Jump to ratings and reviews
Rate this book

Selamat Menunaikan Ibadah Puisi: Sehimpun Puisi Pilihan

Rate this book
Dari kamar mandi yang jauh dan sunyi saya ucapkan Selamat Menunaikan Ibadah Puisi.
*
Sabda sudah menjadi saya.
Saya akan dipecah-pecah menjadi ribuan kata dan suara.
*
Tubuhku kenangan yang sedang menyembuhkan lukanya sendiri.
*
Menggigil adalah menghafal rute menuju ibu kota tubuhmu.
*
Lupa: mata waktu yang tidur sementara.
*
Tuhan yang merdu, terimalah kicau burung dalam kepalaku.
*
Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma

260 pages, Paperback

First published June 1, 2016

89 people are currently reading
979 people want to read

About the author

Joko Pinurbo

42 books361 followers
Joko Pinurbo (jokpin) lahir 11 Mei 1962. Lulus dari Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Sanata Dharma Yogyakarta (1987). Kemudian mengajar di alma maternya. Sejak 1992 bekerja di Kelompok Gramedia. Gemar mengarang puisi sejak di Sekolah Menengah Atas. Buku kumpulan puisi pertamanya, Celana (1999), memperoleh Hadiah Sastra Lontar 2001; buku puisi ini kemudian terbit dalam bahasa Inggris dengan judul Trouser Doll (2002). Ia juga menerima Sih Award 2001 untuk puisi Celana 1-Celana 2-Celana 3. Buku puisinya Di Bawah Kibaran Sarung (2001) mendapat Penghargaan Sastra Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional 2002. Sebelumnya ia dinyatakan sebagai Tokoh Sastra Pilihan Tempo 2001. Tahun 2005 ia menerima Khatulistiwa Literary Award untuk antologi puisi Kekasihku (2004). Buku puisinya yang lain: Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003), Pacar Senja (2005), Kepada Cium (2007), dan Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung (2007). Selain ke bahasa Inggris, sejumlah sajaknya diterjemahkan ke bahasa Jerman. Sering diundang baca puisi di berbagai forum sastra, antara lain Festival Sastra Winternachten di Belanda (2002). Oleh pianis dan komponis Ananda Sukarlan sejumlah sajaknya digubah menjadi komposisi musik.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
261 (34%)
4 stars
328 (43%)
3 stars
142 (18%)
2 stars
18 (2%)
1 star
7 (<1%)
Displaying 1 - 30 of 115 reviews
Profile Image for Arief Bakhtiar D..
134 reviews82 followers
March 13, 2020
JOKO PINURBO DAN PECAHAN HIDUP SEHARI-HARI

JIKA hidup sehari-hari ingin memecah diri menjadi puisi, mereka akan memilih Joko Pinurbo sebagai penggubahnya. Itulah yang mungkin terjadi ketika kita membaca puisi-puisi pilihan dalam buku Selamat Menunaikan Ibadah Puisi karangan Joko Pinurbo.

Kita akan menemukan dengan mudah pada sajak-sajaknya keberanian menggunakan kata-kata dari bahasa percakapan sehari-hari, seperti "duh", "ya", "kok", "Ah", "Hai", "Ha-ha-ha...", "Maaasss...", "pangling", sampai bahasa umpatan seperti "Asu lu!". Tidak cukup sekali Joko Pinurbo bereksperimen melalui kosa kata benda atau suasana yang akrab dengan keseharian kita di rumah, menjadikannya sebagai obyek untuk suatu persoalan atau perumpamaan dalam puisi, seperti kulkas (dalam sajak Di Kulkas, Namamu dan Bayi di dalam Kulkas), celana (Celana, 1; Celana, 2; Celana, 3), ranjang (Keranda, Daerah Terlarang, Tahanan Ranjang, Ranjang Ibu), mandi (Di Sebuah Mandi, Mei, Antar Aku ke Kamar Mandi, Di Tengah Perjalanan, dan Atau), jendela (Jendela), serta penggambaran suasana rumah yang terbentuk dari "ranjang bobrok, onggokan popok, bau ompol, jerit tangis berkepanjangan, dan tumpukan mainan yang tinggal rongsokan" (Pertemuan).

Tak cukup di situ, dalam puisi-puisinya, Joko Pinurbo menjadikan hidup sehari-hari rakyat biasa sebagai pokok soal utama. Misalkan soal naik bus di Jakarta:

Sopirnya sepuluh,
kernetnya sepuluh,
kondekturnya sepuluh,
pengawalnya sepuluh,
perampoknya sepuluh.
Penumpangnya satu, kurus,
dari tadi tidur melulu;
kusut matanya, kerut keningnya
seperti gambar peta yang ruwet sekali.
Sampai di terminal kondektur minta ongkos:
"Sialan, belum bayar sudah mati!"


Puisi Naik Bus di Jakarta yang ditulis pada tahun 1999 di atas seperti puisi yang berupaya melampiaskan kesialan-kesialan dalam keseharian hidup tokoh-tokohnya. Pada tahun-tahun itu, bus & terminal masih sering kalah pamor sebagai sarana transportasi, dan lebih populer sebagai sarang pencopet. Sopir, kernet, kondektur, adalah golongan orang-orang susah yang mencari nafkah. Perampok yang berjumlah sepuluh di situ tak lain gambaran betapa sulitnya hidup di jalan yang benar setelah krisis 1998. Tahun-tahun yang sulit itu bahkan membuat si kondektur tak bersimpati atas kematian seseorang seperti yang sepatutnya dilakukan jika kita mengetahui kabar duka. Ongkos satu orang (yang, secara hiperbolis, masih dibagi sepuluh-sepuluh) begitu berarti buat hidup. Penumpangnya, yang ternyata mati, dikaitkan dengan kosa kata "kurus", "kusut", "kerut", dan "ruwet"; seperti gambaran rakyat kecil kebanyakan yang punya banyak masalah.

Barangkali bisa kita katakan, sajak itu menceritakan kumpulan orang-orang yang memiliki deritanya masing-masing yang pada akhirnya bertemu di satu titik.

