Setelah sukses dengan edisi 1 dan 2 dari '30 Paspor di Kelas Sang Profesor,' J.S. Khairen yang merupakan asisten dari Prof. Rhenald Kasali kembali menuliskan kumpulan cerita, sekaligus karya ke enamya. Kali ini dengan tema The Peacekeepers' Journey. Inspirasi cerita dan pesan yang tertuang, mempunyai kesan penting tersendiri dibanding dua edisi sebelumnya.
Di kelas 30 Paspor kali ini, mahasiswa Pak Rhenald ditugaskan tak hanya pergi ke luar negeri, tetapi juga menjadi relawan, terlibat dalam kegiatan sosial, atau membantu siapa pun yang membutuhkan. Tujuannya, merajut perdamaian!
Berbagai petualangan seru pun terjadi. Dikejar-kejar orang asing, kehilangan koper, bahkan salah seorang mahasiswa hampir dirampok. Berbekal teri kacang sebagai alat diplomasi, hingga tak sengaja ditemani artis terkenal di sebuah negara, semua mewarnai suka duka peralanan mereka.
Tugas yang awalnya ditentang banyak orang terbukti jadi ajang "latihan terbang". Kesasar di negeri orang telah menumbuhkan mental self driving-pribadi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menentukan arah hidup sendiri.
===================================
"Setelah membaca bukunya, gue langsung memutuskan untuk solo traveling ke Vietnam. Ternyata trik berani kesasar ini terbukti berhasil menguba gue dan ngasi energi positif. Dunia luar gak mesti ditakuti, justru gimana cara menghadapi rasa takut dalam diri kita sendiri." - @Deenanoosha, Cewek Tanggu Masa Depan
"Pokoknya buku 30 Paspor the Peacekeepers' Journey sangat inspiratif dan memberikan motivasi khususnya bagi kalangan anak muda untuk membentuk diri menjadi seorang driver, bukan orang bermental passenger." - Rista Hutammy Tularby (@tamtarista), Mahasiswi.
"Hiks... saya mau dong ikut kelas ini >.<." - Isnaini Nuri, Blogger.
"Ingat pas membaca buku ini sewaktu sedang sibuk-sibuknya ngurusin tesis di Taiwan. Dan buku ini sukses bikin fresh di tengah hiruk-pikuknya perang batin untuk segera menyelesaikan tesis dan pulang ke Indonesia. Bagi saya pribadi, getting lost in the right direction adalah hal yang paling seru dalam sebuah perjalanan, apalagi di negara dan lingkungan baru yang belum pernah kita jamah sebelumnya. Membaca buku ini, seperti hanyut dalam kisah berbeda masing-masing mahasiswa di negara yang berbeda pula. Highly recommended buat kamu yang ingin merasakan traveling ke berbagai negara. Nice!" - Afriyanti Hasanah (@afriyantihasanah), Dosen Akuntansi, masih 25 tahun.
"Buku ini menepuk pundakku, mengingatkan bahwa sudah berusia kepala dua hendaknya sudah melakukan semuanya sendiri. Dalam artian, sudah bisa mengambil keputusan sendiri. Aku terharu membacanya." - Hestia Istivianti, Pustakawan Muda
"Keren! Buku ini mengajarkan saya untuk berpikir lebih luas, bermimpi lebih tinggi dan bertindak lebih berani. Satu cerita yang membuat saya tidak habis pikir, karena gadis ini sangat nekat. Yaitu perjalanan seorang gadis berjilbab ke Birma sendirian, yang mendorong saya ingin segera bertualang." - Ika Astutik, Blogger
"Bagi saya, 30 Paspor sangat memotivasi untuk melakukan perjalanan jauh sendirian, utamanya ke negeri orang. Membacanya sempat membuat saya berandai-andai, 'Coba aja aku jadi mahasiswanya Prof. Rhenald Kasali..." Beruntunglah mereka para mahasiswa Pemintal FEB UI yang mendapat kesempatan dan pengalaman menyelesaikan tugas inovatif ini. Buku ini merupakan buku yang wajib dibaca oleh siapa saja. Khususnya para pendidik -guru, dosen, maupun orangtua - juga anak-anak muda generasi saya." - Rizky Nindy Lestasi, Insan Kreatif.
