Jump to ratings and reviews
Rate this book

Kolam

Rate this book
Pagi dikaruniai begitu banyak pintu dan kita disilakan masuk melewatinya kapan saja.
Malam diberkahi begitu banyak gerbang dan kita digoda untuk membukanya dan keluar agar bisa ke Sana.
Tidak diperlukan ketukan.
Tidak diperlukan kunci.
Sungguh, tidak diperlukan selamat datang atau selamat tinggal.

Pintu, Sapardi Djoko Damono

142 pages, Paperback

First published January 1, 2009

33 people are currently reading
547 people want to read

About the author

Sapardi Djoko Damono

122 books1,588 followers
Riwayat hidup
Masa mudanya dihabiskan di Surakarta. Pada masa ini ia sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sejak tahun 1974 ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, namun kini telah pensiun. Ia pernah menjadi dekan di sana dan juga menjadi guru besar. Pada masa tersebut ia juga menjadi redaktur pada majalah "Horison", "Basis", dan "Kalam".

Sapardi Djoko Damono banyak menerima penghargaan. Pada tahun 1986 SDD mendapatkan anugerah SEA Write Award. Ia juga penerima penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar.

Karya-karya
Sajak-sajak SDD, begitu ia sering dijuluki, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Sampai sekarang telah ada delapan kumpulan puisinya yang diterbitkan. Ia tidak saja menulis puisi, tetapi juga menerjemahkan berbagai karya asing, menulis esei, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola.

Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti Aku Ingin (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari. Kepopuleran puisi-puisi ini sebagian disebabkan musikalisasi terhadapnya. Yang terkenal terutama adalah oleh Reda Gaudiamo dan Tatyana (tergabung dalam duet "Dua Ibu"). Ananda Sukarlan pada tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya SDD.

Berikut adalah karya-karya SDD (berupa kumpulan puisi), serta beberapa esei.

Kumpulan Puisi/Prosa

* "Duka-Mu Abadi", Bandung (1969)
* "Lelaki Tua dan Laut" (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
* "Mata Pisau" (1974)
* "Sepilihan Sajak George Seferis" (1975; terjemahan karya George Seferis)
* "Puisi Klasik Cina" (1976; terjemahan)
* "Lirik Klasik Parsi" (1977; terjemahan)
* "Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak" (1982, Pustaka Jaya)
* "Perahu Kertas" (1983)
* "Sihir Hujan" (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
* "Water Color Poems" (1986; translated by J.H. McGlynn)
* "Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono" (1988; translated by J.H. McGlynn)
* "Afrika yang Resah (1988; terjemahan)
* "Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia" (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks)
* "Hujan Bulan Juni" (1994)
* "Black Magic Rain" (translated by Harry G Aveling)
* "Arloji" (1998)
* "Ayat-ayat Api" (2000)
* "Pengarang Telah Mati" (2001; kumpulan cerpen)
* "Mata Jendela" (2002)
* "Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro?" (2002)
* "Membunuh Orang Gila" (2003; kumpulan cerpen)
* "Nona Koelit Koetjing :Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870an - 1910an)" (2005; salah seorang penyusun)
* "Mantra Orang Jawa" (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)

Musikalisasi Puisi

Musikalisasi puisi karya SDD sebetulnya bukan karyanya sendiri, tetapi ia terlibat di dalamnya.

* Album "Hujan Bulan Juni" (1990) dari duet Reda dan Ari Malibu.
* Album "Hujan Dalam Komposisi" (1996) dari duet Reda dan Ari.
* Album "Gadis Kecil" dari duet Dua Ibu
* Album "Becoming Dew" (2007) dari duet Reda dan Ari Malibu
* satu lagu dari "Soundtrack Cinta dalam Sepotong Roti", berjudul Aku Ingin, diambil dari sajaknya dengan judul sama, digarap bersama Dwiki Dharmawan dan AGS Arya Dwipayana, dibawakan oleh Ratna Octaviani.

Ananda Sukarlan pada Tahun Baru 2008 juga mengadakan konser kantata "Ars Amatoria" yang berisi interpretasinya atas puisi-puisi SDD.

