini. Kalaupun nantinya Pantau, nama media tempat penyaluran niat tersebut mati karena kempes dana, toh mereka sudah mencatat sejarah. "Sejarah" itu kemudian dibukukan ke dalam sebuah antologi liputan mendalam.
Gaya berkisah dalam pemberitaan adalah gaya yang paling saya sukai.. mungkin karena pada dasarnya saya ini penulis fiksi. Lagipula, lebih menyenangkan juga dibaca. Tak semua karya di buku ini yang saya sukai. Tapi "Kejarlah Daku Kau Sekolahkan" karya Alfian Hamzah sangat berkesan bagi saya. Terlebih waktu membaca bahwa Alfian Hamzah menulisnya saat ia baru berusia 26 tahun. Kalau punya kesempatan untuk bertemu dan berbincang-bincang.. wuih.. bakal jadi pengalaman berharga bagi saya.
Ada baiknya, para artis-artis yang mendadak ingin nyalon jadi caleg atau kepala daerah membaca buku ini. Biar mereka tahu kancah yang akan mereka hadapi. Dan biar mereka juga mikir apa yang bisa mereka kerjakan di kursi pemimpin sebuah negara yang bak keluarga melarat dengan 12 anak nakal yang saling sikut-sikutan dan serasa mau bangkrut ini. He.he.he baca buku ini.... jadi makin gemes saja sama mereka.
penulisan jurnalisme dgn genre narrative seperti ini terbukti lebih kaya, mendalam, dan humanis. membuktikan bahwa metode apapun dalam disiplin ilmu apapun bisa dikawinsilangkan dan menghasilkan sesuatu yang lebih fresh dan tentu saja TIDAK BIASA! membaca ini, jurnalisme mainstream menjadi membosankan :)
Superrrrr excited baca buku ini walaupun butuh waktu agak lama karena ini-itu! Pilihan bagus untuk meletakkan tulisan Chik Rini, Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft, pada awal buku karena jadi daya pikat tersendiri untuk membaca tulisan berikutnya. Saya sempat hampir tertipu pada tulisan Alfian Hamzah, Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan, karena saya menunggu plot twist atau klimaks cerita. Saya sempat lupa kalau ini 'jurnalisme sastrawi' dan mengira ini cerita fiksi. Ketika ditutup dengan anti-klimaks baru saya menyadari bahwa saya hanyut dan menunggu yang memang sebenarnya tidak harus ada. Saya juga ketar-ketir dan bersedih hati sepanjang membaca Hikayat Kebo, rasanya dunia menakutkan sekali.
Tetapi tentu saja, di setiap kumpulan tulisan (baik itu cerpen atau laporan jurnalistik) selalu ada yang favorit dan tidak favorit. Bagi saya, bosan sekali membaca Konlik Nan Tak Kunjung Padam lebih karena isu yang diangkat, saya bosan membaca soal GM dan legacynya.
Saya banyak berterimakasih pada Yayasan Pantau yang mau mencetak ulang buku ini dan membagikan pada peserta kelasnya secara gratis. Saya merasa beruntung bisa membaca buku ini dan ikut berbincang bersama beberapa jurnalis senior yang ikut menulisnya.
Beragam peristiwa di medio awal reformasi: daerah operasi militer di Aceh dan amuk militernya, sejarah Tempo, penghakiman jalanan seorang preman di ibukota yg sekaligus memotret kehidupan masyarakat bawah, kisang sang teroris, konflik Maluku dan media yg ikut memanas-manasi, keseharian tentara saat menghadapi GAM, kisah band Koes di era Soekarno, kisruh PAM Jaya yg diprivatisasi perusahaan asing di masa Suharto dan setelahnya. Peristiwa-peristiwa saat saya masih bocah SD dan hanya tahu selewatan, setelah membaca kembali, saya kira masih tetap relevan hari ini.
Baca buku ini membuat tercengang. Berita yang biasanya kaku digarap dengan luwes, dengan pendekatan sastra. Pembaca diajak bukan cuma untuk tahu fakta dan data, tapi ikut serta bagaimana peristiwa sebenarnya terjadi.
Dari delapan judul yang tersaji di sini, yang menjadi favorit saya adalah Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan, Hikayat Kebo, dan Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.
