Jump to ratings and reviews
Rate this book

Jatisaba

Rate this book
Mae kembali ke Jatisaba dengan membawa mimpi-mimpi. Ia menyebar angan tentang pekerjaan bagus, gaji besar, dan kehidupan layak di luar negeri. Mae menebar utopia, berharap orang-orang terjebak masuk dalam praktik perdagangan manusia.

Mae tidak punya pilihan. Mayor Tua, bosnya, menawan kebebasannya. Namun, pertemuannya dengan Gao—cinta pertamanya—sedikit banyak memengaruhi diri Mae. Bersama Gao ia bergumul dalam romantika masa lalu dan kelamnya masa depan.

Namun, hidup tidak memberikan waktu. Mae harus segera mengambil keputusan; menuruti perintah Mayor Tua, atau menghilang bersama laki-laki yang begitu dicintainya.

248 pages, Paperback

First published February 1, 2011

22 people are currently reading
215 people want to read

About the author

Ramayda Akmal

11 books15 followers

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
60 (25%)
4 stars
117 (49%)
3 stars
52 (21%)
2 stars
7 (2%)
1 star
2 (<1%)
Displaying 1 - 30 of 71 reviews
Profile Image for Teguh.
Author 10 books335 followers
March 26, 2017
Setelah Ronggeng Dukuh Paruk, sepertinya novel-novel berlatar pedesaan tak berhasil menggugah kesadaran membaca. Memang setelah itu banyak novel-novel yang memiliki rasa pedesaan, tapi sekadar lewat dan apa adanya. Kurang spesial.

Namun Jatisaba, berbeda. Novel ini berhasil membuat saya mengatakan Gila! setelah berhasil di frasa tamat. Penulis yang dahulu kerap saya asosiasikan sebagai laki-laki yang ternyata adalah perempuan benar-benar berhasil memotret sebuah kejadian singkat di Dusun Jatisaba dengan intrik, klenik dan nostalgia yang mendalam.

Cerita babon memang soal Mae yang kembali ke JAtisaba untuk mencari calon-calon TKI. JAtisaba dikisahkan sebagai desa yang kecil, miskin, dan dipenuhi kepercayaan atas dunia magis. Maka tidak aneh bila sepanjang novel adegan-adegan klenik akan bertaburan. Mae di satu sisi kembali mengembalikan nostalgia akan masa kecil, cinta-cinta remaja, juga kelacurannya di Jatisaba. Selain barbar soal pembunuhan, di Jatisaba juga barbar soal seks. Keeekee, khas daerah banget. Kalau dusun itu masih memegang kepercayaan pada dunia animisme-dinamisme, pasti praktik perselingkuhan marak.

Mae juga harus melawan nurani, karena sejatinya Mae bekerja sebagai calo TKi yang sebenarnya hanya bekerja untuk uang tanpa berniat memabntu perekonimian.

Tapi, masalah besar bukan hanya itu. Mae tiba di saat Jatisaba sedang panas soal pilkades yang melegenda di Jatisaba. Karena pilkades di Jatisaba sama dengan pertaruhan soal nyawa dan segenap harta. (Dan pertanyaan saya sama dengan pertanyaan Mae di halaman 223: sebegitu memesonakah menjadi kepala desa sehingga prosesinya begitu melelahkan dan berdarah-darah?) Karena dalam buku ini akan digambarkan betapa untuk memperolah posisi sebagai kepala desa, Mardi, Jompro, dan Joko saling beradu harta, kekuasaan, dan kekuatan dukun. Darah dan kematian bisa saja dibuang demi posisi ini.

Dan yang belum tersampaikan ialah apa imbalan menjadi kepala desa, selain sebentuk kursi kekuasaan yang manis? Bengkok desa, dan hantaran dari warga desa? Mungkin iya. Karena di novel tidak disebutkan.

Sebenarnya nasib Mae akan baik-baik saja, kalau Mae hanya fokus mencari calon pegawai TKI tanpa terjerat intrik politik menjelang pilkades. Mae sedari awala sudah salah memilih lokasi tinggal, kemudian mau tidak mau harus terlibat karena Sitas adalah istri dari Potun yang adalah bagian dari tim pemenangan Mardi. Sebaliknya, diam-diam dia menjalin kerja sama kotor nan lacur dengan Jompro. Gao kekasih pertama bagian dari tim pemenangan Mardi. Ah mbulet deh.

Dan endingnya memang menghunjam. Suka dengan ending simbolis demikian.

Tapi, ada beberapa pertanyaan yang belum terwakili oleh teks dan dibiarkan mengambang oleh penulis. Mengapa keluarga Mae dan rumahnya hancur bernatakan, tidak dijelaskan. Terus mengapa diam-diam mae bisa menegrti kondisi Jatisaba setelah dia sudah di bandara menuju Hongkong (bab terakhir). Dua hal ini agak lubang atau memang di sengaja agar pembaca menerka-nerka dan mengira-ngira hal-hal yang tersirat.

Novel ini adalah nostalgia. Karena budaya lokal tak jauh berbeda dengan desa saya di pelosok Blora sana. Tapi ada satu frasa paling favorit saya:Daratan menyerahkan angin ke lautan untuk bercinta dengan ombak-ombak. Ombak bergulung-gulung tinggi penuh gairah. Tanda mereka mencapai puncak. Jika fajar tiba, angin itu kembali. Angin pagi yang basah bercampur embun dan air laut. Segar sekali. (hal.6)

Dan bagaimana kelacuran sikap Mae dalam novel menjadi bagian indah sekaligus ironi.
Profile Image for Puterica.
138 reviews20 followers
March 9, 2022
Oke... aku agak bingung nulis dari mana..

Pertama, isu yang diangkat novel ini cukup kompleks. Dua isu besar yang diangkat adalah human trafficking dan black campaign. Nah, kedua isu ini kemudian saling berkelindan lewat salah satu 'calo TKI' yang menjadi tokoh utama, yaitu Mae.

Mae digambarkan sebagai mantan TKI yang punya masa lalu buruk. Jatisaba adalah tempat tinggalnya semasa kecil, dan kepulangannya ke sana bukan untuk bernostalgia tapi untuk menjaring korban lain untuk dijual. Tujuan Mae ini kemudian didukung oleh salah satu calon kades, Jompro, yang akhirnya membuat kesepakatan kalau ia akan mengurus semua dokumen untuk calon korban Mae, jika Mae membuat mereka memilihnya sebagai kades.

Jujur aja, menurutku keterlibatan Mae dan Jom ini agak dipaksakan dan tiba-tiba. Selanjutnya juga kurang digambarkan bagaimana Mae 'memaksa' korbannya untuk memilih Jom, karena toh mereka nurut-nurut saja.

