Pagi dikaruniai begitu banyak pintu dan kita disilakan masuk melewatinya kapan saja. Malam diberkahi begitu banyak gerbang dan kita digoda untuk membukanya dan keluar agar bisa ke Sana. Tidak diperlukan ketukan. Tidak diperlukan kunci. Sungguh, tidak diperlukan selamat datang atau selamat tinggal.
Riwayat hidup Masa mudanya dihabiskan di Surakarta. Pada masa ini ia sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sejak tahun 1974 ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, namun kini telah pensiun. Ia pernah menjadi dekan di sana dan juga menjadi guru besar. Pada masa tersebut ia juga menjadi redaktur pada majalah "Horison", "Basis", dan "Kalam".
Sapardi Djoko Damono banyak menerima penghargaan. Pada tahun 1986 SDD mendapatkan anugerah SEA Write Award. Ia juga penerima penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar.
Karya-karya Sajak-sajak SDD, begitu ia sering dijuluki, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Sampai sekarang telah ada delapan kumpulan puisinya yang diterbitkan. Ia tidak saja menulis puisi, tetapi juga menerjemahkan berbagai karya asing, menulis esei, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola.
Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti Aku Ingin (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari. Kepopuleran puisi-puisi ini sebagian disebabkan musikalisasi terhadapnya. Yang terkenal terutama adalah oleh Reda Gaudiamo dan Tatyana (tergabung dalam duet "Dua Ibu"). Ananda Sukarlan pada tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya SDD.
Berikut adalah karya-karya SDD (berupa kumpulan puisi), serta beberapa esei.
Kumpulan Puisi/Prosa
* "Duka-Mu Abadi", Bandung (1969) * "Lelaki Tua dan Laut" (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway) * "Mata Pisau" (1974) * "Sepilihan Sajak George Seferis" (1975; terjemahan karya George Seferis) * "Puisi Klasik Cina" (1976; terjemahan) * "Lirik Klasik Parsi" (1977; terjemahan) * "Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak" (1982, Pustaka Jaya) * "Perahu Kertas" (1983) * "Sihir Hujan" (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia) * "Water Color Poems" (1986; translated by J.H. McGlynn) * "Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono" (1988; translated by J.H. McGlynn) * "Afrika yang Resah (1988; terjemahan) * "Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia" (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks) * "Hujan Bulan Juni" (1994) * "Black Magic Rain" (translated by Harry G Aveling) * "Arloji" (1998) * "Ayat-ayat Api" (2000) * "Pengarang Telah Mati" (2001; kumpulan cerpen) * "Mata Jendela" (2002) * "Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro?" (2002) * "Membunuh Orang Gila" (2003; kumpulan cerpen) * "Nona Koelit Koetjing :Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870an - 1910an)" (2005; salah seorang penyusun) * "Mantra Orang Jawa" (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)
Musikalisasi Puisi
Musikalisasi puisi karya SDD sebetulnya bukan karyanya sendiri, tetapi ia terlibat di dalamnya.
* Album "Hujan Bulan Juni" (1990) dari duet Reda dan Ari Malibu. * Album "Hujan Dalam Komposisi" (1996) dari duet Reda dan Ari. * Album "Gadis Kecil" dari duet Dua Ibu * Album "Becoming Dew" (2007) dari duet Reda dan Ari Malibu * satu lagu dari "Soundtrack Cinta dalam Sepotong Roti", berjudul Aku Ingin, diambil dari sajaknya dengan judul sama, digarap bersama Dwiki Dharmawan dan AGS Arya Dwipayana, dibawakan oleh Ratna Octaviani.
Ananda Sukarlan pada Tahun Baru 2008 juga mengadakan konser kantata "Ars Amatoria" yang berisi interpretasinya atas puisi-puisi SDD.
Buku
* "Sastra Lisan Indonesia" (1983), ditulis bersama Subagio Sastrowardoyo dan A. Kasim Achmad. Seri Bunga Rampai Sastra ASEAN.
Buku ini dibedah pekan lalu (18/5) di Salihara bersama Hasan Aspahani (penyair) dan Muhammad Al Fayyadl. Buku dengan sampul hitam putih bergambar lukisan karya Jeihan ini memuat 51 puisi terbaru Sapardi Djoko Damono (selanjutnya aku sebut Sapardi saja). Kelima puluh satu sajak tersebut dibagi menjadi 3 bagian (kata Reda Gaudiamo pada kesempatan bertemu di sebuah acara sastra, Sapardi sangat suka angka 3).