●●●
Tokoh-tokoh yang kesusahan pada sajak Naik Bus di Jakarta tak sendirian. Tokoh dalam sajak Di Bawah Kibasan Sarung, yang ditulis di tahun yang sama dengan Naik Bus di Jakarta, adalah tokoh yang mirip-mirip: seseorang telah mengibarkan sarung sambil berseru "Hidup orang miskin!". Ada nada pemberontakan di situ. Pemberontakan untuk menikmati hidup di antara "penyakit, onggokan sampah, sumpah serapah, anjing kawin, maling mabuk, piring pecah, tikus ngamuk". Pemberontakan untuk terus berkata rumahku, meski kumuh dan kecil dan terpencil, "adalah istanaku". Pemberontakan untuk terus mendengarkan suara batuk (yang mungkin akibat lingkungan yang kurang higienis atau gizi makanan yang buruk) sebagai suatu simfoni merdu yang dimainkan dari sebuah piano tua.

Agaknya dengan begitu Joko Pinurbo berusaha mendekatkan pembacanya pada gelora hidup masyarakat bawah yang terpinggirkan dari ketenaran dan hingar bingar.

Sajak-sajak yang dimasukkan dalam buku Selamat Menunaikan Ibadah Puisi adalah sajak yang tak berhenti untuk memikirkan peristiwa suka dan duka di antara lorong perjalanan para penjual akik dan obat kuat (Sepasang Tamu), pedagang buah keliling (Penjual Buah), perajin topeng di desa (Topeng Bayi untuk Zela), orang yang kepengin punya rumah (Rumah Kontrakan, Penyair Kecil, dan Cita-cita), tukang becak (Penumpang Terakhir, Malam Suradal, Himne Becak), penjual kalender (Penjual Kalender), tukang jaga dan peronda (Penjaga Malam, Dua Orang Peronda, Aku Tidak Pergi Ronda Malam Ini), tukang bakso keliling (Penjual Bakso), tukang ojek (Dengan Kata Lain), anak sekolah dan sepenggal cinta monyet (Liburan Sekolah), serta tukang foto keliling (Tukang Potret Keliling).

Jika puisi dilihat sebagai saluran kritik sosial, Joko Pinurbo barangkali telah menunjukkannya pada kita. Gagasan menjadi penting di sini. Dalam sajak-sajaknya ia tak cuma merekam suatu cerita sedih, tetapi juga sekaligus menunjukkan cara para tokohnya, yang kebanyakan masyarakat kelas kecil, untuk bertahan dan menikmati hidupnya. Misalnya, kalau kita ambil contoh Naik Bus di Jakarta, dengan mengumpat. Atau dalam Penjual Buah, ketika Pak Adam merespon ibu-ibu dengan sedikit menggoda, "Aduh, kok pisang lagi yang diminta?".

Dari situ kita tahu bahwa kadang Joko Pinurbo mengajak kita, para pembaca, untuk melihat sudut pandang yang tak cuma muram. Contoh lain adalah sajak Sepasang Tamu atau Dengan Kata Lain. Kita bisa tersenyum di situ. Saya kutip sebagian:

Tiba di stasiun kereta, aku langsung
cari ojek. Entah nasib baik, entah nasib buruk,
aku mendapat tukang ojek yang, astaga,
guru Sejarah-ku dulu. "Wah, juragan
dari Jakarta pulang kampung," beliau menyapa.
Aku jadi malu dan salah tingkah. "Bapak
tidak berkeberatan mengantar saya ke rumah?"

Nyaman sekali rasanya diantar pulang
Pak Guru sampai tak terasa ojek sudah
berhenti di depan rumah. Ah, aku ingin kasih
bayaran yang mengejutkan. Dasar sial,
belum sempat kubuka dompet, beliau sudah
lebih dulu permisi lantas melesat begitu saja.


Kita bisa seperti sang narator di awal sajak: menganggap seorang guru yang berubah haluan menjadi tukang ojek sebagai sebuah "astaga". Tapi ketika tukang ojek itu pergi begitu saja sebelum sempat dibayar, pada akhirnya kita digiring untuk setuju dengan kalimat terakhir yang mungkin merupakan inti makna sajak itu: "Dengan kata lain, kamu tak akan pernah bisa membayar gurumu."

Saya kira yang mengejutkan dari puisi-puisi Joko Pinurbo tak melulu gaya bahasa dalam kalimat, tapi juga bagaimana ia mengakhiri cerita (yang berbentuk puisi) itu sendiri.

●●●
Memang, Joko Pinurbo kerap kali terlampau santai untuk sajak yang sepertinya serius. Hal ini bisa kita lihat terutama pada sajak-sajak yang secara isi tarik-menarik dengan sifat naratif dalam cerita pendek. Soal celana, misalnya. Pada sajak Celana, 3, Joko Pinurbo menyajakkan cerita seorang pria yang bangga bukan main karena berhasil mendapatkan celana yang diidam-idamkan: celana "asli buatan Amerika". Tapi kekasihnya, seorang yang perempuan yang menunggu di pojok kuburan, rupanya lebih peduli pada apa yang ada di dalam celana. Ia lantas membuang celananya, dan di saat itulah ia "mendapatkan/ burung yang selama ini dikurungnya/ sudah kabur entah ke mana".

Agaknya ada persoalan yang lebih serius tentang celana dan burung daripada sekedar hilangnya burung di dalam celana. Saya tak ingin membahas maknanya terlalu dalam di sini. Saya hanya ingin mengatakan bahwa sajak-sajak Joko Pinurbo punya tendensi untuk menyatukan yang tabu dengan yang lucu, juga yang barangkali serius di situ.

Satu contoh lain adalah sajak Pembangkang yang ditulis tahun 2007:

Ia termenung sendirian di gardu gelap di ujung jalan.
Tidak jelas, ia peronda yang kesepian
atau pencuri yang kebingungan.
Dari arah belakang muncul seorang pengarang
yang kehilangan jejak tokoh cerita
yang belum selesai ditulisnya.
"Kucari-cari dari tadi, ternyata sedang
melamun di sini. Ayo pulang!"
Daripada harus pulang, ia pilih lari ke seberang.


Sajak itu memiliki judul yang sangat serius: pembangkang. Juga saya kira makna yang sangat dalam: di sini Joko Pinurbo melihat dirinya yang penyair sebagai "peternak" kata-kata daripada "arsitek" kata-kata. Ia merangkai atau menyusun kata, tapi juga merawat kata: dengan jalan membebaskan. Ia seorang peternak kata yang merelakan puisinya pergi, berjalan sesuai kodrat pikiran pembacanya, meskipun itu berarti berseberangan dari maksud si penyair. Ia pernah menulis: "Nama saya akan dihapus oleh sajak-sajak saya." Tapi, toh, saat kita membaca sajak Pembangkang, kita lebih akan tertawa daripada tegang membayangkan kemungkinan perkelahian atau pertumpahan darah.

