Karangan yang dianggap terbaik dari ke-18 cerpen tersebut adalah cerpen berjudul Anjing-anjing Menyerbu Kuburan….
Saya sendiri lebih menyukai cerpen Kuntowijoyo yang lain dan menganggap cerpennya yang berjudul Rumah yang Terbakar sebagai cerpennya yang terbaik dalam kumpulan ini. Alasan saya adalah karena cerpen Rumah yang Terbakar menampilkan ketegangan antara peristiwa dan makna atas cara yang lebih intens, di mana pertarungan antara dunia empiris dan dunia potensial menjadi lebih keras. (Ignas Kleden)
Ketika pasar informasi, wacana, dan ideologi di Indonesia dikuasai oleh gambaran mengenai keberhasilan pembangunan, gambaran tentang kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia yang meningkat, gambaran tentang gedung-gedung bertingkat yang megah, jalan-jalan beraspal yang halus-mulus, pesawat terbang Indonesia yang tinggal landas menuju masa depan yang cerah, cerpen-cerpen Kompas justru memberikan gambaran mengenai korban-korban pembangunan, kemiskinan yang membuat sumpek, bangunan-bangunan yang kumuh, kecelakaan pesawat terbang, dan sebagainya. (Faruk)
Kuntowijoyo was born at Sanden, Bantul, Yogyakarta. He graduated from UGM as historian and received his post-graduated at American History by The University of Connecticut in year 1974, and gained his Ph.D. of history from Columbia University in year 1980.
His father was a puppet master (dalang) and he lived under deep religious and art circumstances. He easily fond of art and writings and became a good friend of Arifin C. Noer, Syu'bah Asa, Ikranegara, Chaerul Umam, and Salim Said.
His first work was "Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari".
Selalu menjadi bagian menarik, menyimak pendapat pakar sastra yg disertakan Kompas pada bagian awal dan akhir buku. Kali ini ditulis oleh Faruk, dan Ignas Kleden. Dua nama tokoh yg diketahui banyak berkecimpung dlm studi pemikiran ttg kebudayaan, dan sosiologi. Sastra (tentu) termasuk di dalamnya.
Dalam tulisan Faruk, dg judul "Kenapa Sastra?" pd intinya ingin menggali ke inti apa yg sebenarnya diinginkan Kompas sbg media industri informasi, yg digerakkan oleh mesin bisnis, mau memberikan ruang yg luas bagi keberadaan sastra di Indonesia? Sbg hiburan, lebih serius dr itu, sbg cermin ttg penggambaran realitas sekaligus dunia potensial yg bisa diharapkan meski belum terjadi, sbg keindahan (estetika)? Ataukah, sebenarnya ada hal2 lain yg perlu diangkat, diubah, dan dipertahankan oleh seluruh stakeholder termasuk Kompas jika memang ingin lebih mengukukuhkan peran sastra di Indonesia? Dalam paparannya, Faruk berada dalam posisi yg sama dg mayoritas juri lain, memilih cerpen terbaiknya sesuai dg judul buku ini.
Pada bagian Ignas Kleden, paparan pemikiran kritis itu diuraikan dengan lebih panjang dan lengkap lagi. Dengan mengambil judul "Simbolisme Cerita Pendek", Ignas Kleden secara lengkap merangkum bbrp uraian teori2 sastra dari para tokoh2, seperti YB Mangunwijaya, Lukman Ali, Paul Ricoeur, Karl Mannheim, dan Lukacs. Berangkat dr teori2 itu, lalu masuk ke dalam analisis ke-18 cerpen yg terpilih di buku ini. Bagi saya pribadi, sungguh brilian analisis yg disampaikan oleh Ignas di sini. Berdasar itu, pilihan beliau jatuh pd cerpen Kuntowijoyo "Rumah yang Terbakar" sbg yg terbaik. Berbeda dg pilihan mayoritas juri lain, yg memilih "Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan".
Ke-18 judul cerpen di buku ini, didominasi oleh karya dari Kuntowijoyo. Sebanyak 3 cerpen masuk dlm pilihan. Ini adalah catatan hatrick utk Kunto, di mana selama 3 tahun berturut2, karyanya menjadi cerpen terbaik pilihan Kompas (1995, 1996, 1997). Membandingkan dg seluruh karya lain di buku ini, layak untuk dikatakan cerpen Kunto memiliki hampir seluruh elemen yg diinginkan dlm karya sastra, sekaligus sastra media. Analisis yang sangat bagus telah diuraikan oleh Faruk dan Ignas Kleden, meskipun pd akhirnya mereka berbeda pilihan judul, namun setidaknya sama2 memilih cerpen Kuntowijoyo.
Tipikal cerpen2 Kuntowijoyo, 'etnografis'. Dalam arti, simbolisme yang diusung Kunto sangat mampu mewakili realitas, sekaligus fantasi cerita. Membandingkan, misal cerpen yang ditulis oleh Umar Kayam "Sphinx". Metafora yg diunggah oleh sphinx agaknya cukup jauh utk menyampaikan makna harfiah yg ingin disampaikannya. Lebih menyentuh simbolisme berupa "anjing". Maka pun, cerpen Kunto "Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan" itu patut jika dianggap bernilai etnografis. Artinya, telah melalui proses berpikir mendalam dan interpretasi atas fakta berdasarkan konsep yang digunakan, memahami, dan mampu memunculkan nilai2 dari objek yg diteliti. Sungguh menarik.