Buku

* "Sastra Lisan Indonesia" (1983), ditulis bersama Subagio Sastrowardoyo dan A. Kasim Achmad. Seri Bunga Rampai Sastra ASEAN.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
133 (31%)
4 stars
191 (45%)
3 stars
77 (18%)
2 stars
11 (2%)
1 star
4 (<1%)
Displaying 1 - 30 of 56 reviews
Profile Image for Endah.
285 reviews157 followers
May 25, 2009
Buku ini dibedah pekan lalu (18/5) di Salihara bersama Hasan Aspahani (penyair) dan Muhammad Al Fayyadl. Buku dengan sampul hitam putih bergambar lukisan karya Jeihan ini memuat 51 puisi terbaru Sapardi Djoko Damono (selanjutnya aku sebut Sapardi saja). Kelima puluh satu sajak tersebut dibagi menjadi 3 bagian (kata Reda Gaudiamo pada kesempatan bertemu di sebuah acara sastra, Sapardi sangat suka angka 3).

Tahun ini, tepatnya 20 Maret silam, penyair idolaku ini genap berusia 69 tahun (eh, 69 bukan angka genap, ya?). Sebuah angka yang tidak muda lagi tentu. Namun, pada usia senjanya itu, Sapardi masih terus menyajak, membuktikan kecintaan dan kesetiaannya kepada seni yang bernama puisi.

Kalau kita cermati sejak buku perdananya, DukaMu Abadi (1969 – wow, aku masih orok!) hingga yang hadir terakhir ini, Kolam (2009 – berjarak tepat 40 tahun!), kita bisa lihat ada sesuatu yang mengabadi di dalamnya: kesetiaan Sapardi menggunakan benda-benda alam sebagai alat pengucapan sajak-sajaknya. Dalam rentang 40 tahun itu, kita akan selalu bertemu dengan kabut, bunga, embun, matahari, bulan , bintang, langit, rumput, pohon, ilalang, awan, ranting, sungai, laut, hujan……

Ketika hal tersebut disinggung oleh Zen Hae (penyair) pada malam diskusi di Salihara itu, Sapardi menanggapinya dengan berujar, “Yang terpenting adalah bukan apa yang diucapkan, tetapi bagaimana mengucapkannya (puisi). Bagi saya, sudah tidak ada lagi yang baru di dunia ini. Tema dalam puisi itu kan hanya merupakan pengulangan-pengulangan.”

Terlepas apakah Anda setuju atau tidak pada jawaban Sapardi, untukku puisi-puisi bapak ini tetaplah menjadi sesuatu yang memukau. Ia tidak ingin bercanggih-canggih dengan serba-kebaruan. Ia memilih menjadi seorang penjaga “taman” yang setia, sebab “taman” itu adalah temuannya. Miliknya. Seperti halnya celana bagi Joko Pinurbo. Kurang lebih seperti itulah pendapat Hasan Aspahani yang dengan ikhlas kusepakati. Bagiku, dalam kesetiaannya itu, puisi-puisi Sapardi menjadi klasik dan akan senantiasa lestari.

Ada yang menarik, khususnya buatku, pada acara diskusi yang lalu. Sebelum acara resmi dimulai, aku sempat bertukar kata dengan Hasan Aspahani. Tak jauh-jauh topiknya, masih di sekitar pinggir-pinggir Kolam.

Hasan bertanya padaku, “Gimana, Ndah? Sudah khatam Kolam-nya? Apa favoritmu?”

“Pohon Belimbing,” sahutku. Itu merupakan sajak nomor urut 2 di buku ini.

Belum sempat kami membincangnya lebih jauh, Guntur Romli yang malam itu bertindak selaku pembawa acara, telah naik mimbar dan memanggil Hasan untuk segera menempati kursi di muka. Acara akan segera dibuka dengan pembacaan satu puisi oleh Sapardi. Anda tahu, puisi apa yang dipilih beliau? “Pohon Belimbing”. Ah..aku jadi merasa Sapardi khusus membacakannya buatku 

Inilah “Pohon Belimbing” itu:

Pohon Belimbing

Sore itu kita berpapasan dengan pohon belimbing wuluh
yang kita tanam di halaman rumah kita beberapa tahun yang
lalu, ia sedang berjalan-jalan sendirian di trotoar. Jangan
kausapa, nanti ia bangun dari tidurnya.
Kau pernah bilang ia tidak begitu nyaman sebenarnya
di pekarangan kita yang tak terurus dengan baik., juga karena
konon ia tidak disukai rumput di sekitarnya yang bosan
menerima buahnya berjatuhan dan membusuk karena kau
jarang memetiknya. Kau, kan, yang tak suka sayur asem?
Aku paham, cinta kita telah kausayur selama ini tanpa
Belimbing wuluh; Demi kamu, tau! Yang tak bisa kupahami
adalah kenapa kau melarangku menyapa pohon itu ketika
ia berpapasan dengan kita di jalan. Yang tak akan mungkin
bisa kupahami adalah kenapa kau tega membiarkan pohon
belimbing wuluh ity berjalan dalam tidur?
Kau, kan, yang pernah bilang bahwa pohon itu akan jadi
Tua juga akhirnya?


