Gunung-gunung biru. Langit lapang dan selalu baru. Udara dan mata penduduk desa yang tenang. Ternak-ternak gemuk dan hamparan padi yang jauh dari hama milik departemen pertanian–dan hal hal lain yang hanya bisa dipetik dalam mimpi.
Jangan bangun. Harapan para petani bertarung dengan perut rakus orang kota. Petak-petak sawah terjual.Anak-anak muda hilang ditelan sekolah dan pabrik milik tuan dari luar negeri.
Petikan kecapi sayup. Kebahagian yang tidak cukup. Kesedihan yang tidak sanggup menghibur diri. Tidurlah. tidurlah kembali.
Aku tidak tahu mengapa aku tetap membaca karya-karya Aan Mansyur meski kebanyakan dari bait-baitnya berisi ketidakmengertian. Sebuah kutukan yang harus kusyukuri, kurasa.
Membaca ini, aku merasa segala kesendirianku ditemani. Kesendirian yang sebenarnya amat ingin punya kawan namun seringkali kuabaikan karena terlalu takut apabila ditunaikan malah makin menjadi. Tapi, setidaknya, aku tahu apa yang harus kulakukan ketika kesendirianku amat mendesak untuk diperhatikan.
Ulasan lengkap, mungkin akan. Benar-benar butuh sunyi untuk menumpahkannya.
Buku nipis dengan empat bahagian. Bahagian pertama adalah kegemaran-- puisi-puisi melankolis sebelum sendiri. Tidak pasti ini hal tragis atau satu kegembiraan tapi tulisan Aan Mansyur seringkali buat aku berfikir-fikir sendiri. Mahakarya yang mampu buat aku termenung.
"aku menulis berjuta-juta kata tapi tiap kata lupa dari mana dan untuk siapa ia tiba. aku mencintai segala yang tidak memaksa aku mengingat kau."
Tiga bahagian lain juga okay-- personal dan klasik.
Tidak se-'penuh' Melihat Api Bekerja, tetapi temanya luas dan cukup berat, bukan hanya tentang percintaan seperti pada Tidak Ada New York Hari Ini.
Beberapa puisi yang mengisahkan tentang aku mengingatkan saya pada pemikiran Rene Descartes, "Aku berpikir, maka aku ada." Cogito ergo sum. Aan Mansyur memberi jarak pada dirinya sendiri, untuk lebih melihat dengan jelas bagaimana diri 'aku', dengan berpikir, berkontemplasi, berfilsafat. Deep thinking. Berat.
Pada halaman pembukanya pun tertulis: -- kepada seseorang dalam diriku yang selalu kuragukan.
aku merasa lebih sebagai diri yang kupikirkan daripada diriku sendiri. aku lebih butuh merasakan daripada melihat atau menyentuh (hlm. 28)
Selain membicarakan 'aku', kumpulan puisi ini juga memperbincangkan kematian, yang jelas tertera pada sampul belakang: kematian berseru kepadamu: jangan berhenti. tetapi
kau tahu kau tidak memiliki tujuan dan tempat kembali
kehidupan meminta kepadaku: buka kedua tanganmu. tetapi
aku takut aku tidak menggenggam apa-apa.
Banyak yang belum saya pahami maknanya. Namun, puisi-puisi dalam Sebelum Sendiri tetap indah untuk dinikmati. Karena bukunya kurang tebal, (dan nggak ada gambarnya--alasan macam apa ini), saya beri 3.5 bintang.
Problemnya buat saya cuma satu, kurang banyak. Hehehe. Mengharapkan untaian kata-kata sederhana yg dikemas oleh penulis satu ini memang sudah pasti. Tapi meski sudah menunda baca hingga sehari, rasanya bukuny sendiri bsia dihabisi sekali duduk. Seperti membaca selebaran jumatan di masjid. Tetapi upaya untuk merangkum buku mungil ini juga patut diapresiasi. Dan tentu saja buku puisi Aan Mansyur layak dikoleksi. Sukses terus utk JBS dan Aan Mansyur.