Tahun ini, tepatnya 20 Maret silam, penyair idolaku ini genap berusia 69 tahun (eh, 69 bukan angka genap, ya?). Sebuah angka yang tidak muda lagi tentu. Namun, pada usia senjanya itu, Sapardi masih terus menyajak, membuktikan kecintaan dan kesetiaannya kepada seni yang bernama puisi.
Kalau kita cermati sejak buku perdananya, DukaMu Abadi (1969 – wow, aku masih orok!) hingga yang hadir terakhir ini, Kolam (2009 – berjarak tepat 40 tahun!), kita bisa lihat ada sesuatu yang mengabadi di dalamnya: kesetiaan Sapardi menggunakan benda-benda alam sebagai alat pengucapan sajak-sajaknya. Dalam rentang 40 tahun itu, kita akan selalu bertemu dengan kabut, bunga, embun, matahari, bulan , bintang, langit, rumput, pohon, ilalang, awan, ranting, sungai, laut, hujan……
Ketika hal tersebut disinggung oleh Zen Hae (penyair) pada malam diskusi di Salihara itu, Sapardi menanggapinya dengan berujar, “Yang terpenting adalah bukan apa yang diucapkan, tetapi bagaimana mengucapkannya (puisi). Bagi saya, sudah tidak ada lagi yang baru di dunia ini. Tema dalam puisi itu kan hanya merupakan pengulangan-pengulangan.”
Terlepas apakah Anda setuju atau tidak pada jawaban Sapardi, untukku puisi-puisi bapak ini tetaplah menjadi sesuatu yang memukau. Ia tidak ingin bercanggih-canggih dengan serba-kebaruan. Ia memilih menjadi seorang penjaga “taman” yang setia, sebab “taman” itu adalah temuannya. Miliknya. Seperti halnya celana bagi Joko Pinurbo. Kurang lebih seperti itulah pendapat Hasan Aspahani yang dengan ikhlas kusepakati. Bagiku, dalam kesetiaannya itu, puisi-puisi Sapardi menjadi klasik dan akan senantiasa lestari.
Ada yang menarik, khususnya buatku, pada acara diskusi yang lalu. Sebelum acara resmi dimulai, aku sempat bertukar kata dengan Hasan Aspahani. Tak jauh-jauh topiknya, masih di sekitar pinggir-pinggir Kolam.
Hasan bertanya padaku, “Gimana, Ndah? Sudah khatam Kolam-nya? Apa favoritmu?”
“Pohon Belimbing,” sahutku. Itu merupakan sajak nomor urut 2 di buku ini.
Belum sempat kami membincangnya lebih jauh, Guntur Romli yang malam itu bertindak selaku pembawa acara, telah naik mimbar dan memanggil Hasan untuk segera menempati kursi di muka. Acara akan segera dibuka dengan pembacaan satu puisi oleh Sapardi. Anda tahu, puisi apa yang dipilih beliau? “Pohon Belimbing”. Ah..aku jadi merasa Sapardi khusus membacakannya buatku
Inilah “Pohon Belimbing” itu:
Pohon Belimbing
Sore itu kita berpapasan dengan pohon belimbing wuluh yang kita tanam di halaman rumah kita beberapa tahun yang lalu, ia sedang berjalan-jalan sendirian di trotoar. Jangan kausapa, nanti ia bangun dari tidurnya. Kau pernah bilang ia tidak begitu nyaman sebenarnya di pekarangan kita yang tak terurus dengan baik., juga karena konon ia tidak disukai rumput di sekitarnya yang bosan menerima buahnya berjatuhan dan membusuk karena kau jarang memetiknya. Kau, kan, yang tak suka sayur asem? Aku paham, cinta kita telah kausayur selama ini tanpa Belimbing wuluh; Demi kamu, tau! Yang tak bisa kupahami adalah kenapa kau melarangku menyapa pohon itu ketika ia berpapasan dengan kita di jalan. Yang tak akan mungkin bisa kupahami adalah kenapa kau tega membiarkan pohon belimbing wuluh ity berjalan dalam tidur? Kau, kan, yang pernah bilang bahwa pohon itu akan jadi Tua juga akhirnya?