Entah. Barangkali aku pun tak paham sepenuhnya maksud puisi ini. Namun, ada yang terasa indah saat aku membacanya. Juga membersit sebuah perasaan cinta yang tulus, yang telah teruji melewati waktu nan panjang. Tetapi tentu saja, Anda boleh mempunyai tafsir yang berbeda terhadapnya. Tak berlaku tafsir tunggal dalam fiksi, terlebih puisi. Memangnya Pancasila? :D

Sebetulnya masih ada satu puisi lagi yang bakal menjadi calon kuat menggantikan “Aku Ingin” sebagai sajak wajib Valentine’s Day versi aku. Wajib di sini artinya, setiap Hari Cinta Kasih itu tiba, aku selalu mengirimkan untaian sajak tersebut kepada beberapa orang (cowok dong) yang “istimewa”. Agaknya, Februari tahun depan, “Aku Ingin” akan kutukar dengan sebuah puisi yang mirip: “Seperti Kabut”. Tidak percaya bahwa mereka mirip satu sama lain? Nih, aku kasih lihat, ya:

Seperti Kabut

aku akan menyayangimu
seperti kabut
yang raib di cahaya matahari
:
aku akan menjelma awan
hati-hati mendaki bukit
agar bisa menghujanimu
:
pada suatu hari baik nanti.

Bagaimana? Mirip sekali, kan? Spiritnya terutama: cinta.

Jadi, bagi Anda para penggemar Sapardi sepertiku atau penyuka sajak-sajak cinta yang manis romantis, Kolam perlu dimiliki sebagai koleksi karya seorang “dewa”. Puisi-puisinya bukan jenis yang berat, yang membikin kening berlipat empat. Lagian, tak perlu betul untuk benar-benar memahaminya kok. Seperti aku, nikmati saja.***
Profile Image for Evan Dewangga.
301 reviews37 followers
August 10, 2020
Kalau membaca Chairil bagai terhisap dalam kemelut lukisan abstrak, membaca puisi Sapardi tak ubahnya terjun dalam lukisan Købke. Daun yang jatuh, tenggelam, dan menanti bersenyawa dengan air kolam diberi mic oleh Sapardi untuk menyampaikan keriunduannya pada ibu pucuknya. Juga batu, bangkai tikus, kabut, dan tentu tempias gerimis yang senantiasa menyelimuti sajak-sajak sendu. Pada hakikatnya, tidak ada benda yang membosankan, tidak romantis, atau diam. Apalagi jika benda itu dikemas dengan sentimentalitasnya Eyang Sapardi, dapat menjelma hidup dan berhati nurani. Pun saya jadi menyadari kembali, tidak ada manusia yang pada hakikatnya membosankan. Kalau pisau baru yang dibeli ibu saja menyimpan seribu rasa, apalagi jiwa manusia dengan sejuta emosi dan keingintahuannya. Hanya saja tak semua orang bisa melihat dan memahami emosi yang begitu rumit, atau paling tidak mencoba bisa satu frekuensi agar saling mengerti satu sama lain (saya begitu mengalami ini, sebab dunia cecintaan saya begitu, dibalas dengan idleness, indifferent T-T). Piawainya Eyang (juga Købke) membuat audiensnya sefrekuensi dengan langit, angin, dan tetes air yang masih menggantung di daun, hal yang biasa, sangat biasa, tapi jadi indah, jadi bergeliat, jadi bermakna.

Untuk catatan pribadi saja, ada banyak puisi yang bagi saya berkesan:
- Bayangkan Seandainya
- Kolam di Pekarangan
- Waktu Ada Kecelakaan
- Pintu
- Tentang Tuhan
- Secarik Kertas
- Ketika Kita Membuka Lembaran Kertas Ini
- Bintang dan Sungai
- Doa
- Segalanya
- Sonet 6, 11, 13, 14
- Jejak Burung
- Hanya
Profile Image for hans.
1,157 reviews152 followers
April 13, 2018
Menyaksi kehidupan pada patah prosa, sonet dan puisi. Hal-hal harian dan memori-memori lama juga dongeng cinta.

"Aku suka membayangkan kartu pos itu memuat gambarmu, residu dari berapa juta helaan dan hembusan napasku dulu."