Kumpulan puisi terbaru dari M. Aan Mansyur. Gaya penulisannya mengingatkan saya pada Tidak Ada New York Hari Ini. Temanya lebih beragam daripada TANYH. Tidak melulu soal cinta, tapi juga tentang refleksi diri dengan sentuhan melankolis yang akrab dari sang penulis.
[4/70] Sebelum Sendiri - M Aan Mansyur ⭐⭐⭐ (3 dari 5 bintang)
suatu hari (kau sedang duduk di depan jendela menggenggam segelas teh hangat beraroma eropa) kausadari pikiranmu tidak sanggup jadi apa-apa selain kota besar yang tidak berhenti dilalap api. kau terperangkap tidak bisa lari dari sana. kelak
kau tiba-tiba melihat matanya. kau ingat - kau tidak sanggup lupa lagi - dia ingin jadi hanya dan cukup.
-----
Puisi itu seksi. Walau terkadang saya ngga selalu mengerti. 😂
Sebagaimana buku-bukunya yang lain—bagi saya—tidak pernah mengecewakan. Dalam buku yang kecil dan tipis ini, Aan Mansyur selalu berhasil menuliskan puisinya dengan sederhana, singkat, namun padat makna. Ia adalah salah seorang dari penulis-penulis Indonesia yang memiliki ciri khas sangat kuat dalam tulisannya. Orang-orang (atau setidaknya; saya) bisa langsung mengetahui bahwa itu tulisannya walau dengan membaca satu atau dua baris kalimat saja. Itulah yang saya suka darinya.
Bagi saya, buku puisi ini adalah buku yang bisa dinikmati banyak orang, sekalipun tidak menyukai puisi. Buku ini cukup tipis, tak lebih dari 70 halaman. Ukuran bukunya pun kecil. Bisa dijadikan teman perjalanan. Puisi favorit saya adalah puisi dengan judul buku ini, yakni "Sebelum Sendiri", karena maknanya "relate" bagi orang-orang yang menuju dewasa, di mana seringkali meragukan diri sendiri.
"Jika puisi itu serupa 'jembatan', maka 'jembatan' paling sulit dibangun, mudah roboh, dan reyot itu kemungkinan adalah jembatan yang kita bangun untuk diri sendiri."
Aan Mansyur membuka buku ini dengan persembahan sekaligus antitesis dari "Cogito Ergo Sum"-nya Rene Descartes.. di mana buku ini ditulis "kepada seseorang dalam diriku yang selalu kuragukan".. lalu keraguan ini mencoba membangun "jembatan" setelah terjebak dalam "belantara kata-kata", dengan "sekolah", dengan "cinta", dengan "matahari gelap" pada fragmen "Sebelum Sendiri"..
Sang diri kemudian mendapat ketenangan saat mencoba membangun "jembatan" dengan "langit", "perempuan berbibir tenang".. lalu dengan "musik" sampai diri kemudian mendapat pencerahan karena memiliki "mata yang lain" (yang mungkin merujuk pada hati yang baru atau pikiran yang jernih).
Jika jembatan-jembatan yang dibangun pada "Melihat Api Bekerja" menjadikanmu bisa bebas dari patah hati, atau "Tidak Ada New York Hari Ini" dapat membebaskanmu dari rasa bersalah pada cinta yang rumit, "Sebelum Sendiri" pelan-pelan mencoba menjajaki dirimu untuk coba berani menghadapi kebimbangan dalam dirimu, dan mencoba meraih apa saja agar kebingungan itu tidak makin menenggelamkan, hingga mendapat "mata yang baru"..
"Sebelum Sendiri" tentu menjadi fragmen paling sulit karena kita menyadari bahwa kita terjebak dalam belantara, dengan masa sekolah, dengan perjalanan yang asing, meski ketika dipungut kembali.. kerumitan-kerumitan itu menenangkan jika mau sebatas diterima.. tak diragukan, tak diberi tanda tanya..
Fragmen lainnya saya rasa lebih ringan karena kata-kata, diri, dan peristiwa yang diraih mulai terasa akrab...bahkan rasanya menjadi intim ketika kita mendapat "mata yang baru".