"Jangan bandingkan buku ini dengan buku-buku traveling yang menjamur. It's not apple-to-apple. Dalam buku ini kita bisa melihat semangat, gairah, tentang keberanian, kemampuan berkomunikasi, mengontrol diri sendiri, bagaimana membuka pikiran, mengambil keputusan dengan cepat di situasi terdesak, mempertahankan argumen. Dan semuanya dilakukan saat kita sendirian, terasing, di negeri orang, dalam usia yang masih muda." - Rhein, Pencinta Kucing dan Traveling.
"Membaca buku ini bikin termotivasi banget, rasanya ingin ikutan jadi mahasiswa Prof. Rhenald! Sangat menginspirasi!" - Fatimah Ghaniem, Blogger.
"Selesai membaca buku ini, saya langsung mencari bagaimana cara membuat visa dan melihat-lihat harga tiket Jakarta-Amsterdam." - Astecia P., Blogger.
Usahakan baca minimal 1 fiksi, dan 1 non-fiksi setiap bulan. Fiksi untuk hati, non-fiksi untuk kepala. – Ini juga pesan untuk kawan-kawan yang mencoba merintis jadi penulis. Jika ada yang menganggap karyamu baik, maka syukuri dan jangan terlalu terbang. Rekam itu di ingatan, jadikan dorongan untuk memberi dampak dan membawa pesan-pesan yang seru dan penting.
Jika rupanya ada yang tak suka, memberi kritik, saran, itu tak masalah. Beberapaa kritik malah bisa jadi pelontar yang ampuh untuk karyamu berikutnya. Lagi pula, orang sudah keluar uang untuk beli karyamu, masa mengkritik saja tidak boleh. Selama sesuatu itu karya manusia, pasti ada saja retak-retaknya.
Lain cerita jika menghina. Memang benar tak harus jadi koki untuk bisa menilai satu menu masakan itu enak atau tidak. Namun cukup jadi manusia untuk tidak menghina makanan yang barang kali tak cocok di lidahmu, kawan. – “Karya yang terbaik adalah karya yang selanjutnya.” Bisik seorang sahabat. “Tulislah sesuatu yang bahkan engkau sendiri akan tergetar apabila membacanya.” Sambung sahabat yang lain.
Buku 30 Paspor The Peacekeepers' Journey adalah buku ketiga yang terbit setelah 30 Paspor di Kelas Sang Profesor edisi 1 dan 2 tahun 2014. Dan saya baru pertama membaca buku ini... Buku yang sangat insipiratif, makin kagum dengan sosok sang Profesor . Metode pengajarannya "out of the box", ini patut dijadikan contoh oleh tenaga pengajar di Indonesia, dalam mendidik generasi bangsa sehingga akan menghasilkan generasi yang tidak bermental "passenger" tetapi "drivers"
Dari cerita 30 mahasiswa yang diceritakan dalam buku ini, masing-masing mempunyai kisah yang berbeda yang dapat diambil hikmahnya, ini bukan semata- mata kisah travelling tetapi lebih dari itu, tentang semangat, keberanian,kesabaran ,toleransi dan banyak hal lainnya
Buat generasi muda maupun kalian yang akan menyiapkan generasi muda, bacalah buku ini "recomended "
Dua buku 30 Paspor di Kelas Profesor yang terbit tahun 2014 lalu termasuk di deretan buku perjalanan yang saya favoritkan dan sering saya baca ulang (sehingga hapal sebagian besar isi ceritanya). Herannya, kok saya nggak ngeh kalau seri "30 Paspor" ternyata ada versi terbarunya yang terbit di tahun 2017.
Saya baru ngeh saat salah satu toko buku langganan saya menjual buku 30 Paspor The Peacekeepers' Journey ini. Lantas, apa bedanya dengan kedua buku sebelumnya?
Dari segi cerita sih kurang lebih sama. Namun rupanya setelah Prof.Rhenald memberikan tantangan baru kepada mahasiswanya. Yakni, sekarang mereka harus mengunjungi 2 negara sekaligus. Ntah di saat yang bersamaan atau di angkatan selanjutnya, tujuan bepergiannya pun harus punya misi yakni membantu orang lain yang ada di negara tujuan.
Ya misalnya ikutan komunitas melakukan kerja bakti/penggalangan donasi. Atau juga sekadar membantu orang lokal yang punya usaha dan ikutan berperan dalam kegiatan perdagangan mereka.
Ada 33 cerita. Namun sepertinya tidak berasal dari satu angkatan dan kisah yang ada dibuku ini dipilih berdasarkan keunikannya dan kemampuan si penulisnya. Ada cerita yang terasa jauh dari tema besarnya karena nggak fokus membahas "peacekeepers' journey"nya itu namun tetap saja menarik untuk disimak.