Suka sekali bila penulis bercerita hal alam dalam larik yang indah-- bintang yang berkaca di wajah sungai, butir-butir hujan yang menderas dari sudut-sudut dedaun, gigil mentari yang senantiasa hilang-tampak di sela-sela rimbunan. Ada cerita hidup yang buat aku berfikir-fikir sendiri. Entah apa lagi rezeki dan pengalaman yang belum aku syukuri seadanya. Buku nipis yang menyisip kenangan. Manis sekali. "Kau akan mendengar dendang hening merawatmu, tak lekang mendenting."
Profile Image for Manik Sukoco.
251 reviews28 followers
December 28, 2015
In many of Sapardi’s later poems, what starts as an ordinary event may, through a subtle turn of phrase, or a swift shift of perspective, suddenly take a twist towards the unexpected or the uncanny.

"IMAGINE IF"
Imagine if what you see in the mirror this morning
is not your face but the bird that flies in the cloud-spattered
sky, scattering the wind through its feathers;
imagine if what you see in the mirror this morning
is not your face but the cloud that watches the bird as it
plunges into our city and flaps the factory smoke from its
feathers;
imagine if what you see in the mirror this morning
is not your face but the rambutan tree in your courtyard
that lures the bird to perch on its shoulders;
imagine if what you see in the mirror this morning
is your own old face that remains unchanged even though
you keep on peeling it fiercely layer by layer each and every day.
Profile Image for Neko no Hurairo.
6 reviews4 followers
September 19, 2016
Barangkali kata-kata tidak perlu dijelaskan. Barangkali kata itu seperti daun yang tenggelam, yang menunggu dengan ihlas hingga ia terurai tak bersisa; barangkali seperti ikan, yang berenang di antara air tak berpintu, atau seperti kolam, sebuah dunia yang sempat membiarkan matahari memperhatikannya hingga sebatang pohon jeruk tumbuh di sampingnya, dan membuatnya terus-terusan menjaga ikan dan daun hingga terurai sepenuhnya.

Barangkali isi buku ini tak perlu dipahami. Cukup dibaca. Dan kau akan mencari dirimu sendiri, yang kadang penuh arti, yang kadang pula harus dipertanyakan; mengapa aku harus ada?
Profile Image for Rizky Maisyarah.
31 reviews30 followers
August 27, 2017
Sederhana, menggunakan metafora dengan situasi atau barang/tempat yang sering dijumpai sehari-hari (mulai dari selokan hingga ikan di kolam) namun tidak berarti metafora tersebut tidak cukup dalam untuk menggambarkan kehidupan itu sendiri. Dalam namun sederhana.
Profile Image for Panca Erlangga.
116 reviews1 follower
May 31, 2018
Dalam buku ini, terdapat tiga bagian: Buku Satu, Buku Dua, dan Buku Tiga.
Dan, pada Bagian Buku Satu, aku sangat-amat menyukai puisi-puisinya.
Profile Image for Molin.
760 reviews
September 18, 2020
Akhirnya bisa baca buku ini.. karya pak Sapardi memang selalu abadi
Profile Image for Yunita Taman.
291 reviews13 followers
January 2, 2020
Mungkin karena penyajiannya lebih sederhana dibanding puisi umumnya dan perumpamaan yang diambil selalu tentang hal yang sama, maafkan daku karena belum bisa memahami dengan penuh makna yang tersirat.
Profile Image for nur'aini  tri wahyuni.
895 reviews30 followers
September 5, 2017
suka banget puisipuisi pak Sapardi di buku ini. kayak baca cerita pendek dalam tiaptiap syairnya.
Profile Image for Noep.
49 reviews28 followers
July 24, 2018
Taman Kota

/1/
Ia suka membayangkan dirinya duduk
di sebuah taman kota di negeri jauh
kalau menjelang magrib ia memutar kunci pintu
sehabis seharian naik-turun angkot
mencari rumah yang alamatnya tercecer
di taman nun jauh di sana itu.

/2/
Ia suka membayangkan dirinya duduk
di sebuah taman kota entah di mana.

/3/
Ia suka membayangkan dirinya duduk.