mengagumkan. delapan berita. delapan kisah nyata. dirangkai dengan kata-kata yang memikat. ada cerita tentang kehidupan tentara di Aceh, cerita tentang teroris, penembakan warga Aceh, seorang preman yang dihakimi massa, konflik-konflik dalam sejarah majalah Tempo,media massa di daerah konflik, hingga urusan air ledeng di jakarta. semuanya dikemas dengan gaya penulisan yang biasa ditemui dalam karya fiksi. jurnalisme sastrawi adalah sebuah genre baru dalam jurnalisme. kata Andreas Harsono, jurnalisme sastrawi menukik sangat dalam bahkan lebih dalam dari in-depth reporting karena ia mengangkat sisi psikologis dari tiap orang yang ada di dalamnya. tapi rasanya kok ada yang aneh ketika membaca kedelapan karya itu. karya Chik Rini misalnya yang erkisah tentang penembakan orang Aceh oleh tentara. di situ kisahnya disajikan seperti sebuah film. adegan-adegan yang terjalin benar-benar memikat. mengingatkan saya pada film hunting party. dalam karya itu, Rini menjelaskan peristiwa itu dengan sungguh detail hingga pada menitnya. padahal ia melakukan liputan itu dua tahun setelah peristiwa terjadi. Chik Rini seperti tahu detail setiap kejadian. ia seperti sutradara. di situ ada kemungkinan sumber yang ia wawancarai lupa pada detail peristiwa. tapi Rini mengisahkan peristiwa itu dengan detail yang mengagumkan. dalam kata pengantar edisi revisi, andreas harsono menulis bahwa jurnalisme sastrawi tetap berlandaskan pada fakta. fakta adalah inti jurnalisme. semua yang di tulis dalam buku ini berlandaskan pada fakta. benarkah tidak ada rekayasa dalam penulisah kisah-kisah tersebut? sebagai sebuah genre baru dalam jurnalisme, apa hal baru yang ditawarkan jurnalisme sastrawi? apa hal dasar yang membedakannya dengan karya jurnalisme biasa? ketika saya menutup buku sejenak untuk memikirkan hal tersebut, saya melihat gambar sampul buku ini, sebuah botol plastik, yang menegaskan satu hal: jurnalisme sastrawi adalah soal kemasan...
Pertama kalinya (secara sadar) saya membaca buku sebuah laporan panjang yang sulit untuk diletakkan ke tempatnya. Bagian pengantar yang ditulis oleh Andreas Harsono sudah cukup untuk berpikir: "Menarik sekali. Tapi mau ngomong apa dia sebenarnya?"
New Journalism sebenarnya bukan istilah baru bagi saya. Dalam hitungan jari, istilah itu pernah mencuat beberapa kali dari bibir seorang dosen di kelas jurnalisme. Tapi saat itu juga, istilah 'New Journalism' cuma jadi ornamen penghias papan tulis dan berakhir di buku catatan segelintir mahasiswa yang menyimak. Masalahnya, waktu itu sang dosen pun sepertinya tidak paham-paham amat dengan istilah tersebut. Hampir sama yang ditulis oleh Andreas Harsono dalam bagian akhir pengantar buku ini. "Jurnalisme Sastrawi yah intinya diperkenalkan oleh Tom Wolfe pada '60-an dengan gaya penulisannya yang berbunga-bunga,"demikian kira-kira pengajar itu bilang ke kelas saya.
Beberapa tahun lewat sejak bertatap muka dengan Jurnalisme Sastrawi di kelas, barulah seminggu yang lalu saya berkesempatan mengenalnya lebih dalam lewat buku antologi ini. Masing-masing laporan yang dimuat punya keunggulan yang berbeda dengan yang lain. "Kegilaan di Simpang Kraft", "Kejar Daku Kau Kusekolahkan", dan "Konflik Nan Tak Kunjung Padam" bagi saya memiliki narasi yang sangat baik. Sedangkan "Cermin Jakarta, Cermin New York" sedikit banyak telah mempengaruhi saya. Tulisan tersebut membuat saya dapat berpikir ulang tentang apa itu jurnalisme dan memaksa saya mengakui betapa dalam rasa suka terhadap penulisan laporan.
Ibarat kawan lama bercerita, buku ini seolah-olah mengingatkan akan bahu siapa yang akan saya pijak untuk menggapai tujuan yang jauh di atas sana.
Kumpulan laporan dalam buku ini membuat kita membaca berita seolah-olah seperti membaca cerita, walaupun kejadian dan tokoh-tokoh di dalamnya tidaklah fiktif. Hal menarik lainnya, selain berkenalan dengan tulisan bergenre Jurnalisme Sastrawi ini, adalah membaca sedikit pengalaman penulisnya bagaimana memperoleh cerita yang begitu kuat, 'membangun' karakter yang begitu 'hidup', dan menuangkannya dalam tulisan yang bisa mencapai 15.000 kata dalam satu cerita.
Ketika membaca lembar demi lembar laporan jurnalistik ini, yang ada di pikiran saya adalah bagaimana mendapatkan data sedetail ini, memisahkan data yang penting dari aneka data yang tidak terlalu penting, serta meramu kata untuk menghidupkan karakter, suasana serta atmosfir yang mengelilingi cerita. Laporan yang menarik hati saya adalah 'Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan' dan 'Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft' sebab keduanya bukan hanya mengambil kejadian yang berlatar di Acheh yang selama ini belum pernah saya baca tetapi juga membuat saya ingin mempelajari proses kreatif di belakangnya.
Tulisan panjang, pasti sulit bagi penulisnya menjebak pembaca tetap membaca semua tulisan di dalamnya. ada beberapa yang menarik tp ada yg membosankan jg, tapi bs belajar menulis panjang. recommended.
Saya membaca buku ini saat mengikuti kursus penulisan narasi yang diselenggarakan oleh Yayasan Pantau. Buku ini berisi beberapa tulisan narasi yang memikat. Favorit saya adalah "Kejarlah Daku Kau Kutangkap", yang bercerita tentang suka duka prajurit TNI yang ditugaskan di Aceh.