Entah. Barangkali aku pun tak paham sepenuhnya maksud puisi ini. Namun, ada yang terasa indah saat aku membacanya. Juga membersit sebuah perasaan cinta yang tulus, yang telah teruji melewati waktu nan panjang. Tetapi tentu saja, Anda boleh mempunyai tafsir yang berbeda terhadapnya. Tak berlaku tafsir tunggal dalam fiksi, terlebih puisi. Memangnya Pancasila? :D
Sebetulnya masih ada satu puisi lagi yang bakal menjadi calon kuat menggantikan “Aku Ingin” sebagai sajak wajib Valentine’s Day versi aku. Wajib di sini artinya, setiap Hari Cinta Kasih itu tiba, aku selalu mengirimkan untaian sajak tersebut kepada beberapa orang (cowok dong) yang “istimewa”. Agaknya, Februari tahun depan, “Aku Ingin” akan kutukar dengan sebuah puisi yang mirip: “Seperti Kabut”. Tidak percaya bahwa mereka mirip satu sama lain? Nih, aku kasih lihat, ya:
Seperti Kabut
aku akan menyayangimu seperti kabut yang raib di cahaya matahari : aku akan menjelma awan hati-hati mendaki bukit agar bisa menghujanimu : pada suatu hari baik nanti.
Bagaimana? Mirip sekali, kan? Spiritnya terutama: cinta.
Jadi, bagi Anda para penggemar Sapardi sepertiku atau penyuka sajak-sajak cinta yang manis romantis, Kolam perlu dimiliki sebagai koleksi karya seorang “dewa”. Puisi-puisinya bukan jenis yang berat, yang membikin kening berlipat empat. Lagian, tak perlu betul untuk benar-benar memahaminya kok. Seperti aku, nikmati saja.***
Kalau membaca Chairil bagai terhisap dalam kemelut lukisan abstrak, membaca puisi Sapardi tak ubahnya terjun dalam lukisan Købke. Daun yang jatuh, tenggelam, dan menanti bersenyawa dengan air kolam diberi mic oleh Sapardi untuk menyampaikan keriunduannya pada ibu pucuknya. Juga batu, bangkai tikus, kabut, dan tentu tempias gerimis yang senantiasa menyelimuti sajak-sajak sendu. Pada hakikatnya, tidak ada benda yang membosankan, tidak romantis, atau diam. Apalagi jika benda itu dikemas dengan sentimentalitasnya Eyang Sapardi, dapat menjelma hidup dan berhati nurani. Pun saya jadi menyadari kembali, tidak ada manusia yang pada hakikatnya membosankan. Kalau pisau baru yang dibeli ibu saja menyimpan seribu rasa, apalagi jiwa manusia dengan sejuta emosi dan keingintahuannya. Hanya saja tak semua orang bisa melihat dan memahami emosi yang begitu rumit, atau paling tidak mencoba bisa satu frekuensi agar saling mengerti satu sama lain (saya begitu mengalami ini, sebab dunia cecintaan saya begitu, dibalas dengan idleness, indifferent T-T). Piawainya Eyang (juga Købke) membuat audiensnya sefrekuensi dengan langit, angin, dan tetes air yang masih menggantung di daun, hal yang biasa, sangat biasa, tapi jadi indah, jadi bergeliat, jadi bermakna.
Untuk catatan pribadi saja, ada banyak puisi yang bagi saya berkesan: - Bayangkan Seandainya - Kolam di Pekarangan - Waktu Ada Kecelakaan - Pintu - Tentang Tuhan - Secarik Kertas - Ketika Kita Membuka Lembaran Kertas Ini - Bintang dan Sungai - Doa - Segalanya - Sonet 6, 11, 13, 14 - Jejak Burung - Hanya
Menyaksi kehidupan pada patah prosa, sonet dan puisi. Hal-hal harian dan memori-memori lama juga dongeng cinta.
"Aku suka membayangkan kartu pos itu memuat gambarmu, residu dari berapa juta helaan dan hembusan napasku dulu."