Kenangan

/1/
ia meletakkan kenangannya
dengan sangat hati-hati
di laci meja dan menguncinya
memasukkan anak kunci ke saku celana
sebelum berangkat ke sebuah kota
yang sudah sangat lama hapus
dari peta yang pernah digambarnya
pada suatu musim layang-layang

/2/
tak didengarnya lagi
suara air mulai mendidih
di laci yang rapat terkunci

/3/
ia telah meletakkan hidupnya
di antara tanda petik

---

Aku berdoa untuk Eyang Sapardi dan kecantikan-kecantikan puisinya yang selalu mengambil hatiku setiap aku membacanya. Mungkin dua kali tiga kali; entah aku sampai lupa membaca kumpulan puisi ini. Tidak ada yang perlu aku pikirkan dalam-dalam selain aku ingin mendeklamasikannya berulang-ulang seolah aku adalah Sapardi dengan ekspresinya dan Sapardi adalah aku. Aku tak ingin belajar berkhayal untuk menjadi penyair dengan imajinasi sastra layaknya Sapardi, tetapi buku ini terlalu indah buatku dan menjadi salah satu favoritku di antara buku-buku puisi yang lain.
Profile Image for Teguh.
Author 10 books335 followers
June 18, 2017
Suka. Puisi pembukanya ajaib sekali. Beberapa puisi membuat saya justru mendapatkan sensasi seolah sedang membaca cerita flash fiction
Profile Image for Wawan Kurn.
Author 20 books36 followers
July 17, 2016
Membaca “Kolam” karya Sapardi Djoko Damono barangkali akan menjadi usaha menenggelamkan diri. Kata-kata dihadirkan dengan kedalaman yang sulit untuk diterka. Selain itu, seperti biasa Sapardi selalu memberikan kesempatan pada kata-kata untuk menemukan ruangnya masing - masing. Saya akan membiarkan kata itu memperlihatkan dirinya sendiri.

Read more...http://www.wawankurn.com/2016/05/memb...
Profile Image for Aqmarina Andira.
Author 3 books10 followers
June 24, 2017
/1/
ia meletakkan kenangannya
dengan sangat hati-hati
di laci meja dan menguncinya
memasukkan anak kunci ke saku celana
sebelum berangkat ke sebuah kota
yang sudah sangat lama hapus
dari peta yang pernah digambarnya
pada suatu musim layang-layang

/2/
tak didengarnya lagi
suara air mulai mendidih
di laci yang rapat terkunci

/3/
ia telah meletakkan hidupnya
di antara tanda petik

---

Kenangan, baik-baik ya kau kusimpan.
Profile Image for Willy Akhdes.
Author 1 book17 followers
October 14, 2017
SECANGKIR KOPI

Secangkir kopi yang dengan tenang menunggu kauminum
itu tak pernah mengusut kenapa kau bisa membedakan
aromanya dari asap yang setiap hari kauhirup ketika berangkat
dan pulang kerja yang semakin tidak bisa mengerti
kenapa mesti ada secangkir kopi yang tersedia di atas meja setiap
pagi.
Profile Image for Rari Rahmat.
38 reviews7 followers
August 30, 2020
⁣⁣buku bacaan 2020 ke-41⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
pertama kali diterbitkan pada 2009, lalu diterbitkan ulang pada 2017. maka puisi-puisi Eyang di dalam Kolam ini terasa muda, terawang dan mudah dicerna. seperti biasa, hal-hal yang sederhana sehari-hari menjadi concern-nya untuk kemudian dipuisikannya. yang menarik dan baru ini kutemukan, judul-judul puisi dalam Kolam pakai font seperti cetakan huruf mesin ketik!⁣⁣
⁣⁣⁣
(pintu)⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
pagi dikaruniai begitu banyak pintu dan kita disilakan⁣⁣⁣
masuk melewatinya kapan saja.⁣⁣⁣
malam diberkahi begitu banyak gerbang dan kita digoda⁣⁣⁣
untuk membukanya dan keluar agar bisa ke sana.⁣⁣⁣
tidak diperlukan ketukan.⁣⁣⁣
tidak diperlukan kunci.⁣⁣⁣
:⁣⁣⁣
sungguh, tidak diperlukan selamat datang atau selamat⁣⁣⁣
tinggal.⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
(secarik kertas)⁣⁣
⁣⁣
simpan secarik kertas ini agar kau selalu ingat padaku.⁣⁣
tapi tampaknya ia malah selalu ingat padamu dan tak pernah mau⁣⁣
bicara baik-baik padaku.⁣⁣
simpab saja aku baik-baik kalau begitu agar kertas itu mau mengucapkan sesuatu padamu tentang aku—selalu.⁣⁣
meskipun kau tak ingat lagi apa yang tertulis di situ.⁣⁣
⁣⁣
(doa)⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
kau pun buru-buru menangkap doa yang baru selesai⁣⁣⁣
kauucapkan dan memenjarakannya di selembar kertas. ia abadi⁣⁣⁣
di situ.⁣⁣⁣
ia sudah mulai merasa tenang di lembaran kertas yang⁣⁣⁣
hening ketika malam ini kau melisankannya keras-keras.⁣⁣⁣
alangkah indah bunyinya.⁣⁣⁣
tidak ada yang pernah mengatakan padaku seperti apa⁣⁣⁣
sebenarnya hubunganmu dengan doa itu.⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
(kenangan)⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
/1/⁣⁣⁣
ia meletakkan kenangannya⁣⁣⁣
dengab sangat hati-hati⁣⁣⁣
di laci meja dan menguncinya⁣⁣⁣
memasukkan anak kunci ke saku celana⁣⁣⁣
sebelum berangkat ke sebuah kota⁣⁣⁣
yang sudah sangat lama hapus⁣⁣⁣
dari peta yang pernah digambarnya⁣⁣⁣
pada suatu musim layang-layang⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
/2/⁣⁣⁣
tak didengarnya lagi⁣⁣⁣
suara air mulai mendidih⁣⁣⁣
di laci kursi yang rapat terkunci⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
/3/⁣⁣⁣
ia telah meletakkan hidupnya⁣⁣⁣
di atas tanda petik⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
(seperti kabut)⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
aku akan menyayangimu⁣⁣⁣
seperti kabut⁣⁣⁣
yang raib di cahaya matahari⁣⁣⁣
:⁣⁣⁣
aku akan menjelma awan⁣⁣⁣
hati-hati mendaki bukit⁣⁣⁣
agar bisa menghujanimu⁣⁣⁣
:⁣⁣⁣
pada suatu hari baik nanti⁣⁣⁣
Profile Image for Puspa.
168 reviews2 followers
November 9, 2020
Sapardi Djoko Damono hingga akhir hayatnya banyak melahirkan puisi dan prosa. Selain puisi model konvensional, eyang Sapardi juga suka menyusun baris-baris puisi modern yang tak terlalu mengindahkan rima juga tak terlalu ketat batas antara puisi dan prosa. Salah satu buku kumpulan puisi modern dan konvensional yang enak untuk dinikmati adalah "Kolam".