Saya suka sih sama buku ini.. bintang 4 saya berikan karena saya suka dengan pembabakannya, tapi jujur saja, romantisasi yang terlalu pelik pada fragmen pertama sebelum menuju pada terang saya rasa sebenarnya bisa lebih baik jika melibatkan kontinuitas dengan bagian tengah & akhir, di mana diksi "mata yang lama" atau "musik-musik yang tidak merdu" bisa membuat pembaca tidak terlalu asing & relate kembali dengan asal "jembatannya."
Judul: Sebelum sendiri Penulis: M. Aan Mansyur Penerbit: JBS Dimensi: 12 x 18 cm, 70 hlm, cetakan pertama Maret 2017 ISBN: 978 602 61256 06
Terbagi menjadi 5 babak, di mana tiap babak beragam jumlah puisinya. Sejujurnya, saya tak paham tentang kaidah puisi kaliber sastra. Tapi saya selalu suka puisi Aan. Diksinya indah, cerdas, dan menyentuh hati. Meski kadang saya bingung bagaimana interpretasi sebenarnya.
Juga terkait penulisan dalam puisi. Di buku ini, tidak ada huruf kapital di awal kalimat. Penempatan titik yang kadang terasa gantung, sebab ada spasi dan garis baru. Membuat saya bingung bagaimana memenggal kata dan maknanya.
Saya apresiasi 3 dari 5 bintang.
"tapi menulis puisi ialah melupakan dan meluapkan ingatan." (H.24)
"kelak kau menginginkan sepi melebihi apa pun, ketika tidak kautemukan dirimu di mana-mana." (H.29)
"kau tahu kau mencari seseorang tapi kau tidak tahu siapa. kau berharap: ia mencari dan kelak menemukan aku. kau ingin sendiri. tapi kau tidak sanggup. kita lahir bersama kesedihan orang-orang yang berbahagia sebelum kita." (H.34)
"jika kau merasa kehabisan kata-kata, mungkin itu cuma mungkin. sebab dunia adalah kau, puisi yang selalu lepas dari tangkup kata." (H.50)
"jika kau anggap masa lalu sebagai bencana, apakah kau sanggup hidup di masa depan sebagai pengungsi?" (H.66)
Aku menemukan setumpuk kepahitan saat membaca buku ini. Aku mengartikannya seperti keputusasaan (?), perasaan bertepuk sebelah tangan namun tidak pernah lelah mencintai (?). Entahlah, membaca puisi Aan memang menghadirkan pengalaman dan penafsiran yang tidak pernah sedikit. Mungkin orang lain akan menerimanya dengan perasaan yang jauh berbeda(?). Mungkin.
Seperti puisi di atas, itu adalah petikan dari puisi berjudul Sebelum Sendiri bagian 14. Pada puisi ini, aku menemukan arti kehampaan hidup dan sebuah diorama kehilangan harapan. Aan membuat puisi dalam beberapa bagian, yang masing-masing bagiannya menggambarkan arti kehampaannya tersendiri, entah itu patah hati, lelah dengan penantian hidup, bosan dengan rutinitas, dan hal-hal lain yang mungkin akan berbeda makna dalam pembacaan kalian.
Setelah membaca buku ini, aku merasa tidak sendiri. Ada teman untuk menikmati emosi saat ini dan ada sesuatu yang membantuku tak berhenti berhayal, bahwa dalam sekian sudut gelapnya hidup akan ada pintu terbuka. Entah isinya cahaya, atau bahaya, akan selalu ada jalan keluar dari kegelapan. Dan kita hanya perlu mencarinya.
Buku ini tipis dan bisa dihabiskan dalam sekali lahap. Karena isinya yg banyak mengandung refleksi dalam proses mencintai, aku merekomendasikan buku ini buat kalian yang lagi pingin sendiri dan menghabiskan waktu untuk dirinya sendiri.
Selesai baca buku ke-14 Sebelum Sendiri – M Aan Mansyur JBS, Yogyakarta (ii, 2021) 84 halaman Lama baca: 23 Agustus - 16 Desember 2022
Buku ini sudah ku pastikan menjadi buku puisi terakhir yang aku baca di tahun ini. Sekaligus buku terakhir dari budaya membaca sampingan. Rasanya sudah tak sanggup lagi dengan ritme yang demikian. Huft.