Suka sekali bila penulis bercerita hal alam dalam larik yang indah-- bintang yang berkaca di wajah sungai, butir-butir hujan yang menderas dari sudut-sudut dedaun, gigil mentari yang senantiasa hilang-tampak di sela-sela rimbunan. Ada cerita hidup yang buat aku berfikir-fikir sendiri. Entah apa lagi rezeki dan pengalaman yang belum aku syukuri seadanya. Buku nipis yang menyisip kenangan. Manis sekali. "Kau akan mendengar dendang hening merawatmu, tak lekang mendenting."
In many of Sapardi’s later poems, what starts as an ordinary event may, through a subtle turn of phrase, or a swift shift of perspective, suddenly take a twist towards the unexpected or the uncanny.
"IMAGINE IF" Imagine if what you see in the mirror this morning is not your face but the bird that flies in the cloud-spattered sky, scattering the wind through its feathers; imagine if what you see in the mirror this morning is not your face but the cloud that watches the bird as it plunges into our city and flaps the factory smoke from its feathers; imagine if what you see in the mirror this morning is not your face but the rambutan tree in your courtyard that lures the bird to perch on its shoulders; imagine if what you see in the mirror this morning is your own old face that remains unchanged even though you keep on peeling it fiercely layer by layer each and every day.
Barangkali kata-kata tidak perlu dijelaskan. Barangkali kata itu seperti daun yang tenggelam, yang menunggu dengan ihlas hingga ia terurai tak bersisa; barangkali seperti ikan, yang berenang di antara air tak berpintu, atau seperti kolam, sebuah dunia yang sempat membiarkan matahari memperhatikannya hingga sebatang pohon jeruk tumbuh di sampingnya, dan membuatnya terus-terusan menjaga ikan dan daun hingga terurai sepenuhnya.
Barangkali isi buku ini tak perlu dipahami. Cukup dibaca. Dan kau akan mencari dirimu sendiri, yang kadang penuh arti, yang kadang pula harus dipertanyakan; mengapa aku harus ada?
Sederhana, menggunakan metafora dengan situasi atau barang/tempat yang sering dijumpai sehari-hari (mulai dari selokan hingga ikan di kolam) namun tidak berarti metafora tersebut tidak cukup dalam untuk menggambarkan kehidupan itu sendiri. Dalam namun sederhana.
Mungkin karena penyajiannya lebih sederhana dibanding puisi umumnya dan perumpamaan yang diambil selalu tentang hal yang sama, maafkan daku karena belum bisa memahami dengan penuh makna yang tersirat.
/1/ Ia suka membayangkan dirinya duduk di sebuah taman kota di negeri jauh kalau menjelang magrib ia memutar kunci pintu sehabis seharian naik-turun angkot mencari rumah yang alamatnya tercecer di taman nun jauh di sana itu.
/2/ Ia suka membayangkan dirinya duduk di sebuah taman kota entah di mana.
/3/ Ia suka membayangkan dirinya duduk.
Kenangan
/1/ ia meletakkan kenangannya dengan sangat hati-hati di laci meja dan menguncinya memasukkan anak kunci ke saku celana sebelum berangkat ke sebuah kota yang sudah sangat lama hapus dari peta yang pernah digambarnya pada suatu musim layang-layang
/2/ tak didengarnya lagi suara air mulai mendidih di laci yang rapat terkunci
/3/ ia telah meletakkan hidupnya di antara tanda petik
---
Aku berdoa untuk Eyang Sapardi dan kecantikan-kecantikan puisinya yang selalu mengambil hatiku setiap aku membacanya. Mungkin dua kali tiga kali; entah aku sampai lupa membaca kumpulan puisi ini. Tidak ada yang perlu aku pikirkan dalam-dalam selain aku ingin mendeklamasikannya berulang-ulang seolah aku adalah Sapardi dengan ekspresinya dan Sapardi adalah aku. Aku tak ingin belajar berkhayal untuk menjadi penyair dengan imajinasi sastra layaknya Sapardi, tetapi buku ini terlalu indah buatku dan menjadi salah satu favoritku di antara buku-buku puisi yang lain.
Membaca “Kolam” karya Sapardi Djoko Damono barangkali akan menjadi usaha menenggelamkan diri. Kata-kata dihadirkan dengan kedalaman yang sulit untuk diterka. Selain itu, seperti biasa Sapardi selalu memberikan kesempatan pada kata-kata untuk menemukan ruangnya masing - masing. Saya akan membiarkan kata itu memperlihatkan dirinya sendiri.