Dalam buku cetakan kesekian yang dirilis tahun 2017 ini terdapat 51 puisi yang terbagi menjadi tiga bagian. Salah satu bagiannya adalah seloka yang menggunakan unsur seperti puisi konvensional pada umumnya, dengan berpegang pada rima.

Sampul buku ini dominan putih dengan ilustrasi kolam berwarna hijau. Sederhana, minimalis, dan elegan.

Aku langsung jatuh cinta dengan cuplikan isi buku ini yang tertera di sampul belakang buku (bulk). Tentang puisi pintu.

"Pagi dikaruniai oleh banyak pintu dan kita disilakan masuk melewatinya kapan saja.
Malam diberkahi begitu banyak gerbang dan kita digodanya untuk membuka dan keluar untuk bisa ke Sana.
Tidak diperlukan ketukan
Tidak diperlukan kunci
Sungguh tidak diperlukan selamat datang atau selamat tinggal" (Pintu - Sapardi)

Puisi-puisinya sebagian di antaranya lugas, mudah untuk dimaknai. Ia tidak banyak menggunakan bahasa simbol dan bahasa yang berbunga-bunga. Banyak puisi yang merupakan kisah-kisah yang bisa ditemui dalam keseharian.

Satu lagi puisi yang bagiku menarik, puisi modern, terasa seperti prosa. Puisi tentang penjual pisau. Aku langsung tersentil dan membayangkan si penjual yang menawarkan pisau dan dagangan lainnya yang disebut perabot.

Si pedagang selalu menunduk dan jarang berkata untuk menawarkan dagangannya. Si pedagang yang suka berkata sila saja pisaunya ditawar harganya.

Membaca ini aku jadi merasa sentimentil. Aku jadi sedih. Aku sering melihat penjual pisau atau juga pedagang perabot yang memasuki gang demi gang rumah. Kadang-kadang saja dan begitu jarang aku membelinya.

Puisi tentang "Kolam" cukup panjang, membahas dari daun, ikan, dan kolam yang ada di sebuah tempat dari sudut pandang masing-masing. Dengarlah bagaimana daun, ikan, dan kolam bercerita.

Kumpulan puisi ini rata-rata pendek dan tak berkaitan satu sama lain. Isinya termasuk ringan dan mudah dipahami.