Atau mungkin memang kita tak perlu selalu serius. Misalkan kalau kita lihat Aku Tidak Pergi Ronda Malam Ini:

Aku doakan semoga aman-aman saja.
Kalau nanti bertemu maling,
ajak dia ke rumahku.
Hasil curiannya bisa kita bagi bertiga.


Sajak di atas, juga antara lain sajak Asu dan Mendengar Bunyi Kentut Tengah Malam, memperlihatkan gaya Joko Pinurbo yang cenderung rileks dengan kata, bahasa, dan puisi. Tidak ada soal yang terlalu serius di situ―kita sepertinya hanya perlu menyediakan diri untuk tertawa.

Maka, sampai di situ, mungkin kita bisa mengatakan bahwa sajak-sajak Joko Pinurbo adalah angin segar untuk dunia puisi yang penuh metafor dan kerumitan bahasa; dan mungkin karena itu saya akan selalu menyediakan diri untuk membacanya.
Profile Image for Iman Danial Hakim.
Author 9 books384 followers
January 27, 2018
Jokpin menggunakan bahasa percakapan seharian di dalam puisinya. Beliau mengambil hujan, orang tua, masa, senja, darah, tubuh, kamar mandi, jenazah, celana dan objek-objek yang kurang diberi perhatian sebagai subjek puisi.

Membaca dialog yang dimasukkan ke dalam puisi kadang menyebabkan kita lupa; Aku sedang membaca cerpen atau sajak? Cerita-puisinya lengkap dengan pengenalan, perkembangan, konflik dan peleraian (seperti plot cerpen/novel)
Profile Image for Dion Yulianto.
Author 24 books196 followers
February 27, 2017
Membaca puisi-puisi Jok Pin adalah membaca keistimewaan dalam kesederhanaan. Tanpa kata-kata tinggi yang tak tersentuh awam, Jok Pin selalu berhasil membuai pembaca lewat puisi-puisinya yang bercerita. Ini masih ditambah dengan permainan bunyi-bunyian dalam kata-kata pilihan, menjadikan deretan kata-kata biasa terasa lebih istimewa lewat puisi-puisinya. Kelebihan ini masih ditambah dengan ending yang seperti mempermainkan pembaca, tetapi dengan cara yang menyenangkan. Rasanya, selalu ada yang layak ditunggu di bagian penghujung puisi-puisinya. Sambil menikmatinya pelan-pelan, membaca puisi-puisi di buku ini adalah hiburan yang menyenangkan, sama sekali tidak memberatkan. Jika pun ada beberapa puisi di buku ini yang terlampau panjang sehingga menjenuhkan, atau sedikit berisi sehingga memusingkan, cukup dinikmati dulu saja. Semoga selalu masih ada nanti ketika kita bisa menenggoknya kembali.

Masa kecil kaurayakan dengan membaca,
Kapalamu berambutkan kata-kata
Pernah aku bertanya, "Kenapa waktumu
kausia-siakan dengan membaca?" Kaujawab ringan.
"Karena aku ingin belajar membaca sebutir kata
yang memecahkan diri menjadi tetes air hujan
yang tak terhingga banyaknya."

Kau memang suka menyimak hujan.
Bahkan dalam kepalamu ada hujan
yang meracau sepanjang malam

Itulah sebabnya, kalau aku pergi belanja
dan bertanya minta oleh-oleh apa, kau cuma bilang
"Kasih saja saya beragam bacaan, yang serius
maupun yang ringan. Jangan bawakan saya
rencana-rencana besar masa depan.
Jangan bawakan saya kecemasan."


(Surat Malam untuk Paska)



Indah ya.
Profile Image for Utha.
824 reviews399 followers
July 5, 2016
Di Atas Meja

Di atas meja kecil ini
masih tercium harum darahmu
di halaman-halaman buku.

Sabda sudah menjadi saya.
Saya akan dipecah-pecah
menjadi ribuan kata dan suara.

(1990)
Profile Image for hans.
1,157 reviews152 followers
February 6, 2017
Poetically spooky, oh can i say this? Jokpin is so much Jokpin-- hal kuburan, perihal jenazah, ranjang yang terbakar, malam yang larut dan kamar mandi yang menakutkan. Ini kumpulan puisinya dari awal tahun 1989 ke tahun 2012. Beberapa sudahpun saya baca di buku-buku puisi Jokpin yang lain. Masih belum puas, masih juga tidak bosan.

Ia seperti melihat perkembangan puisi seorang tukang puisi. Kisah-kisah pendek yang menyamar dalam bait-bait puisi. Satu-satu aksara dalam kisah-kisah seharian, merumpun ke perenggan-perenggan yang bernafas dalam satu harmoni. Kias bahasa Jokpin sentiasa membuat saya terkagum-kagum.

"Seperti dua koma bertangkupan.
Dua koma dari dua kamus yang berbeda
dan tanpa janji bertemu di sebuah puisi."

"Begitu simpel dan sederhana sampai aku tak tahu
butiran waktu sedang meleleh dari mataku."

Banyak sekali kegemaran saya -- "Penumpang Terakhir", "Selamat Ulangtahun, Buku", "Harga Duit Turun Lagi", puisi-puisi "Celana", "Kamar Nomor 1105", "Lupa" dan juga beberapa yang lain. Jokpin begitu senang sekali mengambil hati saya. Cerita puisinya sentiasa buat saya termenung-menung sendiri.

"Tuhan yang merdu, terimalah kicau burung dalam kepalaku."

Kegemaran!
Profile Image for Arif Syahertian.
76 reviews5 followers
July 12, 2021
Lega dan puas rasanya seperti, meminjam sebaris puisi Joko Pinurbo dalam buku ini, "pisau yang dicabut pelan-pelan dari cengkeraman luka".

Cukup tebal bukunya. Saya akan selipkan salah satu puisinya yang, bagi saya, sangat menyentuh.

BUNGA KUBURAN

Gadis kecil itu suka sekali memetik mawar putih
dari kuburan, kemudian menanamnya di ranjang.
“Bunga ini, Bu, akan kuncup dalam tidurku.”