Karakter Mae juga menurutku masih kurang hidup. Mae berulang kali dihantui masa lalunya yang buruk, tapi penulis tidak memberikan latar belakang yang cukup untuk kita bersimpati pada tokoh utama. Mae seharusnya di sini digambarkan sebagai pihak yang jahat karena menjual teman-temannya, tapi seharusnya juga ada alasan yang kuat yang melatarbelakangi pekerjaan yang sekarang ia tekuni. Mae juga berulang kali digambarkan rindu keluarganya, tapi tidak diceritakan apa yang membuat ia sampai bisa terjebak di jaring perdagangan manusia, dan apa yang membuat ia bisa keluar dari sana bahkan sampai jadi salah satu pekerjanya.

Menurutku itu masalah komposisi narasi yang terlalu banyak 'tell' daripada 'show'. Kontemplasi Mae selalu digambarkan dengan terlalu terburu-buru, sehingga banyak gambaran yang hilang. Perasaan Mae juga cenderung repetitif sehingga narasinya jadi membosankan.

Selain itu, fokus kepada kedua isu ini menurutku kurang imbang. Aku pikir awalnya human trafficking akan menjadi fokus utama, tapi politik di Jatisaba ternyata lebih mendominasi. Dan sama seperti keluhan sebelumnya, terlalu banyak kejadian yang tidak detail dan blur sehingga jadinya aku kurang menikmati konflik yang disajikan. Ada tokoh yang cukup berperan tapi hanya muncul di halaman-halaman terakhir, ada tragedi yang seperti dipaksakan terjadi, dll.

Satu lagi, aku bingung dengan dialog di sini karena banyak yang penempatannya tidak lazim. Dialog tiap tokoh juga cenderung mirip sehingga ketika membaca mereka bercakap aku tidak bisa membayangkan karakter mereka.

Endingnya ditutup dengan dua kejadian yang mengejutkan, tapi sudah bisa ditebak sebelumnya.

Sebagai novel etnografis, Jatisaba sukses menampilkan potret masyarakat pedesaan yang benar-benar hidup. Bukan hanya kehidupan bermasyarakat dan karakter orang-orangnya, tapi juga kondisi lingkungan dan budayanya. Aku suka cara penulis mendefinisikan desa tersebut lewat kata-kata, karena hampir semua inderanya dijelaskan.

Aku rasa, kalau plotnya lebih rapi, karakternya lebih hidup dan bercorak, juga fokus isunya dibenahi, novel ini bisa jadi luar biasa bagus. Sebagai pemenang unggulan Sayembara Novel DKJ, aku paham bahwa banyak sekali potensi yang bisa dikembangkan dari cerita masyarakat di Jatisaba ini.

Overall, ratingnya 3,5 untuk saat ini.
Profile Image for Evan Kanigara.
66 reviews20 followers
January 1, 2020
Menyenangkan! Saya suka sekali dengan cara Akmal mendeskripsikan Desa Jatisaba. Mungkin karena latarnya di Cilacap dan saya tinggal di Jawa, maka saya bisa dengan jelas menggambarkan deskripsi yang Akmal berikan. Membayangkan galengan, kubangan, amben, pereng, dan panggok di Jatisaba serasa membayangkan suasana Desa Sambeng yang dulu saya tempati untuk KKN.

Akmal juga sangat baik dalam menggambarkan kehidupan dan konflik yang terjadi di desa. Kalau di kalimat penutupnya, Prof. Dr. Faruk HT, mengatakan bahwa "novel ini berhasil membuat citra-citra etnogafis yang detail menjadi fantastik." Saya tidak bisa tidak setuju. Akmal menjelaskan dinamika sosial warga Jatisaba dengan menguraikan "fenomena sindikat perdagangan manusia di tengah sengketa politik lokal dan cerita cinta yang getir." Akmal menarasikannya dengan gaya berceritanya yang kuat dan mengalir. Saya begitu menyukainya.

Sedikit catatan. Saya merasa cukup dekat dengan apa yang karakter utamanya, Mae, rasakan saat ia kembali ke desanya. Perasaan nostalgia yang menusuk dan mengharukan. Saya merasakan hal tersebut saat kembali dari desa KKN saya dan mendapati Yogyakarta mulai beranjak sepi. Semuanya sudah hendak pergi dan Yogyakarta hanya akan menjadi tempat yang "kosong" tetapi penuh dengan kenangan. Mengutip Mae, "Semasa kecil, dunia terasa indah dan waktu berjalan lama. Semakin tua, waktu menjadi seperti kereta listrik, tidak memberi kesempatan sedikitpun untuk melihat keindahan, dan akan menghancurkan jika kita melawannya." Rasanya sesak dan mual. Tapi tidak apa-apa, toh hidup memang harus berlanjut, dan mau tidak mau kita harus menikmatinya selagi bisa bernapas. Mengutip Gao, kekasih masa kecil Mae, "kenikmatan dari perpisahan justru ada pada ketidakrelaan kita untuk pergi."
Profile Image for Happy Dwi Wardhana.
244 reviews38 followers
June 30, 2019
Astaga, ini bagus sekali! Saya harus membaca pelan-pelan kalimat demi kalimat sambil membayangkan suasana desa dengan hamparan sawah dan gubuk-gubuknya.

Polemik yang diangkat di novel ini juga sangat unik; perdagangan manusia dan politik pedesaan. Ini adalah gambaran nyata negara ini. Yang lapar akan melakukan apa saja agar perutnya kenyang. Yang kaya akan menghalalkan segala cara agar dirinya berkuasa.

Yang agak saya sayangkan adalah tidak adanya penjelasan kapan Mae pergi merantau menjadi TKI, dan ada apa dengan keluarga dan rumahnya selepas dia pergi. Di buku ini hanya digambarkan bahwa rumah Mae telah dijual ayahnya pada salah satu TKI, namun tidak ditempati sehingga rumah tersebut kosong dan ditumbuhi banyak ilalang. Saya juga menangkap adanya persilisihan Mae dan orang tuanya, tetapi juga tidak diungkap. Semestinya 3-4 paragraf cukup untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di keluarga Mae.

Hal lain yang sedikit mengganggu adalah ucapan-ucapan Sitas yang kedengaran terlalu filosofis. Untuk tokoh yang digambarkan tidak berpendidikan tinggi dan tinggal di desa, saya rasa perkataan-perkataannya kurang begitu cocok. Bisa jadi karena diungkapkan dalam bahasa Indonesia, bukan bahasa Jawa, jadi terkesan terlalu terpelajar.