Ulasan ini sudah pernah diunggah di
www.keblingerbuku.com
Profile Image for Titan Sadewo.
6 reviews
December 23, 2021
dalam buku ini, "keseharian" menjadi poin utama teks. ia bergerak ke sana, ke mari: di sisi lain, ia diam saja—sebab kita menjalaninya. potret keseharian itu seperti "perwakilan" manusia di bumi. bahwa jika dinyatakan: o, ide teks Sapardi berasal dari apa yang dia alami. pernyataan itu bisa jadi benar, bisa jadi tidak. namun yang utama adalah Sapardi adalah kita ... kita tak menginterupsi, melawan, atau bahkan menolak apa yang dikatakan teks—kita seperti seorang cucu yang sedang mendengar kakek bercerita & khusyuk: mungkin akan semangat atau malah tertidur. teks-teks di sini juga seperti dialog pingpong antara aku & kau—siapakah mereka? kita tak tahu. namun yang penting adalah konflik yang datang-pergi seperti cinta-kasih sayang apa adanya, yang seperti tidak dikonstruksi (padahal sebenarnya ya!) berjalan begitu saja, mengalir: narasi sungai! yang juga mesti ditilik adalah Sapardi lihai betul "menjadi" objek lain, objek yang mati itu; tak hanya dipersonifikasikan, tak hanya dihidupkan—tapi seperti ada nyawa lain yang membuat objek itu tak hanya hidup, namun bergerak: seperti punya riwayat hidup panjang & kita terperangah ketika mengetahui itu. entah dengan rumus & cara apa Sapardi melakukan itu untuk kita. saya merasa bahwa puisi-puisi Sapardi dalam buku ini seperti cerita yang kita dengar setiap hari, kadang kita ingat, kadang kita lupakan & kadang kita ingat-ingat ketika tak sengaja kita lupakan.
Profile Image for Arystha.
322 reviews11 followers
June 6, 2023
Ada 3 bagian di dalam buku puisi ini, terdiri dari Buku Satu (21 prosa), Buku Dua (15 sonet), dan Buku Tiga (15 puisi). Di Buku Tiga, puisi pertama adalah puisi denga judul terpanjang yang pernah saya baca: Sebilah Pisau Dapur yang Kaubeli dari Penjaja yang Setidaknya Seminggu Sekali Muncul di Kompleks, yang Selalu Berjalan Menunduk dan Hanya Sesekali Menawarkan Dagangannya dengan Suara yang Kadang Terdengar Kadang Tidak, yang Kalau Ditanya Berapa Harganya Dikatakannya, "Terserah Situ Saja...". Waaaaa panjang bangettttttt judulnya :D



Seperti Kabut

aku akan menyayangimu
seperti kabut
yang raib di cahaya matahari
:
aku akan menjelma awan
hati-hati mendaki bukit
agar bisa menghujanimu
:
pada suatu hari baik nanti
Profile Image for haani.
128 reviews4 followers
July 8, 2017
This is actually my first time reading Sapardi's poems and it went well. Really well. In fact, i like how he wrote it.

In this book (couldn't talk about the other book), we can see that he used bird, sky, city and key a lot.

I love "Kolam di Pekarangan" the most. In that poem, we could see many lines written only by the pond ecosystem alone. And it turned out so great??

And maybe by the third reads (which i would do) i can point out any more poems that i like and blown my mind away.

Note : someone should purchase every books by him and send it my way!! I'd be willing to keep it... and give them
a little care
Profile Image for tiara.
46 reviews
July 16, 2020
4.5/5

"Ada gigil matahari yang tidak akan bisa dihayatinya lagi yang berkas-berkas sinarnya suka menyentuh-nyentuhkan hangatnya pada ranting yang hanya berbisik jika angin lewat tanpa mengatakan apa-apa."

" Ia ingin sekali bisa merindukan ranting pohon jeruk itu. Ingin sekali bisa merindukan dirinya sebagai kuncup."