Ibunya sangat sedih setiap melihat bunga itu mekar
di ranjang dan harumnya memenuhi ruangan.
“Trauma, anakku, menjulurkan wajahnya
lewat bunga indah itu.”
Ia lalu mencabutnya dan membuangnya ke halaman.

Gadis kecil itu menangis tersedu-sedu;
ia sangat mencintai bunga itu sebab, “Bunga ini
secantik Ibu.” Ia tidak tahu bahwa ibunya
sangat membenci kuburan itu.

Kuburan itu terletak agak jauh di luar desa, disediakan
khusus untuk mengubur mayat para penjahat.

Dulu pernah datang seorang petualang,
menyatakan cintanya, kemudian memperkosanya.
Suatu hari petualang itu datang lagi,
diringkus dan dikalahkannya.

Gadis kecil itu suka sekali memetik mawar putih
dari kuburan dan ibunya tidak sampai hati
mengatakan, “Buah hatiku, sesungguhnya kau
anak si pemerkosa itu.”

(2002)

Sekian. Seorang gadis yang tetap punya ikatan dengan ayahnya meski ia tak mengetahuinya. Ada sesuatu yang menarik dan cantik pada mawar putih itu. Saya jadi bertanya-tanya. Saat petualang itu datang lagi, apakah kedatangannya untuk meminta maaf pada ibu gadis itu? Ataukah, saking bencinya pada petualang itu, saat melihat kedatangannya, tanpa berpikir panjang sang ibu mulai meringkus dan mengalahkannya?

-A.S.
Profile Image for Pauline Destinugrainy.
Author 1 book265 followers
August 1, 2017
Dalam buku ini ada lebih banyak puisi, namanya juga lagi beribadah. Jadinya mereka berkumpul menjadi satu. Ada beberapa puisi yang pernah saya baca. Rangkaian kalimat yang disusun oleh Joko Pinurbo memang selalu menghanyutkan.
Profile Image for Teguh.
Author 10 books335 followers
July 16, 2016
Buku ini adalah kumpulan puisi-puisi Jokpin yang dipilih dari beberapa buku puisi terdahulu. Sangat terasa perubahan dari masa-masa kepenulisan Jokpin. Celana dan hal-hal sepele memang mendominasi buku puisi ini. Tapi sepertinya puisi Celana Ibu, Asu akan tetap dibicarakan karena hal-hal lucu, dan yang tak ditemukan oleh penyair lain....

Buku puisi keren!
Profile Image for Biondy.
Author 9 books234 followers
October 6, 2017
Ampun, saya mulai baca di Agustus 2016 dan baru selesai di Oktober 2017.

Buku yang berisi kumpulan puisinya Joko Pinurbo dari tahun 1989 sampai 2012. Di sini pembaca bisa melihat evolusi tema tulisan Jokpin. Mulai dari tubuh, celana, bulan, hujan, hingga permainan kata.
Profile Image for Santi S. Aisyah.
96 reviews4 followers
December 22, 2018
I've finally finished reading this book.. it took so long, but it doesn't mean i don't like it or it's bad. It's just the book needs to be read in your leisure time, since it mixes up the way you think and how you feel.. i think i need to meet the author in the real life 🙂
Profile Image for Widia Kharis.
47 reviews
April 28, 2019
celana, kamar mandi, becak, anjing, jenazah, hujan, ibu, waktu... hal-hal sederhana yang oleh jokpin disulap menjadi puisi dengan demikian indah. suka sekali!
Profile Image for Daniel.
1,179 reviews852 followers
April 13, 2020
Joko Pinurbo
Selamat Menunaikan Ibadah Puisi: Sehimpun Puisi Pilihan
Gramedia Pustaka Utama
260 halaman
8.0
Profile Image for Astrid.
30 reviews5 followers
August 22, 2020
Puisi-puisi dari pak Jokpin ini nggak pernah mengecewakan. Saya selalu dibuat terkagum-kagum, jadi sulit untuk tidak menyukai karya-karyanya.
Karyanya selalu mudah untuk disukai karena ia memilih diksi-diksi yang sederhana namun tetap saja melalui puisinya ia selalu berhasil menyampaikan makna-makna.
Karena diksi yang ia gunakan sederhana, pembaca jadi bisa lebih leluasa untuk menginterpretasikannya, sehingga pembaca bisa meresapi maknanya dengan baik.
Ditambah lagi, puisi-puisinya nggak monoton. Topiknya beragam, dan sangat berkaitan dengan keseharian.

Di dalam buku puisinya yang ini, ada banyak sekali topik diangkat. Meskipun beberapa puisi di halaman awal nggak termasuk selera saya, puisi-puisi di halaman selanjutnya adalah penyebab kenapa saya nggak ragu untuk memberi bintang lima.

Oh iya, kalau ditanya bagian mana dari buku ini yang menjadi kesukaan saya sebenarnya banyak sekali, tapi yang paling berkesan menurut saya adalah puisi “Baju bulan”, “Harga duit turun lagi”, dan “Cita-cita”.
Profile Image for Nike Andaru.
1,636 reviews111 followers
January 23, 2019
30 - 2019

Buku puisi ke 7 dari Joko Pinurbo yang saya baca bulan ini.
Tapi dalam buku ini banyak puisi sudah saya baca di buku lainnya. Walau begitu tetap menarik sih dibaca, tetap masih enak dinikmati.
Favorit saya berjudul Selamat Ulang Tahun, Buku dan Liburan Sekolah.
Profile Image for zaawithbooks.
57 reviews6 followers
March 27, 2022
Kumpulan puisinya sangat banyak, dan diksinya sangat bagus. Beberapa puisi sepertinya kurang pantas kalau dibaca oleh usia 18 tahun ke bawah, karena penggunaan katanya terlalu mencolok dan dewasa.