Secara keseluruhan, ini adalah novel yang apik. Dituturkan dengan gaya bahasa yang mengalir, dan ending yang pas.
Profile Image for raafi.
927 reviews449 followers
May 5, 2017
Sungguhpun, butuh usaha keras untuk menyelesaikan buku ini. Bukan tentang ceritanya karena memang aku menyukai bagaimana kampung yang begitu mirip dengan kampungku dinarasikan, tapi lebih pada betapa sulit mencerna kalimat-kalimat yang njelimet.

Lagi-lagi, tata bahasa dan penulisannya masih kurang rapi. Inginku mencorat-coret setiap kekurangrapiannya, tapi begitu banyak. Inkonsistensi penggunaan kata dan aturan cetak miring pun masih terlihat. Mengganggu, sebenarnya.

Terlepas dari itu, aku suka bagimana unsur sosiologi dan antropologi dalam buku ini terburai jelas dan gamblang. Ebeg, nini cowong, obong bata, pilkades yang riuh. Dikemas dengan tema utamanya tentang penyaluran TKI alih-alih perdagangan manusia membuat buku ini berwawasan.

Di sini, batas antara benar dan salah, hitam dan putih, amat kabur. Buku yang bikin "mikir".

Mungkin akan diulas.
Profile Image for Amel.
206 reviews4 followers
November 27, 2021
Keren bangett!!
Novel yang kental dengan nuansa budaya, khususnya budaya politik desa-atau bahkan Indonesia(?).
Ini adalah novel yang dengan sengaja membiarkan pembaca memberikan penilaiaannya masing-masing terhadap tokoh-tokoh di dalamnya. Mengisahkan bagaimana sulitnya bertahan hidup di tengah keterbatasan.
Profile Image for sas.
15 reviews2 followers
January 22, 2024
Bukunya gila bgttt. Semakin diikuti semakin syok. Gak abis fikir sama tokoh-tokohnya.

Ada 2 konflik yang paling disorot di buku ini, politik dan TKI. Wajah politik yang disinggung di buku ini, tetep relate dari dulu sampe sekarang. Gak pernah berubah. Gitu juga tentang TKI yang banyak intriknya.

Kritik sosial ini berhasil di bawakan penulis. Semua isu di bahas habis-habisan. Dari yang terkecil sampai yang terbesar. Kayak lingkaran setan. Aku ngerasanya desa ini mempresentasikan sebuah negara dan polemiknya.

Selain sosial, aku suka banget pas ada bahasan tradisi dan budaya desa di Cilacap ini. Banyak banget yang di bahas, jadi ada jeda buat otak narik napas dulu.

Bagus bukunya aku suka. Sssttt hati-hati di sini banyak 👀👀.
Profile Image for Felicia.
158 reviews
March 10, 2024
Penceritaan soal desa Jatisaba dan orang-orangnya benar-benar favorit. Bagaimana dari latar itu menjadi konflik yang membawa ke ending yang epik! Asal beli (jujur) tapi nggak menyesal.
Profile Image for Fatmawati05_.
8 reviews1 follower
January 4, 2021
Ketika membaca sinopsis dibelakang buku, saya kira ceritanya akan fokus di "perdagangan manusia" ternyata tidak seperti perkiraan saya. Cerita lebih banyak menggambarkan tokoh utama yg menceritakan kampung halamannya sambil bernostalgia dengan ingatannya masa kecil.

Ketika membaca ini saya langsung teringat Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Jika kalian suka penjelasan tentang desa, bagaimana kehidupannya dan penjelasannya yg terperinci kalian mungkin akan suka buku ini.

Saya sendiri tidak terlalu suka, walaupun saya bisa menggambarkan dengan baik penjelasanya tentang desa Jatisaba karena saya sendiri orang desa, kebiasaan-kebiasaan yg dijelaskan saya tau. Mungkin karena harapan sebelum baca saya berharap fokus cerita ke penjualan manusia tapi malah dapatnya penjelasan terperinci tentang desa Jatisaba dan orang-orangnya saya jadi malas untuk membacanya. Menyelesaikan buku ini perlu banyak waktu tidak seperti buku novel lain yg bisa saya baca dalam waktu singkat.

Yang membuat saya cukup kaget adalah pilkades yg terjadi dalam cerita, saya tidak tau apakah Pilkades seperti ini benar-benar terjadi, tapi sangat mungkin sekali terjadi. Pilkades yg penuh dengan pelanggaran, bahkan sampai mengambil nyawa. Dari cerita ini saya belajar bahwa ketika terjadi pemilihan yg heboh bukan 'calonnya' tapi 'para pendukungnya', yang paling dirugikan jg pendukungnya padahal mereka hanya dimanfaatkan oleh para calonnya.

Setidaknya masih ada pelajaran dan informasi yg bisa saya dapat dari buku ini. Dan setidaknya diakhir cerita mengandung plot twist walaupun terkesan ending yang 'memaksa'

Berikut salah satu quote dari buku halaman 99

"Semua ini kebodohan. Hanya karena ingin jadi kepala desa, mereka menghambur-hamburkan uang begitu banyaknya. Sementara aku disini kekurangan uang. Banyak orang kelaparan. Ini menyebalkan sekali bagiku, Mae" lanjut sitas menggebu-gebu.
Profile Image for Gita Swasti.
323 reviews40 followers
August 12, 2020
Aku duduk di lincak belakang. Seluruh suasana mendukungku untuk takut, tapi ternyata tidak. Ini rumahku, ini hidupku. Bahkan hal yang paling menakutkan sekalipun, aku anggap sebagai rumah. (hlm. 100)


Sebuah kisah di Jatisaba yang mempertemukan Mae dengan apa yang ia sebut rumah meski kedua orangtuanya telah tiada. Di sini ia berganti peran. Ia bukanlah seorang bocah yang diwanti-wanti oleh bapaknya supaya tidak hujan-hujanan karena hujan adalah sumber penyakit, ia tidak pula seorang gadis yang bisa leluasa menikmati paras rupawan laki-laki yang dicintainya. Kedatangan Mae adalah musibah bagi Jatisaba.

Dunia ini memang sebundar kemungkinan. Semuanya bisa terjadi. Seperti lingkaran, kemungkinannya tak berhingga. (hlm. 106)


Dari awal bab sudah jelas kalau novel ini membahas tentang kemiskinan struktural, perdagangan manusia, dan seks yang "menyindir". Yang menjadi menarik, Ramayda Akmal memberi kesempatan bagi pembacanya untuk menganalisis lebih jauh dari aspek-aspek tersebut. Memberi kesempatan juga bagi akademisi untuk menjadikan Jatisaba sebagai obyek penelitiannya. Jatisaba digambarkan sebagai desa yang riuh, selalu saja ada masalah dan terasa nyata hingga kini. Di tengah riuhnya, saya pun mempertanyakan banyak hal, "Mengapa ingin sekali menjadi lurah?", "Mengapa Sitas setega itu?".
Mood-nya konsisten dibuat demikian, selalu bertanya-tanya setiap pergantian bab.