Seperti tulisan "Lebih Baik Patah Kaki daripada Patah Hati" yang ditulis Reza Arfirstyo yang kental nuansa romansanya sehingga nggak ada pembahasan soal peacekeepers' journey namun cerita yang ia tulis salah satu yang memorable. Ya, jatuh cinta sama sesama pejalan yang ditemui bagi sebagian orang bisa jadi klasik, namun faktanya memang banyak ditemui di perjalanan hehehe.
Untuk pilihan negaranya juga makin beragam. Akhirnya ada destinasi ke Afrika yang diwakili oleh negara Maroko. Ini perdana sebab belum pernah ada sebelumnya siswa yang ambil negara ke benua Afrika.
Dan ya, tetap keliatan ya, mahasiswa yang pada dasarnya tajir jelas akan memilih negara-negara mahal di benua Eropa dengan segala bentuk fasilitas yang diberikan orang tua. (Sampai ada satu kisah, hotel yang dipesankan orang tuanya ditinggalkan dan dia memilih "minggat" ke hostel demi mencari pengalaman).
Menarik bukunya. Dan selalu bersemangat baca kisah-kisah perjalanan yang mulanya terpaksa karena tugas kuliah namun pada akhirnya emang meninggalkan begitu banyak pembelajaran bagi mereka yang menjalankannya termasuk saya sebagai pembaca.
Kesuksesan program "kesasar" yang pertama kali diinisiasi oleh Prof. Rhenald Kasali melalui kelas Pemasaran Internasionalnya sebelumnya dibukukan ke dalam 2 volume 30 Paspor di Kelas Sang Profesor. Butuh waktu sekiranya tiga tahun untuk mengumpulkan kembali cerita-cerita menarik dari para mahasiswa tersebut sampai akhirnya diterbitkanlah buku 30 Paspor The Peacekeepers' Journey. Dirilis pada 23 Maret 2017, kisah dalam buku ini lebih spesifik.
Untuk kamu yang sedang mempertanyakan eksistensi dirimu, merupakan pilihan yang bagus kalau kamu membaca 30 Paspor The Peacekeepers' Journey. Setidaknya akan timbul dalam diri keinginan supaya lebih berani untuk pergi seorang diri ke negeri orang.
bepergian dengan "paksaan" tantangan yang masuk di dalam kekangan SKS nggak tertebak. 2 negara dan harus melakukan sebuah kebaikan di negeri orang. Perjalanan yang beda banget ama paspor 1 dan 2. Ceritanya lbh rennyah dan nulisnya jg lebih enjoyy.
membuat kita melihat kisah mahasiswa-mahasiswa FE UI yang mencoba berjuang keluar dari zona nyamannya untuk pergi ke luar negri dan belajar secara langsung tentang dunia luar
Ketika membaca judul "Peacekeepers Journey" sebenarnya bayanganku adalah para mahasiswa yang pergi ke luar negeri untuk jadi sukarelawan program PBB di negara-negara miskin, menyelamatkan lingkungan bersama Greenpeace, atau hal-hal besar seperti itu. Ternyata yang dimaksud di sini adalah tugas untuk membantu orang di luar negeri untuk menyampaikan pesan bahwa orang Indonesia itu baik. Membantu apa saja. Range-nya luas. Ada yang menyelamatkan bule Denmark dari penguntit yang sudah melecehkan secara seksual, ada yang memasakkan makanan Indonesia untuk teman-teman sekamar di hostel, ada juga yang membantu di toko-toko milik orang lokal. Jadi, bisa dibilang aku kecele. Tapi itu nggak membuat buku ini jadi nggak menarik.
Sayangnya, tidak semua cerita menyampaikan proyek bantuan apa yang mereka lakukan di luar negeri. Beberapa hanya fokus ke cerita jalan-jalannya aja. Yaaah. Dan sayangnya juga, usaha para mahasiswa untuk bisa mengumpulkan uang untuk bekal perjalanan dan membuat visa tidak diceritakan detail. Ada satu mahasiswa yang sampai bingung gimana caranya dia bisa pergi ke dua negara sesuai tugas. Cerita hanya menyebutkan bahwa dia dipanggil Prof. Rhenald Kasali usai kelas. Tapi tak disebutkan apa pembicaraannya. Tahu-tahu dia diceritakan sudah berangkat ke Thailand dan Jepang. Lah?