Puisi favoritku terlalu banyak, hahaha. Aku bahkan menandakan banyak bookmark, padahal ujung-ujungnya bukunya akan kukembalikan karena bacanya lewat ipusnas 😅
Profile Image for MAILA.
481 reviews121 followers
February 10, 2017
tubuh pinjaman

tubuh
yang mulai akrab
dengan saya ini
sebenarnya mayat
yang saya pinjam
dari seorang korban tak dikenal
yang tergeletak di pinggir jalan
Pada mulanya ia curiga
dan saya juga kurang berselera
karena ukuran dan modelnya
kurang pas untuk saya
Tapi lama-lama kami bisa saling
menyesuaikan diri dan dapat memahami
kekurangan serta kelebihan kami
sampai sekarang belum ada
yang mencari-cari dan memintanya
kecuali seorang petugas yang menanyakan status
ideologi, agama dan harta kekayaan

Tubuh yang mulai manja
dengan saya ini
saya pinjam dari seorang bayi
yang dibuang di sebuah halte
oleh perempuan yang melahirkannya
dan tidak jelas siapa ayahnya
Saya berusaha merawat dan membesarkan
anak ini dengan kasih sayang dan kemiskinan
yang berlimpah-limpah sampai ia
tumbuh dewasa dan mulai berani
menentukan sendiri jalan hidupnya.
Sampai sekarang belum ada yang mengaku
sebagai ibu dan bapaknya kecuali seorang petugas
yang menanyakan asal-usul dan silsilah keluarganya

tubuh
yang kadang saya banggakan
dan sering saya lecehkan ini
memang cuma pinjaman yang sewaktu-waktu
harus saya kembalikan tanpa merasa rugi
dan kehilangan. pada saatnya saya harus ikhlas
menyerahkannya kepada seseorang yang mengaku
sebagai keluarga atau kerabatnya atau yang merasa
telah melahirkannya tanpa minta balas jasa
atas segala jerih payah dan pengorbanan

tubuh,
pergilah dengan damai
kalau kau tak tenteram lagi
tinggal di aku. pergilah dengan santa
saat aku sedang mencintaimu

(1999)

salah satu puisi di buku ini yang terdapat di halaman 32. Suka. bikin saya nangis dan entah mengapa bikin inget ibu.

buku ini berisi 121 puisi pilihan dari JokPin dari tahun 1989-2012. puisi-puisi di buku ini kalau tidak salah artikan, banyak berisi tentang cerita cinta. baik kepada tuhan, pasangan, keluarga dan benda-benda tak hidup namun seolah hidup dan memiliki nyawa.

satu hal yang saya sadari adalah, di buku ini kamu akan banyak sekali menemukan kata kamar mandi, celana, tenggelam, tubuh dan mata.

saya suka sih. kebetulan saya juga tidak pernah menganggap remeh sebuah kamar mandi. buat saya, tempat kesukaan pertama saya dari sebuah rumah adalah kamar mandi-baru setelah itu kamar saya dan kamar nenek saya. baru ruang tamu dan dapur.

kalau ke rumah orang, yang pertama saya lihat juga kamar mandi dan halamannya. i judge a home based their bathroom (bener gak tulisannya wq).

biar katanya di kamar mandi banyak setan dll, tapi saya selalu menemukan ''keindahan'' dan ''telur'' tersendiri di kamar mandi; seperti yang Joko Pinurbo tulis di salah satu puisi miliknya.

Selain perihal cinta, banyak juga puisi bertema jenaka di buku ini. saya suka pengemasan dan pemilihan tata letak puisi pilihan ini. Misal, di halaman 3 kamu bersedih dan merasa miris membaca puisi yang ada. sampai halaman 5, tiba-tiba kamu akan disajikan dengan puisi jenaka yang sejenak membuatmu lupa akan kesedihan sebelumnya.

pola ini berlanjut terus menerus dan benar-benar bisa membawa perasaanmu naik-turun bila kamu bisa menikmati buku ini dengan baik. sudah lama sekali rasanya saya tidak merasakan perasaan seperti ini ketika membaca sebuah buku. apalagi membaca sebuah buku puisi.

Sampul dan judul buku ini juga menarik. sangat layak untuk dikoleksi dan mungkin dibaca bersama kekasih; untuk menunaikan ibadah puisi dan berpetualang tersesat di toilet yang dipenuhi tubuh-tubuh tanpa celana juga dilirik oleh mata-mata yang terus memandang diri kita.

salah satu puisi lain yang menjadi kesukaan saya;

Penumpang terakhir (untuk Joni Ariadinata)

setiap pulang kampung, aku selalu
menemui bang becak yang mangkal di bawah
pohon beringin itu dan memintanya mengantarkanku
ke tempat-tempat yang aku suka. entah mengapa
aku sering kangen dengan becaknya. mungkin
karena genjotannya enak, lancar pula lajunya.

malam itu aku minta diantar ke sebuah kuburan
aku akan menabur kembang di atas makam
nenek moyang. kuburan itu cukup jauh jaraknya
dan aku khawatir bang becak akan kecapaian,
tapi orang tua itu bilang ''tenang, tenang''

sepanjang perjalanan bang becak tak henti-hentinya
bercerita tentang anak-anaknya yang pergi
merantau ke Jakarta dan mereka sekarang
alhamdulillah sudah jadi orang. mereka sangat sibuk
dicari uang dan hanya sesekali pulang.
kalaupun pulang, belum tentu mereka sempat tidur
di rumah karena repot mencari ini itu, termasuk
mencari utang buat ongkos pulang ke perantauan.

baru separuh jalan, napas bang becak sudah
ngos-ngosan, batuknya mengamuk,
pandang matanya berkunang-kunang, aduh kasihan.
''biar gantian saya yang menggenjot, pak. bapak
duduk manis saja, pura-pura jadi penumpang''

mati-matian aku mengayuh becak tua itu
menuju kuburan, sementara si abang becak
tertidur nyaman, bahkan mungkin bermimpi
di dalam becaknya sendiri

sampai di kuburan aku berseu, ''bangun dong, pak!''
tapi tuan penumpang diam saja, malah makin pulas
tidurnya. aku tak tahu apakah bunga yang kubawa
akan kutaburkan di atas makam nenek moyangku
atau di atas tubuh bang becak yang kesepian itu.

(2002)


jadi ingin membaca karya beliau yang lain.
Profile Image for Ratih.
209 reviews17 followers
May 11, 2018
pak jokpin nih selera humornya edun ya, aku bacanya sambil ketawa2 mulu :DDD
Profile Image for Nura.
1,056 reviews30 followers
February 10, 2018
My fave is

Gambar Hati versi Penyair

Seperti dua koma bertangkupan.
Dua koma dari dua kamus yang berbeda
dan tanpa janji bertemu di sebuah puisi.

