What do you think?
Rate this book


260 pages, Paperback
First published June 1, 2016
Sopirnya sepuluh,
kernetnya sepuluh,
kondekturnya sepuluh,
pengawalnya sepuluh,
perampoknya sepuluh.
Penumpangnya satu, kurus,
dari tadi tidur melulu;
kusut matanya, kerut keningnya
seperti gambar peta yang ruwet sekali.
Sampai di terminal kondektur minta ongkos:
"Sialan, belum bayar sudah mati!"
Tiba di stasiun kereta, aku langsung
cari ojek. Entah nasib baik, entah nasib buruk,
aku mendapat tukang ojek yang, astaga,
guru Sejarah-ku dulu. "Wah, juragan
dari Jakarta pulang kampung," beliau menyapa.
Aku jadi malu dan salah tingkah. "Bapak
tidak berkeberatan mengantar saya ke rumah?"
Nyaman sekali rasanya diantar pulang
Pak Guru sampai tak terasa ojek sudah
berhenti di depan rumah. Ah, aku ingin kasih
bayaran yang mengejutkan. Dasar sial,
belum sempat kubuka dompet, beliau sudah
lebih dulu permisi lantas melesat begitu saja.
Ia termenung sendirian di gardu gelap di ujung jalan.
Tidak jelas, ia peronda yang kesepian
atau pencuri yang kebingungan.
Dari arah belakang muncul seorang pengarang
yang kehilangan jejak tokoh cerita
yang belum selesai ditulisnya.
"Kucari-cari dari tadi, ternyata sedang
melamun di sini. Ayo pulang!"
Daripada harus pulang, ia pilih lari ke seberang.
Aku doakan semoga aman-aman saja.
Kalau nanti bertemu maling,
ajak dia ke rumahku.
Hasil curiannya bisa kita bagi bertiga.
Ketika kecil ia sering diajak ayahnya bergadang
di bawah pohon cemara di atas bukit. Ayahnya
senang sekali menggendongnya menyeberangi sungai,
menyusuri jalan setapak berkelok-kelok dan menanjak.
Sampai di puncak, mereka membuat unggun api,
berdiang, menemani malam, menjaring sepi. Ia sangat
girang melihat kunang-kunang berpendaran.
“Kunang-kunang itu artinya apa, Yah?”
“Kunang-kunang itu artinya kenang-kenang.”
Ia terbengong, tidak paham bahwa ayahnya sedang
mengajarinya bermain kata.
Bila ia sudah terkantuk-kantuk, si ayah segera
mengajaknya pulang, dan sebelum sampai di rumah,
ia sudah terlelap di gendongan. Ayahnya
menelentangkannya di atas amben, lalu menaruh
seekor kunang-kunang di atas keningnya.
Saat ia pamit pergi mengembara, ayahnya membekalinya
dengan sebutir kenang-kenang dalam botol.
“Pandanglah dengan mesra kenang-kenang ini saat kau
sedang gelap atau mati kata, maka kunang-kunang
akan datang memberimu cahaya.”
Kini ayahnya sudah ringkih dan renta.
“Aku ingin ke bukit melihat kunang-kunang. Bisakah
kau mengantarku ke sana?” pintanya.
Malam-malam ia menggendong ayahnya menyusuri
jalan setapak menuju bukit.
“Apakah pohon cemara itu masih ada, Yah?”
tanyanya sambil terengah-engah.
“Masih. Kadang ia menanyakan kau dan kukatakan
saja: Oh, dia sudah jadi pemain kata.”
“Nah, kita sudah sampai, Yah. Mari bikin unggun.”
Si ayah tidak menyahut. Pelukannya semakin erat.
“Tunggu, Yah. Kunang-kunang sebentar lagi datang.”
Si ayah tidak membalas. Tubuhnya tiba-tiba memberat.
Ia pun mengerti, si ayah tak akan bisa berkata-kata lagi.
Pelan-pelan ia lepaskan ayahnya dari gendongan.
Ketika ia baringkan jasadnya di bawah pohon cemara,
seribu kunang-kunang datang mengerubunginya,
seribu kenang-kenang bertaburan di atas tubuhnya.
“Selamat jalan, Yah. In paradisum deducant te angeli.”