/1/ ia meletakkan kenangannya dengan sangat hati-hati di laci meja dan menguncinya memasukkan anak kunci ke saku celana sebelum berangkat ke sebuah kota yang sudah sangat lama hapus dari peta yang pernah digambarnya pada suatu musim layang-layang
/2/ tak didengarnya lagi suara air mulai mendidih di laci yang rapat terkunci
/3/ ia telah meletakkan hidupnya di antara tanda petik
Secangkir kopi yang dengan tenang menunggu kauminum itu tak pernah mengusut kenapa kau bisa membedakan aromanya dari asap yang setiap hari kauhirup ketika berangkat dan pulang kerja yang semakin tidak bisa mengerti kenapa mesti ada secangkir kopi yang tersedia di atas meja setiap pagi.
buku bacaan 2020 ke-41 pertama kali diterbitkan pada 2009, lalu diterbitkan ulang pada 2017. maka puisi-puisi Eyang di dalam Kolam ini terasa muda, terawang dan mudah dicerna. seperti biasa, hal-hal yang sederhana sehari-hari menjadi concern-nya untuk kemudian dipuisikannya. yang menarik dan baru ini kutemukan, judul-judul puisi dalam Kolam pakai font seperti cetakan huruf mesin ketik! (pintu) pagi dikaruniai begitu banyak pintu dan kita disilakan masuk melewatinya kapan saja. malam diberkahi begitu banyak gerbang dan kita digoda untuk membukanya dan keluar agar bisa ke sana. tidak diperlukan ketukan. tidak diperlukan kunci. : sungguh, tidak diperlukan selamat datang atau selamat tinggal. (secarik kertas) simpan secarik kertas ini agar kau selalu ingat padaku. tapi tampaknya ia malah selalu ingat padamu dan tak pernah mau bicara baik-baik padaku. simpab saja aku baik-baik kalau begitu agar kertas itu mau mengucapkan sesuatu padamu tentang aku—selalu. meskipun kau tak ingat lagi apa yang tertulis di situ. (doa) kau pun buru-buru menangkap doa yang baru selesai kauucapkan dan memenjarakannya di selembar kertas. ia abadi di situ. ia sudah mulai merasa tenang di lembaran kertas yang hening ketika malam ini kau melisankannya keras-keras. alangkah indah bunyinya. tidak ada yang pernah mengatakan padaku seperti apa sebenarnya hubunganmu dengan doa itu. (kenangan) /1/ ia meletakkan kenangannya dengab sangat hati-hati di laci meja dan menguncinya memasukkan anak kunci ke saku celana sebelum berangkat ke sebuah kota yang sudah sangat lama hapus dari peta yang pernah digambarnya pada suatu musim layang-layang /2/ tak didengarnya lagi suara air mulai mendidih di laci kursi yang rapat terkunci /3/ ia telah meletakkan hidupnya di atas tanda petik (seperti kabut) aku akan menyayangimu seperti kabut yang raib di cahaya matahari : aku akan menjelma awan hati-hati mendaki bukit agar bisa menghujanimu : pada suatu hari baik nanti
Sapardi Djoko Damono hingga akhir hayatnya banyak melahirkan puisi dan prosa. Selain puisi model konvensional, eyang Sapardi juga suka menyusun baris-baris puisi modern yang tak terlalu mengindahkan rima juga tak terlalu ketat batas antara puisi dan prosa. Salah satu buku kumpulan puisi modern dan konvensional yang enak untuk dinikmati adalah "Kolam".
Dalam buku cetakan kesekian yang dirilis tahun 2017 ini terdapat 51 puisi yang terbagi menjadi tiga bagian. Salah satu bagiannya adalah seloka yang menggunakan unsur seperti puisi konvensional pada umumnya, dengan berpegang pada rima.
Sampul buku ini dominan putih dengan ilustrasi kolam berwarna hijau. Sederhana, minimalis, dan elegan.
Aku langsung jatuh cinta dengan cuplikan isi buku ini yang tertera di sampul belakang buku (bulk). Tentang puisi pintu.