Novel ini bisa menjadi kritik bagi pemerintah, perihal kepolosan dan orientasi pada materi sebagai akibat dari rendahnya tingkat pendidikan. Kemiskinan masih menjadi hal yang dominan. Oh iya, dari sini saya tahu orang Cilacap mengumpat dengan mengucap "Bangkrek!"
Profile Image for Asya Azalea.
Author 7 books14 followers
August 21, 2013
Ini novel kakak angkatanku yang jadi unggulan DKJ 2010. Gara-gara novel ini aku harus keliling, mulai dari kampus, sampai dibawa ke Tembi Rumah Budaya Yogyakarta dalam acaranya Koalisi Perempuan Indonesia, karena kebetulan aku selalu ditunjuk jadi MC launching dan promonya, hahaha XD

Hmm, untuk ceritanya silakan baca sendiri review-review yang lain. :p Yang jelas, ini novel etnografis. Kejahatan human trafficking terdeskripsi dengan baik. Baca novel ini membuat aku selalu pengin pulang ke kampung halaman. :)
Profile Image for Dian Hartati.
Author 37 books35 followers
July 1, 2016
Sudut pandang dari pelaku kejahatan yang tidak jahat. Mae selalu merasa bersalah membohongi teman-teman masa kecilnya. Mae menginginkan libur panjang dan melakukan hal yang tak diinginkan itu.

Mae dendam kepada masa lalunya, namun juga takluk pada masa depannya.

Jatisaba memiliki akhir cerita yang tak terduga!
Profile Image for zahra.
3 reviews1 follower
March 28, 2024
Aku beli ini secara spontan karena tertarik dengan sinopsisnya, zero expectations. Aku ngga familiar dengan Ramayda Akmal sebelumnya. Ngga disangka ternyata buku ini menjadi MY NEW FAVOURITE BOOK OF ALL TIME!!!

Buku ini mengikuti kisah Mae, seorang calo TKI yang pulang ke kampung halamannya, Jatisaba untuk mencari korban baru untuk ditarik dalam skema perdagangan manusia. Rasa bersalah menghantui kepulangannya, terutama karena kali ini korban-korbannya adalah wajah-wajah familiar dari kampung halamannya.

Desa Jatisaba dideskripsikan oleh Mae dengan indah dan penuh kenangan. Unsur kebudayaannya juga sangat kuat. Aku belajar banyak istilah baru dari buku ini. Penuturan Mae tentang hal-hal buruk yang terjadi di sekitarnya cukup simpel dan straightforward, tapi kesederhanaannya itulah yang menusuk.

Aku suka banget sama Mae. Aku sering baca buku atau nonton film dengan karakter yang bisa dibilang morally grey, tapi jarang mereka dapat benar-benar bikin aku ngeri. Dengan Mae, aku dibikin sering mikir "beneran lu mau ngelakuin ini???". Meskipun begitu, karena mengikuti cerita ini dari perspektif Mae, aku merasa sangat "dekat" kepadanya, dan kalau hal-hal buruk terjadi kepadanya, aku tetap merasa sangat sediiih.

Hubungan antara Mae dan 2 laki-laki di hidupnya, Gao dan Malim, juga jadi salah satu bagian yang paling aku suka dari buku ini. Mae dan Gao maniiis banget. Walaupun ya ada momen antara mereka yang mungkin bisa dibilang questionable, mereka tetap manis dan tragis dan bikin aku frustasi.

Agak aneh rasanya kalau bilang aku suka dengan hubungan Mae dan Malim. Hubungan mereka penuh kontradiksi yang kadang membingungkan, kadang bikin sedih, lebih sering bikin marah kepada Malim. Sejak menyelesaikan buku ini, hubungan mereka lah yang ngga bisa berhenti aku pikirin (btw hubungan yg aku maksud disini bukan romantic relationship ya, tapi relationship in general. Menurutku hubungan mereka ngga pantas disebut romantis).

Aku berharap kita bisa dapat lebih banyak cerita tentang masa lalu Mae, terutama tentang keluarganya. Beberapa cuil informasi yang diberikan rasanya sangat ngga cukup. Aku juga merasa penyelesain drama politik di Jatisaba agak kurang? Pilkades menjadi konflik terbesar sepanjang buku ini namun penyelesaiannya begitu-begitu saja. Aku juga mengira peristiwa perdagangan manusia melalui pekerja imigran bakal dieksplor dengan dalam, tapi ternyata tidak. Meskipun begitu, kelebihan-kelebihan buku ini dan rasa sukaku menutupi kekurangan-kekurangannya heheheh.

Setahun terakhir aku rasanya ada dalam reading slump yang cukup parah, tapi buku ini berhasil mengobatinya. Setelah selesai membaca ini, aku rasanya jadi semangat untuk membaca lebih banyak buku lagi >_< terutama pengen baca karya Ramayda Akmal yang lainnya!
Profile Image for nawir nawir.
58 reviews55 followers
June 21, 2020
Apa harga termahal dari pesta demokrasi rutin di tingkat desa?

Di buku Jatisaba buah karya Ramayda Akmal, jawabannya adalah hilangnya nyawa warga dan luka batin mendalam.

Luka batin yang lahir dari segenap propaganda selama masa kampanye, bahkan sebelum prosesnya resmi dibuka.

Pemilu adalah soal sederhana: siapa yang sanggup mengamankan suara terbanyak, dialah pemenangnya. Tak peduli apakah diraih dengan jalan bermartabat atau bergelimang lumpur.

Bermartabat tentulah adu gagasan, melambungkan cita-cita dan harapan para calon pemilih sebelum dibenturkan dengan kenyataan di depan sana.

Cara kotor adalah semudah membagikan beras berulat ke calon yang melekatkan dirinya sebagai juragan beras mau pun mencederai pemain kesenian yang menjadi andalan penarik simpati massa.

Massa mengambang, yang karena himpitan kesulitan hidup, hanya peduli soal bagaimana perut saya dan keluarga saya bisa terisi hari ini. Pangsa pasar ini sedemikian besarnya sehingga mewajarkan pemberian uang atau barang kepada mereka untuk membeli suara.

Di cerita Jatisaba, sekelompok warga yang dibantu mengurus surat-surat sebagai persiapan menjadi TKI oleh salah seorang kandidat, tetap tidak memberikan suaranya kepada si penolong. Alasannya bermacam-macam, bisa saja karena si calon adalah warga kampung sebelah yang sudah turun temurun menjadi musuh.