(2007)


#courtesy of iPusnas
Profile Image for jessie.
167 reviews9 followers
October 5, 2016
Jika puisi-puisi Sapardi banyak yang berkaca dengan alam, Jokpin berkaca pada aktifitas atau hidup sehari-hari. Kata-kata benda yang banyak bertebaran di puisi-puisi Jokpin antara lain: celana, ranjang, ayah, ibu, baju, rumah, gadis, keranda, asu.

Oya, biasanya pada saat Paskah, saya sering menerima salah satu penggalan puisi Jokpin yang berjudul: "Celana Ibu". Tapi sesungguhnya, puisi Jokpin yang paling menohok saya adalah yang berjudul: "Di Perjamuan".

Begini bunyinya:
Aku tak akan minta anggur darahMu lagi.
Yang tahun lalu saja belum habis,
masih tersimpan di kulkas.
Maaf, aku sering lupa meminumnya,
kadang bahkan lupa rasanya.
Aku belum bisa menjadi pemabuk
yang baik dan benar, Sayang
Profile Image for Gloria Fransisca Katharina.
207 reviews6 followers
August 11, 2016
Masa kecil kau rayakan dengan membaca.

Kepalamu berambutkan kata-kata.

Pernah aku bertanya, “Kenapa waktumu kau sia-siakan dengan membaca?”

Kau jawab ringan, “Karena aku ingin belajar membaca sebutir kata yang memecahkan diri menjadi tetes air hujan yang tak terhingga banyaknya.”
Profile Image for Isabelle.
37 reviews1 follower
September 12, 2024
Judul (Tahun Terbit): Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016)
Penulis: Joko Pinurbo
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Edisi: Cetakan Ke-7, November 2022

Selamat Menunaikan Ibadah Puisi menjadi karya Joko Pinurbo pertama yang saya baca. Saya harus berterima kasih kepada Mbak Najwa Shihab yang pernah menyebutkan nama Beliau di salah satu wawancara, menyebutkan bahwa karya Jokpin adalah puisi menarik dan ringan yang cocok menjadi bacaan malam sebelum istirahat. Saya memang memiliki kegemaran membaca puisi, tapi biasanya dalam Bahasa Inggris. Buku kumpulan puisi ini adalah sebuah awal yang meyakinkan saya untuk mulai membaca karya puisi pujangga Tanah Air yang lain.

Dalam puisi-puisinya, Jokpin menulis hal-hal menakutkan seperti kematian dan "gelapnya kamar mandi tengah malam" dengan jenaka. Tapi jujur saja, beberapa puisi yang mengandung unsur kamar mandi selalu membuat merinding karena permainan katanya yang aneh tapi unik. Berbicara soal kematian, Jokpin juga menyinggung hal ini beberapa kali dengan cara yang mengharukan daripada menakutkan. Beberapa puisi tentang kematian dan kehilangan ditulis dengan indah dan mengundang air mata untuk turut hadir dalam proses membaca.

Tapi harus diakui bahwa seperti karya seni pada umumnya, puisi Jokpin dapat diinterpretasikan dengan liar dan absurd. Cukup sulit bagi saya untuk memahami beberapa judul puisi dan prosa di buku ini, membuat saya merasa tertarik untuk mengetahui proses pemikiran ketika puisi-puisi tersebut ditulis. Jika menemukan yang sulit dinalar seperti itu, saya akan memilih untuk mengagumi sejenak seperti mengagumi lukisan abstrak di dinding-dinding galeri seni modern.

Penuturan dan pembahasan Jokpin sungguh biasa saja, dalam artian sungguh sederhana dan mudah diikuti. Tidak ada kata-kata rumit yang mengharuskan saya membuka KBBI Online. Jokpin lebih sering bermain dengan kata-kata, memutar, mengulang, dan menekankan pada objek nyeleneh.

Judul favorit saya adalah Kunang-Kunang, karena sebuah lagu pengiring kematian yang beberapa bulan belakangan sering saya putar di Spotify, disebutkan dalam puisi ini.

Ketika kecil ia sering diajak ayahnya bergadang
di bawah pohon cemara di atas bukit. Ayahnya
senang sekali menggendongnya menyeberangi sungai,
menyusuri jalan setapak berkelok-kelok dan menanjak.
Sampai di puncak, mereka membuat unggun api,
berdiang, menemani malam, menjaring sepi. Ia sangat
girang melihat kunang-kunang berpendaran.

“Kunang-kunang itu artinya apa, Yah?”
“Kunang-kunang itu artinya kenang-kenang.”
Ia terbengong, tidak paham bahwa ayahnya sedang
mengajarinya bermain kata.

Bila ia sudah terkantuk-kantuk, si ayah segera
mengajaknya pulang, dan sebelum sampai di rumah,
ia sudah terlelap di gendongan. Ayahnya
menelentangkannya di atas amben, lalu menaruh
seekor kunang-kunang di atas keningnya.

Saat ia pamit pergi mengembara, ayahnya membekalinya
dengan sebutir kenang-kenang dalam botol.
“Pandanglah dengan mesra kenang-kenang ini saat kau
sedang gelap atau mati kata, maka kunang-kunang
akan datang memberimu cahaya.”

Kini ayahnya sudah ringkih dan renta.
“Aku ingin ke bukit melihat kunang-kunang. Bisakah
kau mengantarku ke sana?” pintanya.

Malam-malam ia menggendong ayahnya menyusuri
jalan setapak menuju bukit.
“Apakah pohon cemara itu masih ada, Yah?”
tanyanya sambil terengah-engah.
“Masih. Kadang ia menanyakan kau dan kukatakan
saja: Oh, dia sudah jadi pemain kata.”

“Nah, kita sudah sampai, Yah. Mari bikin unggun.”
Si ayah tidak menyahut. Pelukannya semakin erat.
“Tunggu, Yah. Kunang-kunang sebentar lagi datang.”
Si ayah tidak membalas. Tubuhnya tiba-tiba memberat.
Ia pun mengerti, si ayah tak akan bisa berkata-kata lagi.