"Pagi dikaruniai oleh banyak pintu dan kita disilakan masuk melewatinya kapan saja. Malam diberkahi begitu banyak gerbang dan kita digodanya untuk membuka dan keluar untuk bisa ke Sana. Tidak diperlukan ketukan Tidak diperlukan kunci Sungguh tidak diperlukan selamat datang atau selamat tinggal" (Pintu - Sapardi)
Puisi-puisinya sebagian di antaranya lugas, mudah untuk dimaknai. Ia tidak banyak menggunakan bahasa simbol dan bahasa yang berbunga-bunga. Banyak puisi yang merupakan kisah-kisah yang bisa ditemui dalam keseharian.
Satu lagi puisi yang bagiku menarik, puisi modern, terasa seperti prosa. Puisi tentang penjual pisau. Aku langsung tersentil dan membayangkan si penjual yang menawarkan pisau dan dagangan lainnya yang disebut perabot.
Si pedagang selalu menunduk dan jarang berkata untuk menawarkan dagangannya. Si pedagang yang suka berkata sila saja pisaunya ditawar harganya.
Membaca ini aku jadi merasa sentimentil. Aku jadi sedih. Aku sering melihat penjual pisau atau juga pedagang perabot yang memasuki gang demi gang rumah. Kadang-kadang saja dan begitu jarang aku membelinya.
Puisi tentang "Kolam" cukup panjang, membahas dari daun, ikan, dan kolam yang ada di sebuah tempat dari sudut pandang masing-masing. Dengarlah bagaimana daun, ikan, dan kolam bercerita.
Kumpulan puisi ini rata-rata pendek dan tak berkaitan satu sama lain. Isinya termasuk ringan dan mudah dipahami.
dalam buku ini, "keseharian" menjadi poin utama teks. ia bergerak ke sana, ke mari: di sisi lain, ia diam saja—sebab kita menjalaninya. potret keseharian itu seperti "perwakilan" manusia di bumi. bahwa jika dinyatakan: o, ide teks Sapardi berasal dari apa yang dia alami. pernyataan itu bisa jadi benar, bisa jadi tidak. namun yang utama adalah Sapardi adalah kita ... kita tak menginterupsi, melawan, atau bahkan menolak apa yang dikatakan teks—kita seperti seorang cucu yang sedang mendengar kakek bercerita & khusyuk: mungkin akan semangat atau malah tertidur. teks-teks di sini juga seperti dialog pingpong antara aku & kau—siapakah mereka? kita tak tahu. namun yang penting adalah konflik yang datang-pergi seperti cinta-kasih sayang apa adanya, yang seperti tidak dikonstruksi (padahal sebenarnya ya!) berjalan begitu saja, mengalir: narasi sungai! yang juga mesti ditilik adalah Sapardi lihai betul "menjadi" objek lain, objek yang mati itu; tak hanya dipersonifikasikan, tak hanya dihidupkan—tapi seperti ada nyawa lain yang membuat objek itu tak hanya hidup, namun bergerak: seperti punya riwayat hidup panjang & kita terperangah ketika mengetahui itu. entah dengan rumus & cara apa Sapardi melakukan itu untuk kita. saya merasa bahwa puisi-puisi Sapardi dalam buku ini seperti cerita yang kita dengar setiap hari, kadang kita ingat, kadang kita lupakan & kadang kita ingat-ingat ketika tak sengaja kita lupakan.
Ada 3 bagian di dalam buku puisi ini, terdiri dari Buku Satu (21 prosa), Buku Dua (15 sonet), dan Buku Tiga (15 puisi). Di Buku Tiga, puisi pertama adalah puisi denga judul terpanjang yang pernah saya baca: Sebilah Pisau Dapur yang Kaubeli dari Penjaja yang Setidaknya Seminggu Sekali Muncul di Kompleks, yang Selalu Berjalan Menunduk dan Hanya Sesekali Menawarkan Dagangannya dengan Suara yang Kadang Terdengar Kadang Tidak, yang Kalau Ditanya Berapa Harganya Dikatakannya, "Terserah Situ Saja...". Waaaaa panjang bangettttttt judulnya :D
Seperti Kabut
aku akan menyayangimu seperti kabut yang raib di cahaya matahari : aku akan menjelma awan hati-hati mendaki bukit agar bisa menghujanimu : pada suatu hari baik nanti
"Ada gigil matahari yang tidak akan bisa dihayatinya lagi yang berkas-berkas sinarnya suka menyentuh-nyentuhkan hangatnya pada ranting yang hanya berbisik jika angin lewat tanpa mengatakan apa-apa."