Yang lebih membuat rumit jalinan cerita, si penyalur yang besar di Jatisaba sebenarnya hanya memasang kedok. Ia bukan penyalur resmi yang membawa pergi perempuan-perempuan tanpa asa di kampung untuk mengejar pencaharian baru demi melihat anaknya 'dadi wong'. Perempuan-perempuan tersebut menjadi korban sindikat penjualan manusia yang dijadikan pemuas nafsu atau organnya diambil untuk dijual di pasar gelap. Nasib baik adalah jika betul-betul kerja sebagai asisten rumah tangga atau pelayan di sebuah kafe.

Kemalangan hidup pahlawan devisa negara yang dialaminya ini tidak menyurutkannya untuk menjerumuskan teman sekampungnya ke dalam lubang yang sama. Meskipun gejolak batinnya itu terlihat juga dalam perenungan dan ucapannya yang dibalut keraguan.

Sulit membayangkan hidup dalam jeratan demi jeratan seperti itu, membacanya dalam sebuah karya fiksi saja membuat bergidik.

Sudah lama tidak membaca kisah realisme seperti ini sejak saya menyelesaikan Ronggeng Dukuh Paruk.

Bedanya, di sana konflik yang membalutnya adalah luka 1965. Di Jatisaba, pilkades memberikan potret buram demokrasi yang banyak disanjung. Tapi apakah ada pilihan lain selain demokrasi dengan proses pemilu yang mahal dan bahkan menuntut tumbal nyawa?

Belum lupa kan bagaimana pemilu presiden maupun gubernur?
Profile Image for Hadiwinata.
49 reviews
August 14, 2022
Membaca novel Jatisaba mengenangkan saya kepada novel Snow karangan Orhan Pamuk. Tokoh utama kedua novel ini sama-sama berangkat ke satu desa demi sebuah tujuan. Hanya saja, kalau novel Snow memiliki suasana yang sunyi, senyap, dan dingin, ditulis menggunakan kalimat-kalimat majemuk yang cerdas, novel Jatisaba punya gaya tersendiri—yang tak kalah bagusnya. Ketika membaca novel Jatisaba, suasana perkampungan khas Jawa terasa sekali. Narasinya pelan-pelan membangun sebuah desa bernama Jatisaba yang lengkap, eksotik, dan menyedihkan: lanskap desa, sejarah, seni dan budaya yang terdapat di dalamnya, mata pencaharian, tingkah laku, kondisi sosial-ekonomi masyarakatnya, bahkan politik.

Novel Jatisaba dikisahkan oleh seorang Mae/ Mainah—sudut pandang pertama: tokoh utama sebagai narator. Mainah berkisah tentang kedatangannya ke desa Jatisaba, yang entah dapatkah disebut sebagai kepulangan. Mainah berkisah dengan kalimat-kalimat yang sederhana, juga jalan cerita yang sederhana. Persis seperti namanya dan masyarakat desa Jatisaba: orang-orang yang sederhana, atau mungkin lebih rendah dari itu. Namun, sifat dan tingkah laku mereka sungguh tidak demikian. Terutama Mae, sang narator kita. Apresiasi yang sungguh tinggi perlu dihaturkan kepada Ramayda Akmal sebagai sang penulis yang telah menciptakan tokoh yang loveable sekaligus memuakkan. Jalan hidup Mae dan kenangan-kenangannya di Jatisaba sungguh sanggup memikat pembaca untuk simpati kepadanya. Tetapi misi terselubungnya terlalu menjijikkan. Terlalu. Monster berwajah pahlawan, itulah Mae.

Sedikit catatan (teramat subjektif): saya tak menyukai opening dan ending novel ini. Saya pikir, opening novel Jatisaba akan lebih bagus/ seru apabila dimulai langsung ketika Mae dalam perjalanan menuju desa. Sementara untuk endingnya, bagi saya, kepergian Mae ke negeri asing, Hongkong, sudah teramat memilukan. Dan kedatangan pak polisi yang menangkap Mae lalu dijadikan penutup terasa seperti kebetulan yang memuakkan. Selain itu, di baris-baris kalimat sebelum kata TAMAT, tentang Joko dan tawon, bagaimana Mae bisa mengetahui kisah ini? Terakhir, kisah-kisah di negeri Malaysia, tentang pengalaman Mae di sana, saya rasa seharusnya perlu diceritakan lebih banyak. Sementara di sini, hanya tertulis sedikit sekali.
Profile Image for Nigina Aul.
18 reviews3 followers
May 3, 2022
Buku ini bercerita tentang Mae, orang yang mengaku sebagai calo TKW, padahal dia adalah bagian dari sindikat perdagangan manusia. Mae pergi ke Jatisaba, kampung halamannya, untuk menjaring korban baru. Tapi di sana Mae justru terseret nostalgia masa lalunya serta arus politik pilkades yang sedang digelar.

Dua poin penting yang nyata digambarkan dalam novel ini adalah perdagangan manusia dan praktik kampanye hitam. Dua hal ini memiliki korban yang sama: rakyat miskin. Kehidupan sosial budaya masyarakat Jatisaba tergambar dengan jelas. Suasana mencekam karena perang politik sangat terasa menegangkannya. Juga binar harapan masyarakat akan masa depan yang cerah setelah mendapat iming-iming untuk menjadi TKW.

Barangkali pergi bekerja di luar negeri memang terdengar lebih memiliki harapan cerah daripada melakukan repetisi hidup sengsara setiap harinya. Tapi seperti yang tertulis dalam novel ini, "Orang miskin memang selalu kalah." Tokoh Mae sendiri sebenarnya adalah korban. Entah dia bisa dibilang lebih beruntung atau sial. Tak pernah ada pilihan bagi orang-orang seperti Mae.

Sayangnya, aku menemukan sedikit benang kusut dalam cerita ini. Mae selalu terjebak dalam nostalgia masa lalunya. Tapi aku tidak menemukan gambaran masa lalu Mae dengan jelas. Mungkin ada, tapi tidak cukup menjelaskan, kurang detail. Akibatnya, aku tidak bisa bersimpati pada tokoh utama. Banyak pertanyaan yang sampai akhir cerita, tidak kutemukan jawabannya. Bagaimana awal mula Mae tercebur ke dunia yang jahat? Bagaimana kehidupan orang tua Mae yang sering disebut-sebut itu?