Pelan-pelan ia lepaskan ayahnya dari gendongan.
Ketika ia baringkan jasadnya di bawah pohon cemara,
seribu kunang-kunang datang mengerubunginya,
seribu kenang-kenang bertaburan di atas tubuhnya.
“Selamat jalan, Yah. In paradisum deducant te angeli.”
Profile Image for Andika Pratama.
43 reviews5 followers
August 15, 2020
Hal-hal sederhana di dalam rumah mungkin tumpah ruah di dalam buku kumpulan puisi ini. Jokpin dengan handal memainkan diksi-diksi sederhana, hal-hal yang mudah dan lumrah kita temukan di sekitar kita. Jenis puisinya yang bercerita memberikan kita sedikit tanya "apakah ini puisi atau cerita pendek?" namun demikian, bahasa puitik yang digunakannya sudah memberikan penjelasan singkat bahwa yang ada di dalamnya adalah benar puisi. Puisi-puisinya hadir dengan plot, karakter, dan dialog yang sifatnya sangat-sangat prosaik. Meski demikian perlu saya akui bahwa Jokpin benar-benar handal dalam memainkan repitisi kata dan menciptakan semacam pengulangan yang dengan nyaman kita nikmati tanpa perlu terpaksa bergumam "ah ini-ini mulu!".

Lucunya, menurut saya, puisi-puisi di sini secara puitik "menyeramkan". Jokpin tak sungkan lepas dari nuansa romantik yang biasa disodorkan penyair-penyair lain. Dengan gamblang digambarkannya nuansa seram lewat puisi yang bersetting di kuburan, hantu tanpa celana yang hilir-mudik muncul di depan kamar mandi, dan hal-hal mistikal lainnya. Ketimbang memberikan gambaran serba romantik lewat diksi megah, Jokpin justru duduk menulis hal-hal yang begitu sederhana dan dekat: satu puisi bahkan sengaja menghadirkan umpatan "asu!". Saya juga mendapatkan beberapa bentuk interteksual dari puisi-puisi dalam buku ini yang lekat dengan pengaruh Injil. Hal ini langsung saya hubungkan dengan pribadi Jokpin sendiri yang memang adalah penganut Kristen.

Tak sampai di situ saja, ketika membaca buku puisi ini dunia imajinatif saya seperti di bangun di tengah pemukiman kelompok masyarakat kelas menengah ke bawah dan Jokpin hadir di sana untuk menangkap momentum dari fenomena-fenomena sederhana sehari-hari. Ia menggambarkan bagaimana caranya berdamai dengan kemuraman yang berada di sekitar kita. Dengan demikian, saya dapat simpulkan bahwa puisi-puisi di dalam buku puisi ini memanglah Jokpinian sekali: menyematkan suatu majas sindiran seperti ironi dan sarkasme. Akhirnya kita sampai pada kritik sosial di mana Jokpin mungkin memberikan semacam pemberontakan yang bersifat pasif kepada kelas masyarakat di sekitarnya; pemerintahan; dan juga bagaimana kemiskinan terus bermuara pada masyarakat kelas menengah ke bawah. Hingar-bingar, kerlap-kerlip kehidupan Ibu Kota seperti disorot Jokpin dalam sudut pandang yang berbeda.

Mungkin memang demikian sumbangsih yang coba diberi Jokpin pada khazanah sastra Indonesia: menyematkan nuansa guyon pada puisi alih-alih memberikan nuansa romantik yang sudah terlalu sering disajikan penyair lainnya. Akhirnya celana, kamar mandi, dan juga hal-hal remeh temeh lainnya sudah menjadi hak milik Jokpin dalam puisinya.

Sedikit spoiler, mungkin untuk teman-teman yang sudah membaca Srimenanti akan merasa bahwa novel tsb juga memiliki nuansa yang sama dengan Jokpin dan memang benar adanya. Beberapa bagian dalam novel tsb langsung dialihwahanakan oleh Jokpin dari beberapa puisi di dalam buku ini, katakanlah salah satunya dari puisi "Lelaki Tanpa Celana".

Akhir kata, puisi-puisi yang terentang dari 1989-2012 ini mampu memberikan pembaca insight dan pandangan kepenyairan Jokpin dari bagaimana ia memaknai masyarakat dan gejolak sosial di sekitarnya hingga hal-hal yang bersifat spiritualis dan individual.
Profile Image for Baiti Rahma Asy-Syifa.
83 reviews1 follower
June 1, 2024
Joko Pinurbo adalah penulis puisi yang cerdas. Topik yang diambil sangat acak dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Yaitu topik yang terkadang aneh, nyeleneh, dan topik yang terkadang tidak terpikirkan untuk menjadi puisi. Jenazah, mobil jenazah, celana, kamar mandi: siapa yang pikir jika topik itu dapat menjadi puisi yang indah? Hanya Joko Pinurbo saja. Seperti biasa, untuk mengetahui makna dari puisi, maka kita harus mengira-ngira dan menginterpretasikan sendiri. Bagus!

Beberapa larik puisi yang saya suka:

Dari kamar mandi yang jauh dan sunyi saya ucapkan. Selamat menunaikan ibadah puisi.
.
Sabda sudah menjadi saya. Saya akan dipecah-pecah menjadi ribuan kata dan suara.
.
Tubuhku kenangan yang sedang menyembuhkan lukanya sendiri.
.
Menggigil adalah menghafal rute menuju ibukota tubuhmu.
.
Lupa: mata waktu yang tidur sementara.
.
Tuhan yang merdu, terimalah kicau burung dalam kepalaku.
.
Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.
.
Tubuh yang kadang-kadang saya banggakan dan sering saya lecehkan ini memang cuma pinjaman yang sewaktu-waktu harus saya kembalikan tanpa merasa rugi dan kehilangan.
.
Padahal lupa itu enak. Membebaskan. Sementara.
.
Untuk apa topeng diajak mandi? Untuk menakut-nakuti sepi. Untuk menemani wajah sendiri.
.
Kepada Puisi
Kau adalah mata, aku airmatamu.
.
Meskipun bu guru berkali-kali mengingatkan bahwa cara terbaik untuk mulai menulis adalah menulis.
.
"Dengan kata lain, kamu tak akan pernah bisa membayar gurumu."
.
"Hidup ini memang asu, anakku. Kau harus sekeras dan sedingin batu."
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Riska Purnama.
223 reviews
July 8, 2025
Naik Bus di Jakarta

Sopirnya sepuluh,
kernetnya sepuluh,
kondekturnya sepuluh,
pengawalnya sepuluh,
perampoknya sepuluh.
Penumpangnya satu, kurus,
dari tadi tidur melulu;
kusut matanya, kerut keningnya
seperti gambar peta yang ruwet sekali. Sampai di terminal kondektur minta ongkos: "Sialan, belum bayar sudah mati!"
(1999)


Surat Malam untuk Paska

Masa kecil kaurayakan dengan membaca Kepalamu berambutkan kata- kata. Pernah aku bertanya, "Kenapa waktumu kausia-siakan dengan membaca?" Kaujawab ringan, "Karena aku ingin belajar membaca sebutir kata yang memecahkan diri menjadi tetes air hujan yang tak terhingga banyaknya."