Ada dua orang yang menjalankan tugas ini dalam kondisi fisik yang nggak fit. Yang pertama adalah Risma, perempuan berjilbab penderita tumor yang ke Zurich, Swiss. Dan yang kedua adalah Reza. Kaki pemuda ini baru saja patah saat dia memutuskan untuk ke Nepal. Di sana dia sempat jatuh hati pada gadis Vietnam yang menemaninya jalan-jalan selama di sana.
Yang paling menyebalkan di sini adalah kisah tentang Maroko. Entah si penulis sial atau bagaimana, dia dikadali berkali-kali oleh orang lokal. Rasanya orang Maroko di sini buruk sekali. Jika ada orang yang bertanya arah jalan pada mereka, mereka meminta uang 10 dirham. Saat di pasar Fez Medina yang jalannya sungguh ruwet, penulis didatangi lelaki yang ngotot menunjukkan jalan meski ditolak berkali-kali. Lelaki itu bahkan terus membuntuti. Akhirnya penulis mampir ke sebuah toko, membeli sesuatu, dan bertanya arah. Mungkin sudah berkomplot atau bagaimana, si pemilik toko malah meminta lelaki penguntit itu untuk mengantar. Si penulis diajak jalan berputar-putar, sengaja nggak langsung diantar ke arah yang benar. Ketika penulis akan memberinya 50 dirham (dengan terpaksa), orang itu dengan kurang ajarnya malah minta 250 dirham. Bajingan!!! Ketika penulis menolak, orang itu malah memanggil teman-temannya untuk mengepung penulis. Setelah adu urat, baru dia mau pergi dengan membawa 50 dirham.
Lalu orang Maroko digambarkan nggak suka antri dan berani melawan ketika ditegur orang yang lebih tua karena merasa menang jumlah. Katanya lebih parah dari di Indonesia. Yang juga bikin geram adalah ketika penulis ditipu penjual obat di apotek sehingga harus mengeluarkan uang ratusan dirham untuk obat yang harga aslinya cuma 10 dirham. Bangke! Apa budaya Islam di Maroko cuma tempelan?
Menariknya, dua teman penulis malah mendapatkan pengalaman yang lebih positif ketika bertemu orang Maroko di luar negeri. Ada yang ditolong saat bingung cara memesan tiket kereta di stasiun Belgia. Ada juga yang ditraktir penjual kebab setelah selesai membantu di toko. Hmm....
Banyak hal menarik lainnya yang kudapat dari buku ini. Mungkin reviewnya nanti kutambahi setelah aku menelusuri catatan progress bacaku via laptop.
Pergi sendirian? Lumayan sering sih. Ke luar negeri? Alhamdulillah pernah. Nyasar di luar negeri? Pernah, dan gak kapok malah.
Buku 30 paspor bener2 bikin gw nostalgia sama sedikit pengalaman gw yg ga ada apa2nya dibanding mereka. Gw belum pernah bener2 nyasar sendiri dan kenalan sama orang dari lintas negara. Gw orangnya susah banget klo harus kenalan sama orang baru. Sampe gw mikir, itu ngobrolnya gimana klo gabisa bahasa inggris? Tapi gw sadar ketika travelling lo ga perlu takut sama perbedaan, karena akan ada banyak hal gak terduga yang membantu.
Waah jadi pengen travelling sendiri. Mau nantang diri gw untuk lebih bersosialisasi lagi sama banyak orang. Semoga segera terwujud.
Suka dengan beragam kisah di dalamnya Mengunjungi negara lain yang asing, seorang diri dengan pengetahuan minim tentang negara tersebut, metode bertualang semacam ini akan sangat berkesan dan memberi banyak pelajaran serta naluri bertahan secara spontan. Belajar membangun relasi, belajar beradaptasi dan yang pasti membuka wawasan bahwa dunia ini sangat luas dan ada banyak hal yang kita tidak tahu
Kisah para mahasiswa di kelas Pemasaran Internasional FE UI yang diampu Prof. Rhenal Khasali, dimana para mahasiswanya diberi tugas untuk pergi sendirian keluar negeri dan membantu orang disana.
Kisah - kisah menarik & bikin semangat... lumayan banget untuk bacaan ringan
Hanya dengan membacanya saja seperti benar-benar mengalaminya, bagaimana jika benar mengalaminya pasti sangat seru. Buku ini membuat kita tahu tentang dunia dan membuat kita ingin untuk menjelajah dunia walau hanya seorang diri.