Hal yang sangat jelas tergambarkan adalah praktik kampanye hitam saat pilkades di Jatisaba. Bagaimana kebudayaan setempat menjelma alat politik yang terus diadu. Bagaimana fitnah, permusuhan, kecurangan, bahkan hilangnya nyawa menjadi bagian dari pesta politik itu. Dan yang paling menyedihkan, tentu saja yang menjadi korban adalah rakyat miskin. Selalu.

Bagian akhir cerita bagiku adalah gambaran dari realita yang sangat jelas. Lagi-lagi kalimat dalam novel ini sangat cocok untuk keseluruhan cerita, dari awal sampai akhir, "Orang miskin memang selalu kalah."
Profile Image for WidhiKasih.
23 reviews
July 16, 2023
!!!TW!!! (Kekerasan, Pelecehan, Pemerkosan, Kata-kata kasar)

Buku ini benar-benar membuat saya merasakan kampung halaman. Bagaimana tidak, pengambaran akan desa, warga bahkan makanan sekaligus memang membuat saya cepat-cepat pulang kampung. Tradisi obong boto, layar tanjep, bahkan pasar wage, pasar kliwon, dan pilkades dengan mengunakan lambang padi dan jagung, lalu galengan penuh lumpur, juga klepon. Itu semua dirangkai dalam 200an halaman bersamaan dengan konflik yang ada, membuat saya kagum dan gemetar takut sama endingya dan ya ketakutan saya benar terjadi hehe karna gk ketebak :').

Okey novel ini bercerita tentang Mae yang pulang ke kampung nya untuk merekrut teman-temannya untuk dijadikan TKI namun bukan seperti menjadi TKI beneran, Mae berbohong menggunakan TKI agar semua orang percaya akan pekerjaan yg ditawarkannya, karna sebenernya, yang ikut akan dikerjakan untuk melayani seseorang. Si Mae dalam proses mengumpulan orang-orang itu terlibat dalam politik yang ada desa, politik yang mencekam, pelanggaran Pilkades yang terang-terangan, membuat Mae ikut khawatir akan semuanya, rencananya, serta keegoisannya.

Saya sangat menyukai novel ini, saya membacanya di Ipunas. Dan jika punya buku fisiknya pasti sudah penuh coretan saja sini. Novel ini penuturannya sangat halus, sekaligus menikam secara bersamaan. Hal yang lain adalah bagaimana penggambaran warga-warga desa yang sangat pas, bagaimana kita disuruh membuka mata bahwa banyak sekali rakyat kecil yang terus bertahan dihidup diluaran sana untuk menjaga seluruh anggota keluarganya buka cuma didesa namun dikotapun juga pasti ada. Membuat saya kembali membayangkan tahun-tahun yang hampir sepenuhnyaku lupa, jadi membuat makin bersyukur. Ah sepertinya kepanjangan saking asik ya ngetik review :').

Oh yaa untuk penutupan : Penghianat ada dimana saja, kau tak pernah tau siapa yang memegang pisau saat memelukmu, buka matamu lebar-lebar hehe
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Tika Nia.
222 reviews5 followers
October 10, 2022
"Mungkin kesedihan mendalam dan kehilangan besarku telah menenggelamkan perasaan haru dan menyisakan tubuhku sebagai seonggok daging tanpa emosi," (h.11)

🐴 JATISABA 🐎
✍🏻 Penulis: Ramadya Akmal
📕 Penerbit: Grasindo @fiksigrasindo
📆 Tahun Terbit: 2017
📑 Halaman: 241
🔖 Genre: Fiksi - psiko, sosio, politik (18+)

Setelah sekian lama, akhirnya Mae kembali ke kampung halamannya. Jatisaba, tempatnya menghabiskan masa kecil yang indah. Namun kini dia telah dewasa, apa yang dulunya indah, kini lewat pemikirannya yang dewasa berubah menjadi tak indah, rumit, gelap.

Bahkan Mae datang tepat di saat desanya penuh hingar-bingar. Pemilihan kepala desa. Ya, bagi warga Jatisaba pemilihan kepala desa jauh lebih penting daripada pemilihan presiden. Ini sungguh di luar bayanganku.

Pemilihan itu, begitu "kotor"! Menelan korban jiwa, merusak banyak hal. Bukan sekedar fasilitas umum atau rumah warga, melainkan juga merusak tali persaudaraan. Dan dibalik itu semua Mae juga menambah "kotor" keadaan. Dia punya misi kotor dari Mayor Tua.

🐴 Warga sedang sibuk dengan hajat besar pemilihan. Banyak ninja yang mengganggu hidup mereka. Tontonan silih berganti. Kesurupan. Caci maki dan sumpah. Ada polisi. Ada beras berulat. Ada kematian (h.190). Ditambah dengan Mae yang membawa tawaran kotornya! 🐎

Namun di antara carut-marut Jatisaba itu, terselip kisah manis. Tentang cinta pertama Mae pada Gao. Namun itu juga memperumit segalanya.

Buku ini direkomendasikan untuk kalian yang gemar mengamati / memahami isu-isu sosial-politik. Juga tentang psikologis warga pedesaan. Cukup berat tapi sarat makna. Aku sendiri mulanya agak bingung karena terlalu banyak tokoh yang terlibat, tapi lama-kelamaan aku kagum dengan kepekaan penulis dalam memaparkan realita sosial pada masyarakat pedesaan!
Profile Image for Alfian.
5 reviews
May 15, 2022
Membaca buku ini mengingatkan saya dengan karya fenomenal Ahmad Tohari yaitu Ronggeng Dukuh Paruk yang sama-sama berlatar di sebuah desa dan mengangkat isu perpolitikan.

Kenangan saya semasa kecil bisa saya rasakan lagi ketika membaca Jatisaba. Ramayda berhasil menggambarkan suasana pedesaan dengan cukup rapi. Penggunaan beberapa bahasa Jawa dalam tulisannya juga menyuguhkan kedekatan bagi pembaca, terutama bagi saya sendiri yang memang tumbuh di pedesaan Jawa. Yang saya sayangkan adalah penggunaan footnote yang tidak konsisten. Beberapa kali kata dalam bahasa Jawa ada penjelasannya, beberapa lainnya tidak. Seolah-olah pembaca diminta menebak-nebak. Saya juga cukup menyoroti bagaimana sebuah desa bernama Jatisaba ditampilkan dengan kondisi lingkungan dan orang-orang yang sedemikian rupa. Ada intrik-intrik ekokritik yang membuat saya manggut-manggut.

Dari sisi sosial, buku ini menyajikan gambaran masyarakat desa yang masih berkerabat dekat. Saya juga membaca silsilah keluarga di bagian akhir buku. Mereka adalah gambaran orang-orang yang senang terbawa arus, rasanya ini bisa jadi kritik sosial yang masih relevan hingga hari ini. Pun juga dari tokoh Mae. Sebuah gambaran bagaimana manusia dijadikan komoditas dengan harga murah.