Kendala menilai buku puisi selalu sama, aku tidak memiliki legal standing yang pas, kecuali hanya sebagai penikmat saja. Takut salah interpretasi lalu malah jadi salah menafsirkan, jadinya salah kaprah meski manusia memang tempat salah dan tempat sampah.
Ihwal yang aku suka yaitu topik kepedulian lingkungan menjadi latar belakang beberapa puisi. Kelestarian, pepohonan, sawah, pembangunan, dan lain sebagainya menjadi tema-tema yang khas dari seorang Aan Mansyur.
Ada nuansa modern dan urban yang berbalut pada nilai-nilai ketradisionalan. Tak kutemui romantisasi. Kebanyakan menormalisasi kritik atas diri sendiri, diri bangsa, dan diri pemerintah. Aku suka karena seperti aku menemukan aku di dalamnya, menemukan kesukaanku di dalam baris-baris kata-katanya.
Ulasan lebih lengkapnya bisa dilihat di s.id/elsuyuthi
tapi aku ingin mengajak kau membaca dan berbahagia dan terbuka dan terluka tapi aku percaya tiap manusia cuma pemeluk sangsi masing-masing
tiap kali jatuh kukumpulkan kepingan-kepingan diriku tidak tahu: yang mana harus kusimpan yang mana harus kulupakan
masih jauh. masih jauh. masih jauh. tujuan tertinggal ribuan kilometer di belakangnya.
(lagi, dua orang merelakan diri masuk ke dalam bahaya dan jarak.)
Sudah cukup lama saya mengenal nama Aan Mansyur, namun baru kali ini berkesempatan untuk membaca karyanya secara utuh. "Menulis puisi itu ibaratnya seperti tukang yang sedang membangun sesuatu, bedanya yang dirangkai itu kata-kata." ucap beliau di salah satu acara yang saya hadiri tahun lalu. Sebagai seseorang yang masih sangat jarang membaca karya-karya berbentuk puisi, menurut saya Sebelum Sendiri cukup manis dan menyenangkan. Akan segera mencoba membaca karya-karya Aan yang lain. Semoga.
Karena isinya tak terlalu banyak, saya berhasil menghabiskan buku ini dalam sekali kunyah (baca: baca). Namun, meski begitu, saya tetap tak bisa memungkiri bahwa setiap halaman yang ada di dalam buku ini membuat saya bertanya-tanya kepada diri sendiri, kepada masa lalu, kepada keinginan, kepada Google, kepada tetangga, dan seterusnya. Sebenarnya, tidak benar-benar seperti itu. Saya hanya ingin menggambarkan bahwa buku ini berhasil memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya tidak pernah ada di kepala saya. Tentu saja, menjawab pertanyaan-pertanyaan itu adalah hal yang menyenangkan. Saya suka.
Aura sepi dan sendiri nampak terasa ketika membaca buku puisi setebal 69 halaman ini. Ini tentang menunggu, kehilangan, kepergian, kekosongan, hingga pencarian jati diri.
Salah satu puisi yang kusuka dapat ditemukan di halaman 27. Begini sebagian isinya:
"tidak ada yang pernah sungguh sanggup meninggalkan orang yang ia cintai. kau selalu bebas untuk pergi dan sebab itu kau memilih tidak ke mana-mana."
Seperti biasa, kalau membaca buku puisi, rasanya akan lebih menjiwai jika kita paham akan makna atau mungkin pernah merasakannya. Sebaliknya, jika tidak, barisan-barisan ini tidak akan meninggalkan bekas apa-apa. Dan ya, aku merasakan keduanya.
sejak tahun lalu, Aan Mansyur jadi penyair yang paling saya favoritkan. puisi-puisinya menjebak dan menjambak realita. saya suka tenggelam bersama irama tiap baitnya yang dekat dengan realita dan suka berangan-angan.
buku puisi tipis ini sudah dua kali saya baca, dengan tenang sekaligus gelisah. Sebelum Sendiri benar-benar membuat saya bertanya pada diri sendiri; perihal cinta dan perjalanan. membuat saya ingin terbang ke antah berantah. empat bagian di dalamnya berhasil, sekali lagi, membuat saya semakin mencintai puisi, dan Mas Aan.