"If you want to, you'll find a way. But if you don't want to, you will only find excuses."- Hlm. 161 .
----- Setelah sukses dg edisi 1 dan 2 dari 30 Paspor di Kelas Sang Profesor, J.S. Khairen yg merupakan asdos Prof. Rhenald Kasali kembali menuliskan kumpulan cerita, sekaligus karya ke enamnya. Kali ini dengan tema The Peacekeepers' Journey. Inspirasi cerita & pesan yg tertuang mempunyai kesan penting tersendiri.
Di edisi ke-3 kali ini, J.S. Khairen mencoba melakukan pendekatan lebih intens dg mahasiswa yg menjadi target cerita dalam bukunya ini. Tak dipungkiri, secara pribadi aku semakin tergugah dg edisi kali ini. Bahkan mungkin tak menapikkan, ingin sekali rasanya bisa bebas 'terbang' seperti yg merasakan. Karena bagaimana pun terkadang kita perlu belajar mandiri lewat keadaan, tidak harus selalu dg lingkungan. Satu pilihan terbaik untuk itu dg bepergian, terutama sekali dg 'kesasar' di negeri orang tanpa kenal siapa pun. That's best choice!
----- "Tak banyak orang yg mengerti bahwa keunggulan yg dicapai manusia kelak tak pernah lepas dari seberapa hebat ia terlatih menghadapi kesulitan & tantangan kehidupan."
#ThePeaceKeepersJourney merupakan rangkuman cerita dari para mahasiswa yg berhasil menaklukkan tantangan yg diberikan Dosen di kelasnya. Prof. Renald yg mengasuh mata kuliah tersebut membuat gebrakan pemikiran & ketahanan mental mahasiswanya. Salah satunya dg mengubah pola belajar mereka yg dari tahun ke tahun selalu berkutat pada hal yg sama- memindahkan isi buku ke dlm catatan. Selalu & selalu begitu. Dg tanpa disadari sebenarnya mereka telah terperangkap dlm kenyamanan yg sesungguhnya mencerminkan kemalasan berpikir belaka.
Berangkat dari hal tersebut Prof. Renald berinisiatif mengubah cara pandang, meluaskan pemikiran dan menyiapkan tantangan bagi mahasiswanya. Karena memang, relate dg keadaan sekarang & sudah menjadi rahasia umum bahwa kebanyakan dari kita atau orang-orang tua kita selalu menuntut anak-anaknya untuk meniru, bukan mencipta. Entah itu mulai dari gaya hidup, cara berpikir & bahkan dlm bertindak, semua harus sesuai dg apa yg ia ajarkan, tidak memberi mereka ruang untuk bereksperimen dg hal-hal baru, padahal mereka punya kebebasan & berhak atas itu. Dan di sini, lewat tangan perubahan Prof. Renald mereka akhirnya berkesempatan merasakannya. Bebas sebagai manusia yg mandiri, tidak bergantung pada orang lain & punya keleluasaan untuk mengekspresikan dirinya.
----- Trilogi #30Paspor ini bisa dibilang non-fiksi terbaik yg berhasil aku tamatkan. Beragam petualangan seru ada di sini. Dikejar-kejar orang asing, kehilangan koper, bahkan salah seorang diantaranya hampir dirampok. Berbekal teri kacang sebagai alat diplomasi, hingga tak sengaja ditemani artis terkenal di sebuah negara & lain sebagainya, semua mewarnai suka duka perjalanan mereka. Berkali-kali terharu menyimak rangkaian cerita mereka dan sedikit banyak buku ini sukses membuat aku merenung akan kehidupanku sendiri saat ini. Full inspiration. Really!
Bagi kalian yg ingin menemukan jati diri & memotivasi banyak orang lewat buku, saranku gunakan seri #30Paspor ini!
Untuk Da Jomb. Terima kasih banyak telah bersedia merangkum cerita mereka dalam buku keren ini. Ditunggu karya berikutnya.
Sama seperti buku sebelumnya, bercerita mengenai perjalanan "kesasar" para mahasiswa Pak Renald. Namun kali ini lebih seru karena adanya misi harus berinteraksi dan membantu orang di negara yang dikunjunginya. Saat membaca, saya merasa tertantang untuk melakukan hal yang sama tentunya
Buku ini rekommended dibaca ketika travelling atau yang ingin travelling