Beberapa kali saya agak kesal karena merasa beberapa bagian penceritaan ada yang hilang atau terkesan tidak lengkap. Saya kurang bisa menikmati bagaimana kisah cinta Mae dan Gao dituliskan. Atau kemunculan sosok Joko sebagai antitesis dalam pilkades yang jadi drama utama desa ini.

Selebihnya, novel ini tetap saya rekomendasikan untuk dibaca. Ada banyak hal bisa dikaji dari novel ini. Terima kasih.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Saji.
96 reviews5 followers
August 12, 2022
Mainah (Mae) kembali ke kampungnya, Jatisaba, sembari membawa perintah Mayor Tua untuk mencari tenanga kerja dari Jatisaba--yang ternyata sebuah tipuan untuk memerangkap penduduk Jatisaba dalam praktik perdagangan orang. Tugas itu sangat berat untuk Mae, mengingat ia juga korban perdangan orang dan sekarang harus menipu tetangga dan teman-temannya sendiri. Selain itu, bagi Mae, pulang kampung berarti kembali menghadapi masa lalu, kenangan-kenangannya, juga perubahan kampung yang telah ia tinggalkan.
.
Ada dua fokus utama novel ini, Jatisaba dan Mainah. Kondisi Jatisaba dalam novel ini adalah potret penyelewengan kuasa oleh pemerintah daerah dan orang-orang yang punya modal. Puncak penyelewengannya ada di Pilkades. Saat membacanya, saya merasa pilkades di Jatisaba ini kelewat serem, apa memang sesadis itu untuk mendapat kekuasaan dan segila itu reaksi untuk menolak kekalahan. Namun, ternyata huru-hara pilkades itu hanya semacam "drama belaka" yang menguntungkan para pemilik kuasa atau modal dan merugikan penduduk yang terlibat huru-hara tersebut. Sungguh bikin tepok jidat sih novel ini.
.
Kedua, Mainah. Mainah adalah potret seorang korban yang berusaha menjadi penjahat. Sayangnya, beralih dari korban ke penjahat itu tidak semudah yang dikira, selalu terbesit pikiran, "Apa yang kulakukan ini benar?" Dia terus menerus punya perdebatan dalam kepalanya, mengingat ia sangat paham derita korban perdagangan orang. Di lain sisi, dia merasa tak mungkin memulihkan diri menjadi Mainah yang dulu (karena adanya perasaan telah ternoda). Selain itu, dia terikat dengan Mayor Tua dan perlu menafkahi diri sendiri (bekerja dan punya uang), jadilah dia seorang penjahat yang penuh dilema.
.
Ending novel ini, juga bikin tercengang. Ah, mungkin saya terbiasa tidak mengekspektasikan adanya plot twist dari buku sastra. Jadi, alur flash back dan plot sederhana novel ini cukup mengecoh dan membuat si plot twist di endingnya cukup bikin saya menganga.
Profile Image for Alvina.
732 reviews122 followers
May 4, 2017
Just not my cup of tea

Jatisaba adalah sebuah desa kecil di Kota Cilacap. Buku ini menceritakan kisah tentang Mainah, atau yang biasa dipanggil Mae, ketika ia kembali ke kampung halamannya tersebut. Mae bekerja di kantor perekrutan tenaga kerja untuk dikirim ke luar negeri. Tujuan ia kembali ke desanya, semata mata hanyalah untuk mencari "mangsa" baru. Mereka yang direkrut sebenarnya tidak dipekerjakan dengan baik. Sebagian besar bekerja di tempat tempat ilegal, para wanitanya menjadi penghibur, penari di kelab malam, dan yang lelaki kadang dipekerjakan menjadi pengedar narkotika. Kepulangan Mae ternyata berbarengan dengan masa pemilihan Kepala Desa yang baru. Mau tidak mau, Mae terpaksa ikut masuk ke arus kampanye dan pemilihan tersebut. Kampanye kampanye yang kotor, tidak jujur dan saling menjatuhkan antarcalon.
Saya agak ngga cocok sama buku ini, yaa mungkin karena bukan selera saja sih. Alurnya lambat, dan konfliknya lebih berfokus kepada kemiskinan penduduk Jatisaba. Kadang kasihan kadang sebel juga baca kisah kisah mereka. Dan ada banyak tokoh yang membuat saya sering kebingungan mbayanginnya.
Profile Image for Priti.
31 reviews1 follower
February 25, 2021
✨4.5/5✨

This book, unexpectedly so good!
I recommend this book to my goodreads friends :)

Singkat cerita, aku beli buku ini randomly ngikut jastip gramedia. Jadi, aku gapunya ekspektasi apapun tentang buku ini. Tapi ternyata? WOW! Ceritanya bagus banget dan sepantes itu jadi pemenang unggulan sayembara novel DKJ 2010 :’)!

Walaupun banyak penggunaan istilah (mungkin bahasa Jawa) yang aku ga ngerti, tapi buku ini masih bisa dinikmati.

Endingnya gimana? Plot twist. Aku ga kepikiran sama sekali😭
Buku ini bener2 ngebuka wawasan baru tentang Jatisaba dan tentang ‘agen TKI’ yang sebelumnya ga pernah terlintas dipikiranku. Seabu-abu itu kehidupan di perkampungan dan bagaimana seseorang dapat menjerumuskan sahabatnya sendiri ke lubang buaya :’)

Sebenarnya, masih ada beberapa poin yang belum diterangin oleh author. Tentang apa yang terjadi pada keluarga Mae sebelumnya, sampe Ia dan keluarganya hidup terpisah-pisah. Tentang bagaimana mula Mae bisa terjerumus ke pekerjaannya saat ini. Tapi, mungkin itu menjadi bagian yang sengaja tidak diceritakan oleh author.