" Ia ingin sekali bisa merindukan ranting pohon jeruk itu. Ingin sekali bisa merindukan dirinya sebagai kuncup."
Tak habis pikir dengan Bapak SDD yang bisa dengan mudahnya meromantisasi benda mati, menggambarkan perasaan daun jeruk yang jatuh ke kolam. Atau bangkai tikus di selokan. Ingin rasanya aku tanya apa yang berlalu-lalang dalam benak beliau.
Kesan pertama ketika membaca buku ini adalah puisi-puisi yang ada dalam buku ini bisa dibilang "Sapardi banget". Dimulai dari tema, pilihan kata, dan kecenderungan Sapardi untuk mengambil benda dalam kehidupan sehari-hari menjadi puisi. Yang membedakannya dengan karya lain Sapardi yang pernah saya baca adalah adalah puisi-puisi dalam buku ini lebih abstrak. Ketimbang membuat pembaca larut dalam kebaperan, "Kolam" akan menarik pembaca untuk menikmati 'suasana' yang muncul dari setiap puisinya.
Daripada mengemas rasa suka yang buru-buru dan penuh keinginan untuk selalu jadi ‘sama’, Sapardi justru memilih menjadikan segala yang dirasakan sebagai pernak-pernak kecil seperti angin yang sejuk jika lewat terhembus tetapi juga tidak terlalu terasa bisa digapai. Bagi saya mungkin puisi-puisi ini adalah pengingat bahwa jatuh cinta bukanlah ajang buru-buru dapat lisensi seperti yang kita semua lakukan ketika ingin dapatkan SIM A maupun SIM C
Sungguh! Tiada penyesalan untuk merogoh kocek dalam-dalam (maklum, pelajar) buat beli buku ini.
Seperti biasa, Pak Sapardi menyuguhkan sajak-sajak yang maknanya membuat kita mengkerutkan kening untuk mengartikannya. Dengan pemilihan kata yang terlampau sederhana itu berhasil menyihir para pembaca untuk berimaji di dalam puisinya.
Buku puisi ini dibagi menjadi 3 bagian yang dinamai ; buku satu, buku dua dan buku tiga. Bagian yang paling saya suka ada di bagian buku dua yang tiap judulnya hanya diberi judul Sonet, dari Sonet 1 hingga Sonet 15.
Ketika kubayangkan matamu mendesah. Jangan lupa, di sini ada yang gelisah.
Tidak banyak yang bisa kukatakan mengenai buku kumpulan puisi ini, selain bahwa aku menyukainya. Ada beberapa bagian yang membuatku merasa, "wah-ini-keren-sekali" karena dituliskan dari sudut pandang (atau metafora?) unik seperti air kolam, daun, dll. Rasanya menyenangkan membaca buku ini, juga terasa hangat ... bacaan yang cocok untuk mengisi waktu luang sambil menyesap teh.
Saya masih terlalu awam untuk memahami puisi-puisi indah karya Sapardi Djoko Damono namun di beberapa tulisan yang ia sematkan dalam buku ini mengunggugah hati saya, saya seperti merasakan indahnya aliran kata yang beliau tuliskan, perasaan ini seperti menikmati keindahan dalam diam walaupun belum sepenuhnya memahami arti keindahan itu.
Puisi-puisi di buku ini seperti mengajak kita mencintai alam. Meski beberapa di antaranya belum bisa saya pahami, tapi saya menjadikan diri penikmat puisi Sapardi.
Ada potongan bait puisi beliau yang saya suka dan menurut saya itu logis.
"Pagi dikaruniai begitu banyak pintu dan kita disilakan masuk melewatinya kapan saja."(Pintu, Sapardi)
Antologi puisi Eyang Sapardi ini berhasil mengobati rindu mencari makna, memahami, dan refleksi diri saat membaca puisi. Untaian katanya indah, penuh makna (harus pakai mikir, sampai sekarang masih ada banyak pertanyaan untuk menginterpretasikan pieces puisinya).
Meskipun bacanya nggak lama, kayaknya akan take some time untuk contemplating, mencatat, nulis, karena sayang kalau di skip.