Tak habis pikir dengan Bapak SDD yang bisa dengan mudahnya meromantisasi benda mati, menggambarkan perasaan daun jeruk yang jatuh ke kolam. Atau bangkai tikus di selokan. Ingin rasanya aku tanya apa yang berlalu-lalang dalam benak beliau.
Profile Image for Tuna Gandum.
146 reviews1 follower
September 17, 2024
Kesan pertama ketika membaca buku ini adalah puisi-puisi yang ada dalam buku ini bisa dibilang "Sapardi banget". Dimulai dari tema, pilihan kata, dan kecenderungan Sapardi untuk mengambil benda dalam kehidupan sehari-hari menjadi puisi. Yang membedakannya dengan karya lain Sapardi yang pernah saya baca adalah adalah puisi-puisi dalam buku ini lebih abstrak. Ketimbang membuat pembaca larut dalam kebaperan, "Kolam" akan menarik pembaca untuk menikmati 'suasana' yang muncul dari setiap puisinya.
Profile Image for Jannabi.
1 review
March 25, 2025
Daripada mengemas rasa suka yang buru-buru dan penuh keinginan untuk selalu jadi ‘sama’, Sapardi justru memilih menjadikan segala yang dirasakan sebagai pernak-pernak kecil seperti angin yang sejuk jika lewat terhembus tetapi juga tidak terlalu terasa bisa digapai. Bagi saya mungkin puisi-puisi ini adalah pengingat bahwa jatuh cinta bukanlah ajang buru-buru dapat lisensi seperti yang kita semua lakukan ketika ingin dapatkan SIM A maupun SIM C
Profile Image for Linclair Christabel.
23 reviews
October 30, 2017
Sungguh! Tiada penyesalan untuk merogoh kocek dalam-dalam (maklum, pelajar) buat beli buku ini.

Seperti biasa, Pak Sapardi menyuguhkan sajak-sajak yang maknanya membuat kita mengkerutkan kening untuk mengartikannya. Dengan pemilihan kata yang terlampau sederhana itu berhasil menyihir para pembaca untuk berimaji di dalam puisinya.

Salut Pak SDD!
Profile Image for Dina Layinah Putri.
108 reviews5 followers
January 29, 2018
Tuhan merawat segala yang kita kenal dan juga yang tidak kita kenal dan juga yang tidak akan pernah bisa kita kenal. (37)

Hidup terasa benar-benar tak mau redup (61)

Risaukah kita ketika menyadari bahwa tulisan tak perlu, ternyata? (73)

Tetapi, apakah kita pernah yakin ada cinta yang bersikeras abadi? (81)

Tik tok jam itu tempias semakin deras (119)
Profile Image for Nike Andaru.
1,632 reviews111 followers
October 12, 2019
199 - 2019

Buku puisi ini dibagi menjadi 3 bagian yang dinamai ; buku satu, buku dua dan buku tiga. Bagian yang paling saya suka ada di bagian buku dua yang tiap judulnya hanya diberi judul Sonet, dari Sonet 1 hingga Sonet 15.


Ketika kubayangkan matamu mendesah.
Jangan lupa, di sini ada yang gelisah.


Tsaaah... 😁
Profile Image for Rin.
Author 1 book17 followers
February 17, 2021
Tidak banyak yang bisa kukatakan mengenai buku kumpulan puisi ini, selain bahwa aku menyukainya. Ada beberapa bagian yang membuatku merasa, "wah-ini-keren-sekali" karena dituliskan dari sudut pandang (atau metafora?) unik seperti air kolam, daun, dll. Rasanya menyenangkan membaca buku ini, juga terasa hangat ... bacaan yang cocok untuk mengisi waktu luang sambil menyesap teh.
Profile Image for Ai Maryatul.
8 reviews
July 25, 2021
Saya masih terlalu awam untuk memahami puisi-puisi indah karya Sapardi Djoko Damono namun di beberapa tulisan yang ia sematkan dalam buku ini mengunggugah hati saya, saya seperti merasakan indahnya aliran kata yang beliau tuliskan, perasaan ini seperti menikmati keindahan dalam diam walaupun belum sepenuhnya memahami arti keindahan itu.
Profile Image for Lidia.
91 reviews
July 25, 2021
Puisi-puisi di buku ini seperti mengajak kita mencintai alam. Meski beberapa di antaranya belum bisa saya pahami, tapi saya menjadikan diri penikmat puisi Sapardi.

Ada potongan bait puisi beliau yang saya suka dan menurut saya itu logis.

"Pagi dikaruniai begitu banyak pintu dan kita disilakan masuk melewatinya kapan saja."(Pintu, Sapardi)
Profile Image for Lutfi.
52 reviews2 followers
September 2, 2022
Antologi puisi Eyang Sapardi ini berhasil mengobati rindu mencari makna, memahami, dan refleksi diri saat membaca puisi. Untaian katanya indah, penuh makna (harus pakai mikir, sampai sekarang masih ada banyak pertanyaan untuk menginterpretasikan pieces puisinya).

Meskipun bacanya nggak lama, kayaknya akan take some time untuk contemplating, mencatat, nulis, karena sayang kalau di skip.
Displaying 1 - 30 of 56 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.