Saya sendiri memberikan pandangan lain terhadap buku ini. Ntah bagaimana caranya saya memanggambarkannya lewat kata-kata di sini. Buku ini menurut cara pandang saya, menceritakan seorang yang sedang berputus asa tidak mencintai diri sendiri. Dia membenci, sangat membenci dirinya sampai dia ingin mati. Dia ingin meninggalkan diri sendiri dan pergi.
Mungkin dari banyak pembaca ada yang mempunyai sudut pandang lain. Mencintai diri sendiri jauh lebih rapuh daripada ditinggalkan oleh cinta orang lain.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Sebuah naskhah puisi yang agak berjaya membuatkan saya mengiyakan untuk riak-riak perasaan yang penulis sampaikan, membiar diri tenggelam dalam lautan perasaan yang rencam.
Ulang baca untuk kali kedua, masih juga tidak mengerti bait-bait untuk beberapa buah puisi tapi saya kira, begitulah episod bacaan buku puisi -tak semua harus kita fahami.
Bagi yang amatur dalam dunia puisi, setidaknya ini boleh mendekatkan lagi diri dengan cara penulisan dan susunan bentuk puisi -tentunya!
kematian berseru kepadamu: jangan berhenti. tetapi
kau tahu kau tidak memiliki tujuan dan tempat kembali
kehidupan meminta kepadaku: buka kedua tanganmu. tetapi
aku takut aku tidak menggenggam apa-apa.
i want to be buried between the pages of this book hiks aku sedih banget lah aku pengen nangis yang lama makasih udah nemenin aku @ buku ini.. the fights have been very lonely
Bukunya tipis banget. Tapi isinya dalem banget. Yang kusuka dari puisi-puisi Aan Mansyur adalah perasaan seolah ada teriakan yang tertahan pun tak tersadarkan, yang bersemayam dalam diriku, dan lewat rangkaian puisi yang dibuatnya, teriakan itu pun terwakilkan. Tentang ironi kehidupan, keinginan menyendiri, patah hati, menyayangi, sampai ke kritik politik. Kadang diajak berpikir kritis, tapi tak jarang juga dianjurkan membiarkan.
Meskipun bagi saya 'Melihat Api Bekerja' masih belum terkalahkan, tapi Sebelum Sendiri tetap saja lebih menghangatkan dibandingkan Tak Ada New York Hari Ini. • "tidak ada kejujuran. orang-orang tidak suka kebenaran. mereka lebih senang jatuh cinta kepada hal-hal ringan dan mudah terbakar.
kau kata-kata yang takut aku tulis. kalimat yang menggigit lidahku."
Rumit yang bisa dibahasakan dengan sederhana. Puisi kadang seambigu ini. Dan saya belum mampu memahami beberapa bagian rumit yang dikatakan sederhana oleh penulis. Singkatnya saya masih lebih suka membaca puisi terang dibanding gelap. Menemukan makna kadang tak mudah. Subjektif sebenarnya cuman saya termasuk agak kompleks untuk menanggapi sebuah buku.
Tak ada alasan untuk tak mencintai puisi Mas Aan, Ini adalah buku 4 yang saya beli dihari pertamanya beredar. Saya bawa ke acara Asean Literary Festival 2017 lalu, dan ditanda tangani oleh sang empunya buku.
Masih tak bisa saya gambarkan dengan jelas dan rinci, tapi yang pasti puisi-puisi dibuku ini lagi-lagi membuat saja jatuh hati.
Biasanya membaca puisi Aan Mansyur di laman media sosial dan selalu ada perasaan terenyuh menanggapinya, yang entah kenapa tidak terasa saat membeli buku fisiknya.
Entah karena aku yang bodoh, atau memang per puisi harus di kontemplasi kata per-katanya?
Entahlah
Tapi aku cukup mengamini beberapa puisi didalamnya, selain itu, terasa seperti perjalanan menuju kesendirian
Kumpulan puisi ini kayak pencerah bagi diri sendiri. Terus hal yang menurut aku suka banget itu adalah setiap kata yang dirangkai sangat sederhana dan indah. Menarik banget buat aku yang gak terlalu suka puisi, tapi ini keren banget. Beberapa kali aku nangis gitu karena relevan dan menyentuh hati.