Dengan hipotesisnya yang, boleh disebut, ateisistik-brutal, Sigmund Freud berlabuh pada kesimpulan ekstrem bahwa simbol-simbol dan ritual-ritual agama, dan tentunya juga pemeluk-pemeluknya, sama dengan perilaku pasien-pasien neurotisnya di rumah sakit jiwa. Agama adalah ilusi-ilusi kegilaan, sebagaimana kegilaan yang diidap para penghuni rumah sakit jiwa di tempatnya bekerja.
Semua ritual agama adalah bullshit bagi Freud. Bukankah, dengan analogi yang gahar, perbuatan-perbuatan yang tak dapat dijabarkan oleh rumus-rumus logika-fisika-eksata itu hanyalah kesia-siaan, cermin kebingungan, kegelisahan, kecurigaan, ketakutan, dan karenanya sama persis dengan tingkah-laku orang gila dalam gelak tawa, cengar-cengir, dan sebagainya?
Tetapi, ada satu hal yang sangat digelisahkan oleh Freud, mengapa mayoritas manusia mempertahankan "kegilaan" itu dengan landasan keyakinan yang sangat ultrafanatis? Apakah, jika mengikuti logika Freud, semua manusia telah gila? Lantas, kalau memang demikian, bagaimana kita mesti membedakan kegilaan dengan kesehatan, kesetanan dengan kemanusiaan?
Hans Küng menguraikannya dengan kritis dalam buku ini.
Hans Küng was a Swiss Catholic priest, controversial theologian, and prolific author. Since 1995 he had been President of the Foundation for a Global Ethic (Stiftung Weltethos). Küng is "a Catholic priest in good standing," but the Vatican has rescinded his authority to teach Catholic theology. Though he had to leave the Catholic faculty, he remained at the University of Tübingen as a professor of Ecumenical Theology and served as Emeritus Professor since 1996. In spite of not being allowed to teach Catholic theology, neither his bishop nor the Holy See had revoked his priestly faculties.
pengantar penerjemahnya terlalu lebai, berapi-api, sembari mengutip kutipan entah siapa di depan dan di akhir pengantarnya. saya kira, bagian ini bisa dilewati saja. tidak memberi kontribusi pada pembaca mengenai bagaimana teolog besar seperti hans kung mengapresiasi pemikiran freud. baru membuka bab I kita sudah ketemu typo (ludwing feuerbach, mustinya ludwig) dan angka tahun 1984 yang seharusnya 1884. skimming halaman-halaman selanjutnya, begitu lancar. enak dibaca. hanya kadang terganjal oleh pilihan terjemahan kata bible menjadi bibel, padahal umat kristen yang merawat kitab suci itu menyebutnya alkitab. entah mengapa penerjemah tidak menggunakan istilah yang digunakan oleh penggunanya dan memaksakan istilahnya sendiri. tapi masih untung, penerjemah tidak menerjemahkan christian menjadi nasrani. hans kung di sini menggunakan topik-topik freudian untuk menjelaskan bagaimana agama bermula, penghormatan pada ibu, kelahiran konsep anak tuhan, dsb. karena saya tidak mendapatkan buku aslinya, maka edisi terjemahan ini amat membantu saya dalam mengikuti pembacaan hans kung atas sikap freud terhadap agama dan ajaran-ajarannya.