Berkaca dari pengalaman baca kumcer kumcer sastra sebelumnya, saya tidak membaca pengantar dan penutup di buku ini. Selain karena panjangnya yg jauh lebih panjang daripada cerpen2 itu sendiri, juga menghindari semacam contekan tidak sengaja yang bakal membuat pengalaman membaca cerpen tidak orisinal lagi karena terkontaminasi *Halah oleh pandangan para ahli sastra dan kritikus. Jadi, saya membuka buku ini tanpa ekspektasi apa pun. Ternyata isinya memang bagus terlepas dari beberapa cerpen yg kesannya berat karena sarat perlambang.
Cerpen2 paling awal adalah yg paling bagus menurut saya karena cerpen2 itu justru sederhana. Saya bersorak ketiga tiga cerpen karya penulis favorit saya muncul 3 x di buku ini, langsung di bagian awal. Salah satunya jadi pemenang cerpen Kompas 1997. Cerpen2 Kuntowijoyo selalu konsisten dengan elemen desa, Jawa, dan sederhana. Lengkap dengan tendangan di menjelang akhir kisah. Cerpen2 lain yg mengingatkan saya pada indahnya baca cerpen adqlah karya AA Navis.
Walau ditulis tahun 1997, tema cerpen2 di buku ini anehnua masih sangat relevan dibaca. Saya sampe berkali kali membuka halaman judul untuk mengingatkan saya bahwa buku ini terbit pertama tahun 1997. Tema paling dominan adalah permasalahan orang kecil: kekerasan dalam rumah tangga terutama kepada wanita. Beberapa kali pembaca akan menemukan suami yg Tidka niat menjadi suami dengan menelantarkan istri dan anak2nya.
Beberapa cerpen serius diantaranya dari Budidarma dan SGA. Cerpen keduanya sarat perlambang yang saya belum bisa menikmatinya bahkan secara sederhana. Tapi, sebagaimana penutup di buku ini, cerpen ditulis pertama untuk dinikmati dan biarlah para sastrawan dan kritikus sastra yang menganalisis aneka simbol dalam karya sastra. Kita sekadar mau membacanya saja sudah merupakan upaya merayakan sastra.
Aku sebenarnya jarang banget baca antologi cerpen. Jangankan antologinya, cerpen aja jarang. Akhirnya karena lagi males baca panjang, kucoba baca salah satu antologinya Kompas yang fenomenal. Ada beberapa cerpen yang aku suka banget, ada juga yang somehow menurutku biasa aja (aku nggak bilang buruk, keputusan redaktur dan selera orang ‘kan beda-beda). Ndilalah, cerpen pertamanya (yang juga jadi judul) menurutku bagus banget! Aku berkali-kali ngomong lokalitas tuh udah agak membosankan (tapi aku selalu cinta jadi kayak omongan bloon aja). Akuu suka the rest of them, tapi yang paling memorable dan lucu puinya SGA yang Sembilan Semar! Literally bikin ketawa!
Buku ini merupakan kumpulan cerpen pilihan Kompas yang terdiri dari 18 cerpen pilihan dari 15 orang pengarang.
Hanya beberapa cerpen yang benar-benar bisa saya nikmati tanpa kebingungan dalam mencerna jalan cerita. Kelihatannya kemampuan saya dalam membaca karya sastra seperti cerpen-cerpen ini perlu diasah lagi.
Di akhir buku, terdapat penjelasan mengenai simbolisme cerita pendek. Bagian ini sangat membantu saya untuk lebih memahami buku ini.
Seperti judul buku ini, Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan merupakan cerita pendek yang saya paling favoritkan.
kasian ustad muda yang membakar bekas surau yang jadi rumah bordil. secara tak sengaja dia turut membunuh sepasang kekasih dari kedua kampung yang kebenciannya mungkin serupa keluarga Montague dan Capulet.
Ada satu cerpen di buku ini memberikan gambaran bahwa kemiskinan itu bukan sesuatu yang bisa dengan mudah dilepaskan. Atau kalau kemiskinan itu lingkaran, tidak mudah untuk keluar dari sana. Judul cerpennya adalah Tujuh Belas Tahun Lebih Empat Bulan.
Sudah terpesona dari cerpen pembuka (Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan): "IA tidak usah khawatir. Sekalipun kecibak air sungai, bahkan batu yang menggelinding oleh kakinya di dalam air terdengar jelas, tapi tidak seorang pun akan mendengar. Gelap malam dan udara dingin telah memaksa para lelaki penduduk desa di atas menggeliat di bawah sarung-sarung mereka. Para perempuan mendekami anak-anak mereka seperti induk ayam yang ingin melindungi anaknya dari kedinginan." Khas sekali, ini memang ciri-nya Alm. Kuntowijoyo.
Dari penulis cerpen di buku ini saya belajar bahwa menulis itu tidak hanya berimajinasi, cerpen cerpen dalam buku ini menyampaikan banyak pesan dan kesan dari kehidupan sehari hari di sebuah masyarakat tertentu