Kau memang suka menyimak hujan. Bahkan dalam kepalamu ada hujan yang meracau sepanjang malam.


Itulah sebabnya, kalau aku pergi belanja dan bertanya minta oleh-oleh apa, kau cuma bilang, "Kasih saja saya beragam bacaan, yang serius maupun yang ringan. Jangan bawakan saya rencana-rencana besar masa depan. Jangan bawakan saya kecemasan."

Kumengerti kini: masa kanak adalah bab pertama sebuah roman yang sering luput dan tak terkisahkan. kosong tak terisi, tak terjamah oleh pembaca bahkan tak tersentuh oleh penulisnya sendiri

Sesungguhnya aku lebih senang kau tidur di tempat yang bersih dan tenang.Tapi kau lebih suka tidur di antara buku-buku dan berkas-berkas yang berantakan. Seakan mereka mau bicara, "Bukan kau yang membaca kami, tapi kami yang membaca kau."

Kau pun pulas. Seperti halaman buku yang luas Dalam kepalamu ada air terjun, sungai deras di tengah hutan. Aku gelisah saja sepanjang malam, mudah terganggu suara hujan.
(1999)
Profile Image for Nyut.
123 reviews1 follower
May 6, 2024
Aku bukan orang yang pintar buat membedah puisi, apalagi meriview buku puisi. Jadi review kali ini mungkin ala kadarnya sesuai dengan batas kemampuan otakku yang cetek.

Secara keseluruhan aku baca puisi-puisi di buku ini tu rasanya kaya baca cerpen, tapi dalam bentuk puisi. Tiap puisinya seperti bercerita tentang suatu hal. Ada tentang seorang laki-laki yang ingin membeli celana yang paling baik untuk dirinya, tapi ternyata celana yang terbaik adalah celana yang dulu dipilihkan oleh ibunya yang sudah meninggal. Ada juga cerita tentang keluarga yang antara anak dan ayahnya tidak saling memahami. Puisi-puisi yang lain juga kebanyakan naratif seperti itu. Bahkan ada yang ditulis panjang sampai kaya cerpen beneran. Trus di beberapa puisi, di beberapa baris terakhir, ada semacam plot twistnya yang cukup membuatku jadi mikir 'Oh... Jadi ceritanya gini.'

Selain itu pilihan kata yang digunakan untuk menulis puisi juga kata-kata yang sederhana dan umum digunakan sehari-hari. Kan ada puisi-puisi dari sastrawan lain yang diksinya benar-benar dipilih dari kata-kata yang cantik dan unik, cuma kadang jadi susah dimengerti karena nggak semua orang tau arti kata itu. Kalau puisi karya Bapak Joko Pinurbo itu enggak seperti itu. Bahkan untuk kata-kata tertentu (benda tertentu) digunakan berkali-kali di puisi-puisi yang berbeda, seperti celana dan kamar mandi. Sesederhana itu.

Secara keseluruhan aku suka baca puisi karya beliau. Meskipun bukan puisi yang lirikal, yang kaya puisi untuk mengungkapkan isi hati dan pikiran yang terdalam, tapi membacanya cukup menyenangkan.
Profile Image for Joy Agustian.
Author 3 books3 followers
January 21, 2020
Tidak sulit memaknai puisi JokPin yang sarat akan metafora dan diksinya yang jauh dari kesan menye-menye.

Pada puisi Penumpang Terakhir, beberapa orang mungkin beranggapan kalimat 'Mungkin karena genjotannya enak, lancar pula lajunya' mengacu pada laju becak. Akan tetapi, jika ditelusuri lebih hati-hati dan saksama, kalimat ini mengacu pada tindakan yang dilakukan oleh si tukang becak dan penumpang becak tsb.

'Aku tak tahu apakah bunga yang kubawa akan kutaburkan di atas makam nenek moyangku atau di atas tubuh bang becak yang kesepian itu.'

Permainan metafora JokPin dalam puisi ini benar2 luar biasa. Mereka yang menyangka kalimat tersebut bisa dimaknai secara harfiah: bunga untuk jasad si nenek yang berada di dalam makam. Padahal bunga yang dimaksud adalah — ah, kalian tahu apa yang saya maksud.

Lagi pula ini hanya interpretasi saya saja sebagai pembaca dan penggemar puisi JokPin.

Untuk menghargai setiap karya JokPin yang jenius, nakal, dan bisa berubah mellow ini, saya rasa empat bintang tak akan sia-sia.

'Tuhan yang merdu, terimalah kicau burung dalam kepalaku.' - JokPin, Doa Malam, 2012.
Profile Image for Hëb.
170 reviews7 followers
January 7, 2021
"Di musim yang rusuh ini, di musim yang resah ini
hangatkan hati yang sebentar lagi tanggal,
hangatkan hati yang tetap tinggal."
-Desember, hlm 4

Barangkali cuplikan bait di atas yang menggambarkan hal yang kusukai dari Jokpin, yaitu permainan rima dalam kata -seperti yang ia tulis di "Kamus Kecil". Sayangnya, gaya seperti itu tidak terlalu menonjol di sini. Aku malah menemukan bahwa dalam buku ini, Jokpin hobi menggunakan kata 'ranjang' dan 'celana' yang diaplikasikan dalam beragam bait. Mungkin kedua kata tersebut memiliki arti tersendiri bagi Jokpin.

Melalui buku ini, aku semakin mengerti mengenai puisi sebagai 'bentuk karya sastra' yang bebas. Jokpin mengekspresikan hal ini secara variatif; mulai dari membuat bait² percakapan maupun dengan membuat prosa panjang. Beberapa puisi dalam buku ini memiliki 'alamat', seperti untuk SDD, NN, dan sebagainya.

So -kuberi tiga bintang karena aku cukup 'lelah' dengan berbagai pengulangan dan kata² yang eksplisit. Semoga pembacanya bisa bijak mengartikan puisi² ini.
Displaying 1 - 30 of 115 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.