Anyway, im so thankful to mas jastip Gramed yang udah nawarin buku ini! Cheers to Indonesian author :)
7 reviews
February 3, 2022
Novel yang pemenang unggulan sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 2010 ini mengambil latar belakang di Jatisaba, sebuah kota di Jawa Tengah. Mengangkat isu tentang sindikat penjualan manusia dengan kedok penyaluran TKI, yang mana korbannya kebanyakan orang-orang pedesaan terpinggirkan dengan kondisi ekonomi kekurangan, dengan iming-iming gaji besar jika mau bekerja di kota ataupun di luar negeri.
Bercerita tentang Mae, yang kembali ke kampungnya, Jatisaba, dengan misi untuk mencari orang-orang yang mau diajak menjadi TKI ilegal. Dengan segala bujuk rayu ke penduduk sekitar, yang merupakan teman-teman masa kecilnya, ia berusaha mengajak mereka untuk ikut dengannya menjadi TKI.
Jalan cerita menjadi lebih menarik karena Mae kembali bertepatan dengan adanya pilkades di desa tersebut. Perseteruan tiga calon kades, Jompro, Mardi, dan Joko menyuguhkan konflik politik panas, tidak beda halnya seperti pemilu, dengan adanya money politic, black campaign, sampai adu ilmu antar dukun.
Melalui Mae, dan juga percakapannya dengan Sitas, penulis seperti ingin menyampaikan pembaca bahwa betapa tragisnya nasib mereka yang menjadi korban praktek human trafficking ini. Bagaimana rentannya nasib para TKI di luar sana, yang jauh dari perlindungan hukum. Dan negara sangat abai dengan hal ini.
Sebuah ironi bagaimana perpaduan kemiskinan dan keterbelakangan pendidikan menjadikan para korban tidak lagi memiliki banyak pilihan untuk mendapatkan penghidupan yang layak.
96 reviews1 follower
September 9, 2023
Phew. Itu satu-satunya reaksi yang bisa aku suarakan setelah berkali-kali susah nafas dengan benar saat membaca tiap lembar buku ini.

Menurutku pribadi, buku ini kaya sekali. Isinya yang dicomot dari kehidupan nyata dan diilustrasikan dengan sarat budaya membuatnya benar-benar hidup. Sayangnya, ada beberapa hal yang aku kurang minati.

Pertama, latar belakang tokoh utama yang diceritakan dengan rumpang. Sebetulnya ini bisa dilihat dari dua sisi: sisi psikologis (trauma Mae yang hanya mampu membuatnya mengupas masa lalunya dengan ala kadarnya), ataupun sisi naratif (kurang dikuliknya motif tokoh utama menjalani pekerjaan riskan ini — asumsiku Stockholm Syndrome dan trauma child abuse & grooming).

Secara umum aku suka cara Ramayda melukiskan Jatisaba dan ritme cerita yang nggak terburu-buru. Pun akhir cerita yang dibuat sedemikian rupa. Closed, yet open for the people living in the story itself. Bravo!
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Arutala.
505 reviews1 follower
October 19, 2023
Cerita berlatar suasana pedesaan dengan kesan yang menyenangkan nan indah permai rasanya sangat jauh dari novel ini. Segala kenaifan, keburukan dan nasib para warganya terungkap tanpa malu-malu.

Novel ini mengingatkan saya pada koleksi cerita
karya Ahmad Tohari atau Okky Madasari yang begitu fasihnya mengungkap borok desa yang kumuh berdebu. Saya suka dengan karakter para warga Jatisaba. Kaum bacalon kades, warga Dulbur, bahkan para teman-teman masa kecil Mae-Maina. Mereka begitu 'nyaman' hidup di tengah kesengsaraan desa yang sulit bangkit dan gampang tersulut itu.

Sebuah potret jujur kehidupan desa yang masih relevan sampai saat ini dan berhasil menghadirkan drama paling nyata tentang pilkades dan bahaya pengiriman TKI ilegal lengkap dengan intrik-intrik menyakitkan yang menimpa kaum perempuannya. Tokoh Mae dan Sitas adalah sosok kunci yang menarik tapi juga menyebalkan. Karakter Sitas justru menarik perhatian sepanjang bacaan. Cerita yang bikin masygul tapi justru membekas sampai akhir karena plot twistnya.
Profile Image for yunda..
66 reviews3 followers
March 5, 2021
Luar biasa. Karya yang mendapat nominasi di bidang sastra hampir selalu sarat budaya, konflik, alur, penokohan, dan unsur lain. Yang paling buat terkesan: alur. Plot twist sekali. Sepanjang baca, jantung berdebar. Siapa yang menduga kalau Sitas--baca dulu. Selain itu, kesan menarik lainnya adalah kisah Gao-Mae. Memang cuma bumbu, tapi aku selalu suka yang begini. Wkwk

Namun, yang utama tetap penggambaran suasana dan karakter tokoh-tokohnya. Menurutku ini lumayan menggambarkan sebuah desa dimana banyak orang miskin, hidup sulit, nikah pun nggak bisa terlalu memilih istri/ suami. Sehingga, prinsip bertahan hidupnya lumayan kentara.

Sebenarnya, aku punya beberapa kendala dalam memahami beberapa tokoh dan suasana masa lalu desa Jatisaba, tapi itu nggak bisa mempengaruhi nilai cerita ini.

Recommended.
Profile Image for Nugie.
59 reviews2 followers
February 28, 2024
Jika kamu pernah lahir dan besar di desa atau pengen mengetahui detak kehidupan desa ...You will love this book. Latar desa (alam, lingkungan dan budaya desa ) di novel ini mengingatkan dengan karya-karya Ahmad Tohari.

Selama ini saya sudah sering mendengar tentang TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang).. dan novel ini memberikan gambaran bagaimana sindikat perdagangan orang bekerja di wilayah kantung-kantung kemiskinan untuk menjerat korbannya.

"Percayalah, manusia mempunyai bakat alami berbohong yang hebat" (hal.54) , dan ini yang dilakukan Mae dan sindikatnya dengan menjual mimpi di tengah harapan orang desa untuk memperbaiki hidup mereka.

Susana Pilkades juga digambarkan dengan sangat menarik.. betapa proses yang disebut demokrasi ini ternyata selalu mengoyak "tatanan sosial" di desa... Overall cukup puas dengan novel ini, ...👍👍
Profile Image for Widia Kharis.
47 reviews
March 15, 2023
Jatisaba mengangkat premis yang menarik dan isu yang kompleks. Mae, seorang agen perdagangan tenaga kerja, dirundung dilema karena harus merekrut teman-teman di kampung halamannya ketika pada saat yang sama, terjebak dalam kemelut politik desa. Gaya menulis Ramayda Akmal terasa sangat etnografis. Ia menguliti masalah sosial seperti kemiskinan dan kecurangan demokrasi lewat deskripsi yang tajam. Meskipun secara keseluruhan cukup memuaskan, terlebih dengan epilognya yang bikin saya nyengir; kisah cinta Mae dan Gao yang panas entah mengapa terasa agak janggal—rasanya seperti tempelan saja. Oh ya, saya baca yang versi terbitan ICE—tampaknya terbitan pertama—dan secara teknis tulisannya cukup berantakan kayak nggak diedit. Entahlah, mungkin yang versi terbitan Grasindo lebih enak dibaca.
Displaying 1 - 30 of 71 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.